bc

Face to Face ( When You Suddenly Wake Up In Silent of The Night )

book_age18+
191
FOLLOW
1K
READ
dark
no-couple
heavy
mystery
ambitious
office/work place
supernatural
horror
office lady
like
intro-logo
Blurb

Karena kontrak kerjanya di ubah, Helena Bonham terpaksa pindah ke sebuah Apartemen khusus karyawan di kota Filance. Helena Bonham adalah wanita yang berasal dari kota Violent. Disana dia tingal di sebuah rumah peninggalan orang tuanya. Dia adalah gadis yatim piatu sejak setahun yang lalu. Beruntung dia mempunyai pekerjaan yang cukup bagus. Dia adalah wanita yang pintar dan cekatan. Helena tinggal di Apartemen itu bersama seorang teman kerjanya. Dia adalah Winskey Graham. Mereka berdua akan tinggal disana selama satu tahun ke depan. Apartemen itu terletak di tengah kota. Satu bangunan dengan kantor tempatnya bekerja. Bagian basemen yang seharusnya menjadi tempat parkir, sebulan yang lalu telah diubah menjadi apartemen bawah tanah.

Namun siapa sangka baru semalam tinggal disana Helena justru terbangun di tengah malam dengan keadaan pintu kamarnya pelan-pelan terbuka. Helena menghembuskan nafasnya kasar. Tiba-tiba terdengar suara wanita tertawa.

“Siapa!” teriak Helena dari dalam kamarnya. Tidak ada jawaban dari sana. Helena pun diam. Helena tersadar bahwa dirinya hanya dengan Whinskey. Keheningan mendominasinya kali ini. tiba-tiba Helena merasakan suasana yang berbeda. Tidak ada suara apapun. Suara binatang malam pun tidak ada. Begitu pun hari-hari berikutnya. Teror dan gangguan terus dialaminya. Sampai suatu rahasia besar pun terbongkar. Sosok hantu wanita tersebut bernama 'Diana'. Hantu tersebut membuat Helena terpaksa mengubah karakternya dan merelakan pekerjaannya demi lepas dari sosok hantu wanita yang menginginkan jiwanya untuk diteror seumur hidup Helena.

chap-preview
Free preview
Part 1
Pukul 08.00 malam Helena tengah berada di dalam kamarnya. Mengambil beberapa pakaian yang akan dibutuhkannya. Jemarinya menari-nari menelisik gantungan-gantungan baju yang ada di dalam lemari. Kemudian mengambil beberapa pasang baju kerja dan pakaian rumah. Setelah itu Helena mengambil sebuah koper dan menaruhnya ke atas kasur. Satu persatu pakaiannya di masukkan ke dalam koper. Setelah selesai, dia pun kembali menutup kopernya. Tiba-tiba ponselnya berbunyi, Helena langsung berjalan kearah nakas untuk mengambil ponselnya. Tertera nama Sekeretaris Kantor, Helena tahu pasti kali ini info tentang keberangkatannya besok. “Selamat malam Nona Helena, besok Anda bisa ke kantor pukul 07.00, pesawat akan berangkat pukul 08.00.” “Baiklah, Whinskey juga sama?” “Iya Nona, Anda satu pesawat dengannya.” “Baiklah, terima kasih.” Helena pun menutup panggilannya dan menaruh ponselnya kembali ke atas nakas. Helena melirik jam dinding, sudah pukul 10.00 malam. Dia menghembuskan nafas kasar lalu memindahkan kopernya dari atas kasur menuju ke lantai. Lalu dia berjalan ke kamar mandi, menggosok gigi dan mencuci muka. Setelah itu dia mematikan lampu kamar mandi dan berjalan kembali menuju ke atas kasur. Helena menarik selimutnya sampai perut, menata bantalnya dan meredupkan lampu kamarnya lalu memejamkan mata. Mentari sudah menampakkan cahayanya. Menyilaukan hitam bola mata Helena saat Helena tengah membuka tirai jendelanya. Pagi ini agak berbeda, masih pukul 06.30 pagi namun cahaya sudah hampir sepenuhnya terlihat. Helena mereganggangkan otot-ototnya yang kaku. Sedikit melakukan gerakan push up dan set up sebanyak 20x untuk memulihkan kembali kebugaran tubuhnya. Keringat mulai bercucuran mengenai pelipis dan lehernya. Helena pun menghentikan kegiatannya. Mengambil handuk dan bersiap untuk mandi. Pukul 06.15 Helena sudah siap dengan koper di tangannya. Memakai jaket yang panjang berwarna hitam dengan celana jeans-nya. Rambutnya di ikat ke belakang menggunakan pita berwarna coklat dan memakai flat shoes santainya. Dia masuk ke dapur membuat sepotong sandwich dan secangkir coklat hangat. Saat sedang menguyah sarapannya, tiba-tiba ponselnya berbunyi. “Sudah berangkat?” tanya Whinskey dari ujung panggilan. “Belum, aku berangkat pukul 07.00, ada apa?” tanya Helena sambil menguyah sandwich-nya, Whinskey terkekeh. “Tidak ada apa-apa, ya sudah sampai bertemu di kantor.” Helena mengerutkan keningnya heran kemudian menutup teleponnya dan segera menghabiskan sarapannya. Selesai sarapan Helena langsung membereskan dapurnya. Kemudian berjalan menuju ruang tamu untuk mengambil kopernya. Dia mengambil tas tangannya dan mulai menarik kopernya. Dia berjalan menuju ke garasi rumahnya, membuka bagasi mobil. kemudian memasukkan kopernya ke dalam sana dan pergi menuju kantornya. Sesampainya di kantor, Helena bertemu Whinskey yang sedang duduk di ruang tamu kantor bersama Sayla, sekeretaris kantor. Kemudian mereka pun berangkat bersama menuju bandara. Sesampainya di bandara mereka menuju ke tempat penitipan barang. Helena mengambil barang yang di perlukan didalam pesawat kemudian meletakkan kopernya di penitipan barang. “Helen, jangan lupa tiketmu,” ucap Whinskey yang berada di sampingnya. “Astaga, hampir saja aku lupa.” Helena menepuk keningnya spontan. Whinskey menunjuk-nunjukkan satu jarinya ke hadapan Helena. Helena pun terkekeh. Helena pun mengambil kopernya kembali. Kemudian membukanya dan mengambil tiketnya yang terselip di kantong kopernya. Kemudian memasukkan tiket itu ke dalam tasnya. Setelah itu mereka pun masuk ke dalam pesawat. Seorang pramugari sedang berdiri di ambang pintu pesawat. Dia tengah memeriksa tiket penumpang, termasuk tiket milik Helena. Setelah itu mereka pun masuk ke dalam pesawat. 5 jam perjalanan berlalu, akhirnya mereka pun sampai di bandara kota Filance. Mereka segera menuju taksi yang sudah menjemput mereka dan akan mengantarkan mereka menuju ke Apartemen kantor. Saat taksi menginjakkan kaki di depan gedung kantor, Helena langsung menoleh kearah gedung itu. dia tersenyum karena gedung kantor itu sesuai ekspetasinya. Minimalis dan sedikit vintage. Helena mengambil tasnya lalu turun dari taksi. Kemudain mengambil ponsel dan memotret halaman depannya. Tidak lama kemudian datang lagi satu taksi. Itu adalah taksi yang di naiki oleh Whinskey. “Kau memotretnya?” Kedatangan Whinskey mengejutkan Helena. Helena langsung menoleh kearahnya. Terlihat Whinskey sedang berjalan menuju kearahnya. “Ya,” jawab Helena sambil tersenyum. “Kita juga harus berfoto Helen.” Helena tersenyum. Kemudian Whinskey memanggil supir taksinya yang mengantarnya tadi. Whinskey meminta bantuan supir itu untuk memotretnya dan Helena bersama. Helena dan Whinskey pun berpose di depan gedung kantor mereka. Helena tertawa melihat hasil jepretan itu. Setelah itu mereka berjalan ke dalam kantor. Gedung kantor itu memiliki satu pintu berada di depan. Helena dan Whinskey masuk melalui pintu itu. “Eh, tidak terkunci.” Helena terkejut saat Whinskey langsung membuka pintu kantor. “Tadi aku diberitahu Sayla kalau pintu kantor tidak dikunci khusus hari ini.” Helena pun menggangguk paham. “Hmm, sepertinya aku ketinggalan kegiatan breafing pagi ini.” Whinskey menghendikkan pundak tidak tahu. Karena sebelumnya tidak ada pemberitahuan adanya kegiatan breafing. Mereka berjalan masuk ke dalam kantor. Terdapat sebuah tanda panah penunjuk arah yang bertuliskan pintu Apartemen. Mereka pun segera menuju kesana. Suasananya sepi karena hari ini kantor diliburkan. Sesampainya di depan pintu Apartemen, Whinskey terlihat mencari sesuatu dari dalam sakunya. “Kau mencari apa?” “Kunci, aku membawa kunci pintu depannya, tadi sewaktu di kantor Sayla memberikannya padaku,” jelas Whinskey sambil membuka pintu Apartemen. Helena langsung menoleh kearah Whinskey lalu menyodorkan satu tangannya pertanda Helena meminta sesuatu. “Apa?” tanya Whinskey bingung. “Kunci untukku. Tidak mungkin kita bergantian membawa satu kunci.” Namun Whinskey menggeleng. “Tidak ada, hanya satu Helen. Tenang saja, aku akan meninggalkannya disini.” Helena pun mengangguk, Whinskey tersenyum. “Baiklah.” Setelah membuka pintu, mereka pun masuk ke dalam Apartemen itu. Di dalam sana tidak ada seorang pun, Helena sedikit curiga. Bentuknya memanjang seperti lorong yang panjang. Jika tidak ada penerangan dari lampu pasti lorong ini gelap. Namun saat dia dan Whinskey berjalan agak jauh ke dalam, terdengar langkah kaki seseorang. “Pasti kalian yang akan tinggal disini?” tiba-tiba seorang laki-laki dengan perawakan tinggi kurus memakai seragam muncul dari arah dalam Apartemen. Helena dan Whinskey sedikit terkejut. “Ah, iya Pak,” ucap Whinskey. Orang itu menyodorkan tangannya memberi salam. Helena dan Whinskey pun menyambutnya. “Perkenalkan, saya Hunston. Saya satpam yang berjaga di gedung ini termasuk kantor dan Apartemennya.” “Saya Helena, senang bertemu dengan Anda, Pak.” Setelah berkenalan, mereka diantarkan ke kamar mereka masing-masing. Mereka berjalan di sepanjang lorong. Lorong itu memanjang sejauh 100 meter. Sama seperti yang ditunjukkan bosnya tempo hari tentang bagaimana Apartemen yang akan Helena tinggali. Sebuah Apartemen yang berada di bawah tanah. Bisa dibilang berada di basemen kantor. Memang bekas basemen yang diubah menjadi sebuah Apartemen bawah tanah. Perkiraan Helena benar, tidak ada ventilasi. Namun tidak terlalu lembab karena keadaannya telihat terawat. Helena melihat sebuah jalan yang luas di tengah-tengah lorong. Saat menghadap kearah kanan dan kiri, Helena melihat beberapa ruangan. “Kalian bisa memilih dimana pun kalian akan tidur. Ini adalah beberapa kamar yang tersedia. Memang tidak banyak barang di sini, namun di dalam kamar kalian sudah disediakan fasilitas yang dibutuhkan.” “Oh, iya. Karyawan yang lain juga tinggal disini?” tanya Helena. “Tidak. Ini adalah fasilitas istimewa dari kantor. Dan karyawan yang beuntung saja yang mendapatkannya. Selamat menikmati waktu kalian,” ucap satpam itu kemudian berlalu ke lorong itu kembali. “Baiklah, aku ambil kamar sebelah sana.” Whinskey menunjuk kearah kiri. Yang memang di khususkan untuk karyawan laki-laki. Dan yang di arah ke kanan khusus untuk karyawan perempuan. Helena pun mengangguk. Kemudian Helena melihat kamar-kamar itu. Dalam hati dia menghitung sambil berjalan sampai ujung untuk mengetahui berapa kamar yang tersedia untuk karyawan perempuan. Terlihat pintu-pintu itu tertutup rapat. Pintu-pintu yang terbuat dari kayu. Yang dihiasi oleh ukiran-ukiran dan terkesan vintage. Lampu berwarna putih yang menerangi sepanjang lorong kamar. “Hmm, ada 10 kamar. Aku akan ambil kamar nomor 2 dari belakang sebelah kiri ku,” gumam Helena. Helena suka dengan posisi kamar yang tidak terlalu diujung juga tidak telalu di tengah. Kamar-kamar itu saling berhadapan dengan jumlah tiap sisi masing-masing 5 kamar. Helena pun membuka pintu kamarnya. Saat membuka, Helena dibuat terkejut. Seperti kamar hotel, kamarnya luas lengkap dengan fasilitasnya. Seperti yang dibilang satpam tadi. Helena pun segera masuk kedalam. Dia melirik ke sebelah kanan dan kirinya. Sebuah ruang tamu yang ukurannya cukup luas. Dilengkapi dengan satu sofa panjang dan meja. Di sudut ruang ada sebuah dapur kecil beserta meja bar. kemudian dia membuka satu pintu yang berada di dalam ruangannya. Itu adalah sebuah kamar. Dengan satu ranjang tempat tidur. Satu lemari pakaian di sudut kamar dan sebuah kamar mandi dalam. Dan di sudut lain meja kerja lengkap dengan kursi dan lampunya. Helena bahagia saat melihat sebuah tirai menggantung. Dia pun segera berlari kesana berharap ada sebuah jendela dibaliknya. Namun saat dibuka itu bukanlah jendela, namun hanya hiasan berbentuk tirai untuk mempercantik ruangan. Helena menghembuskan nafas kesal. “Ya sudahlah.” Helena pun menyalakan AC di kamarnya dan di ruang tamu untuk mengurangi kelembapan ruangan. Setelah itu dia masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum dirinya keluar mencari makan. Selesai mencari makan dan berbelanja, Helena pun segera pulang ke Apartemen. Helena melirik jam tangannya menunjukkan pukul 7 malam. “Ternyata aku begitu menikmati perjalanan tadi,” gumamnya lalu tersenyum. Helena berdiri di depan pintu sebuah Mall, dia menengok ke kanan dan ke kiri mencari taksi ynag masih beroperasi. Kemudian saat melihat ke arah kanan, Helena melihat taksi itu kemudian melambaikan tangannya. Taksi itu pun berhenti di depannya, kemudian Helena membuka pintu mobilnya lalu segera masuk ke dalam. “Jalan Flawless nomor 334, Pak” “Baik, Nona.” Taksi pun melaju. Helena melihat kearah jendela. Dia memperhatikan jalanan kota yang masih ramai. Lampu-lampu jalanan yang berwarna-warni. Toko-toko yang bertengger di samping jalan, kendaran-kendaraan yang lalu lalang menambah keriuhan di malam hari. Taksi pun sampai di depan gedung kantor, Helena segera memmbeikan uang kepada supir taksi itu. “Ini, Pak” “Terimakasih, Non. Anda tinggal di gedung kantor?” tanya supir taksi itu heran karena di area itu hanya ada satu gedung kantor yang berdiri. “Saya tinggal di Apart, Pak.” Supir taksi itu mengerutkan keningnya karena heran. Supir taksi itu ingin bertanya kembali namun Helena sudah keluar dari taksinya. Supir taksi itu memperhatikan Helena sampai masuk ke area gedung kantor itu. “Mana yang dia sebut Apart? Jelas-jelas itu gedung kantor,” gumam supir itu. Dia mengendikkan bahu karena tidak ingin tahu lebih jauh. Dia pun pergi meninggalkan gedung itu. Sesampainya di depan pintu Apartemen, Helena langsung masuk dan berjalan di sepanjang lorong. Helena buru-buru karena jam menunjukkan pukul 8. Dia harus segera menyelesaikan laporannya yang akan dia serahkan ke atasan besok pagi. Suasana tampak sepi, tidak ada keramaian sedikitpun kecuali suara high heels yang menggema sepanjang lorong. “Entah taksinya yang lambat atau waktunya yang terlalu cepat, nyatanya sudah pukul 8, saatnya aku mengerjakan laporanku,” gumamnya sambil berjalan cepat sepanjang lorong. Sesampainya di lorong yang memisahkan kamar laki-laki dan perempuan, Helena berhenti. Dia menoleh kearah kamar milik Whinskey, namun pintunya sedang tertutup. Helena tidak peduli. Dia segera beranjak menuju ke kamarnya. Sesampainya di depan pintu, Helena mengambil kunci kamarnya di dalam tas. “Shit.” Kunci itu tiba-tiba terjatuh dari tangan Helena saat akan memasangnya di pintu. Helena pun mengambilnya dan memasangnya di pintu. Pintu pun terbuka, Helena masuk dan meletakkan belanjaannya di dapur. Kemudian Helena masuk ke dalam kamar. “Aku mandi dulu 10 menit, rasanya lengket semua badanku,” gumam Helena. Dia mengambil bathrobe yang menggantung di lemari. Kemudian mengambil peralatan mandinya dan segera pergi ke kamar mandi. Selesai mandi, Helena pun berjalan menuju ke dapur, dia mengambil air minum di dalam kulkas lalu menuangkannya ke gelas berukuran besar. Helena menyeruput sedikit air itu untuk menghilangkan dahaga. Masih tengah menyeruput, Helena pun berjalan menuju ke kamarnya. Tidak sengaja melirik kearah pintu kamarnya. Ada yang aneh, Helena pun mengerutkan keningnya. Dia teringat saat tadi dia buru-buru masuk ke dalam kamarnya. Perasaannya berkata Helena tidak menutup pintu kamarnya, tapi kenapa pintunya tertutup. Helena memang suka lupa kecuali masalah pekerjaannya. Helena pun berhenti menyeruput air minumnya. Dan perlahan berjalan menuju kesana. Dia memperhatikan pintu itu, pandangannya pun tertuju pada lubang kuncinya. Helena kembali mengerutkan keningnya karena sedang berusaha mengingat sesuatu. “Kuncinya dimana?” Helena memekik. Perlahan tangannya memegang ganggang pintu, memutar knopnya lalu menariknya ke arah dalam kamarnya, dan pintu pun terbuka. Pandangannya tertuju ke lubang kunci itu. Dan ada, dia menghembuskan nafas kasar karena kuncinya masih menggantung disana. Helena segera mencabutnya dan menutup pintu kamarnya kembali. Tangannya yang memegang kunci itu segera memasukkannya ke dalam lubang kunci dan segera menguncinya. Kening Helena tiba-tiba mengerut, dia kembali berusaha mengingat sesuatu. “Mungkin engselnya bisa menutup secara otomatis,” pikirnya. Kali ini Helena sengaja membuka pintunya untuk membuktikan bagaimana pintu itu tertutup dengan sendirinya. Helena kembali memasukkan kuncinya ke dalam lubang kunci lalu membuka pintunya lebar-lebar. Setelah pintu terbuka, Helena kemudian berjalan menuju ke sofa ruang tamu sembari membawa segelas air minumnya. Kemudian Helena duduk diatas sofa sambil menunggu. 5 menit 7 menit berlalu namun pintu itu tidak tertutup. Helena menjadi heran. Dengan segera dia beranjak ke pintu untuk memeriksa engselnya. “Engselnya tidak rusak, aku juga tidak melihat ada yang istimewa dari engsel ini, sama seperti engsel pada umumnya,” pikir Helena. Kemudian Helena segera mencabut kuncinya. Dia memperhatikan keadaan sekitar luar kamarnya, keadaannya sepi. Dia pun mulai berpikir ini adalah ulah Whinskey. Dia pun berinisiatif untuk menemui Whinskey. Helena melangkahkan kaki keluar kamar dan menutup pintunya. Dia berjalan menuju ke kamar Whinskey. Helena berjalan di sepanjang lorong dengan menggunakan bathrope dan sandal bulunya. Sesampainya di depan kamar Whinskey, Helena pun mengetuk pintunya. Beberapa kali dia mengetuk pintu namun tidak ada jawaban. Helena kembali mengerutkan keningngya heran. Dia pun mengambil ponsel dari saku bathrope-nya. (Tut-tut) suara nada sambungannya terdengar di telinganya. Helena pun menunggu panggilannya diangkat. “Hai,” sapa Whinskey diujung telepon. “Kau di Apart?” “Tidak, aku sedang diluar.” Helena mengerutkan keningnya semakin heran. Dia kembali menanyakan sebuah pertanyaan. “Sejak kapan? Ku kira kau sedang tidur.” “Sejak sore tadi. Ada apa, Helen?” “Ah, tidak ada. Hanya akan ....” Helena berpikir karena mencari alasan yang sekiranya tepat, namun terlalu lama dia berpikir justru akan membuat Whinskey curiga. “Mengucapkan selamat malam,” ucap Helena spontan. Dia terlalu terburu-buru menjawab. Terdengar Whisnkey tengah terkekeh di balik telepon. Tentu saja, Helena telihat seperti orang bodoh. “Kau sudah butuh isirahat, Helen.” “Tidak, aku belum mengerjakan laporanku.” “Laporan apa?” “Laporan pemindahan kerja.” “Astaga, aku lupa. Mungkin sebentar lagi aku pulang dan mengerjakannya.” “Terserah,” ucap Helena spontan. Whinskey kembali terkekeh. Helena segera menutup teleponnnya dan segera kembali ke kamarnya. “Sial, gara-gara pintu aku tidak langsung mengerjakan laporan ku,” umpat Helena. Kemudian dia segera masuk ke kamarnya. Dia berjalan menuju ke meja kerjanya. Membuka laptop lalu mulai merngerjakan laporannya. 10 menit berlalu, tiba-tiba terdengar suara gaduh di depan kamarnya. Dengan segera Helena berlari keluar dari kamarnya menuju ke pintu luar. “Whinskey,” pekik Helena yang terkejut dengan kedatangan Whinskey di balik pintunya. Whinskey justru terkekeh melihat reaksi Helena yang terkejut. “Maaf, Helen.” Mata Helena tertuju pada barang-barang yang dibawa Whinskey ke kamarnya. Helena mengangkat sebelah alisnya heran. Dia bersedekap di dahapan Whinskey. Helena tidak akan berbicara sebelum Whinskey menjelaskan maksudnya. Whinskey masih dengan wajah tidak bersalahnya sambil tersenyum sok polos kepada Helena. Helena memutar bola matanya malas. “Apa yang sedang kau lakukan?!” “Helen, aku ingin meminta bantuan mu untuk mengambil kunci di dalam kotak ini. Aku tidak mungkin meletakkan barang-barangku di lantai.” Helena memutar bola mnatnya malas. Baru kali ini Helena menjumpai pria yang gila kebersihan dan kerapian. Bahkan pria dihadapannya lebih bersih dan terawat darinya yang bahkan seorang wanita. Salah besar kalau Helena bisa melihat Whinskey meletakkan brang-barangnya begitu saja di lantai kecuali memang berfungsi sebagai alas. Helena pun terpaksa membantu Whinskey. Dia mengambil kotak yang dimaksud Whinskey yang berada di antara barang-barang yang dibawa Whinskey. “Kotaknya ada di dalam tumpukan, agak susah mengambilnya.” “Untuk itu aku meminta bantuanmu,” Helena langsung menatap Whinskey. Dia melayangkan tatapan tajamnya. Whinskey hanya terkekeh. “Susah,” ucap Helena sambil menghembuskan nafas kasar. Whinskey masih berusaha mempertahankan pegangannya terhadap barang-barangnya agar tidak jatuh. Sedangkan Helena masih berusaha menarik kotak itu dengan hati-hati. “Susah, Key. Eh.” Tiba-tiba Helena terhempas ke belakang saat berusaha menarik kotak itu. Whinskey pun ikut terkejut dan berteriak. Helena menghamtam dinding lalu tersungkur di lantai. Kotak itu terlempar sejauh 50 meter. Nafas Helena berhembus tidak teratur. Dia mengusap-usao pundaknya yang terasa sakit karena menghantam dinding tadi. “Apa itu tadi, Helen?” Whinskey masih merasa terkejut. Matanya membelalak mempehatikan Helena. Helena berusaha berdiri. “Bantuin kek.” “Eh, iya.” Whinskey memegang lengan Helena dan membantu Helena berdiri. “Kau tidak apa-apa?” Helena mengelengkan kepalanya. “Kau yakin? Kamu tadi tidak merasa di dorong sesuatu?” ucap Whinskey sambil menatap Helena yang tengah mengusap-usap pundakanya. Helena langsung menoleh ke arah Whinskey, keningnya mengerut karena dia tidak mengerti apa maksud pertanyaan Whinskey. “Apa maksudmu? Lihat, barang-barangmu berserakan di lantai.” Helena menghembuskan nafasnya kasar.. “It’ok, Helen. Aku akan membereskannya,” ucap Whinskey. Terlihat keningnya berkerut memikirkan sesuatu, Helena masih terus memperhatikan pria itu sambil mengusap-usap pundaknya. “Tunggu, aku ingat sesuatu.” Helena mengangkat alisnya sebelah mendengar ucapan Whinskey. Terlihat Whinskey tengah mencari sesuatu di dalam jaket tebalnya. Wajahnya tiba-tiba sumringah seperti mendapatkan jackpot. Dengan senyum lebarnya Whinskey menunjukkan satu botol Hand sanitizer berukuran besar ke hadapan Helena. “Ini solusinya, Helen.” Helena menepuk dahinya melihat tingkah Winskey. Kemudian dia menggeleng-gelengkan kepalanya karena heran. Whinskey justru tersenyum lebar sambil menyemprot barang-barangnya yang bercecer di lantai dengan hand sanitizer tersebut. Tidak lupa dia juga menyemprot kotak itu. Setelah kotak itu di semprot, Whinskey membukanya. Dia mengambil kunci kamar yang ada di dalam kotak itu lalu memberikannya kepada Helena. Helena mengangguk-anggukan kepalanya mantap. Kemudian Helena pun berjalan menuju ke kamar Whisnkey. Sedangkan Whinskey masih memunguti barang-barangnya. “Cepatlah,” teriak Helena. “Oke, sudah beres,” ucap Whinskey sambil berdiri mengangkat barang-barangnya. “Ayo.” Helena pun berjalan duluan, diikuti Whinskey yang berada dibelakangnya. Sesampainya di depan pintu Helena segera mengarahkan kunci itu kelubangnya. Setelah dirasa pintu sudah tidak terkunci, Helena pun membuka pintunya. Kemudian Helena menoleh kearah Whinskey sambil tersenyum. “Teimakasih, Helen,” ucap Whinskey. “Sama-sama. Ada lagi yang kau butuhkan?” Whinskey menggelengkan kepalanya. “Tidak ada. Kamu bisa kembali ke kamarmu.” “Cih. Sok memerintah lagi.” Whinskey pun terkekeh. “Kapan lagi aku bisa memerintah mu kalau bukan sekarang.” Helena hanya mengerucutkan mulutnya kemudian berlalu begitu saja dari hadapan Whinskey. Whinskey kembali terkekeh. Sesampainya di depan pintu kamarnya Helena segara masuk ke dalam dan mengerjakan laporannya kembali. Helena menguap saat laporannya sudah selesai. Dia mengangkat kedua tangannya ke atas kemudian mematahkan tulang lehernya yang kaku sampai berbunyi. “Akhirnya selesai juga laporan ku,’ gumamnya. Helena melirik jam dindingnya. Dia membelalak karena tidak percaya karena jam masih menunjukkan pukul 10 malam. Helena mengira malam sudah larut. Dia menghembuskan nafasnya kasar. Kemudian mengambil delas yang ada di sampingnya. Dengan cepat dia menyingkirkan penutupnya dan menyeruput airnya. “Eh, kosong.” Helena menepuk dahinya. Helena pun beranjak dari tempat duduknya. Keluar dari kamar dan mengambil air minum di dapur. Berkali-kali Helena menguap sepanjang perjalanan menuju dapur. “Huh, ngantuk. Tumben jam segini aku sudah mengantuk,” gumamnya sendiri. Setelah selesai mengambil air, Helena pun segera kembali ke kamarnya. Tepat pukul 10.30 malam Helena mulai beranjak ke atas tempat tidurnya. Mematikan lampu kamar tiduenya dan memejamkan mata. Helena menguap kembali, dia sudah merasa ngantuk sekali. Dengan cepat Helena pun terlelap dalam tidurnya. Jam tidur pun terus berjalan sepanjang malam. Terlihat nafas Helena sedang berhembus teratur. Namun dibalik hembusan nafas itu, Helena terus membolak-balikkan badannya, ke kanan dan ke kiri merasa tidak nyaman dalam tidurnya. Malam semakin larut, jam dinding terus berputar. Tidak lama keheningan pun mulai terasa. Jam menunjukkan pukul 01.30 dini hari. Suasana malam mulai berubah menjadi sunyi. Tanpa sebab apapun tiba-tiba Helena pun terbangun. Kemudian mencecap bibir keringnya lalu tidak sengaja terbatuk karena tenggorokan yang terasa seperti tersumbat sesuatu. Helena pun telentang menghadap ke atap kamarnya. Helena mengerutkan keningnya karena melihat sebuah siluet hitam. Dia terus memperhatikan siluet itu namun lama-kelamaan siluet itu menyebar dan menghilang dengan sendirinya.. Helena tidak mempermasalahkan itu, dia justru kembali menatap langit-langit kamarnya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Kupu Kupu Kertas#sequel BraveHeart

read
44.1K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
76.1K
bc

Suamiku Calon Mertuaku

read
1.4M
bc

ARETA (Squel HBD 21 Years of Age and Overs)

read
58.2K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
54.6K
bc

Rewind Our Time

read
161.5K
bc

Everything

read
278.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook