3. Gadis Pengantar Bunga

2342 Words
Keindahan bunga memang sangat nyata, namun tak semua bunga bisa kita pegang sebab terkadang ada bunga yang bisa menyakiti yaitu mawar..  Unknown *** Pagi ini Rishi kembali bekerja, namun sebelum berangkat ke toko Rishi seperti biasa akan sarapan pagi bersama keluarganya. Mereka berkumpul di meja makan dengan sang ibu sedang menata sarapan untuk mereka semua.  Darman, Wati, Rishi, dan adik perempuannya yang masih duduk dibangku SMP bernama Rifa. Setelah Wati menaruh makanan pada piring suami dan kedua putrinya lalu mengambil untuk beliau sendiri mereka makan dengan tenang namun di selingi oleh obrolan ringan, seperti pagi ini.  "Mbak, semalam pulang jam berapa?" tanya ibunya dengan wajah teduh.  Rishi yang di tanya langsung mengangkat wajahnya lalu menjawab. "Jam 8.10, Bu. Maaf aku pulang telat. Soalnya aku lembur di toko semalam." Ibunya menganggukkan kepala mengerti.  "Iya, nggak papa kok, Mbak. Ayah dan Ibu khawatir banget lho, mana ponsel kamu mati lagi. Tapi Ayah udah jelasin sama Ibu tadi subuh." Rishi hanya tersenyum tipis. Mood-nya hancur sejak semalam. Apalagi dengan mata yang bengkak sehabis menangis semalam untuk kesekian kalinya. Untung saja Rishi biasa dengan memakai make-up diwajahnya walau tidak berlebihan tetapi orangtua dan adiknya pasti tak akan menyadarinya. Kini setelah terdiam ayahnya yang kini bersuara. "Dek, gimana pembayaran SPP kamu. Waktunya dikasih beberapa minggu lagi?"  Rifa yang ditanya langsung menjawab."2 minggu lagi waktunya, Yah. Kalau belum bisa dibayar maka Rifa nggak bisa ikut MID semester." Rishi yang ikut mendengar itu langsung bertanya pada sang adik. "Emang berapa bulan belum bayar, Dek?"  Rifa menghela napas panjang. "Udah 3 bulan, Mbak. Kan waktu itu biaya SPP Rifa dipinjam sama Mang Jajang soalnya istrinya mau melahirkan makanya Ayah kasih uangnya dulu ke Mang Jajang." Ya, Rishi ingat saat itu. Uang gajinya memang dikasih ke Rifa untuk bayar SPP yang sudah menunggak selama dua bulan namun tiba-tiba mang Jajang tetangga depan rumahnya datang ingin meminjam uang buat persalinan istrinya.  Makanya ayahnya memberikan dulu uang itu pada mang Jajang, sebenarnya Rishi tidak mempermasalahkannya. Apalagi selama ini mang Jajang juga kadang suka membantu keluarga mereka, bukan dengan uang tetapi dengan tenaganya.  Mang Jajang hanya buruh bangunan yang mempunyai upah empat puluh ribu per hari dan dibayar setiap hari sabtu saja. Itupun hanya cukup untuk makan saja juga bayar utang di warung dekat rumah mereka.  Rishi tidak tega untuk minta uang yang sudah dipinjam oleh mang Jajang, ayahnya menghela napas lelah. "Maafin Ayah ya, Dek." Darman menatap sendu putri bungsunya lalu melanjutkan. "Tetapi Ayah akan usahakan pinjamkan di sekolah dulu siapa tahu ada yang mau bantu."  Rishi langsung menolak. "Nggak usah, Yah. Biar aku aja yang pinjam ke toko. Mbak Diana pasti kasih kok."  Namun idenya ditolak langsung oleh sang ayah. "Jangan, Mbak. Biar Ayah saja yang pinjam di sekolah. Ini kan memang tanggung jawab Ayah sebagai kepala rumah tangga." "Nggak papa kok, Yah. Aku masih bisa bantu kok. Pokoknya jangan Ayah yang pinjam di sekolah biar aku aja pinjam di toko."  Kemenagan mutlak pada Rishi sebab ayahnya yang tadinya bersikeras akhirnya mengalah juga.  Sedari tadi ibu Wati dan Rifa hanya jadi pendengar saja, tidak ada yang berani berkomentar sama sekali. Sebab perdebatan tadi memang akan selalu di lihat mereka setiap membicarakan masalah uang. Namun selalu dimenangkan oleh Rishi. Walau kadang ayahnya juga biasa menang.  Akhirnya pembicaraan ditutup dengan mereka berangkat ke sekolah dan ke toko, ayahnya menggunakan motor yang berboncengan dengan Rifa. Sedangkan Rishi harus berjalan kaki dulu untuk sampai ke jalan raya kemudian mendapatkan angkot untuk ke toko.  *** Rishi sampai di toko pukul 7.31, ternyata toko baru saja buka terlihat Diana pemilik toko sedang menata letak beberapa bunga kembali. Rishi segera masuk ke dalam toko. Menyadari kehadiran Rishi, Diana tersenyum. "Selamat pagi, Rishi," sapanya pada Rishi.  "Selamat pagi, Mbak," balas Rishi. "Rara belum datang, Mbak?"  "Udah ada tuh, lagi di belakang mengambil beberapa pot bunga." Rishi segera meminta maaf karena datang telat padahal toko bunga ini buka jam 8.00. Lalu pamit ke dalam untuk membantu Rara di belakang. Walaupun Diana itu pemiliknya namun beliau memang membantu kedua pegawainya sebab cuma mereka bertiga yang ada di toko bunga ini.  Diana memang tidak mengambil begitu banyak pegawai untuk membantunya cukup dua orang saja. Beruntung dua pegawainya bisa di suruh apa saja. ya, di toko ini ada jasa mengantarkan kepada pelanggan yang pesan bunga atau memang ingin diantarkan ke sebuah alamat.  Itu adalah tugas Rara atau Rishi, Diana yang bertugas menjaga toko. Namun untuk pengantaran biasanya bergantian antara Rara dan Rishi. Dan hari ini adalah jadwal pengantaran Rishi makanya setelah membantu Rara di belakang. Ia segera menyiapkan bunga yang akan di antarnya hari ini. Karena ada tiga alamat berbeda Rishi keluar jam sepuluh pagi.  Tepat pukul 10.00 pagi, Rishi siap dengan motor bebek milik toko yang biasa di gunakan untuk pengantaran bunga pelanggan, motor roda tiga ini berwarna merah dengan keranjang di depannya untuk menyimpan bunga.  Rishi siap menaiki motornya ketika  mendengar suara Diana memanggilnya."Rishi, ingat ya alamat kamu bawa itu ada 3. Dan tempatnya agak berjarak cukup jauh kemungkinan kamu kembali ke toko sore hari."  "Sipp, Mbak, yaudah aku berangkat dulu ya," pamit Rishi.  "Iya, hati-hati di jalan," pesan Diana, Rishi dengan cepat mengacungkan jempolnya. Memakai helm yang berwarna merah juga akhirnya Rishi menjalankan motornya dengan pelan. Jalanan yang cukup padat membuatnya harus berhati-hati sebab ia sedang membawa bunga pesanan pelanggan bisa gawat kalau Rishi sampai merusaknya.  Begitu sampai ke sebuah rumah pertama, Rishi turun lalu memencet bel rumah yang ada di samping pagar. Sekitar dua menit akhirnya pemilik rumah keluar dan membuka pagar. Terlihat seorang wanita paruh baya dengan daster rumahan menyapanya. "Ada apa ya, Non?" tanyanya ramah membuat Rishi tersenyum tipis.  "Apa benar ini rumah Ibu Salsa?" "Iya benar, kenapa, ya?" "Ini, Bu, ada pesanan untuk beliau." Rishi menyerahkan sebuah bunga matahari yang diikat rapi dengan pita merah yang cantik.  "Oh iya, Non. Wah bunganya sudah sampai toh. Ini gimana sudah dibayar atau belum?" tanyanya.  "Ini sudah dibayar kok, Bu. Saya tinggal mengantarkan saja." "Yowes, makasih ya, Non." "Iya, sama-sama, Bu. Mari saya duluan," pamit Rishi cepat.  Begitu selesai Rishi kembali ke jalanan untuk mengantar pesanan yang kedua, begitu melihat alamatnya Rishi menghela napas lelah. Alamat ini cukup jauh dari sini. Namun ia tidak bisa mengubah susunan jadwal yang diberikan Diana sebab ada jam pesanan yang harus di antarkan tepat waktu. Makanya bila pelanggan pertama daerah rumahnya dekat pelanggan ketiga namun sangat jauh jauh kerumah pelanggan kedua.  Rishi harus tetap mengantarkan dulu pesanan yang kedua, sesuai jam yang tertulis di buku note alamat pelanggan. Dengan penuh semangat ia melajukan motornya dengan perlahan menuju alamat rumah pelanggan kedua.  Akhirnya dengan selamat Rishi sampai juga ke alamat rumah pelanggan keduanya, begitu memasuki kompleks perumahan yang elite. Membuat Rishi tak henti-hentinya melongo saking noraknya melihat rumah-rumah di sekelilingnya sangat besar dan mewah-mewah.  Di depan rumah pelanggannya pun, Rishi berdecak kagum. "Gila! ini rumah apa istana, ya? Gede amat," gumamnya.  Dengan perlahan turun dari motornya, Rishi yang tak tahu dimana letak memencet bel rumah maka dari itu dengan kebingungan Rishi celingak-celinguk seperti orang bodoh.  Satpam yang bertugas berjaga, segera berdiri dan menghampiri Rishi yang sedari tadi seperti orang bingung.  "Maaf, Dek. Cari siapa, ya?" tanya satpam. Rishi yang kaget ketika mendengar sebuah suara yang berada di depannya.  "Maaf, Pak. Saya ke sini mau cari Ibu Kinan?" satpam melihat penampilan Rishi dari atas sampai bawah terus-menerus . Hal itu membuat Rishi menjadi risih.  "Ada apa mencari Nyonya Kinan?" tanya satpam kembali masih dengan menatap Rishi lekat.  "Ini, Pak. Saya mau mengantarkan pesanan bunga untuk Ibu Kinan." Rishi menyerahkan sebuah kertas nota atas nama Kinanty Arumi. Membuat satpam tadi tersenyum lalu mengajak Rishi masuk ke dalam halaman rumah yang sangat luas. Rishi tak henti-hentinya berdecak kagum sebab begitu memasuki halaman saja yang Rishi tahu sangat mewah ini apalagi kalau di dalam rumah.  Begitu mereka sampai di depan pintu yang sudah terbuka memunculkan seorang wanita paruh baya yang di perkirakan adalah pembantu di sini menyapanya dengan ramah.  "Mbak ini yang mengantarkan bunga buat nyonya Kinan, kan?" tanya Bisa Imah ramah.  "Iya, Bu," jawab Rishi. "Apa Ibu Kinannya ada di rumah?" tanya Rishi tersenyum.  "Oh ada kok, Mbak. Silahkan masuk dulu.  " Rishi menganggukkan kepala lalu masuk ke dalam rumah, setelah mengucapkan terima kasih pada satpam yang mengantarkannya tadi. Begitu masuk Rishi lansung kagum dengan interior ruang tamu yang sangat mewah.  "Silahkan duduk dulu, Mbak. Sebentar lagi Nyonya Kinan turun," kata bibi Imah. "Oh iya, Mbak mau minum apa?" tawar bibi Imah kembali.  "Nggak usah, Bu. Saya hanya mengantarkan pesanan bukan tamu," tolak Rishi cepat.  "Lho nggak papa toh, Mbak. Di sini siapapun itu yang datang ke rumah ini semuanya tamu." Rishi tersenyum lebar, ternyata tidak semua orang kaya itu sombong terbukti keluarga ini walaupun Rishi hanya menebak saja. Tetapi ia yakin dengan firasatnya itu.  "Ya udah, Bu, air putih saja." Bibi Imah mengangguk mengerti lalu berjalan masuk yang ia yakini yaitu sebuah dapur untuk membuatkan minuman buat tamunya.  Namun tidak lama Rishi mendengar suara langkah kaki mendekat dan muncullah sosok wanita yang sangat cantik yang di duga Rishi pasti Kinan. Rishi berdiri untuk menyambutnya.  "Maaf ya lama, saya tadi urus putra pertama saya dulu tadi," kata ibu Kinan yang menyalami Rishi.  Rishi langsung mencium tangan Kinan dengan perlahan membuat Kinan tersenyum. "Mari silahkan duduk." Rishi duduk diikuti oleh Kinan. Rishi segera menyerahkan bunga tulip kuning yang sangat cantik.  "Ini pesanan Ibu Kinan," Rishi menyerahkan bunga tulip yang sedari tadi dibawanya. "Dan ini notanya, Bu." "Oh iya, makasih ya. Wah bunganya cantik sekali," ucap Kinan sambil mengambil bunga beserta nota yang di berikan oleh Rishi. "Oh nama kamu siapa?" tanya Kinan ramah.  "Nama saya Rishi, Bu," jawab Rishi tak kalah ramah.  "Kok saya nggak pernah ketemu kamu, ya? Biasa yang ngantar bunga saya kan Rara." "Iya, Bu, kebetulan hari ini jadwal saya yang mengantar. Mungkin waktu Ibu pesan bunga pas jadwalnya Rara." "Oh gitu ya, pantas saja kita nggak pernah ketemu." Rishi hanya tersenyum, benar kan apa yang tadi firasatnya kalau keluarga ini sangat ramah terhadap siapa saja.  "Iya, Bu." Rishi tersenyum. Tak lama bibi Imah datang membawa nampan dengan dua gelas berisi jus jeruk kemudian di taruhnya di atas meja. Kemudian berlalu sambil tersenyum pada Rishi. Begitu bibi Imah menghilang di balik tembok besar.  Kinan mempersilahkan Rishi minum."Silahkan diminum dulu, ya." Rishi segera mengambil gelas, lalu meminumnya perlahan. Padahal tadi ia hanya meminta air putih saja namun bibi Imah malah memberikan jus jeruk. Kemudian langkah kaki terdengar lagi dan ternyata putra pertama keluarga ini yang keluar.  "Bun, Abang pergi ke kantor dulu, ya." Suara berat khas pemuda menyapu gendang telinga Rishi lalu dengan mulut yang masih penuh minuman Rishi menoleh ke sumber suara. Dengan mata terbelalak Rishi tak sadar menelan jus yang ada di mulutnya sontak membuatnya terbatuk-batuk akibat tersedak.  "Uhukk... Uhukk." Wajah Rishi sudah memerah akibat tersedak lalu terus menepuk dadanya pelan. Membuat ibu dan anak memgalihkan pandangannya pada Rishi.  Dengan gerakan cepat Kinan berdiri lalu duduk di samping Rishi sambil menepuk pelan punggung gadis itu. "Kamu hati-hati dong kalau minum," tegur Kinan. Begitu batuknya reda Rishi tersenyum tipis pada Kinan.  "Saya buru-buru, Bu, soalnya masih ada pesanan yang akan saya antar lagi." Rishi berkata sambil terus menatap Kinan sebab ia tahu sekarang ada mata tajam yang sedang menatapnya.  "Kamu Rishi, kan?" Begitu sampai di depan bunda dan gadis di samping bundanya akhirnya Aaron bersuara. Ya, benar pemuda yang tadi adalah Aaron. Pemuda yang Rishi temui tak sengaja kemarin malam. Kinan melihat putranya dengan gadis di sampingnya secara bergantian dengan wajah bingung.  Sedang Rishi hanya menunduk malu, entah takdir apa yang sedang Tuhan berikan padanya, kenapa Rishi bisa bertemu lagi dengan pemuda ini dalam waktu tak kurun satu hari saja. Kadang takdir senang bercanda.  "Kalian saling kenal?" Kinan tak tahan untuk bertanya karena melihat putranya begitu berbinar bertemu dengan gadis ini. Sedangkan Rishi masih diam saja.  "Ini lho, Bun, gadis yang Abang antar pulang semalam waktu pulang telat." Kinan langsung tersenyum menggoda begitu tahu gadis di samping ini adalah gadis yang di tolong putranya semalam.  "Wah kebetulan banget ya," seru Kinan senang. Rishi meringis lalu dengan berani mengangkat kepalanya.  "Kayaknya saya harus pergi dulu, Bu," pamit Rishi, ia harus pergi dari rumah ini segera. Selain karena mau mengantar bunga lagi Rishi juga mengingat pesan ayahnya. Rishi yang akan segera berdiri langsung ditahan oleh Kinan.  "Lho kok buru-buru sih, duduk bentar dulu, ya," bujuk Kinan. "Tapi Bu saya..." belum sempat Rishi menolak suara Aaron terdengar.  "Oh iya kamu kenapa bisa di sini?" tanya Aaron antusias. Ia sengaja mengubah panggilannya dari lo-gue menjadi aku-kamu.  "Ini lho, Bang. Pengantar bunga pesanan Bunda," jelas Kinan.  "Bukannya biasanya yang antar itu Rara ya, Bun?" Rishi mengernyit mendengar nama Rara disebut Aaron. Ternyata Aaron juga mengenal temannya, Rara. Ya mungkin ini yang di bilang Rara tadi waktu melihat alamat pelanggan yang bernama ibu Kinan.  "Oh bukan jadwalnya Rara, kebetulan hari ini Rishi yang punya jadwal mengantar," jawab Kinan lagi. Rishi memilih diam saja.  Namun tidak dengan Aaron apalagi kini pemuda itu memandangnya lalu berkata.  "Iya, kebetulan banget ya atau... Karena kita berjodoh?" Aaron menarik-turunkan alisnya menggoda Rishi. Membuat yang di goda melengos malu. Hal itu sontak membuat Kinan tertawa.  "Aamiin." Doa Kinan tulus, malah membuat Aaron dan Rishi salah tingkah.  "Ih, Bunda, udah ah lihat tuh muka Rishi merah karena malu," kilah Aaron padahal wajahnya pun sudah merah.  "Ah Abang sama tuh mukanya merah juga," ejek Kinan.  Tak tahan dalam situasi ini Rishi kemudian berdiri lalu benaran pamit kepada Kinan.  "Maaf, Bu. Saya nggak bisa lama-lama soalnya saya harus segera pergi untuk mengantarkan pesanan bunga lagi."  Terdengar Kinan mendesah kecewa namun akhirnya beliau mengalah. "Ya udah kalau gitu. Ayo Tante antar ke depan," ajak Kinan namun di tahan oleh putra pertamanya.  "Biar Abang aja, Bun, sekalian jalan juga. Ya udah Abang ke kantor dulu, ya," pamit Aaron lalu mengambil tangan kanan bundanya kemudian menciumnya dan mencium kedua pipi dan kening bundanya. Hal itu sudah menjadi kebiasaannya dari kecil ketika hendak ke luar rumah.  "Baiklah," Kemudian Kinan beralih ke Rishi. "Lain kali kamu harus ke sini lagi ya," pinta Kinan dengan nada memohon membuat Rishi tak enak untuk menolak akhirnya mengangguk kepalanya.  Hal itu membuat Aaron dan Kinan tersenyum lebar. "Tenang aja, Bun, Abang tahu kok rumahnya. Jadi kalau dia ingkar janji, biar Abang jemput di rumahnya lalu Abang bawa ke sini," ucap Aaron dengan nada santai. Rishi yang mendengarkan langsung melotot pada Aaron membuat Kinan gemas kemudian tertawa.  "Janji ya, Bang?" "Pasti dong, Bun." Aaron mengedipkan sebelah matanya kearah Rishi yang langsung membuang wajahnya.  Sesampainya di dekat motor yang telah terparkir, Rishi yang siap untuk naik dan memakai helm menghentikan gerakannya lalu memandang Aaron yang masih betah berdiri di tempatnya. "Apa?" tanyanya ketus.  "Nggak papa kok, kamu hati-hati ya di jalan," pesan Aaron sambil menepuk pelan pucuk kepala Rishi yang sudah memakai helmnya. Kemudian berlalu begitu saja, tanpa Rishi tahu Aaron sedang tersenyum penuh arti.  Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD