Bab 1

1922 Words
              "Mbak Ayu ... Mbak Ayu ..." teriakan lantang Wida membuyarkan semua ide design gaun malam yang susah payah aku ciptakan. Aku mendengus dan menatapnya kesal, Wida menggaruk kepalanya dan meminta ampun dengan membuat gerakan minta ampun dengan kedua tangannya.                  Berkali-kali aku memberi peringatan agar dia berhenti merecokiku dengan gosip karyawan lain atau cerita tentang pacarnya. Pak Arya sudah memberiku ancaman tegas agar segera menyelesaikan 10 design baru dalam tenggang waktu dua minggu dan sampai detik ini aku baru menyelesaikan 2 design.                  "Berhenti bergosip dan kembali kerjakan tugas kamu," ujarku sebelum dia membuka mulutnya dan baru akan berhenti setelah aku menendangnya keluar dari ruangan ini.                  Widanara Kelanting, asisten pribadiku dan juga designer muda andalan perusahaan ini, pekerja keras dan mampu menghasilkan karya-karya kelas atas. Hanya saja hobinya bergosip sering membuatku naik pitam terutama saat aku butuh ketenangan untuk menyelesaikan koleksi baru perusahaan ini.                  Wida memanyunkan bibirnya dan memilih duduk meski aku tidak mempersilakan, anak ini memang bermuka tembok dan tidak tahu malu. Aku memutuskan melanjutkan goresan pensil di kertas dan berencana mengacuhkannya. Biarkan saja mulutnya mengoceh, kalau capek juga akan berhenti sendiri.                         "Lima menit aja kok, setelah itu aku keluar dan janji nggak akan ganggu Mbak Ayu lagi. Suer tekewer-kewer," ujarnya sambil membuat simbol janji dengan jarinya. Aku masih tetap acuh dan membiarkan dia mengoceh sendiri, tapi aku lupa kalau Wida tetaplah Wida si gadis pantang menyerah sebelum keinginannya tercapai.                  "Besok kita akan kedatangan bos baru untuk menggantikan Pak Arya," lanjutnya. Kali ini aku menunjukkan reaksi kaget setelah mendengar perusahaan akan kedatangan bos baru. Sejak mengenal Wida mungkin baru kali ini aku tertarik mendengar gosipnya.                  "Katanya sih, bos baru kita ini anaknya Pak Arya," lanjutnya lagi saat melihat wajah penasaranku.                  Dua keanehan aku dengar dalam waktu satu menit ini, keanehan pertama yaitu Pak Arya memutuskan pensiun setelah susah payah membangun perusahaan ini dari nol. Selama ini aku tidak pernah mendengarnya libur atau pun cuti, Pak Arya itu tipe workoholic dan hidupnya hanya untuk kerja. Keanehan kedua tentang anaknya Pak Arya, lima tahun aku di sini dan baru kali ini aku mendengar tentang keluarga Pak Arya. Ada kabar burung menyatakan Pak Arya itu jomblo alias lajang meski usianya tak lagi muda, bahkan Pak Arya lebih tua daripada ayah dan ibuku.                  "Anak angkat sih, Pak Arya memutuskan pensiun dan menyerahkan tampuk pimpinan ke anaknya itu. Lulusan Harvard dan kabarnya cakep banget loh anaknya. Pokoknya Mbak jangan bayangin Pak Arya, Pak Arya kan standar habis mukanya," lanjut Wida tanpa malu.                  Beuh, mulutnya pedes amat kayak rawit. Pantasan Pak Arya selalu marah setiap mereka bertemu. Entah apa dendam masa lalu di antara mereka.                Entah darimana anak ini tahu tapi keanehan tadi terjawab sudah, ternyata Pak Arya mau pensiun dan anak itu hanya anak angkat. Aku mendelikkan kedua bola mata memberi tanda agar Wida berhenti membual dan keluar dari ruanganku. Sudah cukup aku terpancing dan meladeni keisengannya.                  "Iya, aku cuma mau memberi info terupdate saja kok, silakan lanjutkan gambarnya. Bye!" Wida langsung ngacir saat aku mengambil gelas dan mengangkatnya untuk dilemparkan ke arahnya.                  "Dasar tukang gosip," gerutuku kesal.   ****                  "Kapan kamu bawa calon suami? Betah amat hidup sendirian, nggak iri dengan adik kamu?" pertanyaan yang selalu aku dengar setiap aku datang mengunjungi ayah dan bunda di rumah mereka. Rencanaku untuk menghabiskan waktu dengan mereka sirna setelah mendengar pertanyaan itu lagi itu lagi.                  Sudah dua tahun ini mereka memutuskan pensiun dan pindah ke Bogor untuk menghabiskan masa tua mereka dengan alasan kehidupan ibu kota membuat mereka semakin cepat menua. Awalnya aku tidak setuju dan meminta mereka untuk tetap tinggal di Jakarta, tapi mereka menolak dengan alasan capek hidup di ibu kota yang keras ini.                  "Itu lagi ... itu lagi ... Ayu bosan ah," gerutuku sambil mengambil secangkir kopi dan menuangkan 2 bungkus gula anti diabet. Aku mengaduk kopi dengan kesal dan berharap mereka berhenti merecokiku dengan kata pernikahan. Entah sejak kapan aku anti mendengar kata pernikahan.                  "Bunda yang bosan melihat kamu nyetir sendiri setiap berkunjung ke sini. Usia kamu bisa dibilang cukup untuk berumah tangga. Kamu nggak iri lihat Rena? Dia lebih muda dan sekarang bahagia dengan anak serta suaminya," lanjut Bunda lagi dengan topik yang sama.                  Membandingkan aku dengan Rena, adikku yang lebih dulu menikah dua tahun yang lalu dan pilihan Rena untuk menikah di usia muda dijadikan alat untuk menekanku agar segera menikah dan memberi mereka cucu. Yup, intinya mereka hanya ingin cucu dariku. Mereka kesepian dan menganggap kehadiran cucu akan membuat hidup mereka lebih berwarna.                "Nggak tuh, aku akan iri kalau Rena bisa menghasilkan uang dengan jerih payahnya sendiri dan tidak tergantung dari pemberian suami. Lagipula, menikah itu buang-buang waktu. Buat apa kuliah tinggi-tinggi kalau akhirnya aku harus jadi babu," jawabku asal. Bunda memelototkan matanya dan menjewer telingaku dengan sangat keras.                  "Jadi Bunda babu? Dasar anak ..." Bunda melepaskan sendalnya dan hendak melemparnya ke arahku, aku tertawa dan membuat gerakan minta ampun dengan kedua tanganku.                  "Bun," ujar ayah membelaku. Bunda melepaskan sendalnya tadi dan aku tahu ucapanku tadi penuh sarkasme. Aku memeluk bunda dan meminta maaf telah menyakiti hatinya.                  "Maaf Bun, habisnya aku kesal. Aku jauh-jauh datang untuk bertemu bunda, bukannya kena omel tentang pernikahan lagi. Pokoknya aku nggak mau nikah! Titik dan tidak pakai koma apalagi tanda seru," jawabku dengan selera humor receh. Bukannya tertawa bunda malah menghela napas dan melirik ke arah ayah yang sibuk dengan korannya.                  "Sepertinya kita harus mencarikan suami untuk Ayunda, gimana menurut kamu?" tanya Bunda. Aku langsung menyemburkan kopi yang barusan aku minum dan membasahi koran milik Ayah.                  "Ayah nggak ikut campur, itu urusan kalian berdua." ujar ayah sebelum berlalu meninggalkan kami berdua. Hanya ayah yang mengerti dan tahu kenapa aku membenci kata pernikahan.                  "Ckckck, anak gadisnya semakin tua dan kamu nggak peduli! Pokoknya besok kamu harus bertemu anaknya teman Bunda. Namanya Danish Bimo Anugerah dan latar belakangnya cukup bagus, kamu pasti tidak akan menyesal kalau menikah dengannya." Bunda mulai mengoceh tentang kelebihan laki-laki bernama Danish, untuk kali pertama aku menyesal pulang ke Bogor kalau akhirnya aku harus ikut dalam rencana perjodohan yang diatur bunda.   ****                  Rena tertawa saat aku menceritakan rencana Bunda mengatur makan malam antara aku dan Danish. Kenapa seharian ini aku sialnya, kenapa pula aku memutuskan singgah ke apartemen Rena kalau ternyata di sini pun aku ditindas. Rena dan bunda sama saja, mereka bekerja sama mengatur perjodohanku dan aku nggak suka dengan ini semua.                  "Puas?" tanyaku kesal. Rena membuat gerakan menutup mulut dengan jarinya agar bayi kecil bernama Haruka yang sedang asyik menyusu tidak terbangun.                  "Bunda itu sayang sama kakak makanya mikirin masa depannya kakak, aku sih udah berkali-kali bujuk Bunda supaya tidak ikut campur dan nyatanya Bunda semakin giat," ujarnya sambil berbisik.                  “Bohong banget, Wisnu … Haikal … Robby … dan yang terakhir si homo nggak tahu diri itu temannya siapa?” sindirku tajam. Rena memanyunkan bibirnya. Semua laki-laki yang aku sebut tadi itu, Rena lah mak comblangnya.                  "Kamu kenal siapa Danish itu? Aduh kakak kok semakin kesal ya! Kenapa harus besok sih! Besok itu atasan baru kakak datang dan pasti para karyawan akan mengadakan acara penyambutan. Bisa-bisa kakak dikutuk jadi batu saat bunda tahu kakak tidak bisa menemui Danish itu," ocehku. Rena lalu berdiri dan meletakkan Haruka ke dalam box bayi.                "Izin aja sih, lagipula menikah lebih penting dibandingkan acara penyambutan bos baru. Kakak milih jadi perawan tua atau jadi penjilat bos baru?" tanyanya.                  Ya Tuhan, anak ini sangat menyebalkan meski sudah punya suami dan anak. Aku rasa Reza pasti menyesal menikahinya, tapi melihat raut muka Reza yang curi-curi pandang saat aku berbincang dengan Rena mengindikasikan mereka berdua itu pasangan bahagia, dunia ini hanya milik mereka. Mungkin bagi mereka taik kambing pun rasa coklat, iyeikkkk.                  "Mending perawan tua tapi kantong penuh dollar, ya nggak?" jawabku.                  "No ... no ..." Rena mendekatiku dan berbisik pelan.                  "Kakak nggak tau kalau sekali terkena gigitan ulat bulu, seumur hidup bisa nyandu. Coba deh sekali-kali," bisiknya di telingaku.                  Sial! Aku masuk ke kandang macan m***m, bukannya mendapat info tentang Danish, yang ada aku melihat korban dan pelaku ulat bulu sedang memberi kode. Sebaiknya aku pulang sebelum menonton IAV live di depan mataku. *IAV = (Indonesian Adult Video)                  "Au ah, kakak pulang dulu." Aku melemparkan bantal kursi ke muka Rena yang mupeng melihat Reza yang sibuk mengangkat galon air dan memilih pulang ke apartemenku yang terletak di samping apartemen Rena.                  "Za, Mbak pulang dulu."                  "Hati-hati Mbak, Danish baik kok orangnya. Dia kakak kelas aku saat kuliah dulu," ujar Reza sambil mengantarku ke pintu luar.                  "Malas, mending jadi batu deh daripada menikah dengan orang yang Mbak nggak kenal," balasku sambil berjalan ke pintu apartemen.                  "Yakin nggak mau coba ulat bulu kak?" tanya Rena sambil cekikikan di samping Reza. Aku membuat gerakan tinju dengan tanganku dan mereka berdua langsung kabur dan mengunci pintu sebelum aku menghajar mereka.   ****                "Damn! Bisa-bisanya aku bangun telat di hari bos baru datang," aku tak berhenti mengoceh sepanjang perjalanan dari apartemen menuju kantor. Aku tidak peduli dengan croll yang masih terpasang di rambut dan bibirku yang masih pucat tanpa polesan lipstick.                  Sesampainya di lobby aku melihat para karyawan sudah berbaris rapi untuk mengenal bos baru. Aku sengaja mengendap-endap agar beliau tidak melihatku datang terlambat, aku sengaja berdiri di samping Wida yang terlihat kagum menatap bos baru kami.                  "Hati-hati mata kamu copot," bisikku. Wida melihatku dan menatapku dari atas sampai ke bawah.                  "Mbak baru bangun?" ujarnya pelan.                  "Sttts, jangan berisik." Aku membuka croll rambut dan menyimpannya dalam tas, aku juga memoleskan lipsgloss agar bibirku tidak terlihat pucat.                  Mataku melihat laki-laki memakai jas hitam sedang membelakangi kami, tubuhnya terlihat atletis dan tegap. Rambutnya tersisir rapi dan sepatunya pun terlihat mengkilat, aku yakin sepatu itu sangat mahal. Di sampingnya berdiri Pak Arya, aku selalu mengagumi Pak Arya dan merasa tidak rela saat beliau memutuskan pensiun.                  "Pasti banyak yang bertanya-tanya kenapa saya memutuskan pensiun dini," ujar Pak Arya membuka percakapan. Aku mengangguk dan fokus menatap Pak Arya yang gagah berdiri di samping anaknya.                  "Kenapa Pak?" tanya Wida yang mulai kepo. Pak Arya tersenyum hangat. Ya Tuhan, aku akan merindukan senyumnya itu. Kenapa sih Pak Arya memutuskan pensiun? Jangan-jangan Pak Arya sakit?                  "Karena saya ingin memberikan kesempatan kepada putra saya, dia anak yang berbakat dan sudah seharusnya dia menggantikan saya yang mulai tua ini," jawab Pak Arya sambil memegang bahu anaknya.                  Ckckck kenapa harus langsung jadi bos besar, kenapa tidak memulai dari awal. Gerutuku dalam hati.                  Kenapa juga dia masih membelakangi kami, sangat arogan dan sombong! Pertemuan pertama saja dia tidak memberikan contoh sebagai bos yang bijak.                Sepertinya aku tidak bisa menjalin kerjasama dengan bos angkuh seperti dia.                  "Ada pertanyaan?" tanya Pak Arya sambil melihatku.                  "Kenapa dia membelakangi kami?" tanyaku reflek.                  Damn! Kenapa aku malah keceplosan, aku melihat Pak Arya tertawa seolah pertanyaan itu akan menjadi senjata makan tuan untukku.                  "Yakin mau lihat dia siapa?" tanya Pak Arya seolah anaknya mengenalku. Aku mencoba menebak apakah aku mengenal anaknya tapi rasanya aku tidak mengenal anak Pak Arya.                  "Ayo Rabian, perkenalkan diri kamu."                  Rabian?                  Nama yang tidak asing, ah tidak mungkin mereka orang yang sama. Nama Rabian itu pasaran dan aku yakin Tuhan tidak sejahat itu kepadaku.                  Laki-laki bernama Rabian itu mulai memutar tubuhnya, aku tetap menatapnya dan bola mataku rasanya mau copot saat sadar kalau laki-laki yang berdiri di samping Pak Arya dan yang akan menjadi bos baruku adalah ... Rabian. Ya, Rabian yang sangat aku kenal.                  Laki-laki yang mencampakkan aku seperti sampah di tepi danau tujuh tahun yang lalu.                  Damn! Kali ini Tuhan sangat tega kepadaku, kenapa kami harus bertemu lagi setelah tujuh tahun dan kenapa dia harus menjadi bos baruku?                  "Sial!" ujarku dengan lantang. Semua mata menatapku termasuk Rabian yang melihatku seolah kami tidak saling mengenal.   ****   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD