Ketiga

1972 Words
"Bukannya aku ingin mengganggu, hanya saja entah kenapa aku seperti suka jika memiliki interaksi denganmu." -Biru *** "Nai." Bagas menaik-naikkan alisnya. Ternyata ia menyusul Lana yang tadi meninggalkannya, membuntutinya perlahan, lalu sampailah pada tempat ini; tempat yang paling Lana sukai di sekolahnya. Di belakang perpus sekolah mereka terdapat sepetak taman bunga yang rindang dan asri, tetapi sangat jarang dikunjungi oleh murid-murid sekolahnya. Namun tidak untuk Lana, tempat seperti inilah yang ia cari, yang menjadi temannya. "Nai, tempat ini bagus. Kamu suka?" tanya Bagas, tetapi hanya menjadi angin yang berlalu bagi Lana. Di taman ini terdapat satu pohon mangga yang cukup rimbun, di bawahnya terdapat teratak dari bambu yang tingginya selutut Lana. Teratak bambu yang tersusun dari enam bambu yang memanjang, yang diikat juga dengan sebilah bambu. Lana sangat betah berlama-lama di sini dan sendiri. Menuangkan semua ide yang berkecamuk dalam pikirnya pada buku yang selalu ia bawa, lalu ketika pulang dan malam ide-ide tersebut akan menjelma bait menjadi paragraf pada tulisannya. Jika ia sendiri. "Nai, kamu orangnya pendiam, ya?" Lagi-lagi Bagas bertanya pada angin yang berlalu, "Aku duduk di sini ya, Nai?" pinta Bagas. Namun, tanpa persetujuan Lana ia segera duduk. Bagi Lana, hadirnya seorang Bagas di hidupnya cukup untuk mengguncangkan otaknya. Ia risih jika dekat dengan orang lain, tepatnya. Ingin rasanya ia mengusir Bagas, tetapi ia tak mau berinteraksi. Sudah cukup kalimat panjang yang ia ucapkan pada Bagas di kelas tadi. Pun satu lagi kendala pada perasaannya; ia mudah merasa tak enak hati. "Minus berapa, Nai?" tanya Bagas lagi saat memperhatikan Lana dari samping. "Kiri satu koma lima, dua di kanan," jawab Lana. "Kamu merasa terganggu ya, Nai?" tanya Bagas lagi. lana mengangguk ragu. "Aku cuma mau menjadi teman kamu, Nai," aku Bagas. "Masih banyak orang lain yang bisa kamu jadikan teman, dan itu bukan saya," T tegas Lana. "Tetapi aku mau berteman dengan kamu." Bagas meminta lagi. "Saya menolak." Lana memalingkan wajahnya dengan segera. "Jangan memaksa orang lain untuk menyetujui apa yang kamu mau." Terdengar napas Bagas berhembus pasrah. "Ya sudah, Nai. Aku pergi saja deh," putusnya. Lalu, .elangkah gontai menjauhi Lana. Perasaan Lana seketika tenang dan damai, ide-ide itu menandanginya lagi dan lebih banyak. Semilir angin belakang sekolah menemaninya dalam merangkai kata-kata. Kali ini yang ia buat adalah sebuah puisi dengan bait yang cukup panjang. Semenjak berfokus pada novel-novel yang ia garap, Lana menjadi abai pada puisi-puisi usangnya. Sudah cukup lama ia tak menorehkan sajak-sajak indah itu di dalam kertas, sekarang ia memulainya lagi. Tentangmu... Seorang laki-laki yang hadir, menjelma menjadi rindu tak terpungkir Apa kabar? ... Tangannya berhenti bergerak pada tanda titik, airmatanya tak mengego, mengucur teratur, membasahi beberapa sisi dari bukunya. Membuat kabur tulisan yang baru saja ia hasilkan, perlahan tembus dan sedikit merusak kertas lusuhnya. Tangis Lana semakin meredam, tampak pilu. Ia berusaha agar tak mengeluarkan suara, tetapi napas yang ia rasakan teramat sesak. "Jangan menangis." Suara laki-laki itu menghentikan sejenak airmatanya. Lana mendongak. "Entah kenapa, aku tak ingin benar-benar mengatakan bahwa aku pergi," ujarnya lagi. "Ternyata benar, perasaan aku tak enak dan kamu menangis di sini. Dan ...," katanya terputus, "Sendiri," sambungnya. "Sudah biasa." Lana menjawab ringkas seraya menengadahkan kepalanya. "Sudah biasa menangis?" tanya Bagas, yang tadi tak benar-benar pergi. Lana menggeleng, "Sendiri," tegasnya. Bagas tersenyum sejenak, "Sekarang aku temani," ucapnya. "Tidak perlu," balas Lana. "Tetapi aku mau," paksa Bagas. "Aku tidak butuh," balas Lana sembari menghapus sisa-sisa airmatanya. "Akan ada yang menghapus airmatamu," ucap Bagas tetap berusaha. "Tidak tertarik," balas Lana tetap ringkas. "Aku tidak menawarkan, aku meminta," pinta Bagas sedikit memohon. "Tidak peduli." "Mengapa begitu?" tanya Bagas. "Begini Bagas, saya hanya akan mengatakan ini sejumlah satu kali, maka dengarkan baik-baik," ucap Lana terputus. Bagas mengangguk. "Saya tidak membutuhkan seorang teman, sudah enambelas tahun saya hidup dan saya baik-baik saja tanpa seorang teman. Masih banyak orang di luar sana yang mau dan bisa kamu jadikan teman, lalu kenapa harus saya yang kamu pinta? Saya tidak mau. Baru satu hari kamu hadir di hidup saya dan sudah banyak hal yang kamu recoki dari saya. Sekarang, dengarkan lagi lebih baik, ya?" ucapnya halus, "Saya. Tidak. Butuh. Teman. Saya. Tidak. Butuh. Kamu. Paham?" ujar Lana penuh penekanan sembari menatap mata Bagas, sementara Bagas hanya termangu ditatapi seperti itu oleh Lana. "Mata kamu indah, Nai." Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Bagas. Untuk Lana yang mendengarkan justru membuatnya semakin merisih. Dia sudah menjelaskan betapa ketidaksukaannya terhadap sikap Bagas, tetapi Bagas hanya membalas seperti itu. Lana hanya mengembuskan napasnya pasrah, lalu kembali terduduk pada terataknya seperti semula, mengulang tangisnya. Mendapati perilaku Lana, Bagas justru bingung. Kenapa gadis manis yang baru saja ia puji ini malah menangis? Apakah ada yang salah dari pujiannya. "Nai," panggilnya. "Biru pergi!" bentak Lana. "Biru?" tanya Bagas. "Biru pergi!" ulang Lana. "Nai,..." "Biru pergi!" Lana berteriak. Baru sekali itulah dia berani berteriak kepada orang lain. "Ka- ...." "Saya baik-baik saja. Pergi!" sentak Lana. Bagas tertegun, menyadarkan dirinya bahwa hadirnya sudah tak diterima. Dengan langkah gontai Bagas menggoyangkan kakiya, meninggalkan Lana yang masih tersedu-sedan. Ia tak mengerti apa salah dirinya terhadap gadis mungil berkacamata itu sehingga Lana tampak sangat membencinya. Sesekali Bagas menoleh, memperhatikan sejenak gadis yang tengah menunduk menatap ujung sepatunya, yang barusan ini membentaknya. "Apa ini karena hari pertama kita berjumpa aku malah mengejutkan kamu, Nai?" pikirnya. Namun Bagas segera menggeleng, tidak mungkin ia dibenci hanya karena perihal hari pertama mereka bertemu. Pikiran positif Bagas mengarahkannya untuk memikirkan bahwa Lana hanya belum mau berteman dengannya. "Saya tidak membenci kamu, Biru. Saya hanya tidak mau mengenali siapapun dan merekam memori pada siapapun pada saat ini," gumam Lana yang tak terdengarkan oleh siapapun, kecuali semut rang-rang yang menjadi penghuni pohon mangga ini. *** Jam pulang sekolah telah tiba, Lana segera membereskan buku-bukunya untuk bergegas pergi ke pasar. Membeli minuman yang ia sukai; es cendol merah muda Wak Asti. Semenjak kejadian di taman belakang sekolah, dirinya dan Bagas belum bertegur sapa. Bukan namanya saling mendiamkan, karena Lana memang seorang yang pendiam. Melainkan Bagas yang sekarang sedikit canggung untuk mengganggu Lana. "Aku tidak jadi memanggil kamu Nai, sepertinya kamu tidak suka." Baru beberapa waktu Lana merasakan ketenangan menghampirinya, kini sudah terusik lagi. "Aku memanggil kamu Jingga saja, bagaimana?" tanyanya pada Lana. "Tidak boleh," jawab Lana. "Kenapa?" tanyanya. "Hanya orang terdekatlah yang boleh memanggil saya Jingga," jelas Lana. "Oh, kamu punya orang terdekat. Siapa?" tanya Bagas. "Ibu," jawab Lana. "Selain itu?" tanya Bagas lagi. "Tidak ada." "Ya sudah, aku saja menjadi orang kedua yang memanggil kamu Jingga, ya?" ujarnya mengajak negosiasi. "Tidak boleh." Lana menggeleng keras. "Kenapa?" tanya Bagas tak menyerah. "Karena kamu bukan orang terdekat." "Kalau begitu, jadikan aku orang terdekatmu," gigihnya. "Tidak mau." "Kenapa?" tanyanya lagi dan lagi. "Kamu ini wartawan?" ujar Lana mengembalikan pertanyaan. "Maksudnya?" tanya Bagas. "Banyak tanya," tekan Lana. Lalu gadis itu mengambil tasnya dan berlalu pergi meninggalkan Bagas yang kembali termangu. *** Jarak pasar dengan sekolah Lana cukup dekat, sehingga bisa ia tempuh dengan berjalan kaki. Lana sangat menyukai berjalan kaki, meregangkan otot-otot kakinya. Orang bilang berjalan kaki akan menyehatkan jantung, dan itulah tujuan Lana selalu berjalan kaki jika ingin ke pasar. Berjalan kaki juga membawa emosinya yang sempat ada mengalir, disesapi oleh pohon-pohon dan mengembuskan udara segar, tenang. Menjalankan kakinya membuat gadis itu memahami bahwa untuk menggapai sesuatu, maka kita harus berusaha. Lana selalu mendapatkan banyak pelajaran ketika ayunan kakinya melangkah dan semakin melangkah. Tentang perjuangan seorang ibu penyapu jalanan yang tetap bekerja di tengah terik siang, untuk menyegarkan pandangan orang-orang yang lewat tanpa terlihat sampah-sampah yang bersliweran, meski kadang jasanya tidak dihargai. Tentang seorang bapak penjual es keliling yang harus mendorong dengan kekuatan penuh ketika gerobaknya melewati jalan yang cukup menanjak atau harus menahan dengan sekuat tenaga ketika gerobaknya menuruni jalan. Tentang supir angkot yang terkadang berebut penumpang hanya untuk mengejar setoran pada sang juragan. Dan masih banyak pelajaran-pelajaran lain yang maknanya terbenam dalam benak Lana, bahwa hidup adalah mengenai perjuangan. Siang ini tak cukup terik melainkan sejuk, juga menyejukkan hati Lana. Dengan riang ia memasuki kawasan pasar yang selalu ramai di setiap harinya, menyapa sekenanya bagi orang-orang yang mengenalnya. Lana adalah orang amat segan dan menghormati orang tua. Langkah terakhirnya mendapati kekecewaan saat melihat kedai Wak Asti tutup, ia lupa bahwa Wak Asti kemarin sudah memberitahu bahwa beliau tidak berjualan. Lana menyeka keringat yang mengucur di keningnya bersamaan dengan embusan napas lelahnya. Meskipun ia suka berjalan, tetap saja akan ada efek lelahnya. Lana mengedarkan matanya ke sekeliling pasar, tidak tahu mau melakukan apa. Lana mencoba masuk lebih jauh ke dalam pasar, berjalan-jalan seraya memperhatikan kebisingin. Mencoba mendamaikan diamnya yang terkejut dengan kebisingan yang terjadi di pasar. Saat matanya melihat gerobak bakso, perutnya tiba-tiba meronta. Lucu memang memakan bakso yang panas di hari yang terik, tetapi ia sudah lapar. Dengan ringan ia langkahkan kakinya ke kedai bakso yang baunya saja sudah menggoda indra penciumannya. "Bakso sa ...." Suara Lana terpotong. "Dua." Terdengar suara sang pemotong. Lana menolehkan kepalanya dan mendapati Bagas dengan wajah yang dihiasi cengiran tanpa rasa bersalah, dia ternyata tidak juga sadar bahwa dirinya itu mengganggu. Lana menarik napasnya dalam, lalu mengembuskan perlahan. Mengulangi perbuatan itu hingga ia menerima rasa tenang. Lana melangkahkan kakinya memasuki kedai bakso dan mencari tempat duduk yang berada di pojok yang kosong, tempat favoritnya. Gadis itu mendaratkan dirinya tepat di bangku kosong di sudut ruangan kedai bakso ini, tempat ini sangat tidak strategis untuk tidak terlihat. Namun tak mengenakkan bagi Lana, sosok pengikut tadi justru mengikutinya dan duduk tepat di depannya. Lagi-lagi Lana menarik napas dalam dan mengembuskannya, dan lagi-lagi dilakukannya berulang kali. Melihat reaksi Lana atas tingkahnya membuat Bagas sedikit merasa bersalah, tetapi lebih banyak persenan rasa senangnya. Dia sangat ingin menjadikan gadis yang duduk sembari menunduk di hadapannya ini sebagai temannya, teramat ingin. Entah apa alasannya pun ia tidak tahu. "Capai ya, Jingga. Berjalannya jauh juga," ujarnya membuka suara, tetapi tak ditanggapi oleh Lana. "Mulai dari sekarang aku panggil kamu Jingga," putusnya. "Tidak boleh," balas Lana. "Ayolah, aku ingin berbeda dari teman-teman kita yang lain." "Tidak perlu, kamu sama saja seperti mereka," tolak Lana. "Tidak, kami tidak sama. Mereka tidak duduk satu meja denganmu, sementara aku duduk satu meja bersamamu. Itu saja sudah beda," ujar Bagas tetap gigih. "Tetap tidak," jawab Lana. "Ayolah!" Bagas memohon. "Ini baksonya," ujar sang pelayan kedai bakso, menghentikan perdebatan di antara dua insan tersebut. Lana dan Bagas mulai membumbui baksonya dengan kecap, saos, cabai, atau jika kurang asin ditambahkan sedikit garam halus. Lalu semangkuk bakso tersebut diaduk higga rata, dan bakso siap disantap. "Jingga, kenapa ya susah mencari teman di sini?" tanya Bagas pada Lana. "Makanlah dahulu, nanti tersedak," balas Lana mengingatkan. "Tapi 'kan, UHUK!" Bagas benar-benar tersedak dan panik mencari air, lalu menenggak air yang ia dapatkan secara sembarang. Melihat muka Bagas yang memerah karena tersedak dan mata birunya berair karena tercekik, Lana tersenyum sekilas. Terlihat cukup lucu baginya. Bagas mendapatkan senyum itu, merekamnya untuk ia ingat di hari nanti. Ia ingin mengatakan bahwa senyum Lana sangat manis, tetapi takut Lana menangis lagi. Maka ucapan pujian itu hanya ia simpan di otak dan terukir di hati. Lana dan Bagas melanjutkan kembali makannya sembari sesekali menenggak air putih karena kepedasan. Laki-laki yang duduk di depan Lana sekarang sudah seperti udang rebus yang memerah dan memiliki mata biru, juga keringat yang sebesar jagung mengucur deras. Bagas tidak tahan pada pedas, sementara malu jika harus mengakuinya pada Lana. "Kalau tidak tahan dengan pedas, jangan dipaksakan," ujar Lana ketika sudah menyelesaikan suapan terakhir baksonya. Setelah itu ia meminum habis air mineral yang selalu menjadi teman ketika ia menyantap bakso. "Ternyata kamu perhatian," goda Bagas. "Tidak, saya hanya takut nanti kamu malah menyusahkan," bantah Lana yang membuat nyali Bagas ciut. Lana berdiri dari bangkunya menuju tempat pembayaran bakso lalu pergi meninggalkan Bagas yang masih bermesraan dengan rasa pedasnya. Laki-laki itu tak berniat mengejar Lana karena gelitikan pedas cabe semakin meraja diperutnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD