Bab 1

2141 Words
               Dasar kak Aisha, bukannya membesarkan dua bocah yang masih balita ini eh dianya malah berencana untuk program hamil lagi dan lucunya Mommy serta Daddy mendukung keinginan gila kakakku itu dan mereka menitipkan Leano dan Leana untuk Mommy dan Daddy asuh sedangkan mereka berdua pergi berbulan madu untuk kesekian kalinya ke Lombok.                  "Mommy dan Daddy titip Leana ke kamu ya Sean, kamu tahu sendiri Leana paling anti dengan keramaian, pasti nanti dia rewel dan yang akan susah kita juga," aku melihat Mommy dan Daddy sudah rapi dengan baju pesta beserta cucu kesayangan mereka Leano yang sudah gagah dengan jas berwarna senada dengan baju kakek neneknya.                  "Hmm, jangan lama-lama pergi kondangannya, aku ada bimbingan skripsi dengan dosenku," balasku, Mommy memberi tanda oke dan mencium Leana berulang kali lalu meminta Daddy menggendong Leano yang terlihat malas-malasan.                  "Bye Leano," Leano melambaikan tangannya kepadaku seolah anak itu tidak mau ikut.                  "Bye Aunty ... Bye dedek Leana," ucapnya dengan malas, aku tahu perasaan Leano yang selalu dibangga-banggakan Mommy dan Daddy saat bertemu dengan teman seangkatan mereka, Mommy dan Daddy dengan penuh suka cita pasti akan membanggakan Leano, Leano pintar main piano lah, Leano sudah lancar bahasa inggris lah, pokoknya Leano harus terlihat wow di mata semua teman-teman mereka.                  "Nah Leana yang cuantik, pasti kamu bosan bermain dengan Kakek dan Nenek, bagaimana kalau kita berenang di luar?" tanyaku sambil menirukan gerakan renang, Leana langsung menunjukkan senyum lucunya dan bertepuk-tepuk tangan seolah aku badut yang lucu.                    Ckckckck mana ada badut secantik aku, oke kini saatnya aku narsis. Kalian pasti tahu dulu aku adalah ABG dengan tubuh semok, bohay dan gembil. Tapi sekarang lupakan itu semua, kini semua kekurangan sudah hilang menjauh dari tubuhku. Semua lemak yang ada aku hilangkan dengan diet dan olah raga teratur demi menggapai cita-citaku menjadi Polisi Wanita.                  Tapi seperti yang dibilang kak Aisha kalau kenyataan nggak pernah seindah bayangan, niatku menjadi Polisi Wanita akhirnya gagal total, bukan karena berat tubuh tapi karena tinggiku yang nggak mencukupi persyaratan. Aku lupa kalau tinggiku hanya sekitar 150 cm dan aku menjadi satu-satunya anak Daddy dan Mommy yang bertubuh pendek.                  "Nty... nang... nang!" rengekan Leana membuyarkan lamunanku tentang cita-cita yang terpaksa pupus di tengah jalan, dan lucunya saat ini aku mengambil mata kuliah yang jurusannya sangat aku benci sejak lima tahun yang lalu.                  Yup, peternakan.                  Jurusan yang akan membuatku berhubungan dengan sapi, kambing, ayam dan berbagai macam binatang. Sepertinya Tuhan menghukumku karena dulu aku sempat mengutuk binatang-binatang tak berdosa itu saat patah hati.                  Arghhh kenapa jadi teringat dia lagi sih setelah bertahun-tahun aku susah untuk melupakan dirinya, bukan karena cinta tapi benci dan kesal karena dia lebih memilih binatang-binatang peliharaannya yang segambreng itu dibandingkan aku, pacarnya.                  "Antyyyy... nang... yuk ta nang," Leana semakin merengek dengan logat tak jelasnya, Leana memang sedikit telat bicara dan kak Aisha terpaksa membawanya terapi untuk memperjelas ucapannya.                  "Iya, sabar," aku menggendong Leana dan membawanya ke kamar yang terletak persis di sebelah kamar Mommy dan Daddy, kamar yang khusus di buat untuk kedua cucunya. Aku membuka lemari baju dan memilih baju renang bikini khas anak-anak untuk dipakai Leana.                  "Let's go..." kami dengan riang menuju kolam renang yang terletak di taman belakang, Leana terlihat antusias saat kami masuk ke dalam kolam dan bermain dengan riangnya, Leana ini perpaduan wajah kak Aisha dengan Daddy, gen keluarga kami sangat kuat di tubuh kedua ponakanku.                  "Meonnnngggg meongggg."                  Samar-samar aku mendengar suara kucing, aku mengedarkan mata untuk mencari asal muasal suara itu, tapi kucing yang aku cari tidak menampakkan batang hidungnya.                  "Meongggg meonggg."                  Aku mendekati Leana yang sibuk bermain air, aku lalu menggendongnya dan membawanya keluar dari dalam kolam.                  "Ntyy... yum celecai..." rengeknya sambil menunjuk ke arah kolam lagi, aku menggeleng dan menyuruh Leana menutup mulutnya.                    "Stttt ada kucing, kamu dengar nggak?" tanyaku, Leana menghentikan rengekannya dan sibuk memutar-mutar kepalanya untuk mencari kucing yang aku bilang tadi, tangan mungil Leana menunjuk ke arah ayunan yang terlihat bergerak pelan, aku mendekati ayunan itu dan menemukan kucing kecil nan mungil sedang meringkuk kedinginan di atas ayunan, tubuhnya basah dan sangat terlihat jelas kucing ini kedinginan. Leana berusaha menjangkaunya dengan tangan mungilnya.                  "Don't touch honey, nanti mama kamu ngomel lagi sama aunty kalau lihat tangan kamu kotor," aku berusaha menahan tangan Leana yang mencoba menjangkau kucing kecil yang kami temukan.                  "Ncing... cyuuu.. ntyyy au ncing," Leana dengan wajah unyu-nya meminta aku mengizinkan dirinya untuk menyentuh kucing yang entah kenapa bisa nyasar ke rumah ini. Selama aku hidup dan tinggal di rumah ini baru kali ini ada kucing liar masuk dan berteduh di rumah ini, mungkin kebencianku dengan hewan semenjak putus yang menjadi alasan Tuhan jarang mengirim hewan liar ke rumah ini.                  "Hmmm... kamu mau?" tanyaku pelan, Leana langsung mengangguk. Selama ini Leana hanya ditemani Mommy dan Daddy saat bermain kalau kak Aisha dan kak Biyan sibuk dengan kegiatan mereka, mungkin kucing lucu ini bisa menjadi teman bermain Leana selain kakek dan neneknya atau Leano yang terkadang sibuk dengan les dan sekolahnya.                  "Oke, Leana tunggu di dalam dulu ya, kucingnya aunty mandikan dulu supaya kotorannya hilang dan setelah bersih baru deh kamu boleh main dengannya," bocah berusia dua tahun ini langsung kegirangan dan kembali bertepuk tangan dengan riang, aku mengambil kucing itu dan mengendongnya.                  "Hai kucing, kamu mau jadi sahabatku?" tanyaku, kucing itu mengeong dan menjilat tanganku dengan lidahnya seakan menerima tawaranku menjadi sahabatnya.                  "Good cat!" aku membawa kucing tanpa nama ini ke dalam rumah dan meletakkan dalam box kain yang nggak terpakai yang aku ambil dari dalam gudang.                  "Untuk sementara rumah kamu di sini dulu ya, nanti kakak belikan kandang dan makanan yang enak untuk kamu," ujarku mengajaknya bicara walau balasannya hanya jilatan di kaki.                  "Meonngggg," balasnya pelan sambil menggoyangkan ekornya.   ****                  Tidak mudah menemukan petshop yang bagus di daerah tempatku tinggal dan setelah bertanya-tanya akhirnya aku menemukan 2G Petshop ini atas rekomendasi salah satu teman satu angkatan yang juga penyuka kucing, dia bilang Petshop ini bukan hanya sekedar Petshop yang menjual segala kebutuhan hewan peliharaan tapi juga memiliki dokter hewan yang cukup terkenal di Jakarta.                  Petshop ini lumayan bersih dan teratur, baru masuk saja sudah tercium aroma wangi dan sangat berbeda dari bayanganku yang selalu mengira Petshop itu bau dan penuh dengan kotoran hewan peliharaan.                  "Permisi," panggilku pelan saat counter pelayanan pelanggan kosong, tak lama seorang laki-laki muda keluar dengan tangan penuh bulu.                  "Eh ada tamu, sebentar ya mbak saya cuci tangan dulu. Takut bulunya terbang ke arah mbak," aku mengangguk dan kembali menunggu sambil melihat-lihat barang yang akan aku butuhkan selama merawat kucing ini. Aku mengambil makanan yang juga direkomendasikan temanku tadi, pasir untuk pup serta pee-nya serta beberapa mainan dan juga kandang kecil untuk tempatnya beristirahat.                  "Mbak," panggil petugas Petshop yang sudah bersih dari bulu-bulu binatang, aku mengangkat box kain berisi kucing tadi dan meletakkannya di atas meja.                  "Saya mau kucing ini dimandikan sampai bersih, wangi dan bebas kutu," aku berniat menyerahkan kucing itu ke petugas petshop tadi, awalnya kucing ini tenang saat aku menggendongnya keluar dari box kain tapi langsung berontak saat petugas itu baru mau mengambilnya dari gendonganku.                  "Grrrttttt," kucing ini seakan tidak ingin di sentuh oleh petugas Petshop yang akan memandikannya.                  "Nama kucingnya? Saya butuh nama untuk menjinakkan kucing ini," tanya petugas itu.                  Nama? Bukankah cukup memanggilnya ‘pus’ saja? Atau kucing pun seperti manusia yang butuh nama untuk jatidirinya?                  "Namanya … Gibran, ya namanya Gibran Hidup Sentosa," balasku asal, hanya nama itu yang teringat di benakku kalau berhubungan dengan hewan.                  Nama yang hampir lima tahun ini hilang bak ditelan bumi, mungkin salah satu hewan peliharaannya sudah memangsanya. Aku bersyukur kalau itu benar-benar terjadi.                    "Hahaha nama yang lucu, Gibran Hidup Sentosa. Tapi melihat penampilan kucing ini hidupnya nggak ada sentosa-sentosanya yang ada menderita," balas petugas itu menyindir kondisi kucing ini, aku menyunggingkan senyum sinis dan mencoba menyerahkan kucing ini lagi.                  "Grtttttttt," suara kucing tadi semakin menyeramkan, lebih menyeramkan daripada auman kak Aisha saat bertengkar dengan Daddy masalah pola pengasuhan kedua ponakanku.                  "Kucingnya galak ya, mbak galak juga nggak?" kali ini petugas itu mulai sok dekat seakan mengenalku, bukannya membalas aku malah menyunggingkan senyum sinis lagi.                  Aih mas-mas ini bisa-bisanya menggombaliku, aku menunjukkan wajah galak bin judes dan mengangguk.                  "Galak, makanya jangan pernah godain saya,” balasku dengan ancaman.                      "Oooo kalau yang galak-galak dokter ini nih rajanya, dia pintar loh menjinakkan binatang dan juga wanita. Sebentar mbak," petugas rese itu masuk ke dalam sebuah ruangan, aku mengelus kucing yang terlihat jinak kalau bersamaku.                  "Gibran..." aku sengaja memanggil nama kucing itu dan lucunya kucing ini seperti mengerti dan menoleh ke arahku.                  "Ya, ada yang bisa saya bantu?" aku melihat laki-laki berjas putih keluar dari ruangan itu, auranya sangat berbeda dari petugas rese tadi. Nametag yang terpasang di dadanya bertuliskan Drh. Gibran S.                  Oh tidak, diakah? Tapi kenapa wajah mereka berbeda, Gibran S ini terlihat lebih mature, sexy dan misterius sangat berbeda dengan Gibran yang aku kenal.                  "Saya mau..." kok aku gugup ya menjawab pertanyaannya, kenapa harus gugup sedangkan mereka jelas-jelas dua orang yang berbeda meski bernama sama.                  "Kucingnya kenapa bisa sekotor ini?" tangannya mengelus kepala Gibran (kucing), dan aku kembali mendengar geraman dari mulut Gibran (kucing), sepertinya Gibran (kucing) tidak terlalu suka saat orang asing menyentuhnya.                  "Karena kotor makanya saya mau mandikan, bisa?" balasku, tanpa sedikitpun memandang wajahnya.                  "Bisa," balasnya sambil kembali mencoba mengambil Gibran (kucing) dari gendongannya, Gibran (kucing) mencoba mencakar tangan Gibran S, aku sedikit malu melihat tingkah hewan peliharaanku yang sedikit nakal.                  "Maaf ya, sepertinya dia masih malu," ucapku pelan, Gibran S tertawa dan menjulurkan tangannya.                  "Come on baby... kita mandi," ujarnya membujuk Gibran (kucing).                  Saat Gibran S sibuk membujuk Gibran (kucing) samar-samar aku mendengar suara langkah kaki mendekat dan berhenti tepat di belakangku.                "Bro, gue pinjam kucing lo dong. Ada lomba nih tapi si Ocean sedang ngambek, jadi dia nggak mau ikut. Maklum lagi bunting suka sensian kalau lagi banyak orang," suara laki-laki di belakangku membuat jantungku berdetak cepat.                  Deg                  Deg                  Suara itu rasanya tak asing di telingaku, tapi tunggu dulu, namaku yang keren dijadikan nama kucing dan kucing itu lagi bunting!                  Aku memutar tubuhku dan aku melihat Gibran lainnya yang juga mantanku sedang berdiri tepat di depanku, aku melihat namanya di nametag untuk memastikan mereka orang yang sama, penampilannya sedikit berubah semenjak terakhir kali kami bertemu lima tahun yang lalu. Kacamata berganti softlens, tubuhnya yang dulu kurus kini mulai terbentuk dan sedikit berisi, tubuhnya yang dulu sering tercium bau ayam kini sudah wangi parfum.                  Gibran G.                Nama yang tertulis di nametag-nya dan aku yakin dialah Gibran yang dulu aku pacari saat masih ABG. Saat baru pertama kali mengenal apa itu cinta.                  Gibran Ganteng, selalu itu jawaban kalau aku bertanya arti G di belakang namanya, dan sampai sekarang aku sama sekali tidak tahu kepanjangan G itu apa. g****k mungkin atau g****k? Bisa jadikan mengingat sifatnya yang kekanakan, dulunya.                  Wajahnya terlihat kaget saat melihatku, aku mendengus kesal dan menunjukkan wajah acuhku lalu aku kembali memutar tubuhku biar kami tidak saling bertatap muka.                  "Hai mantan, long time no see," sapanya seakan aku peduli dengan pertemuan ini. aku kembali mendengus dan tidak menjawab sapaannya.                  Niat untuk memandikan Gibran (kucing) di Petshop ini batal demi harga diriku sebagai wanita yang dulu dicampakkan gara-gara dia lebih memilih ayam dibandingkan diriku.                "Ayo Gibran, kita pulang gerah di sini," aku mengambil Gibran (kucing) dari tangan Gibran S dan membawanya keluar dari Petshop yang membuatku gerah ini.                   "Kamu belum move on ya? Kenapa kucingnya diberi nama Gibran? Biar selalu ingat sama aku ya?" sindirnya dengan tajam diiringi kekehan tertahan, aku menghentikan langkahku dan ingin memberi pelajaran untuk mantan nggak tahu diri tapi sialnya sampai detik ini aku masih menyesal kenapa dulu kami bisa pacaran.                  "Gigit dia, balaskan sakit hati kakak," bisikku di telinga Gibran (kucing) yang aku pegang tadi.                  "Ah rugi rasanya capek-capek datang tapi nggak jadi mandi mandiin kamu. Ya sudah kamu mandi dulu ya nanti kakak jemput," aku menyerahkan Gibran (kucing) ke tangan Gibran G.                  "Nih mandiin, awas kalau nggak bersih!" ancamku dengan keras. Gibran G mengambilnya dan terlihat jelas Gibran (kucing) tidak mengeram marah atau berusaha mencakar Gibran G, bahkan dia menjilat-jilat tangan Gibran G seakan mereka berteman.                  "Oke, let's get a shower. Ajak Gibran ‘kucing’ ke dalam," sambung Gibran S dengan nada serius dan berusaha memecah suasana dingin yang terjadi antara aku dan Gibran G. Sangat jelas aku langsung terpesona pada pandangan pertama pada Gibran S.                  Oke terlalu banyak Gibran di ruangan ini, kepalaku langsung pusing saking pasarannya nama itu, jadi lebih baik aku memberi inisial setiap Gibran yang ada di ruangan ini biar kelak kepalaku nggak pusing.                  Gibran K = Kucing                  Gibran G = Mantan Jahat                  Gibran S = Calon Suami Idaman                  Dan kenapa mereka bisa berada di satu tempat dan kenapa aku bisa bertemu mereka di waktu bersamaan.                    Arghhh gara-gara Leana nih! Andai tadi aku tidak memungut kucing ini, mungkin aku nggak akan pernah ketemu Gibran lagi. Hari ini sangat sial bagiku! rutukku salam hati.                  "Kamu makin cantik Sean, kakak senang bertemu lagi dengan kamu," ujar Gibran G sambil melewatiku untuk menghampiri Gibran S.   ****   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD