02 - Alasan Logis

1288 Words
Malam itu terlewati tanpa banyak kata. Hari esok dan seterusnya menjadi hari-hari yang menyiksa bagi Hasya. Terlebih setelah sikap sang ayah mulai berubah perlahan. Rupanya pemuda kecil bernama Aryesh itu sakit. Alasan mengapa ayah Hasya sangat perhatian dan nekat membawa Aryesh serta ibunya ke rumah. Jangan tanya bagaimana Hasya sekarang, jawabannya adalah buruk. Sangat buruk. Nafsu makannya menurun drastis dan semakin jarang berbicara. Saat di rumah hanya mengurung diri sepanjang hari. Juna sampai khawatir Hasya bisa kekurangan gizi lama kelamaan. Hasya yang sebelumnya sangat menyayangi diri sendiri, kini berubah menjadi pemuda yang acuh tak acuh. Juna kelimpungan sendiri jadinya. Hasya berbaring terlentang menatap langit-langit kamarnya yang dicat warna gelap. Ia lebih suka begini dibanding harus keluar dan melihat wajah dua orang yang sangat tidak ia sukai itu. Daripada membuang tenaga untuk meluapkan emosi, Hasya memilih bersantai di sini. Berlagak seolah semua masih sama. Padahal, nyatanya semua tak lagi sama. Ia punya alasan tersendiri untuk menolak pernikahan kedua sang ayah. Yang pertama, ia tidak suka dengan ibu dan saudara tiri. Hasya bukan tipikal orang yang suka bergaul dengan orang baru. Di sekolah saja ia hampir tak mempunyai teman. Yang kedua, ia takut kalau ayahnya akan lebih perhatian pada saudara dan ibu tirinya. Alasan kedua ini sudah terbukti, Hasya seolah orang asing di dalam rumah ini. Yang ketiga, dan yang terakhir, ia masih belum bisa mengizinkan sang ayah untuk jatuh cinta pada wanita lain. Well, ia tahu kalau jatuh cinta adalah hak semua orang. Tapi ayahnya seperti berkhianat, setelah semua janji yang terlontar kala ibunya sekarat dahulu. Hasya membenci orang-orang yang ingkar janji. Hasya menarik napas panjang. Seperti ada banyak beban tak kasat mata yang menghimpit dadanya. "Mama ..." gumam Hasya pelan. Berbicara pada udara kosong yang dingin. Clek! Suara knop pintu yang diputar kemudian didorong terdengar. Hasya tahu langkah kaki siapa yang masuk ke dalam kamarnya. "Makan malam dulu, jangan sok-sokan mogok makan deh lo," ujar Dipta. Kakak Hasya yang tidak pernah menggunakan kelembutan dalam mendidik Hasya. Sering kali mereka terlibat aksi saling pukul. Keduanya sama-sama memiliki sifat ingin menang sendiri dan tak mudah mengalah. Hasya melengos. "Masih inget, punya adek yang namanya Hasya?" "Sya, nggak usah kayak bocah gitu," kata Dipta sambil menukikan alisnya. "Kalau lo cuma mau ngajak debat, mending gak usah. Gue lagi gak mood. Mending next time aja," balas Hasya sambil memalingkan wajah. Menghindari bertatap muka dengan Dipta. Helaan napas penjang terdengar. Dipta menggeleng pelan. Ia datang dengan maksud baik ke sini. Namun, maksud baik itu malah Hasya hancurkan dengan asumsi tak logisnya. "Gue di sini karena masih peduli sama lo. Dari tadi pagi lo nggak ada makan. Mau jadi apa itu lambung lo?" "Gue nggak laper. Kalau lo mau makan, ya, makan aja sana," ujar Hasya. Masih mengangkat rasa egoisnya tinggi-tinggi. "Jangan jahat sama diri sendiri. Sakit baru tahu rasa!" Dipta mendengus kemudian. Si kepala batu itu malah berbaring membelakanginya. Berlagak seolah kata-katanya hanya angin lalu yang tak patut diindahkan. Dipta mengusap d**a pelan, harus banyak bersabar untuk menghadapi Hasya. "Hasya, seenggaknya lo sapa lah Aryesh. Dia sampai takut ketemu lo tahu nggak." "Apa peduli gue?" Hasya acuh tak acuh. Diam-diam ia meremas perutnya yang mulai terasa perih. Mendemo karena lama tak ia beri asupan. Namun, untuk saat ini ia harus menahannya. "Lo manusia bukan, sih? Udah dikasih otak buat mikir juga, masih aja. Lo bukan anak kecil lagi yang apa-apa harus dituntun. Harusnya ngerti harus gimana-gimana. Papa pusing sendiri sama tingkah lo yang kayak gini. Lo nggak kasihan apa Papa udah capek-capek kerja dan waktu sampe di rumah lo malah begini?" ceramah Dipta panjang lebar. Meluapkan segala yang ia ingin katakan sejak beberapa hari silam. Ia pikir yang Hasya lakukan sangatlah kekanakan. Hasya memejamkan mata sejenak. Mendesis rendah kemudian. "Gue gak mau denger lo ceramah." Cowok itu semakin meringkuk. Dan Dipta tidak sadar karena terlanjut tersulut emosi. "Terserah lo mau nggak makan sampe kapan, gue nggak peduli. Tapi kalau lo sakit semuanya bakal kerepotan. Lo nggak malu ngerepotin orang yang bahkan nggak lo manusiakan?" tukas Dipta tegas. Nada bicaranya semakin berapi-api. "Nggak memanusiakan apa? Kalian yang nggak memanusiakan gue! Dari kemarin gue kaya orang numpang di sini. Papa lebih merhatiin anak tirinya yang rewel itu. Dia bahkan nggak tau gue selalu tidur dengan kelaparan," balas Hasya menahan kesal. Dipta terkikik kecil. Lucu. Menurutnya yang Hasya katakan itu lucu. "Lo nyalahin kita buat keadaan lo? Heh, sadar! Lo sendiri yang milih diem dan nggak mau berkomunikasi!" Dipta semakin berang saja. Ia menyayangi Hasya, namun cara menunjukan rasa sayang itu sangat berbeda dengan Juna yang pandai berlembut-lembut ria. Nada bicara Dipta yang semakin tak bersahabat itu membuat Hasya malas menjawab. Menghabiskan tenaga saja. "Kenapa diam? Udah sadar dimana salah lo?" sungut Dipta. "Pertanyaan lo nggak penting." Hasya membalas singkat. Suaranya dibuat senormal mungkin. Ia harus pura-pura kuat. Ia bisa semakin dirundung jika ketahuan sakit karena aksi mogok makan. Meski ini menyiksa, tapi Hasya percaya hanya cara ini yang dapat ia lakukan agar sang ayah sadar. Dipta mendengus kasar. Kemudian bergerak secara cepat untuk menarik tubuh sang adik. Ia sudah lelah berbicara dengan mulut. Lebih baik ia menggunakan tenaga untuk cowok itu. "Jangan sentuh gue!" pekik Hasya kencang. Tak sengaja ringisannya ikut terdengar juga. Ia menjadi setengah terduduk dengan tangan melingkar di perut. "Ah ..." "Kenapa?" Raut Dipta berubah seketika. Jelas ia mendengar kalau Hasya meringis menahan sakit. Hasya menggeleng kuat. Merapatkan tubuh dengan kepala ranjang. "Lo keluar aja!" perintahnya. "Jangan keras kepala, Sya. Lo nggak inget gimana kemaren lo sampe pingsan? Mau kayak gitu lagi?" tanya Dipta. Nadanya mulai melunak. Sekeras apapun seorang Dipta, tak akan bisa tahan jika melihat Hasya kesakitan, namun beda urusannya jika mereka benar-benar berkelahi. Biar bagaimanapun mereka tetap saudara. Hasya bungkam lagi. Ia bergeming dan membiarkan pertanyaan Dipta dijawab oleh hening. "Hasya, jangan batu!" seru Dipta. "Gue ambilin makanan sama obat maag, lo harus makan meskipun nggak turun ke bawah." Lanjutnya. Ia yang mengalah kali ini. Tentu saja ia tidak mau Hasya berakhir pingsan seperti kemarin. "Nggak ... jangan. Lo nggak ikhas," ujar Hasya menanggapi. Dipta mendelik tajam. "Bukan masalah ikhlas nggak ikhlas, Sya! Tapi lo emang butuh makan. Mau sampai kapan lo mau nahan laper?" "Gak usah sok peduli!" Kini Dipta hampir kehilangan akal. Masih saja cowok itu bisa mendebat dengan keadaan seperti ini. Dipta mau tak mau harus bergerak lebih. Ia naik ke ranjang Hasya dan menyeret cowok itu tanpa perikemanusiaan. Lebih mudah karena Hasya sedang tidak dalam kondisi yang fit. Hasya tentu saja berteriak dan terus meronta. Namun tak Dipta hiraukan sama sekali. Ia malas jika terus mengalah. "Diem lo! Kita bisa jatoh barengan kalo lo tetep batu!" kata Dipta saat melintas di tangga. Dengusan keras terlontar dari Hasya. Mau tak mau akhirnya ia pasrah. Ditarik oleh Dipta ke meja makan. Dan hatinya tercubit ketika mendapati mereka bercanda tawa sambil menyantap hidangan. Langkah Hasya terpaksa berhenti. Juga Dipta yang mencekal kedua tangan cowok itu. "Buat apa lo bawa gue ke sini kalau cuma buat lihat kebahagiaan mereka?" tanya Hasya dengan nada dingin nan datar. Netra coklatnya menerawang ke meja makan yang tampak hangat. Tanpa kehadirannya. Senyum getir lantas terulas di bibir tipisnya. Diikuti dengan matanya yang memanas. "Lo tau kan kenapa gue berusaha keras menolak?" Dipta tak bersuara. Bungkam dan mulai melepaskan cengkeramannya pada tangan Hasya. Ia membawa Hasya pada saat yang salah. Hingga membuat kesalahpahaman dalam sudut pandangnya semakin menyebar luas. Dipta meremas tangannya sendiri, ia tahu Hasya hampir menangis di sana. Namun, ditahan sekuat tenaga. Rasa sakit dan perih pada perutnya tak sebanding dengan luka menganga yang ada di d**a. Hasya tidak suka tersingkirkan. Ia tidak suka terlupakan. Ia selalu ingin berada di tempat asalnya. Ia menolak untuk memutar roda kehidupannya. Semuanya baik-baik saja sebelum ini. Namun, hanya karena orang baru semua itu terenggut. Yang tadinya mendapat peran protagonis kini berubah menjadi antagonis karena kekejaman alur skenario yang telah Tuhan gariskan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD