03 - Luka

1470 Words
Langit yang menggelap menjadi pemandangan menarik bagi Hasya. Cowok itu tak beranjak dari lapangan basket bahkan setelah buliran air mulai menyentuh permukaan tanah. Hanya dengusan panjang yang ia keluarkan. Seragam putihnya terdapat banyak bercak tanah. Sudah bukan hal asing lagi baginya. Ia membiarkan air hujan menyamarkan bekas tanah di seragamnya. Seraya memejamkan mata dan membiarkan buliran tersebut membasuhnya dengan sempurna. Wajah Hasya tak bisa dikatakan baik-baik saja. Ada sobek di ujung bibir cowok itu. Yang kemungkinan besar karena hantaman tangan manusia. Yap, ia barusan berkelahi. Lagi. Ini mungkin kali ketiga dalam sebulan. Dan Hasya seperti sudah mati rasa. Luka-luka di tubuhnya itu tak bisa dibandingkan dengan luka menganga yang ada di hatinya. Semakin hari, semakin banyak luka yang timbul di sana. Membuat setiap embusan napasnya terasa sesak. Luka-luka itu seolah memerintahkan Hasya untuk terus menangis. Namun, Hasya tidak selemah itu. Ia lebih baik menjadi seorang pemberontak dibanding seorang cengeng yang lemah. Ia merasa kalau lelaki tidak boleh lemah. Ia tidak bisa goyah hanya karena beberapa gertakan. Walaupun memang, sesekali ia ingin menangis keras dan berkata kalau ia muak dengan semuanya. Namun, apa daya meski menangis darah pun tetap ia yang salah. Jadi yang ia lakukan hanya mengikuti skenario yang dibuat Tuhan. Bertahan sebisanya tanpa mencoba melawan dengan arti menolak apa yang Tuhan ingin. Bukankah Tuhan ingin ia menjadi peran antagonis di sini? Baiklah, Hasya akan terima itu. Ia sudah sangat mirip seperti pemeran antagonis karena sifatnya yang berubah dingin dan menjadi acuh tak acuh. Ia juga berubah menjadi sosok yang kasar. Ia menjadi bahan cemoohan. Entah itu di rumah atau pun di sekolah. Ia hanya anak yang tidak tahu diri. Sudah dikasih enak tapi malah berkelakuan buruk. Begitu, yang ia dengar dari mereka. Tanggapan Hasya hanya tawa sumbang. Mereka terlalu sok tahu dengan kehidupan Hasya. Dan ia tidak suka itu. Namun, rasa ketidak sukaan itu hanya terpendam sendiri. Tanpa satu makhluk pun yang tahu. Hujan semakin deras dengan angin yang meraung keras. Seperti hendak merobohkan tubuh Hasya yang tampak kokoh namun rapuh di dalam. Sepasang kaki jenjang itu lantas bergerak. Menuju ke tempat yang teduh, ia tahu tubuhnya mulai berontak dengan cara gemetar kedinginan. Dan kalau terus dipaksa mungkin akan membuat ia siup di sana. Sayup-sayup, ia bisa mendengar suara yang menyerukan namanya dengan lantang. Suara remaja laki-laki yang baru puber. "Hasya!" pekik suara itu, entah sudah keberapa kali. "Astaga, kebiasaan banget sih lo!" Hasya akhirnya tersadar karena remaja lelaki seumurannya itu menarik ia ke dalam salah satu kelas. "Tau nggak, sih, lo, gue muter-muter nyariin lo di sekeliling sekolah sampe basah kuyup. Dan lo malah ngelamun di sini! Nggak takut kerasukan apa?" tanya si remaja tersebut. Sebuah senyum simpul terbit di wajah Hasya. Itu Jovan, satu-satunya teman Hasya selama 15 tahun hidup di dunia. Bukan, bukan karena tak ada yang mau berteman dengan Hasya. Hasyalah yang terlalu memilih teman. "Gue nggak minta lo nyariin gue," balas cowok itu parau. "Tapi, kan, tetep aja. Bang Galaksi udah marah-marah karena gue nahan dia pulang. Gue khawatir, t***l!" ucap Jovan kesal. Namun tangannya mengangsurkan jaket tebal pada Hasya. Jaket yang ia simpan dalam tas hingga tak terkena tetesan air sedikit pun. "Makasih." Hasya tak mau munafik dan menolak pemberian Jovan. Jelas sekali ia butuh jaket untuk menghangatkan tubuhnya yang menggigil hebat. Bahkan wajah cowok sudah mirip vampir saat ini. Jovan kemudian merangkul Hasya. Membawanya ke mobil dengan satu tangan memegang payung. Meski payung itu akhirnya hanya berlabuh di Hasya dan membiarkan Jovan kebasahan. "Lama banget! Lo ngap- anjir, kok basah semua gitu sih?" Galaksi yang tak lain adalah kakak Jovan memekik kaget saat mendapati sang adik membawa masuk seseorang yang sekujur tubuhnya basah. Jovan tak langsung menjawab. Ia menempatkan Hasya di posisi yang nyaman terlebih dahulu kemudian menaruh payung basah itu di belakang. "Kasian, Bang, dia basah banget," ucap Jovan. Ia lalu menarik paksa hoodie Galaksi yang ditaruh di kursi samping kemudi. "Kelahi lagi?" tanya Galaksi. Pemuda bertampang galak itu bertanya dengan nada datar. "Kayaknya, sih, iya." "Temen lo suka cari gara-gara banget sih," tutur Galaksi sedikit kesal. Karena Jovan itu terlalu peduli pada Hasya. Dan selalu merepotkan. "Ya, kan, lo tau gimana dia kalo udah emosi. Lagian kakak kelasnya juga ngapain cari masalah?" balas Jovan tak mau kalah. "Jadi adek kelas, tuh, ya emang harus sabar." "Elo ngomong gitu karena lo di sini sebagai kakak kelas," dengus Jovan. "Udah cepet jalan, Hasya udah kedinginan." "Ck, dasar tukang perintah."  *** Hasya menggigil bahkan setelah ditimpa berlapis-lapis selimut. Jovan langsung pergi setelah mengantarnya pulang. Galaksi tak sabaran dan sepertinya malas kalau berurusan lebih lama dengan Hasya. Hasya tahu kalau kakak Jovan yang berwatak keras dan dingin itu memang tak terlalu menyukai persahabatan mereka. Karena Hasya sering sekali menyusahkan Jovan. Namun, terlepas dari itu, Galaksi tak pernah memerintahkan Jovan untuk menjauh. Mungkin hanya memaki Hasya dari belakang saja. Seisi rumah tak ada yang tahu kalau Hasya sedang menggigil seorang diri dalam kesepian. Dipta memiliki pekerjaan baru, yaitu menemani Aryesh setelah pulang sekolah sampai hari akan berganti. Mereka terlihat begitu akrab hingga seperti ada jurang pemisah antara Dipta dan Hasya. Mereka bahkan jarang berteguran. Lalu, Juna, lelaki itu disibukkan dengan pekerjaan. Hasya tak berharap banyak, ia tahu kakak sulungnya itu lelah karena seharian bekerja. "Uhuk! Uhuk!" Hasya sekarang menyesal karena membiarkan hujan membasahinya. Hawa dingin itu seolah tak mau pergi dan membelenggu dadanya. Hasya mengerutkan kening. Sensasi tak nyaman itu membuat ia seperti ingin berteriak kesetanan.  Wajahnya pucat pasi. Seperti tak ada darah yang mengaliri tubuh kurus itu. Rintihannya terlepas. Namun tak akan terdengar sampai ke luar. Mungkin hanya sampai radius satu meter dan akhirnya hilang ditelan udara kosong. Hasya tersiksa sekarang. Tak ada yang bisa dimintai tolong. Tangan Hasya lalu bergerak mengacak nakas dan berharap bisa menjatuhkan sesuatu yang menimbulkan suara debuman keras. Satu-satunya cara agar seseorang di balik pintu bisa masuk dan mengurangi siksaannya. Brak! Lampu tidur Hasya akhirnya terjatuh. Air matanya semakin menggenang. Napasnya benar-benar sesak dan tangan itu mulai lunglai lemas. Hasya menutup mata. Pasrah. Namun, secercah harapan kembali timbul ketika suara pintu terdorong dari luar terdengar. Samar-samar, ia mendapati sosok yang tak terlalu tinggi berdiri tak jauh darinya. "Dipta, Dipta! Hasya sakit!" pekik sosok itu. Hasya lemas seketika. Itu suara Aryesh yang kini menjadi raja rumahnya. Sungguh demi apapun, kalau ia sedang bertenaga ia akan meneriaki Aryesh agar segera keluar dari dalam kamarnya. Namun, keadaan tak berpihak padanya, ia hanya bisa menatap sayu Aryesh. Benar-benar seperti orang tak berdaya. Dipta masuk dengan tergesa. Mata pemuda itu sontak membelalak. Ia mengecek suhu tubuh Hasya tanpa babibu. Sementara Hasya diam tak lagi bisa melakukan apapun. "Hasya, lo tadi hujan-hujanan?" tanya Dipta, sarat akan kekhawatiran serta kesal yang bercampur. Menyadari penyakit anak itu kambuh dan membuatnya kepayahan bernapas. Pemuda itu mendecak keras lalu mengambil sebuah benda di dalam lemari Hasya. Hasya masih terpejam sata benda itu mulai mengalirkan oksigen ke dalam paru-parunya. Masih sesak, namun tak semenyiksa tadi. Suara erangan frustasi Dipta terdengar. Mengisi ruang kosong nan sunyi. Aryesh yang tahu belum diterima dengan baik memilih mengambil jarak yang cukup jauh dari Hasya. "Buka mata lo dulu, apa yang lo rasain sekarang?" "S-sakit," rintih Hasya pelan. Kekebalan tubuhnya melemah seiring ia tak peduli pada segala yang menyangkut kebugaran. "Gue panggilin Dokter Andre aja, ya. Demam lo tinggi banget," putus Dipta secara sepihak. Tanpa menunggu persetujuan dari yang akan ditangani. Namun, meski menolak pun, Dipta akan tetep kekeuh dengan keinginannya. Mata Hasya terbuka sebentar. Memandang Dipta yang bercucuran keringat. Kebiasaan jika merasa panik akan sesuatu. Lalu beralih pada Aryesh yang menatapnya dari kejauhan. Pemuda kecil itu sama pucatnya dengan ia sekarang. Hasya segera berpaling, malas menatap wajah Aryesh lebih lama lagi. Hasya tak mau menurunkan sedikit harga dirinya untuk berterimakasih. Bukan hanya karena Aryesh memergokinya tengah kesakitan lalu memanggil Dipta untuk membantu ia bisa membuka pintu hatinya yang tertutup. Tidak, tidak bisa semudah itu. Ia kembali mengingat apa yang Aryesh renggut dengan masuk ke dalam kehidupannya. Ia tahu Aryesh tak menginginkan Hasya tersingkir. Namun, Aryesh pasti tak mau kalau harus melepaskan segala bentuk perhatian yang ia terima. Entahlah, Hasya lebih suka menghakimi dan memupuk kebencian. Elusan halus Dipta kemudian menyadarkannya. Menghancurkan pikiran cowok itu yang mulai mengawang. "Lo kenapa, sih, sekarang jadi masa bodoh sama kesehatan? Gue nggak suka lihat lo sakit, Sya." Hasya ingin tertawa keras rasanya. "Jangan bohong. Gue tau lo nggak peduli lagi sama gue." "Hasya, kok omongan lo gitu sih?" Dahi Dipta berkerut tak suka. "Kalau lo peduli, lo udah kelabakan bawa gue ke rumah sakit. Tapi ini nggak. Kenapa? Karena lo nggak mau ninggalin Aryesh." Suara tajam itu terucap dengan lemah dan lemas. Netra Dipta membulat tak percaya. "Astaga, pikiran lo kejauhan!" "Lo nggak menyangkal, berarti lima puluh persen bener." "Hasya!" bentak Dipta. "Lo bahkan masih bisa bentak gue disaat kayak gini. Bang Dipta yang dulu, kemana?" Entah mengapa, ujaran itu seperti menohok hati Dipta. Ada desir tak nyaman kala melihat mata kecil itu seperti marah padanya. Oh, Tuhan. Dipta benar-benar ada pada posisi yang serba salah. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD