Kedatangan yang tak mengenakkan

1410 Words
Langit yang cerah untuk permulaan hari yang baru. Seperti biasa, burung pun berkicau menyambutnya. Ada aroma sakura ketika kita menghirup udara pagi ini. Angin berhembus, mengantarkan dedaunan musim semi. Para pejuang hidup menaikkan sudut bibirnya saat berpapasan dengan orang lain. Saling menyemangati dengan ucapan selamat pagi, walau hari tengah menanti untuk digeluti. Gerbang sekolah hendak ditutup ketika menginjak pukul delapan. Papan nama bertuliskan 'Crystal High School' terpampang besar di depan pagar yang terbuat dari beton. Sebuah mobil sedan putih berhenti di depannya. Dua orang keluar dengan membawa koper dan tas jingjing. Wanita muda bersetelan jas mendekati satpam yang sedang mengunci pintu gerbang. Rambut ikal panjang berwarna orangenya tampak diikat asal. "Sumimasen ... Aku guru baru di sini," Dia mengeluarkan sebuah surat dari dalam tas jingjing berwarna biru tuanya dengan terburu-buru, lalu memberikan surat itu kepada pak satpam. Orang tua berusia 50 tahun itu membacanya dengan seksama lewat matanya yang dibingkai kacamata, lalu mengangguk-angguk sambil membuka gerbang. "Douzo," ucapnya mempersilahkan wanita itu masuk. "Namaku Shirokaze Akami. Kalau ada apa-apa, mohon jangan segan." Akami sedikit membungkukkan tubuhnya. Wanita di depannya ikut membungkuk. "Hai. Hajimemashite. Namaku Kim Nara. Yoroshiku," sahut Nara memperkenalkan dirinya. "Orang Mugunghwa?" Akami dapat menebak-nebak dari nama wanita itu. Sedangkan Nara hanya mengangguk membenarkan, sembari melontarkan senyum ramah. Gadis muda lainnya baru selesai mengeluarkan barang dari dalam bagasi mobil kemudian menyusul. Dia berdiri di samping Nara. Gadis itu tampak kalem dengan balutan seragam sekolah Crystal High School. Dengan rambut coklat kehitaman yang terurai hingga bahu dan mata hijaunya yang menarik. "A—sumimasen ... Dia keponakanku. Dia akan bersekolah di sini mulai hari ini." Nara memperkenalkan gadis itu. Akami tersenyum ramah, sementara gadis itu terdiam menyelidik arti senyumannya. Nara menyikut lengan gadis itu dengan pelan, memberinya sebuah kode untuk membalas sapaan Akami. "Oh. Hajimemashite, namaku Grivena Athalia. " Vena langsung membungkuk ketika menyadarinya. Akami menatap Nara dan Vena bergantian. "Gu-ri-hwe-na?" Dia mengeja. "Panggil saja Vena." "Hwe—hwena?" "pakai Ve." "Pe?" Akami masih berusaha mengeja. "Hwena?" Vena akhirnya hanya mengangguk-angguk. "Iya, begitu juga tidak apa-apa." Tidak ada gunanya memaksa. Mereka sudah terlambat. Akami terkekeh. "Biasanya orang Mugunghwa tidak pakai nama serumit itu," katanya. Dia berbalik menghadap besarnya gedung sekolah. Tangan kirinya diletakkan di belakang punggung. Tangan kanannya menunjuk sisi kanan gedung sekolah. "Di sana. Ruang kepala sekolah ada di lantai tiga, paling ujung." Dia memberi jeda. "Sedangkan asrama ada di gedung lain yang ada di belakang. Jadi, kalian mau kemana dulu?" "Kelas." "Asrama." Kedua gadis itu saling memandang. "Kau harus ke ruang guru dulu untuk masuk kelas," jelas Nara pada Vena. "Kau kan gurunya." "Tapi aku harus ke asrama dulu, setelah itu menemui kepala sekolah." Nara mencoba untuk membuat Vena mengerti. Dia paham kenapa gadis ini tak sabaran. "Kalau begitu aku akan ke ruang guru sendirian." Vena membuat keputusan. Dia meletakan kopernya di samping koper Nara. "Tolong bawakan koperku ke asrama ya." Vena menepuk bahu kanan bibinya sebelum berjalan mendahului. Akami menatap mereka bergantian. Memperhatikan dua perempuan berbahasa aneh yang pastinya bukan dari Mugunghwa. "Sumimasen, boleh tolong aku bawa koper ini ke asrama?" tanya Nara gugup. "Tentu." Punggung Akami tiba-tiba tegap. Dia mendorong koper Vena masuk ke dalam gedung asrama sementara Nara membawa kopernya sendiri. "Kalian sepertinya bukan dari Mugunghwa?" Akami mencoba cari tahu. "Bukan. Kami dari tulip." Akami terdiam. "Tapi aku orang Mugunghwa. Tentu saja." *** Ada denah sekolah di papan pengumuman. Vena memperhatikannya, mencoba membaca tulisan-tulisan kecil yang menyebutkan nama ruangan di setiap kotaknya. Lorong terlihat sepi. Gadis itu tak tahu kemana dia harus bertanya. Sial. Tidak terbaca. Vena akhirnya mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi kamera. Dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi untuk dapat memotret denah sekolah itu. Setelah mendapatkan gambarnya, Vena lagi-lagi bingung karena ada tiga ruangan yang bertuliskan ruang guru. Vena memutuskan untuk mengambil yang terdekat. Di lantai satu, lorong paling ujung di sebelah kiri bertulisan 'ruang guru' pada papan di atas pintu. Vena menggeser pintu ke kanan hingga terbuka dan ... "Aduh!" Kertas-kertas berhamburan di atasnya. Seorang guru wanita menyenggolnya, dan dia terjatuh ke lantai. Guru itu langsung panik mengambil kertas-kertas yang berserakan. Vena menontonnya dengan wajah tanpa ekspresi. "Aih ... Aku sudah susah payah menyusunnya sejak semalam." Guru itu menggerutu. Kemudian menyadari seorang siswa hanya diam dan berdiri di hadapannya. "Apa yang kamu lihat?! Cepat bantu aku!"tegurnya. Vena berkedip dua kali sebelum tersadar. "A ... Hai!" Gadis itu berjongkok, ikut memungut kertas-kertas yang berjatuhan di koridor. "Ini," ucapnya ketika selesai. Dia memberikan lembaran yang dia dapat kepada guru itu. "Arigatou." Vena membaca nama di tanda pengenal guru itu. Eiko Kazumi. "Kazumi Sensei." "Iya?" "Aku ... Aku murid pindahan. Namaku Grivena Athalia." Vena mengenalkan dirinya dengan gugup. Kazumi berdiri tegap, merapihkan rambutnya yang sedikit berantakan akibat terjatuh tadi. "Oh ... Pantas saja kamu butuh waktu lama untuk membantuku." "Sumimasen." Vena meminta maaf sambil membungkukkan tubuhnya. "Aku tidak tahu di mana kelasku," jelasnya. "Kamu bawa surat pindahanmu?" Vena merogoh salah satu saku di tasnya dan mengeluarkan secarik kertas tebal yang terlipat rapi. Dia menyerahkannya kepada Kazumi. Kazumi membacanya kemudian tangannya menunjuk ke arah tangga. "Kelas 3. Kamu harus datang ke ruang guru di lantai tiga." Vena mengangguk. Dia mengambil surat itu kembali. "Arigatou," ucapnya. Guru itupun langsung pergi dengan terburu-buru menuju kelasnya mengajar. Vena menaiki anak tangga pertama dengan langkah yang perlahan dan hati-hati. Jantungnya berdegup sangat kencang. Perasaan senang membuncah di hatinya. Dia begitu senang hingga ingin berteriak kencang pada dunia. Sebelumnya, dia hanya belajar sendirian. Di dalam ruangan besar yang dipenuhi buku-buku tua. Bersama ibu angkatnya yang selalu menjelaskan materi dengan rinci hingga ke akar permasalahan. Otaknya cukup baik untuk mencerna semua pelajaran kuliah sejak usianya 6 tahun. Namun, dia kesepian. Di lantai dua, terdapat mesin minuman berwarna merah. Vena mendekat ke arahnya dan melihat pantulan dirinya dari kaca. Terlihat seperti siswa sungguhan dengan seragam biru tua dan sepatu pantofel berwarna hitam. Rambut yang biasa dia ikat, kini dia biarkan terurai agar memberi kesan imut pada dirinya. Vena kembali menaiki tangga menuju lantai tiga. Di sana langsung tertera papan nama bertuliskan ruang guru. Namun tidak ada siapapun di dalamnya. Mereka pasti sudah di kelas untuk mengajar. Vena melirik ke sana ke mari, koridor sama kosongnya. Dia akhirnya berjalan mondar-mandir selama beberapa saat hingga seorang guru—yang sepertinyadatang terlambat—masuk ke dalam ruangan. "Ano ... Sumimasen." Permisi lagi. Kalimat itu sepertinya banyak sekali diucapkan oleh Vena hari ini. Dia mengikuti guru itu ke dalam ruangan dengan ragu. "Aku ... Murid baru." Vena mencoba memberi tahu. Guru itu nampak tak peduli. Bahkan jalannya santai walau sudah terlambat hampir setengah jam. Dia hanya melirik Vena sekilas, lalu mengabaikannya. "Ano ..." "Pergilah ke kelasmu sendiri! Di surat pindahan 'kan ada keterangannya." Entah kenapa, guru yang satu ini sama sekali tidak mencerminkan sikap seorang guru. Laki-laki itu terlihat seperti orang yang hidupnya asal-asalan dan pergi bekerja hanya untuk bermain dan menerima uang. Rambut coklatnya juga berantakan dan dibiarkan panjang menutupi alis. Janggutnya belum dicukur selama tiga hari. Vena merogoh sakunya dan membuka kembali lembar surat pemindahannya. Grivena Athalia 17 tahun Dari TITSH, Tulip. Kelas 3-C Tak butuh lama. Vena menemukan kelas itu terletak dua ruangan setelah ruang guru. Dia mengintip ke dalam. Guru sedang mengajar murid-muridnya dengan serius, sementara di antara muridnya ada yang makan, tidur, atau sekedar melihat ke luar jendela. Vena mengetuk pintu. Semua orang di dalam langsung melihat ke arahnya. Guru itu membukakan pintu untuknya dan langsung tahu. "Ah, murid pindahan T.I.T.S.H?" Vena hanya tersenyum lalu membungkuk. "Masuklah. Aku kira kamu tidak akan datang hari ini." "Nah anak-anak, mohon perhatiannya, kita kedatangan murid pindahan dari Negara Tulip. Silahkan nak." Guru itu melihat ke arah Vena. Membungkuk lagi. Vena tak tau sampai kapan dia harus melakukannya. "Hajimemashite. Aku Grivena Athalia. Douzo yoroshiku onegaishimasu." "Whoa ... Dia cantik!" seru seorang laki-laki. "Lihat mata hijaunya. Kudengar itu langka," seru yang lain. Vena hanya terdiam. Sedikit tak nyaman saat orang lain menyinggung perihal matanya. "Ada hal lain yang ingin kamu ceritakan?" tanya guru itu. Vena menggeleng, melirik ke tanda pengenal laki-laki itu. Kado Ichiro. Ichiro mempersilahkan Vena untuk duduk. Kursinya berada di dekat jendela. Panas langsung menyorot ke arahnya. Namun di samping itu, dia senang bisa melihat halaman belakang sekolah dan menonton para siswa berolahraga di lapangan yang luas. Ada kolam renang di ujung kanan dekat gedung asrama. Di sisi kiri, terdapat pondok kecil yang sepertinya dipakai untuk menyimpan alat olahraga. "Yosh. Kita mulai lagi pelajarannya." Ket: Douzo: silahkan Hajimemashite: salam perkenalan Yoroshiku: Mohon bantuan ke depannya. Hai: iya Arigatou: Terima kasih Sumimasen: permisi/maaf
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD