Chapter 1

1724 Words
Aku menyetir mobil dalam kecepatan rata-rata. Jam masih menunjukkan pukul 7.12 pagi, masih terlalu pagi untuk orang-orang kantoran datang untuk bekerja. Lain halnya denganku. Pagi ini seorang pengusaha kelas berat di New York datang secara khusus menemuiku untuk memesan sepasang sepatu untuk ibunya yang berulang tahun. Pertemuan hari ini akan membahas tentang desain sepatu. Memang betul, Zx eLaura milikku adalah produk yang sangat digemari di New York dan dunia dalam kurun waktu 4 tahun terakhir, dan membutuhkan 435 karyawan yang aku pekerjakan. Awalnya produkku melejit di karenakan sahabatku salah satu bintang Hollywood kenamaan mengenakannya saat datang ke Red Carpet. Dimulai dari sanalah pesanan produkku mulai naik hingga ribuan pasang. Sampai 2 tahun lalu, aku berhasil membangun sebuah industri sepatu yang mengincar masyarakat menengah ke atas. Dan dari yang aku dengar, orang tua pengusaha yang akan bertemu denganku pagi ini adalah salah satu penyuka sepatuku. Walaupun aku sedikit heran, karena biasanya sepatuku digunakan oleh wanita kisaran 17-40 tahunan.          Jika ibu dari si pengusaha yang menggunakannya, kalian bisa tebak umurnya berapa? Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 menit. Aku sampai di depan gedung Zx eLaura. Gedung berwarna mencolok yang sangat aku kenali 2 tahun terakhir. Aku memarkirkan mobilku di basement. Sebelum turun aku membubuhi wajahku dengan make up tipis untuk menunjang pekerjaanku. Aku sudah terbiasa tidak berdandan dari rumah dan menggantinya di mobil saja. Setelah aku rasa make up cukup, aku turun dan berjalan menuju lift. Aku memperhatikan sekitar, sepertinya memang aku datang terlalu pagi karena kendaraan disini hanya ada beberapa buah saja. Lift yang aku naiki menuju lantai 15. Lantai paling atas gedung ini, tepatnya ruangan yang dikhususkan untukku dan ruang rapat super besar yang biasa aku gunakan. Pintu lift terbuka dan menampilkan wajah sekretarisku, Dina. Melihat kehadiranku, dia langsung menyambutku dan membawakan berkas-berkas yang sedari tadi aku bawa di tanganku. "Kau sudah datang?" tanyaku berbasa-basi . Dina mengganguk. "Mr. Welmingheld datang sekitar 20 menit lagi, Nona." Dina adalah keturunan Indonesia asli. Dia adalah wanita berusia 30-an yang dulunya bertetangga denganku di apartemen. Dina sebelum bekerja denganku, dia bekerja sebagai pelayan disebuah pub kecil. Jujur saja, yang membuatku iba, dia menghidupi ayah tiri dan kedua adiknya yang masih bersekolah. Jadilah ketika Zx eLaura dibangun, aku langsung menghubunginya dan mengajaknya bekerja. Walaupun aku sudah menyuruh Dina untuk tidak bersikap formal padaku, dia dengan keras kepalanya mengatakan tidak. Menurutnya, urusan kantor bersifat profesional, dan aku sebagai atasannya. "Bawa langsung ke ruang rapat. Aku akan menyusul kalian tepat 20 menit lagi." Kataku sambil berlalu masuk ke dalam ruanganku. Ruangan yang aku tempati lumayan besar, namun tidak berlebihan. Dihiasi dengan warna-warna cerah dan gaya tatanan interior yang unik. Aku memang menyukai segala sesuatunya yang berwarna dan membuat tidak cepat bosan. Sesampainya dimeja kerja, aku menghidupkan laptop dan mulai menyiapkan bahan rapat hari ini. Tidak banyak yang aku siapkan, hanya beberapa gambar contoh dan katalog-katalog beberapa bulan belakangan untuk referensi. Tepat 20 menit kemudian, Dina memanggil via intercom mengabarkan jika Mr. Welmingheld sudah berada diruang rapat. Dengan cepat aku memungut berkas-berkas yang aku siapkan barusan dan menjinjing laptop yang masih dalam keadaan menyala menuju ruangan rapat. Di dalam ruang rapat hanya ada tiga orang termasuk Dina yang sudah duduk di tempat biasanya. Dan sisanya aku kira Mr. Welmingheld dan rekannya. "Selamat pagi, Mr. Welmingheld." Kataku ketika masuk di dalam ruangan rapat. Ketiga orang yang ada didalam ruangan langsung berdiri menghadapku. Dina dengan cekatan menghampiri dan membantuku membawakan laptop. Aku berjalan menuju tamuku dan mengulurkan tangan. Sedikit bingung awalnya. Aku mengira laki-laki paruh baya ini adalah Mr. Welmingheld. Namun nyatanya aku dikejutkan oleh fakta bahwa orang yang dipanggil 'Mr.Welmingheld oleh Dina masih sangat muda. Hanya sekitar 30-an. "Selamat pagi, Ms. eLaura Hardjojo." Balas Mr. Welmingheld sambil menyambut uluran tanganku. Aku tertegun mendengar suara baritone yang dia keluarkan. Begitu sexy. Dari segi wajah, Mr Welmingheld lumayan tampan. Garis rahangnya yang tegas, hidung ramping, dan bibir yang tidak terlalu tebal namun berwarna merah. Tentunya dia tidak merokok. "Laura bukan eLaura." Koreksiku padanya. Bibir merahnya membentuk huruf  'O' sempurna. "Bisa kita mulai, Ms. Laura?" tanyanya. Aku yang sedari tadi memperhatikan wajahnya hanya bisa mengangguk kaku padanya. Mungkin sadar diperhatikan Mr. Welmingheld berdeham. Menyadarkan aku dari hal memalukan yang baru saja aku lakukan. Aku berkedip-kedip berusaha menetralkan rasa malu yang baru saja timbul. Mr. Welmingheld tersenyum misterius padaku yang membuat wajahku merah seketika. "B-Baiklah, silahkan duduk." Kataku gugup. Kami duduk berdekatan, Dina di sebelah kiriku, dan Mr. Welmingheld di sebelah kanan sedangkan rekannya duduk tepat di sebelahnya. Aku membeberkan beberapa kertas dan katalog di atas meja rapat. Menunjukkan beberapa desain contoh dan bahan-bahan yang digunakan. Sekarang, aku seperti berhadapan dengan sebuah tender besar. Mr. Welmingheld tampak serius mendengarkan aku menjelaskan tentang bahan dan desain yang mungkin saja kami gunakan. Sesekali dia tersenyum misterius sambil menggosok dagunya yang terlihat kasar. Gerakan-gerakan yang dilakukannya menurutku sangat erotis dan mengundang. Mungkin sekarang air liurku sedang mengalir dengan derasnya. "Jadi, Laura,"dia mengambil jeda sebentar sambil merubah posisi duduknya. "Aku ingin ibuku mendapatkan sepatu dengan kualitas paling baik dan hanya ada satu. Karena ini aku pesan khusus spesial untuk Ibuku." katanya penuh dengan penekanan. Namun wajahnya masih menyisakan senyum misterius yang tidak dapat aku baca apa maknanya. "Tentu bisa." Balasku singkat, karena tidak tahu apalagi yang harus aku bicarakan. Demi Tuhan. Dia tidak mengintimidasi sama sekali. Wajahnya penuh kesan humor yang membuatku tidak dapat berkonsentrasi memikirkan apa yang harus aku lakukan atau berikan sekarang. "Bisa beritahu aku, sepatu apa yang akan kau sarankan?" Dia bertanya. Ketika dia bicara matanya menatapku dalam yang membuatku semakin gugup. Tentu saja aku sudah biasa berhadapan dengan laki-laki. Aku 25 tahun, dan baru kali ini aku terkalahkan oleh pesona seorang pria dewasa seperti dia. Dalam hari aku tertawa. Sanggupkah aku menyelesaikan pertemuan kami hari ini tanpa aku naik keatas pangkuan lalu menyerangnya? “Ibumu menggunakan stiletto?” tanyaku padanya. Dia menaikkan satu alisnya bingung. "Jika yang kau maksud sepatu runcing yang mematikan itu. Ya, dia menggunakannya." Katanya yang kali ini diiringi dengan kekehan. Aku mengangguk-angguk. Namun tak balas tersenyum. "Kurasa untuk model kita bisa gunakan stiletto. Lalu untuk corak," aku membolak-balik desain-desain yang aku gambar semalam. "Manakah yang menurutmu pasti ibumu sukai?" tanyaku padanya. Dia melirik sedikit ke atas meja, tempat berbagai desain yang kusebar tadi. Tak lama kemudian dia menggeleng. "Tidak ada." Mr. Welmingheld benar-benar membuatku bingung. Sebenarnya seperti apa selera ibunya? Ibunya pastilah seorang wanita 60 tahunan yang mencoba awet muda dengan menggunakan stiletto mematikan. Aku bisa membayangkan betapa keriput ibunya Mr.Welmingheld. Dan aku yakin sampai sekarang mungkin Mrs. Welmingheld masih menggunakan lipstick warna merah menyala. Aku menggaruk pelipisku yang sebenarnya tidak gatal, sambil memikirkan stiletto apa yang digunakan wanita 60 tahun? "Maaf, tuan. Jika aku boleh tahu, apakah Ibumu menyukai corak-corak tertentu?" tanyaku padanya. Dia diam sejenak. Mungkin berpikir apa yang ibunya sukai. "Dia menyukai warna-warna pastel dan tidak ada corak tertentu. Dia orang yang simple menurutku." Kemudian dia bercerita tentang berbagai barang dan corak yang dimiliki ibunya. Dan yang paling penting dia paling tidak menyukai corak kulit ular dan buaya. Pecinta binatang, huh? Aku mencatat apa saja yang mungkin disukai oleh ibu Mr. Welmingheld. Tentu saja sesuai arahannya. Serta ukuran kaki sang ibu. Dari ukuran kakinya, aku bisa menebak Mrs Welmingheld memiliki badan yang mungil. "Bisakah kau menyelesaikannya dalam waktu tiga minggu? Dan aku ingin melihat desainnya satu minggu lagi." Katanya dengan nada otoriter yang sangat kental. Aku mengangguk. "Satu minggu lagi." Ulangku. Dia tersenyum. Bukan senyum misterius yang dari tadi dia tampilkan. Namun senyum menawan yang membuatnya makin terlihat manly. "Bagaimana kalau kita minum teh, Ms. Laura?"tanyanya. "Laura saja," kataku singkat,aku coba mencerna permintaannya barusan. Benarkah dia mengajakku keluar? "Jadi?" tanyanya lagi. Aku mengangkat bahu dan tersenyum. "Aku tak tahu. Sepertinya hari ini aku sibuk." Ujarku sambil berbalik melirik Dina dan melotot saat Dina hendak membuka mulut. "Bukankah begitu, Din?" tanyaku sambil melotot kearah Dina. Dina yang ditanya malah kaget dan terlihat gugup. "A-anu.. Ya. Hari ini nona sibuk." Jawabnya sambil berpura-pura melihat tablet. Aku tersenyum kaku ke arah Mr.Welmingheld yang sekarang menatapku dengan wajah bingungnya. "Sepertinya lain kali, Mr. Welmingheld." Kataku dengan wajah tanpa dosa. "Rush. Panggil saja Rush," katanya datar. "Aku ingin satu minggu lagi. Aku akan atur jadwal dengan sekretarismu untuk makan malam dan melihat desainnya. Dan aku ingin satu minggu lagi." Rush berdiri dari tempat duduknya. Kemudian mengancingkan setelannya yang tadi sempat dibuka. "Sampai jumpa satu minggu lagi, Laura." Rush mengulurkan tangannya padaku yang langsung aku sambut dengan gugup. "Sampai jumpa." Jawabku padanya. Rush tersenyum misterius lagi dan kemudian berbalik menuju pintu keluar diiringi dengan rekannya yang sedari tadi tak bicara sama sekali. Satu minggu menjelang makan malam, huh? *** Ternyata aku tidak bohong ketika mengatakan aku sibuk hari ini. Buktinya aku memiliki setumpuk pekerjaan dan penyeleksian desain yang masuk untuk acara Summer Fashion Week satu bulan lagi. Summer Fashion Week merupakan acara Fashion show besar tahunan yang memamerkan berbagai macam desain original Zx eLaura sampai karya desainer pemula yang biasanya dibeli oleh Zx eLaura. Sebenarnya acara ini bukan hanya saat Summer. Namun, juga ada pada musim-musim lain. Summer Fashion Week merupakan yang terbesar dari yang lainnya karena kebanyakan desainer pemula paling banyak berpartisipasi pada musim ini. Waktu sudah menunjukkan jam makan siang telah tiba. Namun, aku masih berkutat dengan kertas-kertas berserakan di atas meja. Jujur saja, aku lupa makan siang jika Dina tidak masuk ke ruangan dan bertanya padaku apakah ingin dipesankan sesuatu. "Pesankan saja salad seperti biasanya, Dina." Dina hanya mengangguk dan berbalik meninggalkan ruangan kerjaku. Sekitar setengah jam kemudian, dia kembali dengan wadah berisi salad dengan minyak zaitun. Makanan rutinku setiap hari. "Ada lagi, Nona?" tanyanya padaku. Aku menggeleng dan langsung menyuruhnya pergi dari ruanganku. Sepeninggal Dina aku langsung menyantap salad-ku dengan susah payah. "Sangat sehat dan rendah kalori seperti biasa?" tanya sebuah suara yang sangat aku kenali beberapa tahun ini. Aku mengangkat kepalaku dan Gior disana. Berdiri diambang pintu. Aku terkekeh. "Ada keperluan apa seorang bintang Hollywood mampir ke toko sepatu kecil seperti ini?" godaku pada Gior. Gior kini tertawa terbahak-bahak mendengar perkataanku. "Hey! Aku tak keberatan menerima endorse sebuah stiletto dari toko sepatu kecil ini seperti biasanya." Aku menatap sebal kearah Gior. "Ya Tuhan, Gior. Kau sudah sangat kaya. Jangan mengharapkan endorse dariku lagi." Kataku berpura-pura memasang muka sedih. "Baiklah," Gior mengangguk-angguk. "Hanya saja aku harus ikut dalam Summer Fashion Week tahun ini!" "Kenapa begitu?" tanyaku bingung. Gior mengerucutkan bibirnya imut. "Kau tahu 'kan, Sam akan pulang Summer ini. Aku hanya ingin dia menontonku tahun ini di acaramu." Aku mendengus mendengar permintaan 'aneh' Gior. "Tidak bisa, Gior." "Kau tahu sendiri aku sudah membuat kontrak dengan para model dua bulan yang lalu. Kau tidak bisa masuk begitu saja." Kataku mencoba memberi pengertian pada Gior. Sekarang Gior memasang wajah memelas yang paling aku benci. Wajah yang jika sudah ditunjukkan, saat itu juga aku kalah. "Aku kira kita teman, Laura. Kau tega." Balasnya dengan nada bergetar yang dibuat-buat. Aku mendesah frustasi padanya. Aku memang tak bisa menolak permintaan Gior jika dia sudah seperti ini. "Baiklah, aku izinkan. Tapi aku belum bisa membayarmu. Kau tahu sendiri, harga yang harus kubayar untuk model sekelas dirimu?" Wajah Gior langsung cerah dan bangkit berlari menuju kekursiku. Dia mendekapku erat dalam pelukannya yang membuatku sangat sulit bernafas. "Terima kasih, Laura sweetheart. Aku tidak akan meminta bayaran, tenang saja." Katanya sambil tertawa menyebalkan. "Baiklah, lepaskan aku. Kau membuatku tidak bisa bernafas." "Upss," kemudian dia melepaskan dekapannya. "Aku terlalu bersemangat." Benar-benar hari yang menyebalkan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD