Kedua

1616 Words
-Jangan dulu hadir, saya belum ingin mengenali banyak orang.- Jingga *** "Assalamualaykum, Ibu," ujar Lana tergesa memasuki rumahnya. "Waalaykumussalam. Loh, Jingga kenapa seperti orang panik dan ketakutan?" tanya sang Ibu mendapati putrinya dengan pucat pasi ketika pulang ke rumah. Ibunya adalah satu-satunya orang yang memanggilnya Jingga. "Tidak apa-apa, Bu," balas Lana lalu menyalami ibunya, setelah itu berjalan menuju kamarnya. Sang ibu hanya bisa tersenyum karena sudah terbiasa menerima balasan seperti itu. Putrinya Lana memang bukan seorang yang suka bercerita. "Jingga makan dulu, lalu mandi, setelah itu baru lanutkan tulisan kamu. Jangan terlalu diporsir, Nak. Nanti kamu sakit!" titah ibunya mengkhawatirkan Lana. "Jingga mandi dulu, Bu," jawab Lana dari kamarnya. *** Sudah pukul delapan malam, Lana sudah menyelesaikan tugas sekolahnya sepuluh menit yang lalu. Dirinya duduk di meja belajarnya lalu membuka laptop kesayangannya, berniat untuk melanjutkan tulisannya karena sudah ditagih oleh pihak penerbit. "Ini cokelat hangatnya, Jingga," ujar sang Ibu sembari membawa nampan untuk cokelat hangat. Selain es cendol merah muda Wak Asti, cokelat hangat merupakan minuman yang paling Lana sukai. "Terima kasih, Ibu," balas Lana ketika segelas cokelat hangat itu mendarat mulus di ujung mejanya. "Kapan mau disetor naskahmu itu, Jingga?" tanya sang Ibu. "Dua minggu lagi, Bu," jawab Lana. "Sudah berapa persen selesainya?" "Delapan puluh persen." "Ya sudah, semangat mengerjakannya dan jangan lupa istirahat. Jangan sampai jatuh sakit ya, Nak," nasihat sang ibu. "Iya, Bu," jawab Lana lalu memokuskan pikirnya pada ide-ide yang sudah ia tulis untuk dituangkan dalam naskahnya. Jemarinya dengan lihai menari di antara tombol-tombol abjad di laptopnya, merangkai huruf menjadi kata sehingga tersulap menghasilkan paduan kalimat yang indah. Sesekali ia berhenti untuk melempengkan lagi otot-otot tangannya yang sudah menegang atau mengerjapkan mata beberapa kedipan untuk menetralkan lagi matanya yang sudah memedih. Coklat yang hangat sudah mendingin, yang awalnya penuh sekarang hanya tersisa setengah. Jam di dinding kamarnya sudah menunjukkan tengah malam yang sudah hampir lewat. Sudah saatnya dia tidur, besok sekolah. Lana kembali menatap tulisan-tulisan yang baru saja ia rangkai, malam ini ia berhasil menamatkan dua bab menuju bab penghujung dalam novelnya. Artinya sebentar lagi novel ini sudah siap dan telah dapat dikirimkan kepada editor dari penerbit yang sudah meminang naskahnya. Lana tersenyum, buku ketiganya akan segera terbit. Lana mulai beranjak menemui peraduan ranjangnya, membaringkan tubuh, menatap langit kamar yang sengaja ia minta untuk dicat seumpama benar-benar langit. Perpaduan biru dan putih adalah warna yang amat dia suka, meski nama yang ia punya adalah Jingga. Lana tersenyum menatapi langit-langit kamarnya, damai dan indah. Menentramkan jiwanya yang lelah, menyudahi peningnya yang menggila. "Saya rindu," gumamnya. Matanya menutup, napasnya mulai teratur. Lana telah tertidur. *** Pagi pada hari ini mungkin cukup tidak baik bagi Lana, setelah shalat subuh tadi entah kenapa matanya justru kembali terpejam. Ibunya sejak pukul tiga dinihari sudah berjualan di pasar, sehingga tidak ada yang bisa membangunkannya. Lana terlambat bangun. Semoga harinya yang akan berjalan tidak seburuk paginya. Lana berjalan tergesa di koridor sekolah yang cukup sepi, juga banyak siswa dan siswi yang berjalan tergesa seperti dirinya, sama-sama terlambat. Keringat mulai bercucuran di dahinya, membasahi bajunya. Kelasnya berada di ujung koridor yang cukup panjang ini. Sekolah Lana merupakan salah satu sekolah favorit di kotanya, Bengkulu. Bangunan berlantai tiga dengan bentuk U memanjang ini merupakan salah satu sekolah kebanggaan yang acap mencetak prestasi di tingkat nasional maupun internasional. Lantai pertama atau lantai dasar dihuni oleh siswa-siswi kelas sepuluh, lantai dua diisi oleh kelas sebelas, yaitu tempat kelasnya Lana dan lantai tiga ditempati oleh kelas duabelas. Lana sampai di depan pintu kelasnya, XI MIA 5. Bersyukurlah ia karena guru yang mengajar di jam pertama ini belum sampai di kelas, sehingga ia tak dikenai hukuman. Gadis itu langsung berjalan menuju bangkunya diiringi oleh tatapan keheranan teman sekelasnya, tumben Lana terlambat. Biasanya dirinya memang selalu datang paling awal di antara teman-temannya, sering disebut pembuka gerbang sekolah. Sampailah Lana pada tempat duduknya, barisan paling ujung di dekat dinding bangku nomor dua dari depan dan dekat jendela. Jika ia bosan pada pelajaran yang diajarkan, maka dirinya akan memandang ke luar jendela, melihat jalanan kota yang selalu ramai. Lana menyimpan tasnya di bangku, lalu mengeluarkan catatan kecilnya. Mulai mencatat ide-ide yang tadi sempat terpikirkan olehnya, mengisi waktu luang sembari menunggu sang guru datang. "Selamat pagi, anak-anak." Seruan dari sang guru membuyarkan halaman demi halaman khayalan yang berselancar di kepala Lana. "Ada anak baru." "Laki-laki." "Kok manis sih?" Dan celetukan-celetukan lainnya menghiasi kelas Lana saat sang guru tiba bersama seorang murid laki-laki yang mukanya tak terlalu familiar di sekolah mereka, murid baru. Memiliki tinggi badan yang mencukupi, tegap, rupawan, senyum menawan dan warna matanya adalah warna yang sangat Lana sukai, biru. "Kita kedatangan seorang murid baru dari kota di seberang pulau yaitu kota Bandung, tepatnya dari SMAN 1 Bandung. Nah, untuk perkenalan lebih lanjut, kepada ananda dipersilakan," ujar Ibu Guru mempersilakan sang murid baru untuk memperkenalkan diri. "Seperti yang disebutkan, nama saya Albiru Bagaskara, silakan untuk memanggil saya Bagas, bukan Albi ataupun lain sebagainya. Alasan saya pindah karena saya bosan saja di Bandung, hehe," ujar Bagas berusaha mencairkan suasana, tetapi teman-teman barunya justru terbengong tanpa tawa. "Ya sudah Bagas, mungkin cukup perkenalan kamu, jika ada yang ingin ditanyakan lebih lanjut silakan dilanjutkan ketika nanti istirahat," putus Ibu Guru. "Saya duduk di mana, Bu?" tanya Bagas. "Di samping Lanaria Jingga. Bangku nomor dua yang kosong di samping wanita yang duduk menempel di dinding," jawab sang guru menunjukkan bangku Lana, sementara yang ditunjuk hanya menunduk. "Baik, Bu. Terima kasih, Bu," akhir Bagas, lalu bergerak menuju bangku dan teman barunya. Sesampainya di bangku tempatnya, Bagas langsung duduk dan menaruh tasnya di laci yang tersedia. Lamat-lamat ia memperhatikan teman barunya ini, ternyata wanita. Matanya memicing ketika wajah wanita di sampingnya ini terekam sempurna oleh retinanya, wanita yang kemarin berlari ketakutan saat melihat wajahnya. Wanita yang terpucat-pasi saat tangan yang Bagas punya menyentuh kening gadis itu. "Sekarang aku tahu nama seorang gadis yang kemarin tak ingin pulang denganku," ucapnya tertahan tawa. "Kita sedang belajar," jawab Lana gugup, sementara Bagas hanya tersenyum. *** Detik-detik bergerak, waktu-waktu berlalu, sajak-sajak terukir, syair-syair terbuai, kantuk menerkam, lelah merajam, akhirnya sampai juga anak kelas XI MIA 5 di penghujung jam mata pelajaran yang teramat bikin kantuk menguar, Bahasa Indonesia. Hal ini dikecualikan pada Lana, ia sangat menyukai Bahasa Indonesia. Maka tak heran saat teman-teman sekelasnya sudah menyusupkan wajah mereka di meja, Lana justru tetap sumringah. KRING! Suara indah yang dinantikan akhirnya terhembus jua, terdengar beberapa teman-teman Lana menghela napas lega, pun ada yang terang-terangan menguap selayaknya orang yang baru bangun tidur. Lana hanya tersenyum kecil mendapati tingkah teman-temannya, sangat kecil hingga sukar terlihat. "Senyummu manis juga," aku Bagas. Lana mendelik heran, bagaimana laki-laki ini bisa mengatakan senyum Lana manis jika wajahnya saja masih bermesraan dengan permukaan meja. Aneh. Bagas menegakkan kepalanya, menatap berbinar pada bangku guru yang sudah tak terisi. Sekeliling kelasnya juga hanya tinggal beberapa murid lagi yang bertahan duduk di bangkunya, sebagian besar sudah pasti telah berkeliaran di kantin, ruangan kelas lain ataupun ke kantor guru untuk mencari muka atau menamatkan masalah, beragam. Bagas menatap ke sampingnya, melihat Lana yang masih bigung dan mendelik. "Jangan begitu, muka kamu tampak imut sekali. Aku takut jadi suka," ujar Bagas jail. Sementara Lana semakin gugup dan mengernyitkan dahinya, tak nyaman. "Kamu tidak ke kantin?" tanya Bagas pada Lana. "Bawa bekal," ujar Lana ringkas. Untungnya sebelum tertidur lagi setelah shalat subuh dirinya sempat menyiapkan nasi goreng, yang seharusnya menjadi sarapan justru menjadi bekal. "Boleh bagi?" pinta Bagas. "Tidak cukup, beli sendiri," p***s Lana. "Pelit sekali," gerutu Bagas. "Terserah saya," balas Lana. "Ya sudah, aku mau beli juga. Nasi goreng, 'kan?" tanya Bagas. Lana tak mengangguk apalagi mengiyakan, karena sudah jelas kotak bekalnya terbuka dan terpampang nyata nasi goreng yang ia buat subuh tadi, sudah dingin. "Kamu jangan makan dulu, kita berbarengan makannya. Tunggu, ya! Awas," ancam Bagas, lalu berlari sekuat tenaga menuju kantin. Lana hanya mengangkat bahunya tidak peduli, lalu mulai menyantap makanan yang ia bawa. Selang beberapa waktu dan sudah berada pada suapan ke-enam nasi goreng yang mendarat di mulut Lana, Bagas datang dengan bungkusan makanannya. Matanya membesar ketika melihat nasi goreng Lana hanya tersisa kurang dari separuh. "'Kan aku sudah bilang, tunggu aku dulu baru makan," tuntutnya. "Saya tidak pernah berjanji," balas Lana ringan. "Terus sekarang aku makannya dengan siapa?" keluh Bagas. "Sendiri," balas Lana. "Kamu makannya pelan-pelan saja, ya?" pinta Bagas memohon, "Aku mau ditemani," sambungnya. "Tidak bisa," aingkat Lana. Terlihat di wadah bekalnya hanya tersisa sekitar dua suap lagi nasi gorengnya, miris bagi Bagas. "Kok kamu jahat?" tanya Bagas lagi, Lana hanya mengedikkan bahunya. "Sudah habis." Lana mengembangkan senyumnya sejenak, sedetik kemudian bermuka datar lagi. Bagas mengembuskan napasnya kencang, "Ya sudah aku tidak jadi makan," ancamnya. "Jangan buang-buang rezeki," nasihat Lana. Bagas menyerah. Lalu duduk di bangkunya, membuka bungkusan nasinya dan memakannya dengan lahap meski terasa perih di hatinya. Susah sekali mendapatkan teman. Bagas menghabiskan makanannya dengan cepat dan terkadang tercekik, sementara Lana kembali pada dunia yang amat ia sukai; melamun lalu menuliskan ide-ide yang menamui relung otaknya. "Nai," ujar Bagas. Lana tidak peduli. "Nai." Ujarnya lagi. "Nai!" sentak Bagas. Lana terkejut. Lamunannya tumpah. "Nai?" ulang Lana bingug. "Iya, Nai! Aku mau memanggil kamu Nai, Lanaria Jingga," putus Bagas. "Tidak suka," tolak Lana. "Harus suka!" tekan Bagas. "Tidak mau," tolak Lana lagi. "Harus mau!" Bagas bersih keras. "Kamu itu baru masuk di kehidupan saya, itupun belum saya izinkan. Kamu sudah cukup untuk mengetahui nama saya Lanaria Jingga dan memanggil saya Lana, itupun jika kamu membutuhkan saya. Terlepas dari itu, tolong jangan ganggu saya," ujar Lana penuh penekanan. Lalu langkahnya perlahan meninggalkan bangku mereka, meninggalkan Bagas yang tertegun. Begini rasanya ditolak wanita. "Gadis unik," akunya pada napas yang berhembus indah. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD