Dua Dunia

1281 Words
Helen memendam rapat-rapat dalam hati kejadian yang tak bisa dilupakannya dengan kembali beraktivitas senormal mungkin. Melayani pelanggan yang mulai mengenal butiknya dan ikut fashion show gabungan dengan desainer-desainer baru di berbagai kota baik dalam maupun luar negeri. "Hei, Eira, Tante mau ke Sydney. Ikut ? Seperti biasa, Tante rancang beberapa pakaian untukmu. Mau ?" Si kecil itu langsung mengangguk gembira. Ia selalu bersemangat bila Helen mengajaknya pergi. Ia bosan di rumah mendengarkan kedua orangtuanya yang hampir selalu ribut. Atau bahkan tidak bicara sama sekali. Bersama Helen berarti ia jadi pusat perhatian sejenak dengan melenggang-lenggok di catwalk dan orang-orang memandangnya sambil tersenyum. Jadi peragawati cilik anak bawang. "Tapi... Tante yang bilang Mama Papa, ya ?" "Seperti biasa. Beres." Helen mengecup pipi keponakannya. "Paling-paling Oma dan Opa yang protes. Yah seperti biasa." Eira tersenyum. Kadang ia bingung dengan omongan-omongan Helen, tapi ia senang Tantenya itu memperhatikannya. ================= "Bos, ada order besar. Dari Dinas Sosial," lapor anak buah Hephestus. Si Bos mengangkat satu alisnya. "Dinas Sosial ?" "Iya, Bos. Katanya mereka butuh banyak cangkul, sabit dan parang. Untuk bantuan kata mereka." "Oke. Akan kuberitahu para pengrajin. Ada lagi ?" "Juragan beras pesan sepasang katana spesial. Katanya dia sudah lihat  yang Bos buat untuk temannya dan dia terkesan." Hephestus tersenyum sekilas. "Oke. Akan kukirim sketsanya."          Keahlian Hephestus dalam menempa logam menjadi senjata-senjata tajam pajangan dan koleksi memang tidak diragukan lagi. Banyak penggemar senjata-senjata tajam baik yang bertema lokal dari mulai Golok, Jimpul, Celurit, Kelewang sampai ke senjata tajam mancanegara seperti  Kukri, Falcata, Khopesh, dan samurai tentunya, datang memesan sebagai pajangan dan koleksi dengan harga lumayan.         "Tiga hari yang lalu ada yang pesan keris, tapi kutolak, Bos." "Hmm. Bagus." Entah kenapa si pandai besi berbakat itu malah menghindari membuat senjata-senjata pendek yang tergolong dagger atau belati seperti keris, kujang maupun rencong. Ia tetap teguh tidak bersedia ketika seorang pengusaha nyentrik menawarkan sejumlah besar uang untuk membuat replika Kujang Prabu Siliwangi. Anak buah Hephestus hanya bisa terheran-heran tanpa berani menanyakan sebabnya. Tidak ada gunanya. Si Bos bukan jenis laki-laki tukang ceramah aktif. Bahkan kepada perempuan juga si Bos tidak aktif. Oh, salah. Pasif. Catat itu. Anak buahnya sempat bergosip jangan-jangan si Bos penyuka sesama. Tapi vonis itu langsung patah ketika si Bos berdekatan dengan Rhea, si gadis pemberani yang rumahnya tak jauh dari toko Bos Heph. Tampaknya si bos suka pada gadis itu. Tapi sayangnya, Rhea memandang Bos Heph tak lebih dari teman. "Bos, bengkel itu bagaimana ? Jadi dibeli ?" Hephestus berpikir sesaat. Mengingat lagi tawaran seorang temannya yang akan menjual bengkel perlengkapan motor sekaligus menawarkan jasa modifikasi karena dia akan hijrah ke luar negeri. "Aku harus jual salah satu motorku untuk menambahi kekurangannya." Hephestus menghela napas. Rasanya tak rela melepas motor besar yang meskipun hasil modifikasi lokal tapi ia beli dengan jerih payahnya sendiri. Tapi jika ingin memperluas usaha, ia harus rela. Penjualan alat-alat pertanian dan perkebunan tidak selalu lancar. Dan menunggu pesanan pembuatan senjata eksklusif juga perlu waktu. Hephestus kembali menarik napas panjang dan menghembuskannya. "Oke. Aku akan lepas motor sebagai tambahan modal." "Siap, Bos. Aku segera hubungi mereka." Hephestus merenung dalam pojok kecil ruangan yang berisi meja dan kursi sederhana yang  multi guna. Mulai dari meja kasir sampai meja Bos. Sebuah kalender dengan gambar seorang gadis cantik berpakaian sangat sedikit yang biasanya ia lewatkan begitu saja, lembarannya mendadak berubah gambar menjadi satu gadis secantik boneka. Astaga! seru Hephestus dalam hati. Sudah berapa lama ? Sebulan ? Empat bulan ? Gadis boneka sialan. Mengapa ia sering muncul tiba-,tiba dalam pikiranku ? Hhhh..... Ia mengacak rambutnya dengan kesal. Belum lagi mimpi-mimpi yang membuatku setengah gila itu !! Hephestus kembali tercenung. Ia tahu gadis itu dari kalangan atas. Dan ia benci kalangan atas. Hm. Tidak semua sebenarnya. Hanya beberapa keluarga itu, keluh Hephestus dalam hati. Tapi mereka sudah mewakili semua ! Rhea. Aku temui saja Rhea. Yah. Dia lumayan. Siapa tahu dia berubah pikiran setelah pulang dari bekerja di pusat kota. ================== Helen merenungi nasibnya sambil duduk di kursi santai di kebun belakang rumahnya. Air kolam renang yang biru jernih sedikit membantu otaknya untuk berpikir jernih. Jason mendadak memutuskan pertunangan dengan alasan tidak ingin membahayakan dirinya karena perusahaannya sedang dalam masalah besar. Huh. Hebat. Memutuskan dirinya dan tiba-tiba menikahi teman satu kampusnya. Gadis biasa dari kalangan biasa yang yaaahh manis sekali sebenarnya. Secepat itu Jason berubah selera. Huh. Dan parahnya, sang ayah, Titan Thanatos, masih memaksanya untuk terus merayu si presiden direktur playboy. Menyuruhnya berakting sedih di pernikahan yang tidak bisa dipungkiri Helen, pesta pernikahan yang membuat perempuan manapun iri. Gadis kampung itu berubah secantik Cinderella yang membuat mata Jason susah teralihkan darinya. Di mana si raksasa perkasa itu ? Kenapa susah sekali membuangnya dari laci memoriku ? Helen mendesah resah. Kini ia benar-benar pasrah jika tiba-tiba bayangan laki-laki itu memenuhi kepalanya. Semakin keras usahanya untuk menyingkirkan pria asing itu dari ingatannya, semakin parah kilasan dan mimpi-mimpi yang didapatnya. Ia sudah muak dengan desakan ayahnya untuk terus mengejar Jason. Ia tahu ia sudah tak punya sela lagi di hati si pangeran tampan karena wanita manis yang dinikahinya itu membuat Jason benar-benar tak bisa memalingkan hati lagi. Jason telah menemukan cinta dalam hidupnya. Hanya saja Titan Thanatos belum juga bisa menerima. "Kamu pergi temui Jason," perintah ayah Helen. "Untuk terakhir kali." Yeah, right. Terakhir kali yang ke tujuh belas ! Aku sangat yakin meskipun Jason sedang jatuh, dan tinggal di kampung di rumah istrinya, dia tidak akan tergiur tawaran untuk berpisah dengan si Rhea itu demi mendapatkan bagian aset yang dipegang Ayah. "Pa, aku sudah pernah mendatanginya sampai sejauh Paris. Dan, nol besar hasilnya. Meskipun dia menemaniku jalan-jalan sebentar, tapi semua hanya basa basi. Dia cinta istrinya, Pa !" "Helen benar, Pa," bela istrinya. "Jangan buat anakmu jadi pelakor." "Sudahlah. Tidak ada ruginya mencoba." Istrinya menghela napas. Ia tahu suaminya tak bisa lagi didebat. "Aku tidak tahu letak kampung itu, Pa." "Biar anak buahku yang tunjukkan jalan. Tapi sesudahnya, kamu bergerak sendiri." Helen tahu tidak ada gunanya memprotes ayahnya dalam hal ini. Selain dari kekayaan Jason, yang saat ini juga tidak ada gunanya karena sedang dibekukan pihak berwenang, entah apa yang membuat ayahnya sangat berminat menjadikan Jason menantu. Padahal masih banyak anak orang sekelas mereka yang lain di luar sana. Huh. Seolah aku ini tidak laku saja, dengkus Helen sambil mengendarai mobilnya menuju rumah Rhea, istri Jason. Di sebuah persimpangan, anak buah ayahnya menghentikan laju mobilnya. Helen ikut berhenti. "Nona lurus saja mengikuti jalan ini. Sekitar dua ratus meter dari sini rumah istri Tuan Radyanta." Helen mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Mobil pink Helen langsung jadi pusat perhatian sepanjang jalan kecil itu. Orang-orang spontan menatapnya penasaran. Helen jadi menyesal asal pilih kendaraan. Harusnya ia naik mobil lain yang berwarna lebih umum. Ia hanya berharap tidak mengalami kejadian mengerikan lagi di daerah asing. Ups, itu si Rhea. Kebetulan ia ada di depan rumahnya. Akting kaget, Helen. Akting ! Rhea lebih dahulu kaget melihat kedatangan Helen. Setelah menarik napas panjang, Helen siap keluar dari mobil. Ayo, Helen. Jadi gadis berengsek menyedihkan yang masih mengharapkan suami orang. Helen mengeluh dalam hati. "Kau ? Sedang apa kau di sini ?" seru Helen. Ia melepaskan kaca mata hitam branded nya dan berkacak pinggang di depan pintu pagar rumah Rhea. Yeah, bagus Helen. Seruan yang bagus sekaligus bodoh ! Tentu saja ia di sini. Ini rumahnya, i***t ! kata Helen dalam hati. Lihat, dia bahkan bukan jenis wanita yang menyebalkan. Huh, ide konyol Papa yang terakhir kali ini. Rhea tertawa kecil. "Justru aku yang harus tanya. Ini rumahku." "Siapa Rhea ?" Oh, tidak. Suara Nyonya Radyanta. Aku selalu takut pada wanita tua yang suka asal bicara itu. Untung saja aku tidak jadi menantunya. Bisa rontok rambutku tiap hari dipelototinya! Lalu terdengar suara itu. Suara motor besar yang diingat Helen dengan jelas. Jantung gadis itu serasa lepas. Ia menoleh perlahan. "Nona Bonekaaa !" Oh, tidak, tidak. Bukan dia ! Helen menoleh dan berbagai perasaan bercampur aduk menyerangnya. Cepat-cepat ia bergerak menuju halaman rumah Rhea, tapi dua lengan kokoh bergerak lebih cepat. Hephestus menangkapnya dan mengangkat tubuh mungilnya dalam pelukan d**a bidangnya. Selanjutnya Helen tahu yang akan terjadi karena tubuhnya tak kuasa menolak ciuman Hephestus yang mendadak membungkamnya. Kejadian malam itu terulang lagi. Bahkan kali ini Helen melekat erat pada laki-laki besar itu seperti velcro. Selama beberapa menit mereka lupa tengah disaksikan mata-mata yang terbelalak kaget. Mereka tidak peduli. =================  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD