Bab 2

1933 Words
               Pak Arya masih melihatku dengan pandangan aneh, seolah dia tahu kalau aku ini mantan pacar laki-laki angkuh yang berdiri tepat di depanku. Tatapannya seolah menyiratkan kalau hidup tenangku akan berakhir mulai hari ini, dan ternyata benar. Ucapanku tadi membuka pintu kesialan dalam hidupku.                  "Mulai hari ini Rabian akan mengambil alih semua pekerjaan saya, termasuk memegang tanggung jawab untuk design baru yang akan diluncurkan dua minggu lagi," lanjut Pak Arya. Aku menghentakkan kaki dan memilin baju kemejaku dengan kesal, itu berarti aku harus berurusan dengannya sampai acara fashion show koleksi terbaru selesai.                  "Saya harap hubungan kerjasama kita berjalan dengan baik." Kali ini Rabian menimpali Pak Arya dengan suara beratnya, tidak ada perubahan pada dirinya dibandingkan terakhir kali aku melihatnya 7 tahun yang lalu. Hanya saja tatapannya kini lebih tajam dan bisa mengintimidasi siapa pun termasuk aku.                  "Siapa designer yang diberi tanggung jawab mempersiapkan design koleksi terbaru?" tanyanya. Aku sengaja tidak menjawab dan memilih diam agar dia tahu sampai detik ini aku masih membencinya dan tidak akan pernah memaafkannya meski dia bos baruku.                  Wida sengaja menyentuh tanganku tapi aku tetap acuh, masa bodo dan nggak mau tahu. Biarin dia ngoceh sendiri, aku malas meladeninya.                  "Ayunda," panggil Pak Arya.                  "Kenapa Pak?" jawabku santai.                  "Rabian bertanya siapa designer yang menghandle koleksi terbaru," ujar Pak Arya mengulangi pertanyaan Rabian.                  "Oh, saya yang bertanggung jawab, kenapa Pak?" Aku balik bertanya tapi di arahkan ke Pak Arya bukannya Rabian.                  "Sudah selesai?" kali ini Rabian kembali bertanya. Aku kembali diam dan kembali acuh setiap dia memberi pertanyaan. Pak Arya kembali bertanya dan aku pun menjawab. Beberapa karyawan mulai resah melihat sikapku yang berani menentang dan mengacuhkan pertanyaan bos besar dan hanya menjawab saat Pak Arya yang bertanya.                  "Mbak cari lawan," ujar Wida pelan di samping telingaku.                  "Bodo ah, aku nggak bisa respek dengan orang yang menggunakan hubungan keluarga untuk naik jabatan, nggak etis dan siapa yang jamin dia mampu menjalankan perusahaan," balasku kesal sambil menyikut tangannya dan berhenti berbisik di telingaku dan aku juga nggak peduli apakah Rabian mendengar perbincangan kami.                  "Malam ini saya mau kamu meletakkan semua design di meja kerja saya atau saya akan mencari designer lain untuk mengambil alih," ujarnya sebelum membubarkan pertemuan pagi ini. Aku kehilangan kata-kata membalas ancamannya, caranya membalasku sangat kekanakan. Susah payah aku bersaing untuk mendapatkan posisi designer utama dan dia seenaknya ingin menggantikan posisiku dengan orang lain.                  Cih, sampai mati pun gue nggak akan rela ocehku dalam hati dengan kesal lalu kembali ke ruanganku untuk menyelesaikan design baru sebelum masa tenggang berakhir. Aku tidak akan pernah kalah dan membuatnya merasa menang.                  Aku, Ayunda Putri Handoko tidak akan sudi diinjak-injak Rabian Bimo Aryadutta! Itu janjiku dan aku akan melakukan apa saja untuk membuktikan kalau aku bukanlah Ayunda yang naif, bodoh dan dibutakan oleh cinta seperti Ayunda 7 tahun yang lalu.   ****                  "Mbak yakin bisa selesaikan semua ini tepat waktu?" tanya Wida. Kepalaku mulai berasap dan mengeluarkan kobaran api ditambah siraman bensin dari mulut resenya Wida yang semakin menyulut panasnya bara yang sejak pagi membakar hati dan kepalaku.                    Aku mendengus kesal dan menatapnya seakan ingin mengulitinya hidup-hidup, Wida membuat gerakan tutup mulut dengan tangannya dan keluar dari ruanganku sebelum amarahku semakin tinggi. Mungkin dia takut aku mutilasi, kemunculan Rabian membangkitkan jiwa psikopatku.                  "Aku pulang dulu ya, bye!" ujarnya tanpa malu.                  "Aku nggak akan nyerah! Tapi, huwaaa kenapa otakku nggak bisa berpikir! Aku baru membuat 7 design dan masih kurang 3 lagi." Aku melihat jam menunjukkan pukul 7 malam. Masih ada 2 jam lagi sebelum kantor ini tutup. Aku mulai menggoreskan pensil kesayanganku di kertas putih dan setelah 10 menit aku hanya bisa menggambar kepala modelnya saja. Otakku benar-benar sudah buntu dan sepertinya aku butuh udara agar otakku kembali bekerja dengan benar.                  Aku meletakkan pensil tadi dan keluar dari ruanganku, karyawan lain sepertinya sudah pulang dan hanya menyisakan aku sendirian. Aku berniat membuat secangkir kopi di pantry dan sialnya aku harus melewati ruang kerja Rabian.                  Masa bodo, anggap saja dia manusia tak kasat mata, gumamku dalam hati dan dengan langkah seribu aku melewati ruangan Rabian dan berharap kami tidak berpapasan, minimal sampai aku menyelesaikan design yang tersisa. Bisa-bisa mimpi buruk itu datang lagi seperti dulu dan seharian aku pasti sulit untuk tidur, dan akhirnya kantong mataku bakalan muncul. Ujung-ujungnya Rabian akan berpikir aku nggak bisa tidur karena memikirkan dia.                  Bangke kan?                  "Sudah selesai designnya?" gelas kopi yang sedang aku pegang langsung lepas saat aku mendengar pertanyaan Rabian yang tiba-tiba muncul di belakangku.                  Sial!                  Aku memungut gelas yang untungnya tidak pecah dan membersihkan air kopi yang membasahi lantai pantry.                  "Ayunda, sudah selesai design yang saya minta tdi?" tanyanya lagi dengan suara lebih halus.                Anggap saja tidak ada manusia di sini, aku pun bersiul dan bersenandung kecil. Anggap saja aku sedang sendirian di sini, jangan respon Ayunda atau hidup tenangmu akan segera berakhir.                  “Ayunda, saya sedang bertanya.” Aku merasakan tangan dinginnya mencengkram lenganku dengan keras. Aku langsung merasakan sengatan listrik dan reflek aku menghentakkan tanganku, pegangannya terlepas dan dengan tangan bergetar aku menghapus bekas pegangannya di tanganku. Rabian melihatku tapi tidak menunjukkan reaksi apa pun. Aku membuang napas dan mencoba menormalkan detak jantung ini.                  "Eh ada bapak, sejam lagi akan saya antar ke ruangan bapak, permisi." Aku melewatinya begitu saja dan meninggalkan ruang pantry dengan wajah kesal. Rencanaku membuat kopi gagal total dan gilanya aku berjanji akan menyerahkan design dalam waktu satu jam.                  Huwaaaa bodohnya aku!                  "Ayunda," panggilnya lagi. Aku tidak merespon dan rasanya ingin berlari meninggalkan dia, "kancing baju kamu ... terbuka," sambungnya. Aku langsung menghentikan langkahku dan memeriksa kancing bajuku yang ternyata memang terbuka hingga menunjukkan area sensitif di tubuhku.                  Wajahku tak hanya memerah tapi juga mulai membiru menahan rasa malu di depan Rabian. Aku langsung mengancingkan dengan buru-buru.                  Masa bodo dengan design! Ya Tuhan, tidak pernah aku semalu ini. Mungkinkah dia berpikir aku sengaja membuka kancing baju ini untuk menggodanya? Atau dia berpikir aku masih belum move on setelah dia mencampakkan aku?                  "Jangan lupa design kamu atau besok saya akan mencari designer baru," ujarnya lagi. Aku masih bergegas menuju ruanganku, aku menutup pintu dan mengeram beberapa kali. Hari ini aku kalah tapi jangan harap besok dan seterusnya.   ****                  Setelah berkutat dengan pensil dan kertas akhirnya semua design selesai, jam menunjukkan pukul 20.55 wib. Masih ada waktu lima menit, aku bergegas mengambil tas dan hendak menyerahkan design ini ke Rabian. Setelah itu aku pulang dan istirahat untuk memulihkan staminaku.                Tok tok tok                  "Masuk," jawabnya. Aku lalu membuka pintu dan berjalan menuju meja kerjanya, aku meletakkan map berisi design tadi dan setelah itu langsung keluar tanpa banyak kata. Rabian pun diam dan tidak mengusikku lagi.                  Sesampainya di lobby barulah aku teringat bunda membuat janji temu dengan Danish jam 20.00 malam ini, aku memukul jidat dan mengeluarkan ponsel. Ada misscall puluhan kali dari bunda, bunda pasti ngomel lagi saat tahu aku mengacuhkan Danish.                  "Ayunda?" sebuah suara membuatku menoleh, di belakangku berdiri laki-laki lumayan tampan memakai kemeja hitam dan celana jeans biru. Ramputnya tersisir rapi dan aku tebak umurnya lebih muda dariku. Sepertinya aku tidak mengenal laki-laki ini, atau jangan-jangan dia salah satu langganan butik kantor ini?                  "Ya, saya Ayunda, ada yang bisa saya bantu?" balasku sambil berusaha mengingat-ingat siapa laki-laki ini.   "Saya Danish dan tante Ratu memberitahu saya kalau kamu ada meeting sampai malam, saya inisiatif datang agar kamu tidak terganggu kerjanya," ujarnya sambil menjulurkan tangan ke arahku.                  Wow, ternyata laki-laki ini Danish yang hendak dijodohkan bunda denganku. Tapi kenapa dia bisa tahu kantorku? Dan kenapa dia berani datang ke sini? Gerak cepat juga laki-laki pilihan bunda ini dan aku sedikit merasa tidak enak harus membuatnya melihatku dengan kondisi seperti ini. Penampilanku bisa dibilang kusam dan tidak menarik, target yang dikejar Rabian membuatku tidak peduli dengan penampilanku hari ini.                  "Tante Ratu menyuruh saya untuk datang ke sini, beliau berpesan kalau saya harus mengantarkan kamu pulang," ujarnya dengan sopan. Pantasan bunda bilang Danish cocok denganku.                  Lagi-lagi Bunda bertindak tanpa seizinku, tapi ya sudahlah anggap saja ini balasan karena aku membiarkan dia menunggu seharian ini.                        "Oh gitu, senang bisa berkenalan dengan kamu. Aku Ayunda dan kamu pasti Danish, anaknya teman bunda,” aku menjulurkan tangan agar perkenalan kami sempurna. Danish membalas uluran tanganku dan dia menyunggingkan senyumnya. Sejenak aku mulai berpikir kalau senyum Danis ternyata mirip sekali dengan senyum Rabian, dulu. Senyum yang dulu berhasil membuatku jatuh cinta untuk pertama kalinya dan pemilik senyum itu juga membuatku patah hati.                  “Maaf tadi aku sempat pikir kamu salah satu klien kantor," ujarku sedikit merasa tidak enak. Danish menggeleng dan mempersilakan aku masuk ke dalam mobilnya. Aku duduk dan saat akan memasang seatbelt tiba-tiba Danish meminta izin mengambil seatbelt dari tanganku. Aku pun mengangguk, Danish mulai memasangkan seatbelt dan menutup pintu dengan sopan.                  Kayak drama Korea.                  "Sibuk ya?" tanyanya memecah keheningan.                  "Lumayan, kantor kedatangan bos baru dan aku harus mengejar waktu untuk acara fashion show dua minggu lagi," balasku seramah mungkin.                Kemudian kami kembali hening, mungkin hanya lagu yang mengalun menjadi satu-satunya suara di mobil ini.                  "Kamu ..." ujarku.                  "Kamu ..." ujarnya secara bersamaan.                  "Kamu duluan," ujar Danish.                  "Kamu saja," balasku.                  "Sepertinya kamu belum berpikir untuk menikah ya?" tanyanya langsung. Wah, sepertinya dia bisa membaca pikiranku dan sebaiknya aku berterus terang sebelum hubungan ini berlanjut lebih jauh.                  "Ya," jawabku singkat. Aku harap dia mengerti dan tidak berharap lebih kalau usaha bunda menjodohkan kami akan berhasil. Minimal aku tidak akan memberinya harapan palsu.                  "Aku paham, tapi kita bisa berteman kan? Siapa tahu dengan berteman dulu, nantinya kita bisa lebih dekat dan rencana orangtua kita bisa terjadi," ujarnya sambil menatapku.                  "Aku bukan teman yang baik loh, aku ini kejam dan sulit diatur. Keras kepala dan suka seenaknya, aku juga suka kentut sembarangan, kamu masih mau berteman denganku?" tanyaku lagi.                  “Why not, kalau kamu suka kentut masa aku larang, ntar anginnya bikin gembung dan akhirnya kamu juga yang sakit.”                  Kami tertawa bersamaan dan entah kenapa sepertinya dia asyik dijadikan teman. Untuk sementara mungkin aku hanya bisa menjadikan dia teman seperti keinginannya.   ****                  Beruntung tadi malam aku tidak mimpi buruk dan tidurku pun amat sangat nyenyak. Mungkin pertemuan dengan Danish membuatku lupa masalah kemunculan Rabian. Aku bersenandung kecil dari lobby menuju lift, suasana hatiku pagi ini sangat baik.                  "Pagi Mbak Ayunda," sapa Pak Roni.                  "Pagi Pak Roni," jawabku. Aku kembali bersenandung sambil menunggu lift, Pak Roni kembali ke meja kerjanya. Tak butuh waktu lama, lift akhirnya terbuka. Aku berhenti senandungku saat melihat Rabian sendirian  di dalam lift sedang memainkan ponselnya. Kakiku berat untuk masuk, lebih baik aku tidak masuk kandang macan. Rabian melihat ke arahku dan menyimpan ponselnya kembali.                  "Mau masuk?" tanyanya saat aku masih berdiri di depan lift.   Ogah! Mending naik tangga daripada berada satu lift dengannya. Aku memutar tubuh dan langsung menuju tangga darurat, sebelum naik aku melepaskan sepatu dan membuang napas beberapa kali.                  "Semangat!" Aku mulai menghitung anak tangga satu persatu.                  Lantai 1                  Lantai 2                  Lantai 5                  Napasku mulai habis dan peluh mulai membasahi seluruh tubuhku. Masih tersisa dua lantai lagi dan dengan sisa tenaga yang ada aku melanjutkan perjuanganku.                  Lantai 6                  Lantai 7                  Akhirnya aku sampai dengan kondisi kaki kram dan kepala berdenyut. Wida melihatku muncul dari pintu darurat langsung menghampiri dan membantuku untuk tetap berdiri normal. Napasku tersengal-sengal dan peluh membanjiri tubuhku dari atas sampai bawah.                  "Mbak habis lari marathon?" tanyanya dengan wajah tanpa dosa.                  "Minggir atau aku ... aku ..." napasku tersengal-sengal dan rasanya aku tidak bisa menapakkan kaki di lantai lagi. Wida memegang tanganku dan hendak membawaku ke ruangan.                  "Haus ... air ..." lagi-lagi aku kesulitan untuk bicara.                      "Mbak haus? Oke, tunggu bentar." Wida melepaskan pegangannya tanpa memberi aba-aba dan langsung membuat tubuhku oleng dan akhirnya aku jatuh mencium dinginnya lantai dan sialnya Rabian sedang berdiri di depanku dengan wajah dinginnya.                  Wida sialan!   ****   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD