He is Mino ( POV )

1757 Words
➖➖ Cahaya matahari menyilaukanku. Aku bergerak malas sambil meraba tubuhku yang kini tengah telanjang bulat di dalam selimut tebal miliknya. Aku berdecih ketika suara musik sudah memekakkan telingaku pagi-pagi. Ternyata aku memang sudah ditakdirkan untuk bangun dan tak lagi bermalas-malasan. Akhirnya aku bangkit setelah memakai boxer bergambar batman itu. Aku berdecih lagi melihat selera Irene saat membelikanku satu set pakaian dalam. Dan yah, siapa lagi kalau bukan si nona bawel yang menyetel musik sekeras ini. Ia bahkan tengah menggoyangkan pinggulnya sambil memasak saat aku diam-diam melangkah mendekatinya — I've been there all night I've been there all day.. And boy.. got me walkin side to side Bergoyang seperti di lagu tersebur. Aku bergerak untuk menunjukkan padanya akibat dari perbuatannya itu. Seperti dugaanku, Irene langsung berdiri dengan tegang. Ia berbalik dan mencoba menjauhkan tubuhku darinya namun aku masih setia memeluk pinggangnya saat ia menatapku horor. "Sarapan?" Ia bertanya dan aku mengangguk. Irene semakin gugup saat aku sedang menggesekkan tubuh depannya. "Ehmm.. By the way, sarapan roti maksudku —" Bagaimana ia tidak menyelerakan? Irene dengan nakalnya hanya mengenakan kaos besar dengan celana dalam yang bahkan bisa kulihat tanpa membungkuk. Aku rasa beberapa ronde semalam masih belum menghilangkan euforiaku. I need her , now — Jadi kuselipkan langsung tanganku pada belahan pantatnya. Kusapu memutar ke depan , ke belakang terus hingga celana dalamnya perlahan turun. Irene hanya bisa terengah saat aku mulai menyentuh bagian keintimannya. Ucapannya mulai tak jelas saat bibirku juga sudah menyentuh dadanya dari balik kaosnya. "Nanti kau akan ter... lambat Min — o." Ia tersentak begitu jariku mulai memutari daerah surgawinya. Aku masih belum melakukannya terlalu kencang tapi ia sudah terdesak untuk semakin merapat padaku. "Kantor polisi masih belum buka jam segini —" jawabku sambil menggesekkan jariku padanya lebih bersemangat lagi. Irene sudah mencengkeram bahuku agar tak terjatuh akibat orgasmenya. Tanpa melepas kaosnya, aku sudah menarik sebelah kakinya untuk memeluk pinggangku. Ia menurut dan langsung menutup matanya saat aku mulai menghentakkan milikku pada tubuhnya dalam - dalam. *** "Kau suka apartemen baruku?" Irene duduk menyamping di pangkuanku. Aku mengendus rambutnya lalu mencium pelipisnya. Rasa rindu ini, bagaimana bisa sebulan lebih aku tak bersama tunanganku? Banyak kasus di kantor dan itu menguras semua tenaga dan pikiranku. Irene yang supel dan tak membuat masalah, itu sudah menjadi rasa terima kasihku padanya. Tapi sayangnya terkadang aku kurang memperhatikannya. Aku menyesali hal itu namun aku tahu, Irene pasti memahami keadaanku. Gadis ini bisa kuandalkan. Dia bisa membuatku nyaman setiap kali aku merasa kelelahan. Irene adalah tempatku pulang. Apa yang bisa kulakukan tanpa dirinya? Oh.. Membayangkannya saja aku tak sanggup. "Ehmm.. Aku suka. Dekat dengan kantorku." Irene menciumku lagi sambil memasukkan potongan apel ke mulutku. "Aku mendapat pekerjaan bagus. Aku rasa pilihanku tak salah untuk menjadi sponsor salah satu klienku." Senyumku menghilang dengan apa yang ia katakan itu. Pekerjaannya terkadang membuatku cemburu berlebihan. Kali ini dengan siapa dia akan bekerja? "Jangan mengambil resiko besar Irene —" Irene menolak untuk disanggah. Gadis ini bahkan berani memelotoitku, "Hei.. Kau lupa seberapa hebatnya aku memilih proyek? Biasanya tak pernah meleset." "Kau terlalu ambisius." "Yah karena tunanganku sangat pemalas." Aku berdecak sebal dan ia hanya terkekeh melihat alisku sudah menyatu karena ucapanya. Di mana letak malasku? Aku sudah menjadi detektif yang disegani wilayah Portland. Kasusku bukan sembarangan. Terakhir kali aku baru saja menyelidiki tentang penyekapan seorang gadis yang ternyata adalah tetangganya sendiri. Persis seperti kasus Ariel Castro. Seorang pembunuh, pemerkosa, penculikan dan kasus lain yang tak ingin kusebutkan. Untungnya gadis itu tak mengalami kejadian buruk seperti itu. Dia berhasil selamat dan pelakunya telah ditahan. Aku mendapatkan penghargaan namun belum juga dikaruniai kenaikan jabatan. Padahal uang promosi cukup lumayan untuk pesta pernikahanku nanti. "Kasus apa yang sedang kau tangani sekarang?" Irene mengintip semua berkas yang berserakan di meja. Aku membungkuk untuk mengutip kertas-kertas itu saat ia masih setia duduk di pangkuanku. "Kasus orang hilang. Dalam sebulan dua orang ibu rumah tangga menghilang." Irene mengambil salah satu kertas dan ia mulai ikut campur, "Dia tinggal di sekitar sini?" Aku mengusap wajahku kasar lalu mencium pundaknya lagi, "Jangan pulang terlalu malam. Kita harus sering berkomunikasi mulai sekarang." "Hei.. Aku bahkan lebih jago karate daripada kau!" Irene mengejekku dengan tangannya yang terayun dan wajahnya yang meremehkan. Aku tahu dia lebih jago. Di bangku kuliah dia bahkan pernah mematahkan batang hidungku. "Hei! Kau pikir sekarang aku selemah itu? Huh?" Irene mengangguk antusias dan itu malah membuat sesuatu terbangun di bawah sana. Karena ia terus bergerak mengguncangkan tubuhnya. "Tapi setidaknya, aku tak pernah lemah saat memuaskanmu." Aku memulainya lagi dengan menyingkap kaosnya. Dan Irene hanya bisa bengong saat aku sudah menerkam kedua buah dadanya dengan rakusnya. *** Aku baru saja ingin membakar rokokku ketika pintu jeepku dibanting keras oleh Bobby. Rekan kerjaku yang beberapa menit lalu kusuruh untuk membeli beberapa cemilan karena aku kelaparan. Bobby masih menekuk wajahnya saat kusuruh tadi. Ia membuka salah satu bungkusannya lalu mengoleskan saos dan mayonaise ke dalam burgernya. Melahapnya sendiri lalu memberiku kentang goreng dengan amat terpaksa. "Hei! Kenapa malah kau duluan yang makan? " Aku mencari bungkusanku dan melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan. Bobby menelannya susah payah sambil menyalakan mesin mobil. "Apa Irene tidak membuatkanmu sarapan hingga kau memintaku membeli burger?" Aku tergelitik dengan kata sarapan. Sebenarnya pagi tadi rasa laparku bukan berasal dari perut, tapi yang ada di bawah tubuhku. Aku terlalu bersemangat hingga lupa dengan roti buatan Irene dan sekarang malah merasakan nyeri di ulu hati. Sebulan lebih tak menyentuh kulit sintalnya, rasanya nyaris membuatku menjadi pria menahun. Bobby dengan mulut penuh burger kembali mengoceh, "Mmakhannya khallaw ssarapan ithuu yang bbenal . Mmakan nnasi bbukann makann susuu —" Kutimpuk kepalanya dengan binder dan Bobby hanya bisa mengerang pasrah karena teguranku. "Ayo jalan! Time is money!" Mobil pun melaju dan aku siap dengan sarapanku. *** Dua kasus ibu rumah tangga yang hilang memang sedikit merepotkan. Lagipula, aku dan Bobby lebih terbiasa menjalankan tugas mengungkap kasus pembunuhan daripada mencari orang. Aku pikir, sudah banyak daftar orang hilang karena mereka mungkin saja kabur dari masalah. Penipuan dan penggelapan, biasa terjadi untuk menambah DPO (Daftar Pencarian Orang) saja. Ini tergolong perkerjaan yang kurang membuatku bersemangat. Tapi mau bagaimana lagi, ini satu-satunya pekerjaan senggang yang bisa kulakukan sebelum aku cuti. Aku akan menikah dengan Irene bulan depan, jadi kapten memberiku keringanan menjalankan tugas dibawah rate C. "Ini rumahnya?" "Apartmen Black Mories blok 4 nomor 211. Yeh, benar ini apartemennya. " Bobby meyakinkan dan kami berdua siap untuk mencari informasi. Salah satu wanita yang hilang bernama nyonya Belle Watsons. Menghilang sejak malam tahun baru. Dalam laporan, ia tengah pergi sendiri membeli kalkun untuk santap malam. Namun tidak kunjung pulang sampai sekarang. Aku dan Bobby menemui suaminya yang kebetulan berada di rumah. Ia kelihatan berantakan. Penampilan khas pria yang tak terurus istri begitu lama. Aku tidak heran jika ia menyambut kami dengan hanya mengenakan celana boxer selututnya di depan pintu. "Ehmm selamat siang. Kami dari kepolisian distrik 4. Ingin menanyakan beberapa hal tentang istri anda —" Tuan Watsons tampak gusar dan ia segera mengambil kaosnya. Tanpa berniat membiarkan kami masuk, ia lantas bertanya apa pada kami di depan pintu. Aku dan Bobby meliriknya bingung — "Ehmm tentang kebiasaan istrimu, pa sebelum menghilang kalian sedang bertengkar?" Bill Watsons mengerjap beberapa kali. Ia membenarkan letak kacamatanya sambil menunduk menjauhkan diri menatapku. "Bu.. kan pertengkaran besar. Kami hanya berselisih tentang anak kami yang mulai susah diatur." Aku berdeham dua kali lalu melanjutkan lagi, "Berapa usia anakmu?" "10 tahun" Bill menjawabnya dengan cepat dan ia menambahkan, "Istriku lumayan cerewet soal makanan. Anakku sulit diatur soal selera masakan istriku. Dan kalau sudah demikian, kami sering bertikai karena aku yang terlalu membela anakku." "Jadi, apa yang dilakukan anak anda sekarang?" Bill menunjukkan wajah sedihnya. Ia mulai mengangkat kepala untuk mengekspresikannya pada kami, "Anakku jadi merasa terpukul sejak ibunya menghilang. Bahkan tak berhenti mencari di tempat biasa ibunya pergi." Aku mulai tertarik dengan ucapannya yang terakhir, "Dimana itu?" "Di Beverly high. Disana ada orang tua istriku dan saudarinya." Bobby berempati dan ia memberi tepukan semangat pada bahu pria berbau alkohol itu. "Anda pasti juga merasa terpukul. Beritahu kami jika ada hal yang mengganjal dari istri anda sebelum dia menghilang." Bill mengangguk paham dan ia memberi salam perpisahan pada kami. Baru beberapa langkah, aku kembali menoleh untuk melihat Bill yang akan menghilang di balik pintu rumahnya. Aku melihat sepatu high heels merah tersampir di samping dinding. Lalu mengamati wajah Bill yang tersenyum simpul bagai terlepas dari masalah. Tak lupa dengan jemuran yang salah satu bagian sisinya ada pakaian dalam wanita yang baru di jemur — Aku menghela napas geram lalu menarik Bobby ke rumah korban selanjutnya. *** Berbeda dengan Bill, rumah orang hilang berikutnya lebih ramah dan terbuka. Suaminya adalah Andrew — 40 tahun dan istrinya adalah Sarah Parkle yang menghilang beberapa hari yang lalu. Setahu suaminya, Sarah sama sekali tidak memiliki masalah dengan sekitarnya. Bahkan hubungan rumah tangga mereka baik-baik saja. Andrew hanya menyesali bahwa ia jarang berada di rumah karena banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja. Ia menyesal hingga menangis saat mengatakan penyesalannya pada kami di dalam rumahnya ini. "Aku yakin Sarah orang yang cukup menyenangkan dengan tentangganya. Walaupun ia suka asal bicara tapi Sarah suka memberi pada tetangganya. Aku tau itu —" Anaknya yang berada di sampingnya ikut merasakan kesedihan yang sama. Ia terus saja menunduk sesekali mengangguk apapun yang dikatakan sang ayah. Aku terusik dengan luka bakar yang ada di tangan putrinya itu. Dan saat ku tanya, Andrew menjawab bahwa putrinya lalai saat menyetrika pakaian dan ibunya memarahinya karena hal itu. "Istriku mengajarkan kedisiplinan yang ketat pada putri kami. Karena ia akan masuk asrama untuk melanjutkan sekolahnya nanti. Jadi, Sarah mengajarkannya begitu keras." Aku mengangguk mahfum dan kembali beranjak untuk menganalisa hal lain. Sebelum pergi, aku menanyakan satu hal lagi pada suaminya, "Terakhir kali, kemana Sarah pergi sebelum dia menghilang malam itu?" Mereka saling pandang hingga sang putrilah yang menjawabnya di mana kali terakhir mereka pergi bersama. "Aku dan Ibu pergi ke toko baju yang baru buka di depan blok sana. Karena ibu merasa belum puas, ia kembali lagi belanja saat aku memutuskan untuk di rumah saja. Sejak malam itu, Ibu tidak kembali lagi ke rumah." Aku menutup sesi tanya jawab ini dengan jutaan praduga yang bersemayam di otakku. Bobby juga tidak menemukan titik terang dari semua penjelasan orang terdekat korban. "Mereka sama sekali bukan keluarga yang tidak harmonis. Aneh sekali kan kalau istri mereka kabur dari rumah?" Aku mengangguk setuju dan Bobby mulai menyalakan mobil dan berkata lagi, "Para suami itu terlihat terpukul juga —" Aku menimpali dengan bersandar nyaman di kursi mobil. "Benar. Tapi tidak dengan Bill —" Bobby mengeryit tak mengerti, "Kenapa dengannya?" Ia masih tidak mengerti dan aku memejamkan mataku sejenak untuk berpikir, "— ia menikmati betul istrinya menghilang. Bahkan belum genap seminggu ia sudah membawa wanita lain kerumah." Bobby histeris dan aku terlonjak mendengar suaranya. "Darimana kau tau?" Aku mendengus mendengar pertanyaan Bobby. Sambil menunjuk GPS tujuan selanjutnya, aku terpaksa menjelaskan lagi padanya. "Itu sudah jelas, kan? Makannya perhatikan sekitarmu!" . . bersambung Note : Dicerita ini aku pake tiga orang sudut pandang. Gee — Mino dan Irene. Untuk membedakannya aku selalu kasih judul berdasarkan side siapa. Untuk kali ini Mino dan next Irene. Untuk Gee karena dia pemeran utama jadi cukup dgn judul. TQ.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD