Chapter 1

1183 Words
Ananta akhirnya tiba di klub malam itu. Berkat kabar dari Alexa, sahabat Mira. Alexa memberi kabar bahwa Mira sudah mabuk. Dan benar saja. Ketika Ananta tiba disana, ia bisa melihat Mira sedang meliukkan tubuhnya di dance floor. Ada Alexa juga yang berdiri disana. Berusaha menjaga agar tidak ada lelaki hidung belang yang mendekat. Ananta langsung menghampiri kesana. Melingkarkan tangannya di pinggang Mira. Membuat Alexa awalnya terkejut namun kemudian membiarkan begitu tahu bahwa yang melakukannya adalah Ananta. “Akhirnya kau datang.” “Terima kasih sudah menjaganya.” Alexa mengangguk. “Kau bawalah dia pulang. Aku masih ada urusan disini,” ucap Alexa. Ananta mengangguk. Ia kemudian langsung menggendong Mira yang saat ini mulai memberontak. Perempuan itu meracau masih ingin menari. “Menarilah di rumah sepuasmu,” ucap Ananta kemudian. *** Kepala Mira terasa begitu pusing ketika ia bangun. Dirinya kemudian terdiam menatap sekeliling. Ini bukan kamar apartemennya. Kamar ini terasa familiar namun kepala Mira masih terasa terlalu pusing untuk berpikir. Ananta kemudian muncul. Lelaki itu sudah siap dengan kemejanya. Sepertinya sebentar lagi akan berangkat bekerja. Mira akhirnya tahu dimana ia berada sekarang. Di rumah tempat ia dan Ananta tinggal selama setahun. Sebelum akhirnya enam bulan lalu, Mira mulai tinggal di apartemen dekat kantornya. “Aku sudah buatkan ini. Kamu bisa minum suplemennya setelah sarapan. Pusingmu akan mereda begitu diminum. Di kulkas juga sudah aku siapkan air kelapa. Atau kalau kamu nyaman dengan air putih saja, itu juga tidak masalah. Aku sudah buat surat keterangan sakit, jadi kamu tidak perlu ke kantor. Istirahat saja disini.” Mira menatap makanan yang berada di atas nakas. Ia kemudian menatap Ananta. Lelaki itu, entah apa tujuannya mempertahankan pernikahan ini. “Maaf aku tidak bisa menemani sarapan. Aku harus segera ke rumah sakit.” Hingga Ananta berlalu, Mira tidak mengucapkan sepatah kata pun. Melihat dari keberadaannya disini, sudah jelas lelaki itu yang membawanya pulang. Padahal kemarin Mira ingin melupakan sejenak masalah ini dengan minum sampai mabuk. Malah dirinya sekarang terbangun di rumah ini. Sudah sangat lama sejak ia meninggalkan rumah ini dan mulai menggugat cerai. Mira kemudian menatap tangannya sendiri. Tidak heran melihat infus terpasang. Ananta adalah dokter. Jadi Mira yakin kondisinya semalam cukup mengenaskan sampai lelaki itu memasang infus seperti ini. *** Tadinya Mira berniat untuk pergi ke kantor. Akan tetapi kepalanya terlalu pusing dan ia pun terjatuh saat mencoba keluar dari kamar. Ananta menulis surat keterangan sakit sepertinya memang tidak salah. Mira benar-benar sakit. Lalu ketika siang, lelaki itu tahu-tahu sudah ada di rumah lagi. Mira terbangun saat Ananta memeriksanya. “Apa yang kau lakukan disini?” tanya Mira. Suaranya kecil dan tubuhnya terasa lemah. “Memastikan kau tidak keras kepala. Kenapa tidak minum obat yang ku beri?” tanya Ananta. Mira pun terkekeh. Ia ingin bangun namun sayangnya tidak bisa. “Berhentilah sok perhatian. Lebih baik cepat tanda tangani surat perceraiannya.” “Kau keracunan alkohol. Lain kali ajak aku kalau mau menjadi gila seperti semalam.” Mira menatap Ananta. Masih tidak paham kenapa lelaki itu masih saja perhatian selama ini. “Aku sudah menjadi gila sejak awal aku datang dan mengemis bantuan padamu,” ucap Mira. Ananta tidak tahu lagi harus mengatakan apa. “Kenapa kau begitu menginginkan perceraian?” tanya Ananta kemudian. “Dan kenapa kau begitu mempertahankan pernikahan ini? Ibumu sudah meninggal dan aku sudah menunggu enam bulan setelah permakamannya untuk menghormati masa berdukamu.” Sorot mata Ananta berubah dan Mira jadi merasa sedikit bersalah karena menyinggung mengenai itu. Sepertinya ia sudah keterlaluan. “Maaf, aku tidak bermaksud.” Ananta kemudian mengambil obat dari laci nakas, memberikannya kepada Mira. “Ibuku memang sudah meninggal tapi ibumu masih hidup, Mira.” Mira tercekat. “Jangan berani-” “Kau pikir akan seberapa aman kau bisa menjaga ibumu begitu bercerai dariku?” Mata Mira berkaca-kaca menatap Ananta. Lelaki itu selalu saja mengandalkan power keluarganya, dan Mira membenci itu. Membenci kenyataan bahwa ia begitu tidak berdaya. “Berhentilah bersikap egois. Pernikahan ini bukan hanya tentang kau saja,” imbuh Ananta. Ananta lantas membantu Mira agar bisa duduk bersandar. Supaya perempuan itu bisa minum obat. Tangan Ananta kemudian menggapai segelas air dan tidak butuh waktu lama untuk membuat Mira mau minum obat tersebut. “Kita belum genap dua tahun menikah. Satu tahun serumah tapi enam bulan pertama aku sibuk mengurus ibuku yang sakit. Enam bulan kita setelah kematian ibuku, kita sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Lalu enam bulan aku biarkan kau tinggal di apartemen yang justru malah kau menggugat perceraian. Aku sudah memberimu begitu banyak kebebasan, Mira.” Mira menatap lelaki itu. Yang sepertinya kesabaran Ananta mulai habis. Seharusnya lelaki itu sadar dengan tujuan utama pernikahan mereka. Mira butuh suntikan dana untuk menyelamatkan perusahaannya. Sementara Ananta butuh perempuan untuk dinikahi karena kondisi ibunya sekarat. “Aku tidak punya pilihan lain karena kau terus menuntut hal yang menyebalkan," ujar Ananta. Mira meremas pakaiannya sendiri. Merasa kesal karena dapat menerka bahwa setelah ini Ananta pasti akan mengeluarkan ancamannya. “Tinggalah disini dan lakukan tugasmu sebagai istri. Setidaknya jadikan itu bentuk terima kasih atas apa yang telah aku lakukan pada ibumu.” Ibu Mira mengalami gangguan mental semenjak masalah itu terjadi. Masalah yang juga membuat Mira hampir mengakhiri hidupnya saat itu. Tangan Mira kemudian memegang jas dokter Ananta. Entah lelaki itu sengaja memakainya karena sedang memeriksa Mira atau karena terburu-buru dari rumah sakit. “Kau benar-benar hanya bisa mengandalkan uangmu ya, Ananta?” “Dan kau seharusnya bisa mengandalkanku, Mira. Perusahaanmu belum sepenuhnya stabil. Begitu juga kondisi ibumu yang butuh banyak perhatian dan uang. Cukup tinggal disini dan jadi istri yang baik, akan membuatmu lebih mudah mengatasi semua itu.” Tangan Ananta kemudian mengusap air mata Mira yang terjatuh. “Berhentilah menangis. Aku tidak suka melihatnya.” Ananta kemudian menatap lekat mata perempuan itu. “Good girl,” ucap Ananta seraya mengusap pipi Mira. Lelaki itu kemudian bangkit dan menatap jam di tangannya. Ia sudah terburu-buru kemari sejak tadi hanya karena pelayannya menelpon bahwa kondisi Mira memburuk. Seharusnya cukup Dr. Riswan saja yang memeriksa kondisi Mira. Akan tetapi Ananta belum merasa tenang jika bukan dia sendiri yang memastikan perempuan itu baik-baik saja. “Istirahatlah. Aku ingin makan malam denganmu nanti. Sudah sangat lama kita tidak makan malam bersama, istriku.” *** Menjelang sore hari, kondisi Mira sudah jauh lebih baik. Ia langsung tidur begitu Ananta pergi. Sepertinya karena pengaruh obat. Tenaganya juga sudah mulai kembali jadi ia bisa berjalan keluar kamar. Seorang pelayan pun langsung menghampiri Mira dan membantu memegangi tangannya saat Mira melangkah menuju teras samping. Dekat kolam berenang. “Non Mira ada butuh sesuatu?” tanya sang pelayan. Satu-satunya yang Mira butuhkan saat ini adalah perceraian. Akan tetapi ucapan Ananta tadi membuatnya tidak bisa berkutik. Lelaki itu tidak melakukan apapun selama enam bulan ini. Lalu tiba-tiba saja menggunakan ibu Mira untuk mengancam. Akan tetapi yang lelaki itu ucapkan memang benar. Perusahaannya belum stabil dan bahkan Mira tidak tahu apakah ia masih bisa tetap hidup begitu Ananta menceraikannya. Mira lantas menatap pelayan tersebut. Keputusannya kini sudah bulat. Ia akan memanfaatkan Ananta seperti yang lelaki itu minta. Ananta benar bahwa Mira memang bodoh. “Aku dan Ananta akan makan malam nanti. Bisa tolong masakkan menu kesukaannya?” tanya Mira.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD