Chapter 03

2426 Words
    Distrik 3     Felix memukul kepala Daniel menggunakan tas kerjanya dari arah belakang ketika keduanya memasuki bangunan Rumah Sakit tempat mereka bekerja. Daniel langsung memegangi kepalanya dan memberikan tatapan tajam pada saudaranya itu.     "Berhenti bermain-main dengan kepalaku."     "Salahmu sendiri, kau tidak tahu betapa sakitnya punggungku akibat kelakuan tadi?"     Daniel memutar bola matanya malas dan berucap, "apa peduliku? Kau bahkan bukan anak kecil lagi."     Felix menghentikan langkahnya, terlihat wajahnya yang kembali kesal. Dia mendecak, "apakah dia memang adikku? Kenapa aku tiba-tiba meragukan hal itu?" lantas menyusul sang adik.     Keduanya berjalan dengan lebih berwibawa ketika telah berbaur dengan lalu-lalang aktivitas di bangunan itu. Felix sekilas melihat jam di pergelangan tangannya sebelum kembali menatap lurus ke depan.     "Kau memiliki jadwal operasi hari ini?"     "Tidak ada."     "Lalu apa yang akan kau lakukan hari ini?"     "Duduk manis di ruanganku dan tidur jika tidak dibutuhkan."     Felix tersenyum lebar, menatap tak percaya pada si bungsu hingga sebuah teguran kemudian menghentikan langkah keduanya.     "Selamat pagi …" tegur salah satu dokter pria yang datang dari arah berlawanan dengan beberapa rekannya.     "Selamat pagi," balas Felix dengan sopan, namun tidak dengan Daniel yang justru memalingkan wajahnya.     "Ah … benar-benar sebuah kebetulan kita bertemu di sini. Kalian baru datang?"     "Seperti yang kau lihat, kami baru saja masuk," jawab Felix dengan senyum ramahnya.     "Baiklah kalau begitu, sepertinya kalian sangat sibuk hari ini. Aku tidak ingin menghalangi kalian, semoga hari kalian menyenangkan."     "Terima kasih, kami permisi."     Dua bersaudara itu lantas kembali melanjutkan langkah mereka, dan samar-samar terdengar bahwa sang kakak menegur si bungsu yang terlalu acuh pada orang asing. Sedangkan sekumpulan dokter magang itu masih berdiri di tempat mereka dan memandang kepergian kedua dokter baru itu.     Charles, pria berumur di awal 40 tahun yang sebelumnya menegur Alexander Lim bersaudara lantas bergumam dengan penuh kekaguman, "dilihat berapa kalipun, mereka berdua tetaplah tampan."     Dua pemuda dan satu wanita muda yang berstatus sebagai dokter magang di sana lantas serempak memandang senior mereka dengan tatapan heran. Dan dari ketiganya, wanita muda yang memiliki nama panjang Rachel Ananta Hilton itu tidak lain adalah cucu dari Presiden Robert Hilton.     Rachel lantas menegur, "Guru … aku pikir telingaku yang salah, atau kau benar-benar mengagumi mereka?"     Charles yang mendengar hal itu langsung menatap Rachel. "Memangnya apa yang kukatakan?"     "Eih … orang tua satu ini memang menyebalkan," gerutu Rachel dan membuat kedua rekannya tampak menahan tawa.     Charles yang mendengar hal itu lantas mendorong kepala Rachel dan kembali memandang kakak beradik yang hampir menghilang dari pandangan mereka.     Charles kembali berucap dengan penuh pertimbangan. "Sebenarnya apa istimewanya anak-anak itu? Tidak ada yang bisa dibanggakan selain hanya wajah tampan mereka."     Salah satu rekan Rachel menyahut, "istimewanya adalah mereka lulusan Leiden University."     Charles menatap sinis. "Apa istimewanya dengan hal itu? Bahkan aku perlu waktu empat tahun untuk bisa mendapatkan ruanganku sendiri. Sedangkan mereka, baru saja masuk dan sudah mendapatkan ruangan pribadi."     Ketiga junior Charles tampak menahan tawa mereka ketika mendengar Charles berucap seperti orang kesal. Sebenarnya itu bukan hal yang baru, karena bukan hanya Charles yang memiliki pemikiran seperti itu. Tepatnya sejak kedatangan Alexander Lim bersaudara itu ke sana, Rumah Sakit dipenuhi dengan desas-desus. Pasalnya dua anak baru itu langsung mendapatkan ruang kerja mereka sendiri, meski keduanya menempati satu ruangan. Dan hal itulah yang membuat beberapa dokter yang sudah cukup lama berada di sana namun belum juga mendapatkan posisi yang bagus, merasa iri.     Rekan Rachel yang lain turut menyahut, "mungkin karena mereka adalah putra dari mendiang Politikus Alexander Lim, itulah sebabnya mereka diperlakukan secara istimewa."     Charles langsung mengutarakan ketidak setujuannya, "jika itu bisa dijadikan alasan, lalu bagaimana dengan teman kalian?"     Semua pasang mata langsung mengarah pada Rachel dan membuat wanita muda itu kaget. "Aku? Ada apa denganku?"     Charles melanjutkan dengan nada mencibir, "kau cucu dari Presiden dan kakekmu memiliki Rumah Sakit sendiri. Tapi apa yang kau lakukan di sini? Kau bisa saja mendapatkan jabatan yang tinggi jika pergi ke Rumah Sakit milik kakekmu … tapi kau malah memilih menjadi dokter magang di sini. Benar-benar gadis yang aneh."     Rachel menatap jengah dengan helaan napas singkat. Wanita muda itu berucap dengan malas, "tidak bisakah berhenti membahas hal itu? Kenapa kalian selalu membahas masalah ini setiap kali kita bicara?"     "Bukan aku," sahut rekan Rachel.     "Charles yang mengatakannya," sahut yang lainnya.     "Terkadang kalian memang sangat menyebalkan. Sudahlah, hari ini jangan menggangguku." Gadis itu lantas meninggalkan ketiga rekannya.     "Hey, Nona Hilton. Apa kau marah?" pekik Charles, namun tak terlihat bahwa ia benar-benar serius dengan ucapannya.     Rachel sekilas menggerakkan tangannya ke udara dan berucap tanpa berbalik ataupun menghentikan langkahnya, "urus hidup kalian sendiri. Jangan campuri urusanku."     Charles tersenyum lebar. "Dia gadis yang lucu."     "Kau harus berhenti mengganggunya, Charles," tegur rekan Rachel yang masih berada di sana dengan seulas senyum yang menunjukkan bahwa ia tak serius dengan tegurannya.     "Dia gadis pemarah, sangat menyenangkan menggodanya."     "Sadarlah berapa usiamu sekarang. Dari pada kau menggoda anak itu, lebih baik kau segera dapatkan wanita untuk mengurusi rumahmu."     "Rumahku baik-baik saja meski tidak ada wanita, terima kasih sudah mengkhawatirkanku."     "Kau memang pria yang konyol," ujar salah satu rekan Rachel dengan senyum tak percaya. Setelahnya mereka pun kembali melanjutkan langkah mereka dengan pembicaraan yang sedikit serius namun tetap santai. °°°°     Menjelang jam makan siang, Daniel kembali ke ruangannya yang terletak di lantai 10 dari bangunan berlantai 31 itu. Namun saat hendak membuka pintu, pintu ruangan justru terbuka dari dalam dan menampakkan Felix yang hendak keluar.     "Oh! Kau sudah selesai?"     Daniel mengangguk ketika sifat malas bicaranya sepertinya sudah mendarah daging.     "Kau sibuk?"     Daniel menggeleng.     "Kalau begitu tolong antarkan ini ke ruangan Direktur," Felix menyodorkan sebuah berkas ke hadapan Daniel.     Sebelah alis Daniel terangkat. "Kau bisa mengantarnya sendiri."     Felix memukul d**a Daniel menggunakan berkas di tangannya. "Aku ada janji dengan dokter Antoni. Kau hanya perlu pergi ke lantai 31 dan memberikan ini pada Direktur lalu kembali kemari."     Daniel menatap tanpa minat, dan di detik berikutnya pemuda itu langsung mengambil berkas di tangan sang kakak. Tanpa mengucapkan apapun, Daniel lantas meninggalkan Felix.     "Apa susahnya berbicara pada kakakmu sendiri?" gumam Felix, sejenak menggelengkan kepalanya sebelum menutup pintu dan meninggalkan lantai 10 untuk memenuhi janji yang telah ia buat dengan salah satu dokter senior di sana.     Sedangkan Daniel masuk ke lift yang kemudian mengantarkannya sampai ke lantai 31, tempat di mana ruangan Direktur berada. Tak terlalu lama, begitu Daniel memberikan berkas titipan Felix pada Direktur, pemuda itu bergegas pergi.     Kembali masuk lift dan menekan angka 10 sebelum lift bergerak ke bawah. Lift berhenti di lantai 25 dan pintu yang terbuka berhasil menarik perhatian Daniel. Saat itu wajah Daniel yang sebelumnya terlihat santai tiba-tiba berubah menjadi kaku ketika melihat Rachel yang berdiri di depan lift. Namun sepertinya wanita muda itu juga tampak terkejut dengan kehadiran Daniel di sana.     Tak bisa melarikan diri karena akan terlihat aneh jika dia melakukannya, Rachel lantas masuk ke dalam lift. Menekan angka yang menjadi tujuannya sebelum berdiri di samping Daniel.     Seketika suasana canggung menyergap. Baik Daniel dan Rachel lebih memilih memalingkan wajah mereka di bandingkan dengan saling menegur. Keduanya memang belum pernah berkenalan secara resmi dan hanya mengetahui nama masing-masing dari mulut ke mulut, jadi hal yang wajar jika keduanya merasa canggung. Terlebih Daniel yang tidak terlalu bersahabat dengan oranga asing, atau lebih tepatnya dia tidak bisa memulai sebuah komunikasi terlebih dulu dengan orang asing. Karena jika sudah mengenal dengan baik, saat itu sifat kekanak-kanakan Daniel akan muncul dengan sendirinya.     Lift terus bergerak turun, namun Daniel tampak terganggu dengan kehadiran Rachel. Tanpa sadar telinga pemuda itu berubah menjadi merah tanpa sebab dan sempat menghela napasnya dengan singkat.     Tubuh mereka tersentak dan hampir terjatuh ketika lift tiba-tiba berhenti dengan kasar. Keduanya sempat saling bertemu pandang sebelum memandang ke monitor kecil di atas pintu yang menunjukkan bahwa mereka tengah berada di lantai 15. Namun tak ada lagi pergerakan dan pintu lift juga tidak terbuka.     Rachel tiba-tiba terlihat panik. Wanita muda itu mendekat ke pintu dan menekan salah satu tombol agar pintu lift terbuka. Namun tak ada yang berubah dan keduanya terjebak di dalam lift.     "Kenapa terjadi lagi? Apa mereka tidak memperbaiki liftnya?" gerutu Rachel yang mampu ditangkap oleh pendengaran Daniel.     Dari gerutuan gadis itu Daniel tahu bahwa hal seperti itu sudah sering terjadi di sana. Sesuatu yang aneh mengingat bahwa Rumah Sakit itu sangat besar dan berstandar international.     Daniel sedikit kaget ketika Rachel tiba-tiba memukul pintu dengan cukup keras. Netra Daniel mengerjap dan semakin terkejut ketika Rachel mulai menggedor pintu sembari berteriak.     "Siapapun di luar, tolong buka pintunya … ada orang di dalam sini, tolong buka pintunya …"     Netra Daniel memicing memperhatikan Rachel. Setelah beberapa saat Rachel tak kunjung menghentikan aksinya dan justru semakin melampiaskan kekesalannya, Daniel lantas mendekat untuk menghentikan gadis itu agar tak melukai tangannya sendiri. Daniel dengan cepat menahan pergelangan tangan Rachel dan membuat keduanya saling bertemu pandang.     "Kau bisa melukai pintunya."     "Apa?" gumam Rachel tak percaya, untuk kali pertama ia mendengar suara berat milik Daniel. Namun apa yang diucapkan oleh pemuda itu terlalu tidak masuk akal.     Netra Daniel kembali mengerjap, tampak ia yang seperti baru menyadari sesuatu. Pada kenyataannya pikiran serta lisannya tak sejalan dan berujung dengan membuatnya terlihat menjadi orang bodoh.     Dengan nada bicara yang masih sama Daniel lantas meralat ucapannya, "kau bisa merusak pintunya."     Rachel segera menarik tangannya hingga Daniel melepaskannya. "Jika sudah seperti ini, biasanya akan sangat lama."     "Kau memukulnya sampai tanganmu terluka pun belum tentu ada orang yang mendengarnya."     Daniel memandang ke langit-langit dan menemukan sebuah kamera CCTV. Dia menunjuk kamera tersebut sembari berujar, "mereka akan segera kemari jika melihat rekaman CCTV."      Daniel lantas kembali ke tempat awal, begitupun dengan Rachel yang memilih bersandar pada dinding dan kembali menyempurnakan kecanggungan di antara keduanya. Beberapa menit berlalu dan tak ada apapun yang terjadi. Daniel sempat mengeluarkan ponselnya, berniat meminta bantuan pada saudaranya, namun sinyal ponselnya justru mati ketika berada di ruangan tertutup itu.     Daniel mulai merasakan bahwa udara di sana semakin panas. Dan setelah terkesan menghindari gadis di sampingnya, Daniel mencoba mencuri pandang. Namun saat itu pandangan keduanya justru bertemu. Daniel segera memalingkan wajahnya. Wajah tenang pemuda itu terlihat sedikit gusar, namun tidak dengan Rachel yang justru menatapnya lekat-lekat.     Netra Rachel memicing ketika melihat telinga Daniel yang merah padam. Rachel bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah Daniel sedang sakit. Namun karena keduanya belum pernah berkenalan secara resmi, Rachel merasa ragu untuk menegur terlebih dulu.     Daniel tanpa sadar menghela napasnya terlalu keras dan ia segera menyesalkan hal itu. Namun hal itu lebih dulu menarik perhatian Rachel. Jujur saja Rachel sedikit khawatir ketika melihat perubahan warna pada telinga Daniel. Gadis itu berpikir bahwa mungkin saja saat ini Daniel tengah mengalami demam tinggi, dan setelahnya hanya pikiran buruk yang berada dalam benak gadis itu. Gadis itu takut jika tiba-tiba Daniel pingsan ditempat itu. Dia memang seorang dokter, namun perasaan canggungnya telah membuatnya lupa terhadap siapa dirinya.     Tak bisa tenang melihat keadaan Daniel. Rachel lantas memutuskan untuk menegur dengan takut-takut, "dokter Alexander."     Daniel menoleh dengan gerakan pelan seakan lehernya begitu berat untuk melakukan hal kecil tersebut.     Rachel bertanya dengan hati-hati, "apa … kau sedang demam?"     "Tidak," jawaban singkat dengan raut wajah yang datar.     Rachel tersenyum canggung dan lantas berucap, "ya sudah kalau begitu."     Keduanya kembali memalingkan wajah masing-masing. Namun perhatian Rachel segera teralihkan oleh pergerakan Daniel yang mendekat ke pintu. Mengkhianati ucapannya sendiri, Daniel mulai menggedor pintu lift. Tampak seperti orang marah dan tentunya hal itu cukup mengejutkan bagi Rachel meski tak ada makian yang keluar dari mulut Daniel saat itu. °°°°     Setelah terjebak di dalam lift selama satu jam lamanya, Daniel dan Rachel berhasil keluar setelah lift kembali berfungsi. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Daniel segera melenggang pergi dengan langkah lebar yang tampak terburu-buru.     Daniel berjalan di Lobi. Langkah kakinya mengarah keluar, berinisiatif untuk mencari udara segar setelah terperangkap di ruang pengap itu. Berjalan sedikit jauh dari pintu masuk, Daniel menapakkan kakinya di taman Rumah Sakit.     Menghentikan langkahnya di tempat yang cukup sepi, Daniel mendudukkan dirinya di bangku panjang taman yang berada tepat di bawah pohon besar. Menyandarkan punggungnya, tampak penyesalan di wajah Daniel. Terlebih ketika ia menghela napas beratnya, seakan menegaskan seberapa besar rasa penyesalannya.     Sempat terlihat seperti orang melamun, Daniel kemudian memijat pelan keningnya. Namun saat itu Felix tiba-tiba muncul dari belakang dan menyandarkan kedua lengannya pada sandaran kursi. Sedikit merendahkan tubuhnya hingga wajahnya sejajar dengan wajah Daniel.     Daniel menatap jengah dan menurunkan tangannya dari kening. "Tidak bisakah kau datang secara baik-baik?"     "Kurang baik apa aku? Memangnya apa yang kulakukan?" respon yang begitu acuh Felix berikan sebelum ia melompati sandaran kursi dan duduk di sampingnya Daniel.     Felix memandang adiknya itu dan kembali menegur, "dari mana saja kau?"     "Kau yang menyuruhku pergi menemui Direktur," ucap Daniel dengan gaya acuh terkesan malas seperti biasa.     Felix menatap heran. "Apa yang kau bicarakan dengan Direktur sehingga kau pergi selama ini?"     Daniel tak merespon, namun saat Felix hendak memalingkan wajahnya, saat itu sang kakak menyadari ada hal yang berbeda dari si bungsu. Dahi Felix mengernyit begitu ia menemukan hal yang janggal pada Daniel. Sedikit memutar tubuhnya, Felix menyandarkan lengannya pada sandaran kursi dan memperhatikan telinga Daniel.     Sempat terdiam beberapa saat, tawa geli itu kemudian menarik perhatian Daniel. Si bungsu menatap heran dengan tingkah si sulung yang menurutnya sangat aneh.     "Kenapa kau tertawa?"      Tawa Felix terhenti, menyisakan senyuman lebar. Dia kemudian berucap, "kau baru bertemu dengan siapa?"     Netra Daniel memicing. "Memangnya kenapa?"     "Gadis mana yang kau temui?"     Batin Daniel tersentak, terlihat bingung sekaligus heran. "Apa yang kau bicarakan?"     "Ada yang salah dengan telingamu," Felix menggunakan telunjuknya untuk menunjuk telinga Daniel yang masih terlihat merah.     Daniel lantas meraba telinganya. Tak merasa ada yang salah dengan telinganya. "Ada apa dengan telingaku?"      Felix mengulum senyumnya lalu berucap, "terakhir kali aku melihat telingamu seperti itu saat kau bertemu dengan Alexa. Jadi … gadis mana yang berhasil membuat telingamu seperti ini?"     Dahi Daniel mengernyit. "Apa yang sedang kau bicarakan?"     "Eih … tidak perlu menyangkal. Telingamu akan berubah menjadi merah jika kau bertemu dengan gadis yang kau sukai. Kau pikir aku tidak aku? Ingatlah bahwa aku ini adalah kakakmu, Tuan Lim."     Daniel menunjukkan gelagat panik sembari mengusap telinganya beberapa kali. Dan hal itulah yang membuat Felix menahan tawanya. Sebagai seseorang yang tumbuh bersama Daniel, tentunya dia tahu apapun yang ada pada adiknya. Meski terlihat dingin dan arogan, Daniel memiliki kebiasaan aneh. Telinga pemuda itu akan berubah warna menjadi merah ketika dihadapkan dengan gadis yang ia sukai. Dan Felix ingat betul bahwa terakhir kali Daniel seperti itu adalah sekitar lima tahun yang lalu, tepatnya saat Daniel menyukai kakak tingkat mereka. Namun Daniel yang merupakan anak pendiam tak pernah mampu mengutarakan perasaannya hingga gadis bernama Alexa itu pergi begitu saja. Dan setelah sekian lama kembali menyaksikan telinga Daniel yang memerah, tentunya itu terlihat sangat lucu bagi Felix.     Masih dengan senyum lebarnya, Felix kembali menegur, "sekarang katakan gadis mana yang sudah menarik hatimu."     Daniel menatap tajam. Merasa kesal sekaligus malu dan justru membuat telinganya semakin memerah. Tidak mungkin ia mengakui bahwa sejak pertemuan pertamanya dengan Rachel, dia tertarik dengan gadis itu karena itu akan sangat memalukan.     "Kenapa melihatku seperti itu? Katakan sekarang."     Wajah Daniel menunjukkan kemarahan. Namun bukan kemarahan orang dewasa, melainkan kemarahan seorang adik yang tengah menahan rasa malunya. Daniel kemudian beranjak berdiri.     "Kau mau kemana?"     Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Daniel pergi dengan langkah yang terburu-buru dan terlihat kesal. Membuat Felix tak lagi mampu menahan tawanya karena hanya di saat-saat seperti ini adiknya itu benar-benar terlihat lucu, kecuali saat sedang tidur.     "Hey, kau ingin pergi ke mana? Jawab dulu pertanyaanku," pekik Felix namun diabaikan oleh Daniel.     Felix mengusap keningnya dengan sisa tawa yang kemudian menyisakan senyuman lebar diwajahnya. Dia kemudian bergumam, "dia sangat lucu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD