Chapter 02

1907 Words
    Malam menyambut, hawa dingin yang perlahan menyusup. Reygan kembali memasuki hunian apartemen di daerah elite yang berada di pusat kota Distrik 1. Ia melangkahkan kakinya memasuki unit apartemen yang tampak gelap karena lampu yang belum dihidupkan, dan itu menandakan bahwa orang lain yang tinggal di sana belum pulang.     Menggerakkan tangannya ke samping, dia menyalakan lampu dan tampaklah ruang tamu yang tidak terlalu luas namun terlihat sangat rapi. Berjalan masuk, Reygan menaruh tas jinjing serta jas putihnya di atas sofa sebelum langkah kakinya membimbingnya menuju dapur untuk mendapatkan segelas air. Namun sebelum itu, ia membasuh tangannya terlebih dulu dengan air mengalir di wastafel. Sebuah rutinitas kecil yang selalu ia lakukan setiap kali masuk ke rumahnya.     Selesai membasuh tangannya, ia mendekat ke meja dan mengambil segelas air putih sebelum membawanya ke depan dengan tangan kiri yang telah menyibukkan diri dengan ponselnya.     Mendudukkan diri di sofa, Reygan mendekatkan ponselnya ke telinga dan menunggu seseorang di seberang menjawab panggilan sembari ia yang mengambil satu teguk air untuk membasahi tenggorokan lalu menaruh gelas itu di atas meja.     "Kau di mana?" tegur Reygan, terdengar tak begitu menuntut setelah telepon tersambung.     "Aku masih di Rumah Sakit," sahut suara lembut seorang wanita yang menguasai pendengaran Reygan kala itu.     Reygan sekilas melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Semalam ini? Ada apa?"     "Ada kecelakaan beruntun, banyak dokter yang sudah pulang."     "Jadi, kapan kau akan pulang?"     "Aku belum tahu, di sini sangat sibuk. Jangan menungguku dan cepat tidur."     "Jangan memaksakan diri, aku mencintaimu." Reygan memutuskan sambungan dengan dokter muda yang berstatus sebagai kekasihnya itu.     Karina Willson, Dokter muda yang bekerja di salah satu dari tiga Rumah Sakit besar di pusat kota itu telah menyandang status sebagai kekasih Reygan sejak tujuh tahun yang lalu. Dan apartemen yang kini di tempati oleh Reygan, tidak lain adalah apartemen milik Karina.     Tepatnya dua tahun yang lalu, Reygan yang saat itu bekerja di Harvard University harus rela meninggalkan pekerjaannya di sana karena negara menginginkan ia kembali. Dan sejak saat itu pula ia menumpang di tempat sang kekasih disaat ia sendiri yang tidak lagi memiliki sanak saudara. Reygan bisa menjadi orang sukses seperti sekarang karena bantuan dari negaranya yang bersedia mendukungnya dalam bidang pendidikan.      Sejenak mengistirahatkan punggungnya, Reygan membaringkan diri di sofa panjang namun tak lebih panjang dari tubuhnya sendiri. Untuk sejenak pikiran pria itu kembali melayang pada pertemuan di ruang rapat siang tadi.     "Menggunakan virus sebagai senjata negara?" sebuah monolog yang bertujuan untuk mencari keyakinannya sendiri akan apa yang ia dengar sebelumnya.     "Haruskah aku menggunakan ilmuku untuk membunuh seseorang? °°°°     30 Maret 2045.     Distrik 3.     Satu minggu berlalu, Alexander Lim bersaudara itu telah memutuskan untuk tetap tinggal. Setelah mengurus pengunduran diri mereka dari Rumah Sakit di Amsterdam, kini keduanya resmi menjadi dokter di salah satu Rumah Sakit besar yang terletak di pusat kota Distrik 3. Tak begitu jauh dari rumah lama mereka. Namun alih-alih meninggali rumah peninggalan ayah mereka, keduanya lebih memilih menetap di sebuah apartemen yang memiliki jarak tidak begitu jauh dari Rumah Sakit tempat mereka bekerja saat ini.     Pagi itu menjadi hari ke tiga mereka aktif sebagai dokter di negara mereka sendiri, dan tentunya sedikit keributan kecil selalu terjadi. Entah itu di Amsterdam dulu maupun sekarang.     "Felix, cepat bangun! Kau bisa terlambat nanti." Daniel sekilas mengguncang bahu saudaranya yang lebih tua itu sebelum berjalan menuju lemari baju.     Usia keduanya hanya berjarak dua tahun. Oleh sebab itu keduanya lebih terlihat seperti teman sebaya di bandingkan dengan kakak beradik, karena Daniel sendiripun sangat jarang memanggil Felix dengan sebutan kakak. Meski sudah sering di tegur oleh sang kakak, pemuda itu tetap menolak memanggil sang kakak dengan semestinya.     Daniel berdiri membelakangi tempat sang kakak dan mengganti pakaiannya. Di sisi lain Felix membuka matanya dengan malas dan sekilas mengangkat kepalanya ketika melihat siluet sang adik.     "Apa-apaan ini? Kau sedang mempertontonkan hal yang tidak baik untuk mataku," suara berat yang terdengar sedikit serak ketika mata itu kembali menutup.     "Waktumu tiga puluh menit. Jika kau belum siap, pergilah ke Rumah Sakit dengan berjalan kaki," ujar Daniel dengan suara yang lebih berat dari suara sang kakak sembari mengenakan celananya.     "Beri aku waktu lima menit," gumam Felix dengan suara yang teredam oleh bantal di bawah wajahnya.     Daniel berbalik. Menghampiri Felix sembari mengancingkan kemeja putihnya. Belum semua kancing yang terpasang, Daniel menggunakan tangannya untuk menarik selimut Felix dengan kasar dan membuat sang kakak mendengus pasrah.     "Kau bukan pelajar ataupun anak kecil. Kau boleh saja bermalas-malasan … tapi jangan menangis jika saat kau sampai di Rumah Sakit, satu pasienmu telah pergi tanpa mengucapkan apapun padamu."     "Jadilah seorang Pastor, kau cocok dengan pekerjaan itu," balas Felix dengan malas     Daniel sejenak terdiam, menatap jengah pada sang kakak yang sangat pemalas. Namun sepertinya tak ada lagi kesabarannya yang tersisa kali ini. Daniel memutari ranjang dan berhenti di sisi ranjang. Tanpa membuang-buang waktu, ia segera mengangkat tubuh Felix, memaksa sang kakak untuk membuka matanya.     "Ini terlalu manis, turunkan aku sekarang."     Tak ingin peduli. Daniel lantas membawa Felix menuju kamar mandi dan beberapa detik setelah sosok keduanya memasuki kamar mandi, saat itu terdengar suara pekikan dari Felix di susul oleh Daniel yang keluar dari kamar mandi seperti tengah melarikan diri setelah ia melempar kakaknya ke dalam bathup yang kosong.     "Bocah kurang ajar!"     Mendengar u*****n kecil itu, senyum Daniel melebar. "Kau menghabiskan waktu lima menit dengan sia-sia. Sepuluh menit, jika kau tidak keluar, aku akan meninggalkanmu…" °°°°      Laboratorium Penelitian, Distrik 1.     Pagi itu Reygan baru saja sampai di gedung Labiratorium Penelitian. Sedikit membenahi posisi kacamatanya, Ilmuwan muda itu berjalan memasuki gedung dan sempat bertegur sapa dengan beberapa petugas yang berpapasan dengannya.     "Senior…" satu teguran berhasil menghentikan langkah Reygan. Dia menoleh ke sumber suara dan mendapati Excel berjalan menghampirinya.     "Senior baru datang?"     Reygan bergumam sembari mengangguk. "Kau sendiri?"     "Aku sudah datang sejak tiga puluh menit yang lalu … tapi Profesor Harri menyuruhku untuk membelikannya kopi," ucap Excel sembari sekilas mengangkat dua cup kopi di tangannya. Excel kemudian menyodorkan satu cup kepada Reygan. "Ini untuk Senior."     "Untukku?"     Excel mengangguk.     "Ah … tidak, tidak. Kau yang membelinya … untukmu saja, aku bisa membelinya sendiri."     "Senior lupa? Aku tidak minum kopi, aku sengaja membawakan ini untuk Senior."     Reygan sempat tertegun beberapa detik sebelum tersenyum lebar ketika baru ingat jika Asistennya itu memang tidak bisa meminum kopi. Ia pun lantas menerima satu cup kopi dari juniornya itu. "Jika kau tidak minum kopi, lain kali belilah teh. Kopi tidak baik di konsumsi saat pagi hari terlebih belum memakan apapun."     Excel tersenyum lebar ketika sebuah nasehat ia dapatkan pagi itu. "Aku akan mengingat nasehat yang Senior berikan, terima kasih atas bimbingannya."     Reygan terkekeh pelan. "Kau ini ada-ada saja … kemarikan itu, biar aku yang mengantarnya ke ruangan Adam."     "Ah … tidak perlu. Aku tidak ingin merepotkan Senior … biar aku saja."     "Tidak apa-apa, sekalian aku ada perlu dengannya."     "Benar, tidak apa-apa?"     Reygan kembali terkekeh atas tingkah dari Asistennya itu. "Berikan padaku dan kembalilah pada pekerjaanmu."     "Baiklah kalau begitu … terima kasih." Excel lantas menyerahkan satu cup kopi yang tersisa di tangannya pada Reygan.      "Laporan yang kuminta kemarin, kau sudah selesai membuatnya?"     Excel tiba-tiba menepuk keningnya sendiri. "Aku lupa…"     "Tidak masalah, kau bisa membawanya ke ruanganku siang nanti sebelum jam makan siang. Sampai jumpa."     Reygan kemudian meninggalkan Excel, berjalan menyusuri lantai yang mengkilap di bawah kakinya. Memasuki lift dan turun di lantai yang di penuhi oleh sekat kaca. Sesekali sebuah teguran datang padanya, namun tak jarang ia lah yang harus menegur terlebih dulu.     Setelah berjalan cukup jauh dari tempat sebelumnya. Pada akhirnya langkahnya sejenak terhenti di depan pintu kaca yang menampakkan sosok seseorang yang saat itu tengah sibuk di meja kerjanya. Tak ingin repot-repot mengetuk pintu transparan di hadapannya, Reygan segera membuka pintu tersebut dan segera menghampiri rekannya itu.     "Aku hanya memintamu membeli kopi, kenapa lama sekali?" tegur Adam di saat pandangannya masih tersita oleh berkas di hadapannya.     "Anak itu tidak bisa menghirup aroma kopi, kenapa kau tetap menyuruhnya?" balas Reygan yang kemudian menaruh satu cup kopi di sisi meja kerja Adam.     Adam yang mengenali suara itu lantas mengangkat wajahnya. Memandang rekannya sebelum sekilas menjatuhkan pandangannya pada cup kopi yang baru saja diletakkan oleh Reygan.     "Di mana Excel?"     "Suruh Asistenmu sendiri, kenapa kau selalu menyusahkan anak itu?"     "Dia tidak mengatakan jika dia kesusahan, kenapa kau berlebihan sekali?" acuh Adam yang segera mengambil kopi miliknya dan meminumnya.     "Kau memang selalu bertindak seenakmu sendiri," cibir Reygan.     Adam mengendikkan bahunya acuh. "Kenapa kau kemari?"     "Ada hal yang ingin kutanyakan padamu."     Sebelah alis Adam sekilas terangkat. "Apa? Duduklah dulu, tidak enak melihatmu berdiri di situ."     Reygan mengambil tempat duduk yang berada di depan meja kerja Adam. "Tentang permintaan Presiden ... apa sudah ada keputusan?"     Adam menjawab dengan acuh, "aku tidak ingin peduli dengan hal itu. Menuruti kemauan orang gila itu adalah jalan sesat."     "Jaga bicaramu, kau pikir kau sedang membicarakan siapa?"     "Bagaimana aku bisa tidak menyebutnya gila? Virus adalah hal yang paling ditakuti dalam dunia medis. Tidakkah orang itu belajar dari masa lalu?" Adam membenahi posisi duduknya dan berbicara dengan lebih serius, "mari kita hitung mundur. Corona Virus yang menjadi pandemi tahun 2020. Berapa lama dunia bisa mengatasi masalah itu? Kita beruntung karena negara kita selamat dari pandemi itu … tapi apa yang terjadi sekarang? Setelah kita selamat dari pandemi itu, sekarang Presiden kita justru ingin membuat pandemi itu sendiri. Sudah cukup! Aku bukan rakyatnya … memangnya dia pikir semudah itu mengendalikan virus. Benar-benar tua bangka tidak tahu diri!"     Adam memukul meja tepat di akhir kalimat. Terlihat menahan kemarahannya dan Reygan yang menyaksikan kebrutalan dari rekannya itu hanya bisa menyaksikan tanpa berkomentar. Karena jika sudah seperti ini, tak ada kata-kata yang bisa menggurui seorang Adam Harrison.     "Sudah selesai?" tanya Reygan kemudian.     "Sudah, lanjutkan," balas Adam, berusaha kembali bersikap normal setelah hampir memaki Hilton yang tidak berada di hadapannya.     Reygan kemudian berujar, "kau benar-benar harus lebih bijaksana dalam menggunakan lisanmu. Tidak masalah jika kau mengumpati anggota Dewan. Tapi masalah besar karena yang kau umpati adalah Presiden."     Adam menatap jengah. Tatapan yang selalu ia berikan ketika orang bijaksana di hadapannya itu mulai mengeluarkan perkataan bijaksana yang seakan menyudutkannya bahwa ia bukanlah orang baik.     "Jika sudah selesai, tinggalkan ruanganku."     Reygan memalingkan wajahnya dengan tawa pelan tak percaya sebelum pandangannya kembali bertemu dengan tatapan mengintimidasi milik Adam. Reygan kemudian berucap, "aku hanya ingin menanyakan hal itu. Aku pikir kau tahu sesuatu."     Adam menatap penuh selidik. "Kenapa kau menanyakan hal itu? Jangan bilang jika kau tertarik."     "Aku tidak pernah tertarik dengan hal semacam itu. Aku di sini untuk menciptakan vaksin, bukannya virus."     Adam tersenyum remeh. "Tapi bagaimana jika Hilton memberikanmu imbalan yang besar? Bukankah kau bisa menjamin kehidupanmu dengan kekasihmu itu?"     "Jangan memprovokasiku, aku tidak sepertimu."     Adam menyandarkan punggungnya dengan jemari yang memainkan pena di tangannya. "Aku tidak terlalu peduli dengan hal itu … tapi aku dengar, para orang tua itu sering melakukan pertemuan. Dan bahkan kemarin aku sempat melihat orang dari Presiden datang kemari."     "Bagaimana menurutmu?"     "Apanya?"     "Jika kau di suruh memilih, jalan mana yang akan kau pilih?"     "Aku tidak ingin bekerja pada orang yang terobsesi pada kekuasaan."     "Kau sedang menyindir Presiden."     "Apa aku terdengar seperti melakukan hal itu? Bahkan aku tidak peduli jika dia dinobatkan sebagai Presiden seumur hidup." Adam lantas tersenyum sinis dan melanjutkan,  "mereka memang sudah gila! Apa tidak ada lagi orang kompeten di negara ini? Bagaimana bisa mereka menunjuk seseorang untuk menjadi Presiden seumur hidup?"     Reygan terkekeh ringan saat mendengar ocehan rekannya itu, meski ia sempat berpikiran seperti itu ketika pertama kali mendengar bahwa Kongres menghapus masa jabatan Presiden dan mengumumkan Robert Hilton sebagai Presiden seumur itu. Konyol! Itulah yang ada dalam pikiran Reygan kala itu.     "Berhenti menghujat Presiden. Dibandingkan menghujat, bukankah akan lebih baik jika kau mencoba menjadi bagian dari keluarganya?"     "Maksudmu?"     "Aku dengar dia memiliki seorang cucu perempuan yang saat ini bekerja di salah satu Rumah Sakit ternama di Distrik 3."     "Dari mana kau tahu?"     "Sesekali lihatlah berita. Kau gunakan untuk apa televisi di rumahmu itu."     "Lupakan! Aku tidak tertarik bergabung bersama mereka."     Reygan tersenyum singkat. "Baiklah, aku harus kembali ke ruanganku sekarang." Dia beranjak dari duduknya.     "Aku bahkan tidak pernah mengundangmu datang kemari … pergilah!"     Reygan mengulas senyumnya dan berjalan menuju pintu keluar. Meninggalkan ruangan Adam yang memandang punggungnya hingga tak lagi terlihat.     Adam lantas bergumam, "dia memang pria baik-baik."     
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD