Chapter 3

1031 Words
Sebenarnya ada satu hal yang terlintas di benak Jessica ketika ia mengingat kamar ini. Pertanyaan yang sudah sejak saat itu bersarang di pikirannya. Sayangnya di kala itu Jessica tidak bisa menanyakan pertanyaan itu kepada Alex. Meskipun dia merasa sangat penasaran. Sekarang adalah saat yang tepat untuk mempertanyakan masalah itu kepada Alex. Mumpung ia masih merasa penasaran dan pertanyaannya akan terjawab jika ia bertanya sekarang. Kemudian pandangannya menatap Alex dengan intens. Seolah tengah mengintrogasi lelaki itu. "Waktu itu apa memang benar-benar tidak ada kamar kosong?" tanya Jessica. Pertanyaan yang sedikit mengejutkan. Alex mulanya terkejut namun ia dapat segera mengendalikan ekspresinya dengan baik. Bahkan sekarang wajahnya dipenuhi senyuman kala mengingat hal itu. Senyuman yang membuat Jessica menatapnya penuh curiga. "Kenapa?" tanyanya mulai penasaran. Alex berdehem sejenak dan bersiap untuk menjawab. Sebelumnya ditatapnya lagi wajah Jessica yang nampak begitu penasaran. Senyum di wajah Alex semakin lebar.  "Waktu itu benar-benar tidak ada kamar kosong."  Alex tidak dapat menahan senyumnya bertambah lebar. Hal itu membuat Jessica semakin bertambah curiga. "Kenapa senyum-senyum? Cepat jelaskan, Lex!" pinta Jessica semakin tidak sabaran. "Tapi kemudian beberapa hari sebenarnya ada kamar yang bisa kau tempati." Jessica menyilangkan kedua tangannya di depan d**a kemudian memutar bola mata malas karena pengakuan yang baru saja dibuat Alex. Ternyata firasatnya benar ketika kala itu. Ia yakin seharusnya ada kamar yang ia bisa tempati jadi tidak perlu berbagi kamar dengan Alex. Rupanya tebakannya benar. Ia jadi penasaran kenapa kala itu Alex tidak mengabari ada kamar yang kosong. Jika Alex mengabarinya saat itu. Maka pasti Jessica akan langsung pindah menuju kamar kosong. "Lalu kenapa kau tidak memberitahuku untuk pindah?" Alex menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Namun senyum sialan di wajahnya itu juga tidak kunjung pergi. Ia sungguh merasa lucu sekaligus bingung jika mengingat saat itu. Sesungguhnya ia juga tidak tahu apa alasan melakukannya. Pikirannya mengatakan bahwa ia sudah terlalu nyaman satu kamar dengan Jessica saat itu. Mereka lebih mudah mengerjakan pekerjaan bersama dalam satu kamar. Ya, setidaknya itu saja yang Alex pikir kala itu. Dengan mengesampingkan bahwa perasaan nyamannya berada dekat Jessica merupakan alasan utama ia melakukan semua itu. "Akan repot, lagipula itu di hari-hari terakhir." Akhirnya hanya itu yang bisa Alex ucapkan. Jessica tidak bisa mempercayainya. Sehingga dia pun kembali mengajukan pertanyaan. "Kau tidak sengaja melakukannya untuk tetap satu kamar denganku, kan?" tanya Jessica penuh selidik. Alex menyengir kuda.  "Kurasa itu alasan lainnya." Detik kemudian Jessica tersenyum. Ia jadi penasaran sebenarnya bagaimana perasaan Alex kepadanya kala itu. Padahal Alex seolah membencinya, tapi ternyata Alex suka jika berada di dekat Jessica.  "Baiklah. Bagaimana jika sore nanti kita pergi ke air terjun?" ajak Jessica kembali ke topik awal tadi. Sudah cukup waktu bernostalgianya. Pertanyaan-pertanyaan di benak Jessica sudah terjawab. Ia tidak merasa penasaran lagi dan kini merasa lega. Alex sudah menjawab dengan jujur dan sesuai dengan tebakannya. "Kau yakin sore ini? Bagaimana jika besok pagi saja? Kita akan punya lebih banyak waktu." Jessica mengernyitkan keningnya. Jika pergi ke air terjun dilakukan besok pagi. Lalu siang hingga sore ini mereka akan melakukan kegiatan apa? Demi Tuhan Jessica bosan jika terus-terusan berada di kamar terutama di atas ranjang. Berbeda dengan Alex yang nampaknya lebih bersemangat melakukan kegiatan di atas ranjang.  "Lalu siang ini kita melakukan apa?' Melihat seringaian dari Alex, Jessica menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Ku mohon apa saja selain kegiatan di dalam kamar!' ---------- Mereka memutuskan untuk menghabiskan siang hari dengan memasak bersama. Sebenarnya hanya Jessica saja yang memasak. Sementara Alex lebih banyak menonton ataupu hanya sebatas menggoda Jessica saja. Sekarang mereka tengah menikmati hidangan dengan makan bersama di tepi kolam berenang. "Berenang sepertinya ide yang baik," ucap Jessica sambil menatap jernihnya air kolam. Alex menganggukkan kepalanya setuju. "Nanti ketika matahari tidak terlalu terik, kita bisa berenang. "Selesai makan saja. Kita bisa pakai sun block." Alex sedang malas berpanas-panasan. Meski menggunakan sun block sekalipun, tetap saja panasnya matahari terasa begitu menyengat kulitnya. Kolam berenang di hadapannya ini hanya seperempat bagiannya yang saja yang teduh. Itu pun tidak terlalu luas jadi tidak terasa menyenangkan jika hanya berenang di bagian teduhnya saja.  "Baiklah." pada akhirnya Alex mengalah saja. Selama ia melakukannya bersama Jessica maka pasti akan menyenangkan.  Ponselnya yang diletakkan di atas meja tiba-tiba berdering. "Mommy." sahut Jessica cepat. Alex segera mengangkat teleponnya. "Halo, Mom. Ada apa?" "Bagaimana kabar kalian? Betah sekali sepertinya berbulan madu." "Lex, loudspeaker." pinta Jessica dengan berbisik. "Ya. Kami sedang mengusahakan Alex junior." Terdengar tawa dari nyonya Brigit di seberang sana. Alex tersenyum menggoda ke arah Jessica sementara Jessica tidak bisa menghentikan pipinya yang mulai merona karena ucapan Alex. "Aku doakan semoga cepat jadi. Aku sungguh ingin segera menimang cucu." "Tenang saja, Mom. Akan ada banyak Alex junior nantinya." Jessica menyenggol lengan Alex sambil membulatkan matanya mengancam. Sementara cengiran Alex semakin lebar saja. "Baiklah. Tolong titipkan salamku kepada Jessica." "Aku disini, Mom." sahut Jessica cepat.  "Baiklah, sayang. Silahkan lanjutkan kegiatan kalian. Aku hanya perlu bicara sebentar. Jangan lupa bahwa aku menunggu kabar baik kalian. Sampai jumpa. Selamat bersenang-senang." Tahu-tahu sambungan telepon telah dimatikan. Padahal tadinya Jessica ingin menanyakan keadaan mertuanya itu. Jessica merasa telah meninggalkannya terlalu lama. Padahal sebenarnya nyonya Brigit tidak merasa keberatan sama sekali karena Jessica tengah berbulan madu bersama Alex. Itu bukankah sebuah masalah. Nyonya Brigit justru sangat mendukungnya. Terlebih beliau sudah sangat tidak sabar untuk memiliki cucu. "Jadi katakan, Jess. Mau berapa banyak kita membuat Alex junior?" tanya Alex seraya meletakkan ponselnya kembali di atas meja. Jessica hanya menghela napasnya. Ia tahu bahwa Alex sempat mengutarakan ingin memiliki lima anak. Sementara Jessica sendiri belum memasang target. Ia tidak ingin terlalu terburu-buru. Ia masih ingin menikmati segala waktu dalam hidupnya. Termasuk menikmati waktu berdua dengan Alex. "Habiskan makananmu, Lex." Alex tersenyum. Ia justru meletakkan piring yang dipegangnya dengan tangan kiri, di atas meja. Kemudian ia mendekati Jessica yang duduk di sebelahnya. Menjatuhkan kecupan ringan di atas bibir perempuan itu. "Astaga, Alex!" Jessica sedikit kesal karena Alex mencuri cium darinya dengan tiba-tiba. "Jangan mulai!" pekiknya. Kegiatan b******a mereka akan terjadi jika Alex sudah mulai menciumnya. Jika tidak dihentikan, ciuman itu akan merambat menjadi kegiatan lain seperti mengendus leher, mengigit telinga dan akan terus berlanjut hingga Alex puas.  Alex hanya terkekeh dan kembali mengambil piringnya untuk segera menghabiskan makanan buatan Jessica.  "Sepertinya aku berubah pikiran." "Apa?" tanya Jessica tidak mengerti. "Tujuh anak bagaimana?" Jessica membulatkan matanya terkejut. Bisa-bisanya Alex begitu mudah menyebutkan angka itu. Apa dia tidak tahu kalau hamil dan melahirkan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan?  "Berhentilah menghitung. Aku belum terlalu ingin cepat-cepat memiliki anak untuk saat ini." Alex terlihat kecewa, meskipun ekspresi wajah itu hanya dibuat-buat. Akan tetapi tatapan mata Alex benar-benar menunjukkan kekecewaan.  "Baiklah. Itu berarti kita bebas terus-terusan bekerja keras di atas ranjang," ujar Alex kemudian.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD