Part 2

3376 Words
Helena tengah menarik dan membuang nafasnya pelan, dia berusaha menyadarkan dirinya dari tidur namun entah kenapa badannya terasa tidak bertenaga. Rasanya tidak ingin beranjak dari tempat tidur apalagi bergerak ke samping kanan atau kiri. Helena hanya bisa memperhatikan keadaan dalam kamarnya di kegelapan. Tiba-tiba jantungnya berdegup kencang, mulai muncul perasaan tidak enak dalam hatinya. Helena pun mulai panik. Bola matanya bergerak ke kanan dan kiri mengedarkan pandangannya. Dia merasakan ada yang sedang memperhatikannya di kegelapan, namun Helena tidak dapat melihatnya. Pikirannya berusaha menepis dugaan itu, namun suasana hening itu membuatnya semakin yakin dengan dugaannya. Badannnya mulai gemetar entah kenapa. Tiba-tiba terdengar suara yang mengejutkan Helena. Dia pun langsung menoleh kearah sumber suara itu. “Siapa yang tertawa tengah malam begini?” Pikirnya, Suara itu kembali terdengar. Seperti suara perempuan tertawa dengan nada yang di tekan. “He-he-he.” Bulu kuduk Helena tiba-tba berdiri. Helena kembali mengedarkan pandangannya di kegelapan. Dia mulai panik mencari sumber suara itu. “He-he-he” Lagi. Suara itu terdengar. Sontak Helena langsung menoleh kearah suara itu. Namun yang di rasakan justru keheningan malam. Helena merasa ada yang tidak beres dengan kamarnya. “Itu suara orang, tapi siapa?” batin Helena. Dia masih berusaha berfikir dengan mendahulukan logikanya daripada rasa panik dan takut yang tengah menyelimutinya. “Siapa!” teriak Helena dari dalam kamarnya. Tidak ada jawaban dari sana. Helena pun diam. Helena tersadar bahwa dirinya hanya dengan Whinskey. Keheningan mendominasinya kali ini. tiba-tiba Helena merasakan suasana yang berbeda. Tidak ada suara apapun. Suara binatang malam pun tidak ada. “Sial, mengagetkan saja,” umpat Helena. Helena terkejut tiba-tiba ponselnya berbunyi. Dia langsung bangun dan segera mengambil ponselnnya. Ada satu pesan masuk dari Sayla. Dalam pesan itu menjelaskan besok jam kerjanya di liburkan dan mereka akan mulai bekerja lusa. Helena menghembuskan nafas pelan. “Oke, besok aku bisa istirahat seharian.” Helena pun kembali meletakkan ponselnya. “Aku tidak bisa tidur lagi,” umpat Helena sambil mengacak-acak rambutnya. Dia pun beranjak dari ranjang tidurnya dan berjalan menuju ke meja televisi. Dia mengambil remote televisi.. Kemudian dia kembali naik ke atas ranjang tidurnya. Dia pun menyalakan televisinya dan mencari siaran hiburan yang bisa dia tonton. Setelah menemukan siaran yang dirasa cocok, Helena pun mengambil minumnya diatas nakas, meneguknya sebentar dan kembali meletakkannya lagi diatas nakas. Helena menghembuskan nafasnya kasar. “Terpaksa aku begadang gara-gara tadi,” gumamnya. Lalu Helena pun melanjutkan menonton televisinya. Pagi pun menyingsing. Helena terbangun dari tidurnya yang entah jam berapa dia tertidur. Terlihat televisinya masih menyala. Dengan segera Helena pun mematikan televisinya. “Hoam ....” Helena menguap sambil meregangkan otot-otot kakunya. Badannya terasa lelah setelah semalam dia terpaksa begadang. Kejadian semalam masih tergiang di kepala Helena. “Apart ini benar-benar kedap suara, suara hewan pun tidak ada. Lalu yang semalam itu suara apa? Apa ada pencuri yang menyelinap ke dalam?” pikiran Helena berjalan kemana-mana. Dia mengacak-acak rambutnya. “Hah, terserah. Lebih baik aku mandi lalu melaporkan kejadian semalam ke Pak Hunston,” gumamnya. Kemudian Helena pun beranjak dari tempat tidurnya. Berjalan menuju kamar mandi, mengambil bathrope-nya dan segera mandi. Selesai mandi, Helena pun bersiap untuk segera menemui Pak Hunston. Helena keluar kamar kemudian mengunci pintunya. Dia pun berjalan ke tempat Pak Hunston. “Helen.” Whinskey tiba-tiba memanggilnya. Helen pun terkejut. “Apa?” jawab Helen terkejut. Whinskey justru terkekeh. “Kau terlihat takut. Ada apa, Helen?” Helena mengerutkan keningnya. Mulutnya sedikit terbuka seperti akan berbicara namun di urungkannya. Whinskey menaikkan sebelah alisnya karena penasaran. “Semua baik-baik saja?” “Lebih baik aku tidak menceritakannya terlebih dahulu,” batin Helena. Dia pun segera bergegas menemui Pak Hunston. “Semua baik-baik saja. Maaf, aku sedang butu-buru. Dah.” Helena melambaikan tangannya kepada Whinskey sambil berlari meninggalkannya. Whinskey pun semakin penasaran. Dia menatap kepergian Helena. Helena menggunakan pintu bawah untuk keluar Apartemen. Pintu itu langsung menghubungkannya ke depan jalan raya tanpa melewati kantor yang sudah buka seperti biasa. Kemudian Helena pun berjalan menuju ke kantor satpam. “Permisi, Pak Hunston?” ucap Helena. Terlihat Pak Hunston sedang mengamati cctv dengan secangkir kopi di tangan kanannya. “Pak Hunston?” Pak Hunston yang baru sadar dengan keberadaan Helena pun terkejut. “Eh, Nona Helen. Maaf, saya tidak tahu,” ucap Pak Hunston yang tiba-tiba bangun dari duduknya. “Tidak apa-apa, Pak. Bapak sepertinya masih sibuk?” “Oh, pekerjaan ini sudah biasa saya lakukan,” ucap Pak Hunston sambil berjalan menghampiri Helena. Kemudian beliau mengambil satu kursi dan meletakkannya di hadapan Helena. “Silahkan duduk, Nona,” ucapnya. Helena tersenyum lalu duduk di kursi itu. Pak Hunston kembali berjalan menuju ke meja yang berjajar beberapa layar monitor diatasnya. Beliau meletakkan cangkirnya di atas meja kemudian mengambil kursi yang beliau gunakan tadi. Kursi itu di bawanya mendekat ke tempat Helena duduk. Mereka pun duduk berhadapan saat ini. “Ada yang bisa saya bantu, Nona?” Helena menarik nafas lalu membuangnya pelan. Dia menatap Pak Hunston yan sedang menunggu jawaban dari Helena. “Saya hanya ingin bertanya tentang kondisi Aparteman, Pak?” Sontak Pak Hunston langsung memasang wajah fokusnya. Dia siap membantu jika memang ada masalah di Apartemen. “Boleh, Nona. Silahkan.” Helena melihat keseriusan di wajah Pak Hunston, itu membuatnya menjadi agak canggung. Untuk melunturkan suasana Helena pun sedikit terkekeh. Kekehan Helena membuat Pak Hunston melebarkan senyumnya. “Memangnya benar Apartemen itu ruangannya kedap suara termasuk kamar-kamarnya?” Pak Hunston mengangguk mantap. “Benar, Nona. Jadi pegawai kantor tidak akan merasa terganggu dengan kebisingan dari luar.” Helena menganggukkan kepalanya. “Hewan-hewan seperti tikus, cicak atau kecoa juga tidak ada kan, Pak?” Pak Hunston menggelengkan kepala mantap. “Tidak ada hewan apapun, Nona. Semut pun tidak ada. Kami sangat menjaga kebersihan Apartemen.” Mendengar penjelasan Pak Hunston justru membuat Helena mengerutkan kening. “Pak?” Helena sedikit memelankan suaranya. Dia mendekatkan wajahnya ke arah Pak Hunston. Pak Hunston sontak mengikuti Helena. “Kenapa, Nona?” tanya Pak Hunston penasaran. “Apa sebelumnya ada penjahat, penyelinap atau pencuri masuk ke dalam Apart?” bisik Helena. Pak Hunston mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Helena. Dia kembali menegakkan badannya di kursi setelah menunduk mencoba mendengarkan bisikan Helena. Helena mengerutkan keningnya melihat reaksi Pak Hunston yang tiba-tiba bersikap tegang. Helena pun tidak melepaskan pandangannya dari Pak Hunston. Helena semakin penasaran dengan jawaban Pak Hunston. Helena berharap memang kejadian semalam segera terungkap karena dirinya akan tinggal disana selama satu tahun dan itu bukan waktu yang singkat. Terlihat Pak Hunston menghembuskan nafasnya pelan. Helena masih menunggu jawaban dari Pak Hunston. “10 tahun yang lalu terjadi pembunuhan di baseman sebelum di ubah menjadi Apartemen. Dan semenjak kejadian itu Baseman sudah tidak dioperasikan kembali. Hanya itu saja kejadiannya, Nona.” Helena membelalak mendengar cerita Pak Hunston. Helena pun semakin bingung. “Pembunuhan? Pegawai kantor sini?” Pak Hunston mengangguk. Bibir Helena mulai bergetar. “Namanya Diana Zinetta, salah satu pegawai teladan di kantor. Dia dibunuh karena hamil. Dan kekasihnya sendiri yang membunuhnya. Dia juga bekerja di kantor ini.” Helena sampai menelan ludahnya karena terkejut mendengar penjelasan Pak Hunston. “Bapak yakin hanya kejadian itu?” Helena masih berharap ada keteledoran yang terjadi karena tidak mungkin dia mengalami kejadian semalam sedangkan keadaan Apartemen tidak ada kecacatan apapun. Pak Hunston mengerutkan keningnya lalu menggelengkan kepala. “Tidak ada, Nona. Apartemen baru dibangun satu tahun yang lalu. Anda dan Tuan Whinskey lah penghuni pertamanya. Oh, ya kalau ada fasilitas yang kurang atau rusak tolog langsung hubungi saya, Nona. Sa ....” belum sempat Pak Hunston melanjutkan bicara, tiba-tiba Helena memotongnya. “Ada,” ucap Helena mantap. Pak Hunston pun langsung terkesiap mendengarnya. Mata Pak Hunston lalu membelalak lebar. “Ada? Sebelumnya saya minta maaf atas kekurangannya Nona. Jadi apa yang rusak dan perlu di perbaiki?” Helena menatap Pak Hunston tajam. “Semalam saya mendengar sesuatu, Pak.” Helena masih menatap tajam Pak Hunston. Helena berbicara dalam mode serius. “Pertanyaan-pertanyaan saya tadi menjurus ke permasalahan yang akan saya sampaikan.” Ucapan Helena membuat Pak Hunston berpikir ulang. Pak Hunston kembali mengingat-ingat pertanyaan Helena. “Tidak mungkin ada suara, Nona,” sangkal Pak Hunston. Namun dibalas gelengan kepala oleh Helena. Helena bersedekap dan menarik nafas lalu membuangnya perlahan. Pak Hunston menatapnya bingung. “Semalam saya mendengar ada perempuan tertawa. Saya kira ada pegawai lain saya dan Whinskey di Apart.” Pak Hunston menatap lantai. Dia seperti orang yang bingung. Keningnya mengerut terlihat sedang memikirkan sesuatu. “Nona yakin itu suara manusia? Mungkin suara hewan malam, Nona.” Helena menghembuskan nafas kasar. Pak Hunston menatapnya sendu. “Bapak bilang Apart itu tidak ada hewan satu pun.” Pak Hunston kembali mengerutkan keningnya. “Mungkin ada hewan yang tidak sengaja masuk, Nona.” Helena menghembuskan nafasnya kembali. “Saya harap itu memang hewan, Pak. Tolong pastikan ya nanti. Saya tidak mau begadang seperti tadi malam.” Mendengar ucapan Helena, Pak Hunston langsung menoleh. “Jadi semalam Anda tidak tidur?” Helena mengangguk. “Baiklah. Setelah ini saya akan periksa kesana.” “Terima kasih, Pak. Kalau begitu saya kembali dulu.” “Iya, Nona.” Helena pun beranjak dari pos satpam. Dia kembali masuk ke Apartemen untuk istirahat. Sembari menunggu Pak Hunston ke Apart, Helena tidur sejenak untuk menghilangkan kantuknya karena begadang semalam. Sesampainya di depan kamar Helena pun masuk. Dia merebahkan tubuhnya di atas sofa sambil menonton televisi. Dan tidak sengaja Helena pun tertidur. (Tok-tok) terdengar suara pintu kamar di ketuk. Sontak Helena terkejut, dia langsung terbangun dari tidurnya. (Tok-tok) pintu Helena kembali di ketuk namun sekarang agak cepat. Helena pun terkesiap dan buru-buru beranjak dari sofa. “Mungkin Pak Hunston?” pikirnya. Helena pun segera memakai sandal tidurnya kemudian berjalan cepat menuju pintu. Dia putar kunci yang terpasang. Menekan knopnya lalu membukanya dengan cepat. “Pak ....” Helena terkejut saat membuka pintu kamarnya. Tidak ada siapa-siapa di balik pintu. Helena menoleh kearah kanan tidak terlihat siapapun disana. keningnya mengerut. Dia mengira ada yang sedang menguntitnya sampai ke dalam Apartemen. “Halo,” teriak Helena yang suaranya mendengung sepanjang lorong kamar. “Siapa disana!” Helena kembali berteriak. “Hei! Kalau kau tidak keluar akan ku laporkan kau ke polisi!” teriak Helena semakin kesal. Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba pintu kamar Helena terbanting dengan keras. Helena pun terkejut. Nafasnya naik turun dengan cepat. Matanya membelalak melihat kejadian itu. Badannya gemetar dan keringat mulai bercucuran. “Apa-apaan ini?” gumamnya. Antara panik dan kesal Helena masih terpaku berdiri di depan pintu kamarnya. Setelah dirasa Helena mampu mengendalikan nafasnya, perlahan dia berjalan mendekat ke pintu. Salah satu tangannya mengulur kearah knop pintu. Helena bermaksud membuka pintu kamarnya. Helena menarik nafas lalu membuangnya pelan. Matanya tajam menatap knop pintu itu. dan perlahan tangannya pun memegang knop itu. (Ceklek) terdengar suara pintu yang baru saja di kunci. Helena pun terkesiap. Dia menghentikan tangannya yang akan memutar knop pintu. Pandangannya tertuju pada daun pintu. Nafasnya kembali naik turun. “Hei, buka pintunya!” tiba-tiba Helena berteriak. Dia menggedor-gedor pintu kamarnya. “Helena!” teriak seseorang dari ujung lorong kamar. Helena lansgung menoleh kearah teriakan itu berasal. Tatapannya tajam menatap seseorang yang tengah berdiri disana. Terlihat Whinskey sedang berjalan terburu-buru menghampirinya. Helena pun menghentikan gedorannya. “Helen, ada apa?” tanya Whinskey yang baru saja sampai di samping Helena. Terlihat Whinskey baru saja dari luar, pakaiannya terlihat rapi. “Sial,” umpat Helena tiba-tiba yang membuat Whinskey bingung. “Hah? Kau kenapa, Helen?” “Ada penyelinap yang masuk ke Apart.” “Apa!” teriakan Whinskey membuat Helena terkejut. “Pelankan suaramu! Telingaku bisa pecah.” “Sori.” Whinskey menelan ludahnya berat. “Aku terkejut, Helen. Bagaimana bisa ada penyelinap masuk kesini? Sedangkan Apart ini tersembunyi?” “Mana ku tahu!” jawab Helena ketus. “Nona?” tiba-tiba panggilan Pak Hunston mengejutkan mereka berdua. Keduanya langsung menoleh kearah Pak Hunston yang sedang berlari kearah mereka. “Pak, penyelinapnya ada di dalam kamar saya. Dia mengunci pintu dari dalam.” “Apa!?” pekik Whinskey dan Pak Hunston yang membuat Helena teerkejut. Helena memutar bola matanya malas melihat reaksi mereka berdua yang memasang wajah bingung dan justru tidak segera bertindak. “Cepat, Pak. Keburu penyelinapnya kabur,” jelas Helena malas sambil menggedor-gedor pintu kamarnya. “Eh, iya. Non.” Pak Hunston pun segera mengambil kunci cadangan dari sakunya. Dengan cepat pintu kamar Helena pun terbuka. Pak Hunston dengan sigap masuk ke dalam. Sambil membawa senapan yang selalu terpasang di sakunya bersama satu pisau kecil. Pak Hunston memberikan pisau itu kepada Whinskey untuk berjaga-jaga jika mereka berdua di serang. “Serahkan dirimu atau aku tembak mati ditempat!” teriak Pak Hunston tegas. Helena dan Whinskey mengikuti Pak Hunston dibelakangnya. Mereka masih menunggu penyelinap itu keluar namun sudah 15 menit penyelinap itu tidak keluar. “Non, ijinkan saya menggeledah seluruh ruangan, Anda.” Helena mengangguk. “Silahkan, Pak.” Pak Hunston pun mulai menggeledah ruangan satu persatu dengan waspada. 10 menit berlalu, Pak Husnton tidak menemukan siapapun didalam seluruh ruangan. “Tidak ada siapapun, Nona,” ucap Pak Hunston. “Tidak mungkin, Pak. Jelas-jelas tadi ada yang mengunci pintu kamar saya dari dalam. Bapak sendiri kan yang membukanya menggunakan kunci cadangan.” Pak Hunston mengerutkan keningnya. Dia mulai berpikir tentang kunci itu. Whinskey juga menjadi bingung. “Tapi buktinya tidak ada siapapun didalam, Helen.” “Lalu kau pikir aku berbohong?” Pak Hunston masih berpikir. Dia perlahan berjalan menuju ke sofa dan duduk disana. Helena dan Whinskey pun mengikutinya duduk disana. “Pak, lalu siapa tadi yang membanting pintu dan menguncinya dari dalam?” “Sa-saya juga tidak tahu, Nona. Saya bingung. Ini aneh, ruangan ini tertutup. Tidak mungkin seseorang bisa kabur kalau sudah berada di dalam.” Helena mengerutkan keningnya. Pikirannya menjadi kemana-mana. Dia masih mencari kejelasan di dalam otaknya. “Bagaimana kalau kita bertukar kamar saja sementara?” tanya Whinskey kepada Helena. Pak Hunston dan Helena sontak langsung menoleh kearah Whinskey. “Ide bagus,” ucap Pak Hunston. “Kau yakin?” “Ya. Kalau ada apa-apa aku akan menghubungimu segera.” Helena mengangguk walaupun ada sedikit keraguan di pikirannya. Pak Hunston pun keluar dari kamar Helena. “Terima kasih, Pak.” “Kalau ada apa-apa hubungi saya, Nona. Saya akan memantau keadaan lorong dari cctv.” “Iya, Pak.” Pak Hunston pun berlalu. Whinskey dan Helena kembali masuk ke dalam kamar. “Key, kau yakin penyelinap itu sudah tidak ada dikamar?” “Coba kita periksa lagi.” Helena pun mengangguk. Mereka berdua berjalan menuju ke kamar Helena. Namun sebelum menuju kesana, Helena dan Whinskey pergi ke dapur untuk mengambil pisau. “Kau siap?” Helena mengangguk. Mereka pun berjalan perlahan menuju ke kamar Helena. Sesampainya di depan pintu mereka saling berpandangan. Kemudian Whinskey perlahan membuka pintu kamar Helena. Mata mereka penuh dengan kewaspadaan. Perlahan mereka mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan kamar Helena. “Aku rasa ini bukan ide yang bagus,” bisik Helena. “Jangan berpikir seperti itu sekarang, kau tidak lihat kita sudah berada di dalam. Berpikir saja kita menemukan penyelinap itu lalu menangkapnya,” balas Whinskey. “Sejak kapan kau jadi cerewet, Whinskey?” Tiba-tiba lemari pakaian Helena bergerak. Helena dan Whinskey pun terdiam. Helena bersembunyi di balik tubuh kekar Whinskey. Helena menelan ludahnya berat. “Helen, bersiaplah,” bisik Whinskey. “Kau saja, tiba-tiba aku menjadi takut.” “Apa?” “Sst. Kau banyak bicara. Untuk apa badan berotot kalau kau takut berkelahi.” “Apa maksudmu? Aku fitnes untuk menjaga kesehatan bukan untuk berkelahi.” “Sst.. kau sungguh banyak bicara, Whinskey.” Tiba-tiba lemari pakaian Helena bergoyang-goyang. Helena dan Whinskey semakin menatap tajam lemari itu. tiba-tiba pintu lemari itu terbuka dengan cepat. Seperti ada angin yang melewati Whinskey dan Helena. Badan mereka terhempas ke belakang. Mereka berdua tersungkur di atas lantai. Helena membelalak saat melihat mereka berdua terhempas. Dia tidak percaya apa yang dia lihat tadi. Gumpalan asap yang tiba-tiba melewati mereka dengan cepat. “Helen, kau tidak apa-apa?” tanya Whinskey sambil terbatuk-batuk. Helena hanya diam tidak menjawab. Kemudian Helena segera bangun dan dia berlari ke pintu depan. “Helen, tunggu!” teriak Whinskey yang ditinggal pergi oleh Helena. Dengan nafas naik turun Helena berlari menuju pintu. Dia keluar kamar dan mengedarkan pandangannya kearah lorong. Helena menyipitkan mata saat melihat sesosok wanita berjalan di ujung lorong. “Hei, mau kemana!” teriak Helena sambil berlari kearah wanita itu. Sosok wanita itu pun dengan cepat menghindari pandangan Helena dan menghilang di balik tembok. Helena masih berlari sambil terengah-engah. “Hah, kemana dia?” Sesampainya di ujung lorong Helena tidak menjumpai wanita itu. Helena mengedarkan pandangannya ke segala sudut lorong namun keberadaan wanita tersebut tidak dia temukan. “Helen!” panggil Whinskey yang baru saja keluar dari kamar Helena. Helena tidak mempedulikan panggilan Whinskey. Dia masih menoleh ke kanan dan kiri mencari keberadaan wanita itu. Whinskey pun menghampiri Helena. “Apa yang kau cari?” “Penyelinap.” Mendengar jawaban itu Whinskey langsung menoleh kearah Helena. “Kau melihatnya?” “Ya. Tadi dia disini.” Helena masih mencari wanita itu. “Sekarang dimana?” Whinskey pun ikut mencari. “Entahlah, tiba-tiba hilang.” “Aku akan menghubungi Pak Hunston.” Beberapa menit kemudian Pak Hunston pun tiba. Dia langsung menanyakan apa yang sedang terjadi dan Helena pun menjelaskannya. Pak Hunston mendengarkan dengan seksama namun saat sampai Helena menceritakan bahwa penyelinapnya keluar bersama gumpalan asap, Pak Hunston tiba-tiba menjadi ragu. Keningnya mengerut terlihat sedang memikirkan sesuatu. “Besar kemungkinan sudah kabur, Helen.” “Kalau begitu kita periksa cctv yang ada di pos, Nona.” “Ayo, Pak.” Mereka bertiga pun pergi ke pos satpam. Sesampainya disana, Pak Hunston langsung menuju ke layar monitor yang menunjukkan hasil rekaman cctv di lorong Apartemen. Mereka fokus memperhatikan hasil rekaman itu. Terlihat Helena tengah berteriak memanggil seseorang. Kemudian Helena berlari menuju ke sudut lorong. “Pak, tolong perlihatkan bagian sudut lorong saat saya berteriak tadi.” Pak Hunston pun segera memutar bagian yang dimaksud Helena. Kening Helena mengerut saat melihat hasil rekaman itu. “Tidak mungkin, jelas aku melihat seseorang disana.” Hasil rekaman itu tidak menampakkan apapun kecuali suara Helena yang terekam dengan jelas. Pak Hunston semakin yakin dengan dugaannya. Namun dia belum berani mengatakannya kepada Helena. “Baru sehari aku tinggal sudah ada kejadian seperti ini, belum satu tahun ke depan,” gerutu Helena. Mendengar itu Whinskey pun menjadi iba padanya. “Tenang, Helen. Kita akan segera menyelesaikannya.” “Saya akan membuat laporan ke atasan agar segera di tindak lanjuti, Nona.” “Terimakasih, Pak.” “Ya sudah. Lebih baik kau ke kamarku saja. Kau istirahat disana.” Helena pun mengangguk. Akhirnya mereka berdua kembali ke Apartemen. Helena dan Whinskey pergi menuju ke kamar Whinskey. Sesampainya di depan kamar, tiba-tiba bulu kuduk Helena berdiri. Hembusan angin tiba-tiba mengenai lehernya. “Cepat, Whinskey,” ucap Helena kepada Whinskey yang tengah membuka pintu kamarnya. “Sudah, masuklah.” Helena pun langsung berlalu ke dalam kamar Whinskey. “Helena. Helena.” Suara itu tergiang di dalam telinga Helena. Helena pun langsung membelalakkan matanya. Nafasnya menderu naik turun. Helena terdiam memandangi langit-langit kamar. Helena kembali mengalami kejadian yang sama dengan kemarin malam. Dia kembali terbangun. Dia merasakan keheningan malam kembali. Tidak ada suara apapun. Detik jam pun tidak terdengar. Dia seperti berada di dimensi lain. Helena menelan salivanya berat. Dan lagi-lagi dia hanya bisa mengandalkan matanya untuk membaca situasi. “Aku baru ingat, ini kan kamar Whinskey,” batinnya. Helena mencoba menggerakkan tangannya dan membawanya ke atas kepala. Dia berusaha mengambil ponselnya yang sedang tergantung di atas. Nakas milik Whinskey berbeda dengan milik Helena. Nakasnya menempel pada tempat tidur. “He-he-he.” Sontak Helena langsung menoleh kearah suara itu. Dia mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut kamar Whinskey. “Sial,” umpat Helena. Dengan cepat dia mengambil ponselnya. “He-he-he.” Suara itu kembali terdengar. Helena dengan cepat menghubungi Whinskey. Dia mencari nama Whinskey di ponselnya. Tiba-tiba terdengar suara gebrakan pintu. Jantung Helena langsung berdegup kencang. Dia menoleh kearah pintu, tiba-tiba pintu kamar itu terbuka lebar. Helena pun sontak memanggil Whinskey. Berkali-kali Helena memanggil namun Whinskey tidak kunjung menghampirinya. “He-he-he.” Dengan cepat Helena menoleh kearah suara itu. “Siapa!” teriak Helena. Helena langsung beranjak dari tempat tidur. Kemudian dia berlari menuju pintu kamar sambil memanggil Whinskey namun belum sempat Helena sampai di pintu, pintu itu tiba-tiba tertutup begitu saja. Sontak Helena pun terkejut. Sekujur badannya gemetar. Keringat mulai membasahi pelipisnya. Helena hanya bisa menatap kosong ke depan dengan perasaan takut. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD