Chapter 2

1564 Words
Suara kalung dan gonggongan Tosser menyambut kedatanganku di apartemen. Bagaikan musik instrumen indah yang menyambut setiap kali kedatanganku. Aku baru saja melepas sepatu ketika Tosser datang dan berputar-putar dengan manisnya. Aku mengangkat Tosser dan membawanya ke dalam gendonganku. Tampaknya Tosser kelaparan. Aku pun memasukkannya dalam pagar yang sengaja aku buat untuk area bermain Tosser dan memberinya camilan sebelum makan besar. Kebiasaan Tosser. "Kau harus makan yang banyak, boy." Kataku sambil mengelus-elus kepala Tosser yang masih sibuk dengan makanannya. Tosser adalah anjing Pugs kecil berwarna hitam dengan sentuhan putih pada hidung dan empat kakinya. Tosser merupakan anak dari anjing yang aku pelihara sejak remaja. Namun, Tosser menjadi keturunan terakhir dari Shout. Karena 5 bulan lalu, Shout mati karena kecelakaan ketika menyebrang jalanan kota yang padat. Sebentar aku perhatikan Tosser yang makan, dan memutuskan untuk meninggalkannya untuk membersihkan diri dan menyiapkan makan malam hari ini. *** Ketika aku selesai memasak pasta untuk makan malam, Tosser sudah tertidur di dalam rumah kecilnya. Aku terkekeh melihat tingkahnya yang kadang menggemaskan. Terkadang aku tidak habis pikir, ketika di kantor aku ingin cepat-cepat pulang hanya untuk melihat Tosser. Setelah melihat Tosser, aku berjalan ke ruang TV untuk menikmati makan malam. Kebiasaanku selama tinggal sendiri, aku jarang makan di meja makan, karena kebanyakan waktuku aku habiskan diruang TV. Aku makan dalam diam. Menonton siaran seputar dunia bisnis yang lumayan aku gemari dibandingkan dunia Hollywood yang penuh dengan sensasi. Betapa kegetnya aku ketika melihat Rush yang terpampang di layar. Tayangan tersebut mengatakan jika perusahaan Rush sedang mengalami kemajuan yang pesat setelah me-merger salah satu perusahaan elektronik ternama yang hampir bangkrut karena terlilit hutang. Tidak sampai itu juga, tayangan tersebut sedikit membahas masalah kehidupan pribadi Rush yang bergelimang harta dan juga selibat. Aku sedikit kaget mengetahui jika Rush ternyata belum atau tidak memiliki istri. Namun, untungnya aku tidak berpikir bahwa dia gay. Dia terlihat sangat manly. Jika dugaanku tidak salah, dia hanya menikmati kencan kilat dengan wanita yang mungkin ia temui di club malam. Sangat ciri khas playboy dan sangat Rush. Aku tak lagi memperhatikan tayangan di TV yang sudah berubah menjadi tayangan yang entah apa. Pikiranku berkecamuk dan sesaat kekecewaan terlintas di benakku. Benarkah aku kecewa karena Rush selibat? Dengan menelan sedikit kekecewaan aku mematikan TV dan berjalan menuju kamar. Mungkin istirahat lebih awal akan mengurangi rasa kecewaku karena Rush selibat. *** "Benarkah?" tanyaku pada Gior. sepuluh menit yang lalu Gior meneleponku, menceritakan tentang Samuel yang akan mengajaknya berlibur ke California menemui orang tua Sam. Gior tertawa, "Kau tahu, aku sebenarnya tidak terlalu diterima oleh orang tuanya." Dia mendengus kemudian melanjutkan lagi, "Ibunya berkata, aku nantinya tidak bisa menjadi istri dan ibu yang baik karena kesibukanku. Padahal aku tahu, aku sangat bisa menjadi istri yang baik. Apalagi kalau urusan ranjang." Aku menyambut kata-kata Gior dengan tertawa. Gior pun melakukan hal yang sama. "Ya, aku sangat tahu jika kau hebat melakukan itu." Jawabku padanya sambil memainkan jariku di atas bantal. aku bersyukur Gior menelepon dan membuatku yang susah tidur ini sedikit melupakan masalah Rush. Ada hening yang cukup panjang sebelum Gior kembali bicara. Aku sangat tahu perasaan Gior sekarang. Hubungannya sudah masuk usia 2 tahun bersama Samuel, bahkan rencana mereka menikah pun sudah ada. Tetapi orang tua Samuel tak menyambut baik kabar ini. "Aku bingung, L. Kau yang sangat tahu bahwa aku mencintai Samuel. Aku pikir Samuel juga begitu. Tapi tidak mungkin Sam akan memilihku, dia pasti memilih orang tuanya." "Apa maksudmu?" tanyaku dengan nada menyelidik. Aku mencium gelagat tak enak dari cara Gior berbicara. Gior menghela nafasnya kasar. "Aku pikir kami tidak bisa terlalu lama, mungkin aku akan memutuskan hubungan kami. Sesudah acara SFW mungkin waktu yang tepat." Kata Gior dengan nada sendu. "Hey... Jangan siksa dirimu, G. kamu tidak boleh mengambil keputusan yang akan membuat kau menyesal. Bisakah aku bertanya satu hal?" "Tentu." Jawabnya. "Jika kau disuruh memilih. Menikah dengan Sam tetapi meninggalkan kariermu atau tetap seperti ini dan kau putus dengan Sam?" tanyaku serius padanya. Gior tak langsung menjawab. Aku yakin dia kini tengah berpikir apa yang akan dia pilih. "Aku mencintainya, L. Sangat." Lirihnya, bahkan aku yakin tak salah dengar jika suaranya bergetar. Mungkin Gior menahan tangisnya, atau mungkin memang sudah menangis. Gior yang aku kenal bukanlah orang yang mudah menangis karena pria. Namun kali ini dia menangis. Dia memang benar-benar mencintai kekasihnya itu. "Kalau begitu, tinggalkan kariermu dan menikahlah dengan Sam." Kataku mencoba memberi solusi pada permasalahannya. "Tidak," kata Gior tegas, "Aku sulit untuk mencapai karierku yang sekarang, bahkan belum genap lima tahun aku merasakan karierku naik seperti sekarang. Aku suka orang mengenalku." Benar memang. Tujuh tahun lalu aku mulai menemani Gior untuk mengikuti casting pertamanya. Namun ia tak langsung berhasil. Barulah dua tahun kemudian, ia bermain di film bertema vampir. Saat itu pun ia hanya menjadi pemeran pendukung di film tersebut. Saat sesudah film itu launching, barulah tawaran demi tawaran datang pada Gior. Aku sangat tahu bagaimana usaha Gior mencapai kesuksesannya. Dan dia juga yang paling tahu bagaimana aku mencapai kesuksesanku. Aku mendengus mendengar jawaban Gior. "Baiklah, aku tak bisa membantu jika itu memang keputusanmu, girl. Aku harap itu yang terbaik." "Aku harap juga begitu, L." Setelah itu tak ada yang bicara diantara kami, dan aku akhirnya memutuskan telpon dengan alasan lelah. *** Pagi ini aku mengajak Tosser jalan-jalan ke taman yang memang dikhususkan untuk binatang peliharaan. Di sini sangat ramai karena memang ini akhir pekan. Sewaktu di lobi apartemen aku bertemu Drew, yang aku ketahui sebagai wakil direktur sebuah perusahaan komunikasi online Smart. Drew Smart. Nama yang cukup unik di telingaku. Sesuai dengan namanya, aku dengar dia orang yang pintar. Usianya berbeda dua tahun lebih tua dariku. Dan dia juga pewaris tunggal keluarga Smart. Drew dan aku bertetangga, dia pria yang tinggal di apartemen nomor 203 sedangkan aku 205. Drew pernah berusaha mendekatiku, namun aku tak pernah meresponnya karena memang aku tak pernah tertarik. Dia orang yang enak diajak bicara tetapi dia bukan orang yang tepat untuk diajak tidur bersama. Setelah pertemuan di lobi tadi, aku dan Drew berangkat menuju taman bersama karena ternyata dia membawa serta sepasang anjing chow-chow miliknya, Joo dan Coo. Sepanjang perjalanan kami tidaklah mulus. Tosser dan Joo yang merupakan anjing laki-laki saling menganggap satu sama lain lebih perkasa. Tetapi yang benar saja, mereka masih anak-anak. Beberapa kali aku harus menggendong tubuh gendut Tosser yang hampir mencapai 7 kilogram itu. "Joo sepertinya merasa tersaingi." Kata Drew ketika aku berusaha keras memisahkan dua pria kecil yang membuat ramai sisi jalan karena suara gonggongan mereka. Aku tertawa mendengar kata-kata Drew. "Ya, seandainya saja kau merasakan bahwa menggendong baby Tosser sangat menyiksa." Kataku dengan nada humor. Wajah Drew mengkerut, tetapi wajahnya jelas menahan tawa. "Hey! Membawa dua anjing hiperaktif seperti ini juga sangat menyiksa." Argumennya berpura-pura tersinggung dengan ucapanku. Aku kembali tertawa, namun tak lagi menjawab. "Kau punya kekasih?" tanyanya sebagai pembuka topik baru. Sejujurnya aku merasa tidak nyaman jika bicara mengenai masalah ini, terlalu pribadi. Dan menurutku, dia sedang mencoba meyelidikiku. Maaf Drew, aku tidak tertarik denganmu. Kataku dalam hati. Aku menggeleng dan memasang senyum separuh. "Tidak, aku belum tertarik untuk menjalin hubungan." Dia menghentikan langkahnya, menatapku dengan satu alis yang terangkat. "Kenapa?" tanyanya. Aku mengangkat bahu. "Aku terlalu sibuk untuk memiliki kekasih, kau tahu. Apalagi sebentar lagi Summer Fashion Week akan diadakan, aku benar-benar tak punya waktu." Jawabku diplomatis. Dia mengangguk, namun sepertinya dia sedang berpikir untuk mengajukan pertanyaan lagi. "Dan aku mengundangmu." Lanjutku lagi. Aku memang ingin mengundangnya, namun sebetulnya terlalu cepat mengatakannya sekarang. Aku hanya ingin mengubah topik kami sebelumnya yang membuatku tidak nyaman. Dia tertawa. "Baiklah, aku akan datang. Aku sangat tersanjung dengan undanganmu." Drew sebetulnya tampan. Dengan mata hijau cerah, dia terlihat begitu manis. Apalagi jika dia tertawa, hidungnya berkerut dan matanya menyipit. Secara fisik Drew memang sempurna dan menurutku, Drew bukan seorang playboy. Dia terlihat setia. Bahkan sampai sekarang dia masih menunjukkan pandangan kasih sayangnya padaku meskipun aku tak pernah meresponnya. Tanpa terasa, perjalanan kami tadi cukup menghabiskan waktu. Kami sudah berada di taman dan melihat anjing-anjing kami bersosialisasi dengan anjing lain. Tanpa sengaja mataku menangkap sosok Rush yang sedang bermain dengan anjingnya. Dia tidak melihatku, hanya aku yang melihatnya. Dia terlalu formal untuk sekedar mengajak anjingnya bermain ke taman. Hari ini dia menggunakan kemeja putih dengan celana berwarna abu-abu dengan dasi namun tanpa jas. Benar-benar mencerminkan seorang pengusaha. Pandanganku teralih karena mendengar suara Tosser yang mengonggong ke arahku, kebiasaannya ketika ingin buang air. Drew yang sedari tadi duduk mengawasi anjingnya pun ikut tertawa melihat tingkah lucu Tosser. Aku menghampiri Tosser dan menemaninya untuk buang air karena memang selalu begitu. Ketika aku selesai menemani Tosser, aku kembali duduk di kursi disamping Drew. Pandanganku mencari-cari sosok Rush. Namun sepertinya dia sudah meninggalkan taman ini, karena memang hari sudah beranjak siang. *** Netflix time. Akhir pekan seperti ini tak ada kegiatan yang berarti untukku. bahkan untuk mandi pun aku malas beranjak. Sekarang aku sedang berada di atas kasur dengan TV menyala. Masih menggunakan piyama tipis dan rambut yang sangat tinggi. Tak lupa kacamata yang sangat jarang aku gunakan ketika berada di luar, biasanya aku menggunakan lensa kontak karena mempermudah gerak. Kegiatan hari minggu seperti ini biasanya aku habiskan untuk streaming film di Netflix atau menggambar desain-desain sepatu. Tetapi hari ini aku tak memiliki mood untuk sekedar menggambar satu desain sepatu. Ponselku bergetar, menandakan ada pesan yang masuk. Namun nomor yang tak dikenali muncul. Setelah membuka pesannya, aku sangat tahu siapa itu. Rush : Apa yang sedang kau lakukan? Bagaimana dengan acara makan malam kita? Laura: Streaming Film. Aku menjawab namun tak merespon pertanyaannya tentang makan malam. Bahkan aku tak ingin tahu bagaimana dia mendapat nomor ponselku. Rush : Hari minggu yang membosankan? Aku mendengus ketika membaca pesan basa-basinya. Namun, aku masih menjawab pesannya. Laura: Ya. Jawabku kembali dengan singkat. Menit-menit berlalu, namun tak ada jawaban kembali dari Rush. Mungkin dia sadar aku sedang tidak ingin diganggu. Arrrghhh Aku tak memungkiri hal itu, aku menunggu balasan pesan Rush.   Apa yang sebenarnya aku lakukan Laura? Bahkan dia tak tertarik padamu. Kau tidak boleh memberi ruang pada playboy seperti Rush. Semua pria sama saja. Benar, semua pria hanya memikirkan nafsu mereka. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD