Chapter 4

1330 Words
Elsa tidak tahu apa yang harus ia perbuat ketika tiba di rumah sakit. Ia tidak mengenali lelaki itu namun justru nekat datang ke rumah sakit. Rupanya seorang pemuda yang menolongnya tidak bisa mengakses ponsel Devan selain riwayat panggilan terakhir laki-laki itu. Itu sebabnya pemuda itu meminta Elsa datang kemari.  Ia mengucapkan terima kasih kepada beberapa pemuda yang telah membantu membawa Devan ke rumah sakit. Dirinya kemudian menuju bagian kasir untuk mengurus administrasi lelaki itu. Pemuda tadi mengatakan bahwa keadaan Devan baik-baik saja dan tinggal menunggu infusnya habis. Hanya beberapa bagian yang lecet saja. "Hah?" Elsa terkejut bukan main ketika melihat jumlah nominal yang harus ia bayarkan. Masalahnya ia tidak memiliki uang sebanyak itu saat ini. Tidak ada pilihan lain, ia harus menemui Devan untuk meminta uang kepadanya supaya bisa membayar administrasi ini.  "Mbak saya ke kamar pasien sebentar ya ngambil uangnya." "Baiklah. Kalau sudah nanti silahkan kembali lagi kesini ya Kak." Elsa memberikan senyumannya kemudian segera melangkah menuju kamar tempat Devan dirawat. Keadaan Devan baik-baik saja dan dia sedang memejamkan mata saat ini. Hanya ada beberapa lecet namun ia terlihat tidak cedera serius. Entah seperti apa kronologi kecelakaan yang dialami lelaki itu. Matanya yang terpejam membuat Elsa menjadi tidak tega untuk membangunkannya. Hanya saja ia tidak memiliki pilihan lainnya. "Kak.." Elsa mulai menyentuh pundak lelaki itu dan menggoyangkannya sedikit. Berharap gerakan itu bisa membuat Devan membuka matanya. "Kak Devan," panggilnya lagi. Meski sepertinya lelaki itu seumuran dengannya, Elsa tetap akan memanggilnya dengan embel-embel kakak. Bisa saja Devan lebih muda darinya tetapi itu tidak masalah. Lelaki itu membuka mata kemudian menatap Elsa selama beberapa detik. Elsa pun menjadi merasa tidak enak karena sudah membangunkannya. Seharusnya Devan beristirahat seraya menunggu semua infus masuk ke dalam tubuhnya.  "Ada administrasi yang harus dibayar."  "Nih totalnya, ujar Elsa seraya menunjuk nominal angka yang tertera." Elsa mengangkat lembaran surat administrasi yang diberikan oleh kasir. Devan menatap lembaran surat itu sekilas kemudian pandangannya beralih pada jaket yang berada di atas nakas. Jaket itu sudah terlipat dengan rapi. Sepertinya para pemuda tadi yang membantu merapikannya. "Uangnya di jaket?" tanya Elsa. "Dompet," sahut Devan dengan suara lemah. Elsa tidak melihat keberadaan dompet disana jadi ia memilih untuk membuka jaket. Ketika mencari dompet, ia menemukan ponsel lelaki itu. Elsa mengambil ponsel dan juga dompet lelaki itu. "Aku mau bayar administrasinya dulu. Kakak tolong telpon keluarga ya biar ada yang dateng kesini." Elsa menyerahkan ponselnya kepada Devan namun lelaki itu hanya meliriknya saja. "Ini," ucap Elsa lagi sambil mengulurukan ponsel milik Devan. Devan lantas mengambil ponsel itu. Posisi tangan kanannya yang naik membuat Elsa membulatkan matanya. "Awas ini infus nanti darahnya naik." Ia dengan cepat menahan tangan kanan Devan dan menurunkannya kembali.  "Pake tangan kiri aja geraknya. Nanti kalo darahnya naik ke infus, bahaya." Elsa lantas meletakkan ponsel itu di tangan kiri Devan. Ia lantas membuka dompet milik Devan. "Nggak ada uangnya?" tanya Elsa terkejut. Jika lelaki itu tidak memiliki uang sama sekali entah bagaimana Elsa akan membantu mengurus administrasinya. "ATM." sahut Devan. Elsa lantas menatap kartu-kartu yang ada dalam dompet tersebut. Ada begitu banyak kartu dan ia tidak tahu harus mengeluarkan kartu yang mana.  "Kartunya yang mana?" tanya Elsa kemudian. Ia mendekatkan dompet milik Devan lelaki itu kemudian menggunakan tangan kirinya untuk menunjukkan kartu yang akan digunakan untuk membayar. "Ini?" Elsa mengeluarkannya dan Devan mengangguk.  Setelah mengeluarkan kartunya, Elsa lantas meletakkan dompet itu kembali di atas nakas. "Oke, aku bayar dulu. Pinnya berapa?" "020301" "Oke.." Elsa lantas keluar dari kamar rawat tersebut. Devan menatapnya hingga pintu kamar tertutup. Selanjutnya ia lantas memainkan ponselnya dengan menggunakan tangan kiri sesuai yang diminta oleh Elsa. Devan tidak mengerti kenapa perempuan itu yang sekarang berada disini dan membantunya. Ia ditabrak dari belakang ketika berbelok. Tubuhnya menjadi terpental namun untungnya tidak terjadi apa-apa. Beberapa orang kemudian mendekatinya dan membantu membawa ke rumah sakit. Mungkin karena ia terlalu terkejut atas apa yang terjadi, dirinya menjadi pingsan. Lalu ia terbangun karena gadis itu memanggil namanya. Devan merasa tidak perlu untuk menelpon keluarganya untuk masalah ini. Dirinya juga merasa baik-baik saja. Ia hanya menghubungi Yuda agar lelaki itu kemari dan membantunya. Yuda adalah sepupunya dan adalah orang yang sering ia mintai bantuan jika ada sesuatu. Devan mengetikkan pesan kepada sepupunya itu kemudian mengirimkan lokasi tempat ia berada. Entah di rumah sakit mana sekarang ia berada, Devan hanya mengandalkan fitur share location yang terdapat dalam ponselnya.  Sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. Rupanya itu notifikasi dari pengeluaran ATMnya. Devan tidak membuka notifikasi itu melainkan hanya melihatnya dari pop up pesan. Gadis itu rupanya sangat jujur dan membayar sesuai dengan yang tertera pada lembaran administrasi tadi.  Kemudian muncul sebuah pesan dari Yuda. Melihat pop up pesan dari sepupunya itu, Devan jadi teringat akan pop up pesan yang masuk ke ponsel gadis itu ketika tadi Devan memegang ponselnya saat di bioskop. Nama kontak pengirim pesan itu sama percis dengan nama Yuda, sepupunya. "Elsa?"  Gumamnya menyebut nama gadis itu. Ia mengetahui nama Elsa dari pesan yang dikirimkan oleh kontak atas nama Prayuda Widjaja ke ponsel sang gadis. Mungkin nama Widjaja sudah cukup banyak di Indonesia. Akan tetapi ia sangat yakin bahwa Prayuda Widjaja yang mengirim pesan adalah Prayuda Widjaja yang sama dengan yang membalas pesannya saat ini.  Beberapa menit kemudian Elsa kembali memasuki ruangan dan melipat beberapa surat di tangannya kemudian memasukkannya dalam satu amplop yang juga ia bawa. Setelah itu Elsa meletakkannya di atas nakas samping bangkar Devan. Gadis itu juga membuka dompet Devan untuk meletakkan kembali kartu yang tadi digunakannya. "Udah nelpon keluarga?" tanyanya kepada Devan. Devan menganggukkan kepalanya. Yuda sempat panik dan dia sekarang sedang dalam perjalanan kesini.  Elsa seketika membulatkan matanya ketika mengingat bahwa seharusnya sekarang dia sudah berada di rumah Santi dan mengajar les privat. Ia langsung melirik jam tangannya dan mengumpat dalam hati. Elsa lantas mengeluarkan ponselnya berniat untuk memberi pesan kepada Santi. Rupanya gadis itu sudah mengiriminya pesan sejak tadi. Santi sudah menunggunya selama satu jam sejak Elsa mengatakan bahwa film yang ditonton sudah selesai. Ia jadi merasa tidak enak dengan Santi, belum lagi Yuda juga ikut mengiriminya pesan. Yuda adalah kakak dari Santi sekaligus teman satu jurusannya. Awalnya Yuda mengatakan bahwa ia perlu guru les privat untuk adiknya yang masih SMA, lalu bertanya ke beberapa teman kampus. Hal ini menjadi peluang bagi Elsa yang harus mencari banyak uang. Berhubung upah yang ditawarkan sangatlah besar, ia pun menawarkan diri untuk mengajar Santi.  Ternyata upah yang besar diberikan oleh keluarga Yuda karena selama ini Santi terus saja tidak betah les privat, sehingga sering berganti-ganti guru les. Santi juga justru tambah malas belajar. Untungnya ketika menjadi guru les Santi, Elsa memiliki beberapa jurus jitu agar anak itu betah dan tetap mau belajar. Elsa sudah sangat akrab dengan Santi karena sudah mengajarnya sejak tahun lalu. "Kak, aku pamit dulu ya. Bentar lagi keluarganya dateng, kan?" tanyanya. Devan menganggukkan kepalanya. "Oke." Setelah itu Elsa keluar meninggalkan ruangan. Devan sendiri merasa sedikit heran dengan apa yang terjadi hari ini. Ia duduk bersebalahan dengan gadis itu di bioskop, motornya juga berdekatan dengan motor gadis itu di parkiran. Lalu sekarang entah bagaimana caranya gadis itu sudah berada disini dan membantu dirinya mengurus administrasi. Tidak lama kemudian Yuda datang dan memasuki ruangan tempat Devan dirawat. Setelah bertanya-tanya kepada perawat akhirnya ia bisa menemukan tempat Devan berada. "Tumben banget lo. Gimana ceritanya?" "Ditabrak." "Tapi lo baik-baik aja, kan? Kata dokter gimana?" "Lo kenal Elsa?" Yuda mengeryitkan keningnya mendengar pertanyaan Devan yang di luar topik pembicaraan mereka sebelumnya. "Elsa?" Devan menganggukkan kepalanya atas pertanyaan Yuda. "Tumben banget lo nanyain soal cewek. Lo suka sama dia?" tanya Yuda seraya duduk di kursi dekat bangkar Devan. Pasalnya selama ini Devan tidak pernah peduli perempuan mana pun. Ia tidak pernah terlihat tertarik untuk membahas perempuan. Meski Devan sangat tampan dan begitu banyak perempuan yang mendekatinya, ia terlihat tidak tertarik untuk menjalin hubungan saat ini. Satu-satunya perempuan selain keluarga yang dekat dengan Devan adalah Meisya. Bahkan kepada Meisya pun, Devan hanya menganggap gadis itu sebagai sahabat. "Lo tadi chat dia dan nanya dia dimana." Awalnya Yuda berpikir bahwa ada begitu banyak Elsa dibanding Elsa yang ia kenal dengan baik. Hanya saja ketika Devan bicara mengenai pesan chat yang dikirimkan Yuda kepada Elsa, ia benar-benar paham bahwa Elsa yang Devan maksud adalah Elsa teman satu jurusan sekaligus guru les privat adiknya. "Oh, Elsa Anindia maksud lo? Iya gue kenal. Kenapa emangnya?" Yuda jadi sedikit penasaran kenapa Devan bisa sampai tahu bahwa dirinya mengirimkan pesan seperti itu kepada Elsa. "Dia yang nolongin gue," ujar Devan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD