She is Irene ( POV )

1124 Words
"Apa yang sedang kau lakukan? " Suara Mino diujung telepon membuatku tersenyum tanpa sebab. Wajahku langsung memanas mengingat bekas yang ia tinggalkan pagi ini — "Aku sedang —" suaraku bergetar menahan senyum, "— menyiapkan berkas." Mino berdecak di seberang sana. Aku tahu dia pasti sedang menahan tawa karena menggodaku. "Kau tidak sedang memikirkan semalam kan?" Aku berdeham sambil menekan pelipisku, "Hemm. Kau sudah menghabiskan sarapanmu? Aku kecewa karena roti yang kubuat terbuang sia-sia karenamu." Aku masih mengendalikan suaraku agar terdengar merajuk. Padahal senyum malu-maluku masih saja bertahan diwajahku. "Baiklah. Kupertimbangkan untuk menyantap keduanya sekaligus lain kali," tandasnya. Astaga.. Pikiranku melambung jauh ke hal-hal kotor! "Tadi pagi aku lupa membahasnya, kapan kita akan fitting baju?" Mino terdengar gusar, "Ah itu. Hari minggu kita pergi, bagaimana? Aku tidak menyangka mencari orang hilang ini sedikit mengganggu pikiranku —" "Baiklah —" Aku memotongnya cepat dengan napas kami yang sama-sama terhela kasar. Ada rasa kecewa saat pekerjaan Mino selalu menyita seluruh pikirannya. Sebulan lebih tidak bertemu, bahkan kontak terakhir saat natal. Sebagai kepala biro penyelidika, Mino terkadang harus mengalami masa-masa sulit. Bertemu dengan penjahat sering kali membuatku was-was. Tidak jarang segala macam luka juga ia dapatkan. Terakhir kali, Mino juga harus mendapatkan bekas luka permanen di dadanya. Karena seorang gembong narkoba melakukan perlawan saat ditangkap. Luka itu membuatnya harus mendekam cukup lama di rumah sakit. Padahal aku tahu, Mino amat benci tempat itu. "—aku akan menunggu semua itu selesai. Aku harus pergi, nanti ku telepon lagi. I love you." Tepat saat Mino mengucapkan hal yang sama , pintu ruanganku terbuka. Menunjukkan sosok Alice yang tersenyum cerah bak bunga persik untuk menjemputku keluar. Aku masih merasa tertekan dengan rencana penting yang sekali lagi harus di undur Mino. Aku merasa, kasus ini amat besar dan sulit. Tapi apa? "Sudah siap? Aku sudah menerima telepon dari Sandara. Mereka menunggu kita —" Aku mengangguk lalu ikut dengannya setelah mengambil blazer dan Hermes dengan warna senada di atas single chair. Aku melirik ke cermin besar dulu sebelum melangkah keluar. Tanpa sengaja aku menjatuhkan antingku sendiri. Anting bermanik mutiara ini terlepas. Ujung jarumnya juga mengenai jari telunjukku. Aku meringis merasakan perihnya. Alice menyusul kembali ke ruanganku karena aku tak kunjung keluar mengikutinya. "Hei...ada apa?" "Tidak ada. Aku hanya terluka sedikit," ujarku menunjukkan telunjukku. Alice langsung bergegas menuju drawer lalu membawakan sebuah perekat luka. Dia memang temanku yang cepat tanggap. Terkadang aku seperti sering menyusahkannya. "Kau ini sama saja cerobohnya dengan tunangan gilamu itu," ketusnya dan aku terbahak-bahak mendengarnya. Dengan gamblang Alice pernah mengatakan kalau dia tak menyukai Mino bersamaku. Tapi demi pertemanan, Alice ikut saja dengan pilihanku itu. Lagi pula alasannya tak menyukai Mino sangatlah lucu. Alice menganggap Mino pria kuno dan urakan. Tak tahu fesyen dan kasar. Yah..kuakui dia memang mengikuti sekali gaya mendiang ayahnya itu. "Hemm...mungkin ini yang dinamakan jodoh?" ujarku usil. Membuat gadis itu memutar bola matanya, muak. . . Kami tiba lebih awal dari waktu yang ditentukan. Audi Alice terparkir tepat di seberang toko penuh artistik pemiliknya. PEACEMINUSONE. Nama gerai yang berbeda seperti konsep yang mereka buat. Gedung ini terlihat tidak terlalu luas dari luar namun berkesan oriental dan mewah saat memasuki area dalam. Manekin bergaya sesuai pakaian yang mereka pamerkan. Sangat modis dengan sentuhan dark and cool grimmy yang tersuguhkan di toko ini. Aku membalas salam beberapa staff mereka sebelum aku bertemu dengan gadis cantik bersurai cokelat terang. Aku yakin dialah klien yang meminta sponsor dari kami dan memintaku dan Alice untuk memantau toko mereka. "Aku Sandara Hotsman, sales executive PMO. Anda pasti Irene Hill?" Aku mengakuinya lalu menyambut uluran tangannya. "Yeah. Senang bertemu denganmu Sandara Hotsman —" Sandara menggeleng saat aku menyebut nama lengkapnya ,"Panggil saja aku Dara. Akan menyenangkan kalau kita bicara secara informal kan?" Ia berkedip centil lalu mengajak kami ke sebuah ruangan. Di sana sudah berdiri seorang pria yang tengah membenahi manekin dengan pakaian yang akan di pajang. Pria tersebut tampak asik dengan pekerjaannya. Sampai ia menoleh setelah Dara memanggilnya. "Gee! nona Hill dan Alice sudah datang —" Dara memperkenalkan kami dengan pria itu . Dagunya yang runcing sangat simestris dengan senyumnya yang menawan. Aku tak menyangka, pemilik brand ini masih terlihat muda dan kharismatik. "Namaku Gerald. Senang bisa bertemu denganmu." Aku menyambut salam hangatnya lalu berucap, "Panggil saja aku Irene. Dan ini sekretarisku, Alice." Gerald menyambut salam Alice dan kami dibawanya menuju sofa beludru merah. Ruang kerjanya lumayan luas. Dinding batu bata merahnya dicat hitam dan putih di beberapa bagian. Perabot yang elegan dengan konsep berwarna-warni, menambah kesan ruangan ini tidak terlalu gelap dan suram. Justru tampak cerah ditambah pencahayaan yang dibuat senatural mungkin dengan memanfaatkan pencahayaan alami dari matahari. Ada dapur kecil lengkap dengan peralatan masak di sana. Dara menyadari kekagumanku hingga ia berdeham untuk memutuskan keterkagumanku. "Bagaimana? Apa sudah cukup puas dengan proyek yang kami tawarkan?" Aku tersenyum simpul lalu kembali fokus pada proposal. Tak lama Gerald datang dengan empat gelas kopi setelah tadi ia sibuk berkutat di dapurnya. "Aku harap perusahaan kita bisa saling bekerja sama. Karena bagaimana pun PMO akan kesulitan berkembang jika tidak mendapat suntikan sponsor dari perusahaan kalian." "Aku terkesan. Dengan konsep dan keahlian kalian membangun sebuah gerai dan mode yang menarik seperti ini. Untuk itu Alice mungkin bisa mengsurvei lebih jauh nantinya tentang kontraknya." Aku selesai menilai surat dan mereka berdua terlihat sangat senang di seberang kami. Setelah perbincangan formal ini, sekilas aku ingin berkenalan lebih jauh tentang mereka. Entah kenapa, aku penasaran dengan kedekatan mereka yang bisa kutebak mereka bukan sekedar teman kerja. "Kalian pasangan kekasih?" Alice bertanya dengan spontan pada keduanya. Aku pikir dia seperti membaca pikiranku. Astag..anak ini. Reaksi mereka terlihat amat berbeda. Dara seperti malu-malu sambil melirik pria bertato wings di sebelahnya itu tapi Gerald menanggapinya hanya dengan tersenyum tipis. "Aah.. Tidak. Kami hanya partner yang kebetulan memiliki hobi yang sama dalam fashion." Gerald menjawab dengan mantap. Dara? Gadis itu langsung mengunci senyumnya. "Oh bukankah Irene akan segera menikah? Kapan itu akan diselenggarakan?" Dara bersemangat lagi. Aku menanggapi dengan sedikit antisipasi, "Rencananya bulan depan, tapi calon suamiku masih sibuk dengan pekerjaannya. " "Ah.. Aku harap kalian secepatnya menikah," ujar Dara dan aku menangkap simpatinya padaku. Yah.. Aku cukup gelisah dengan rencana pernikahan ini. Selalu saja ada halangan yang membuntutinya. Untuk fitting baju ini saja, aku tidak yakin Mino bisa menemaniku. "Bagaimana kalau kita membahasnya sambil makan siang? Aku akan sangat senang jika kalian bergabung menikmati masakanku." Gerald menawarkan diri dengan percaya diri. Alice terperangah mendengarnya. Dan itu di akui partnernya yang juga menyukai masakan Gerald . "Sulit sekali menilaimu. Selain tampan dan fashionable, anda juga mahir di dapur!" puji Alice berlebihan. Aku mengamati, kalau rekanku ini pasti sudah menarik targetnya. Secara Alice kan masih sendiri. Dan dia sepertinya tertarik dengan pria yang irit bicara itu. Gerald hanya bisa menggendikkan bahu sambil mengemas bahan-bahan makanan yang akan ia olah — "Aah.. Aku harap, aku bisa menunjukkan keahlianku yang lain." Senyumnya dengan penuh percaya diri. Well.. .aku melihat dirinya mirip dengan Mino saat ia juga tengah unjuk diri. Mereka berdua terlihat seperti pinang di belah dua. Sedari tadi, aku memikirkan hal itu. Wajah mereka hampir mirip. Potongan rambut dan tingginya juga sama. Mungkin yang mencolok adalah gaya berpakaian. Yah..harus kuakui semua apa yang Alice katakan tentang pria pisces itu. "Jadi para ladies ingin makan apa?" . . Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD