2. Bukan Fobia

2372 Words
Aku menatap Reynand yang lagi-lagi membuatku betah berlama-lama menatap pahatan wajahnya yang indah. Pandangannya begitu nyaman dan meneduhkan, seakan-akan dia adalah pelindungku. Padahal kenyataannya kita baru saja kenal beberapa menit yang lalu. Saat dia bertanya jika aku ada masalah, aku mengangguk, "Sedikit masalah" jawabku. Sepertinya tidak ada apa-apa jika aku menceritakan padanya sedikit tentang masalahku. Dia juga terlihat ramah dan tulus. Tetapi, jika aku bercerita apa dia akan menganggap ku aneh seperti kebanyakan orang? Mungkin bagian itu tidak akan dulu ku ceritakan. "Mau cerita?" tanyanya, dia juga menatapku yang juga masih menatapnya. Kita berdua lama bertatapan hingga aku tersadar dan langsung mengalihkan pandanganku ke arah depan menatap jalanan yang lumayan lenggang malam ini. Dia pun begitu, meniru gerakan ku. Ah s**l sekali kenapa aku merasa canggung seperti ini. Aku mengatupkan rapat-rapat tangan didepan d**a, jujur saja aku kedinginan. Bukan mau modus atau apapun itu yang menggiring cari perhatian, memang udara malam ini begitu dingin sekali. Mana jas dokter yang ku kenakan terkena cipratan darah dan aku tidak membawa baju hangat, karena kerja lembur ini mendadak sekali akibat ada pasien yang kritis. Karena dokter bedah di rumah sakit sebesar ini hanya ada enam orang, jadi aku harus turun tangan bersama dokter Fano dan dokter Nina sisanya siska, Felli dan Arka tak bisa diganggu karena ada acara penting. Aku mengenakan rok pendek berwarna putih dan kemeja putih, rambutku masih terkuncir karena bekas mengoperasi tadi. Kalau tahu akan sedingin ini aku pasti akan memakai celana. Namun beberapa saat kemudian, badanku terasa hangat. Aku menoleh ke arah bahuku, ternyata ada jaket yang menyampir disana. "Eh, kok?" aku refleks melihat ke arah Reynand yang sudah tidak mengenakan jaket hitamnya lagi, sehingga baju dinas yang berwarna hitam terlihat. Aku tersenyum lalu mengeratkan jaket yang barusan di sampaikan oleh Reynand ditubuh ku. "Mmm makasih. Tapi kayaknya kamu juga butuh jaket deh?" ucapku sedikit gugup mengatakan hal itu. Dalam hati berdoa semoga saja Reynand akan mengalah dan tidak mengambil jaketnya kembali, untuk saat ini aku benar-benar kedinginan. Aku bisa saja terserang hipotermia ringan jika dibiarkan. "Kasian badan kamu nanti beku lagi. Aku gapapa udah biasa juga, kamu pake aja punyaku, jangan sungkan." Aku tersenyum menatapnya tetapi hanya sebentar karena merasa gugup. Pandanganku beralih kembali ke jalanan raya yang ada dihadapan sana. Aku menghela nafas panjang dan menghembuskan nya dengan kasar. "Kalau aku cerita, apa gak apa-apa? Siapa tahu kamu gak akan percaya." tanyaku berbasa-basi terlebih dulu. "Cerita aja dulu, asal kamu jujur aku percaya. Emang ada masalah apa sampai malam-malam gini nangis sendirian?" tanyanya, pertanyaannya cukup bernada dari ucapan dia sebelumnya yang terkesan datar tanpa nada. Kekepoannya membuatku semakin yakin jika Reynand adalah tipe orang yang ramah dan simple. Lagi pula, sekarang ini aku tidak mempunyai teman untuk berbagi cerita mengingat jika ini sudah larut malam. "Aku gagal mengoperasi orang." aku menunduk lesu, mengingatnya kembali saja rasanya tak sanggup. Selama aku jadi dokter ini adalah kali pertama aku gagal dalam menjalankan tugas mulia ini. "Kamu sudah bekerja semaksimal mungkin, ini takdir Tuhan bukan salah kamu. Kamu cukup berdoa saja agar dia tenang dan keluarga yang ditinggalkannya diberi keikhlasan." nasehatnya, membuat aku menggeleng kuat. Bukan! Sebenarnya bukan itu yang aku maksud. Ingin rasanya aku menjerit kan kalau aku dihantui arwah gentayangan padanya namun aku tidak bisa. Ada masalah lain yang harus ku urus, dan aku yakin pasti semuanya akan rumit. Orang tua dari pasien yang aku operasi itu tidak terima jika anaknya meninggal dan malah menyalahkan ku. Masalah kali ini benar-benar membuatku menangis. Aku menangis kembali dengan sesenggukan, tiba-tiba ada tangan kaku yang mengusap punggungku dengan kaku, tetapi usapannya mampu menciptakan rasa nyaman yang belum aku rasakan sebelumnya. "Itu hanya salah satu dari awal permasalahan, ada dua permasalahan lagi yang membuat aku takut." jawabku sambil terisak pelan. "Aku mungkin orang asing buatmu. Tapi, aku siap dengerin cerita kamu," katanya. Yang membuatku tertegun. Apakah memang semua polisi akan bersikap ramah dan menampung curhatan para masyarakat? Aku semakin menunduk, bingung harus memulai cerita ini dari mana. Entahlah, apa Reynand akan percaya begitu saja setelah mendengar ceritaku? Ah tidak! Sudah kubilang, aku akan bercerita hal lain tetapi masih bersangkutan. "Bukan itu yang jadi masalahnya" ujar ku lemas. "Lalu?" tanyanya, intonasinya terdengar penasaran. "Aku baru saja operasi usus buntu yang sudah parah. Sebelumnya aku gak pernah gagal. Dan kali ini rekanku menggagalkan semuanya, bahkan nyawa seseorang itu ikut hilang." jelas ku, disela air mata yang masih mengalir indah di pipi. "Jadi, ada orang yang menggagalkan operasi kamu dan itu sesama rekanmu sendiri, berarti dia juga dokter?" Aku mengangguk membenarkan perkataan Reynand. Dalam hati semakin mengagumi sosok seperti Reynand. Wah! memang polisi cepat tanggap banget ya? "Rekanku salah menggunting, akhirnya pasien meninggal. Namun, keluarganya nuntut supaya aku bertanggung jawab. Karena yang bertanggung jawab pasca operasi adalah aku. Dia nuntut mau jebloskan ke penjara bagaimanapun caranya." aku menangis kembali karena memikirkan semua itu. Bukan hanya karirnya yang akan hancur, tetapi karir ayah dan kedua kakaknya juga yang berkecimpung di dunia militer akan ikut jelek. Apa jadinya nanti kalau dirinya masuk penjara, karena ibu korban berbuat licik? Bagaimana bisa aku yang notabene adalah dokter idola di rumah sakit ini malah disalahkan dan yang lebih parahnya dipenjarakan. Memikirkannya pun membuatku semakin pusing saja. Reynand nampak mengerutkan keningnya seperti sedang berpikir, "Mau aku bantuin?" tawarnya yang seketika membuat aku mendongak karena terkejut. "Emang bisa?" aku malah balik bertanya padanya. Huft, maafkan kebodohan bibirku ini, Jelas lah dia kan polisi. Apalagi kalau jabatan nya tinggi sudah jelas akan sangat mudah baginya. °° Namaku adalah Reynand Alfarez Daniyal, panggil saja Reynand. Malam ini, tepatnya tengah malam. Aku baru saja selesai menjalankan misi penggerebekan n*****a disudut kota. Saat aku akan masuk ke kantor bersama rekan-rekan yang lain, aku melihat seorang wanita seperti tengah menangis didepan rumah sakit. Karena aku penasaran, aku pun segera memutuskan untuk menghampirinya dan meminta bawahan ku agar masuk ke kantor terlebih dulu. Aku sudah jadi bahan ledekan anak buah ku sendiri karena mereka baru pertama kali melihat aku tertarik lagi kepada seorang wanita, setelah kejadian waktu itu. Memang pesona yang luar biasa, dari jauh saja wanita itu sudah menarik kakiku untuk menghampirinya, saat sudah berada didekatnya karima nya semakin menguat, jujur aku terpesona. Aku mengajaknya berkenalan dan berbasa-basi, setelah bertanya ternyata benar dugaan ku dia sedang mempunyai masalah. Aku bertanya tentang apa masalahnya, tak peduli walaupun lancang. Logikanya pasti tidak akan ada orang yang mau berbagi cerita kepada orang asing. Tetapi, dugaan ku salah. Dia mulai bercerita tentang apa yang menjadi permasalahanya sehingga ia menangis tengah malam seperti ini, meskipun awalnya aku melihat dia sedikit ragu untuk bercerita. Aku hanya terkekeh pelan melihat ekspresi lucu dari wanita yang baru saja ku kenal itu. Harus aku akui, dia cantik dan... menarik. Aku tertawa kembali dengan pelan saat dia bertanya 'memang bisa aku membantunya' tentu saja aku sangat bisa membantunya. Dengan mudah aku pasti dapat mengurus masalah ini dalam satu kali ucapan. Jabatan ku di kantor cukup tinggi dan disegani. Lagi pula Reyna tak salah atas operasi ini. Ada undang-undang yang sudah melindunginya dari awal. °° Suara dering ponsel mengagetkan aku dan Reynand secara bersamaan, itu adalah ponsel milikku. Aku terlonjak kaget, telepon dari pihak kepolisian ternyata. Ah keluarga itu benar-benar tidak main-main dengan ucapannya ternyata. "Siapa, kok gak diangkat aja? Siapa tahu penting kan?" tanya Reynand yang dapat membuat kesadaran ku kembali. Aku mengangkat telepon itu dengan cepat lalu mengeraskan volumenya agar Reynand juga dapat mendengar. Rupanya tak harus ada privacy jika sedang seperti ini. 'Hallo selamat malam. Apakah benar ini dengan dokter Reyna brilian.' ujar seorang pria di sebrang sana. "Ya, saya sendiri. Ada apa?" jawab dan tanyaku. 'Saya dari pihak kepolisian. Bisakah anda segera datang kesini karena anda terlibat dari operasi yang gagal pada pasien atas nama Bima saputra. Orang tuanya baru saja melaporkan bahwa anda masih berada di rumah sakit. Saya dari kantor polisi yang berada tepat di depan rumah sakit tempat anda bekerja. Kalaupun anda tak bisa sekarang, bisa besok.' "Baik pak, saya kesana sekarang aja, kebetulan saya belum pulang." jawab Reyna. Reynand mengerutkan kening dia merasa tak aneh dengan suara yang terdengar di handphone milik Reyna. Seperti suara anak buah sekaligus rekannya. 'Baik dok, maaf mengganggu waktu malam anda. mari!' Telepon pun terputus secara sepihak. Aku segera menatap Reynand yang juga selesai menatapku. "Yaudah yuk." ajaknya, seketika membuat aku menegang karena tanpa sadar Reynand menggenggam tanganku. "Eh," setelah dia menyadari perbuatannya dia langsung melepaskan genggaman tangan ku. Lalu tersenyum dengan canggung, "Maaf," ujarnya. Aku hanya mengangguk menanggapinya. Jujur baru kali ini aku bertemu dengan lelaki dan langsung merasa nyaman dan terlindungi. "Mmm kalau aku minta tolong lagi, keberatan gak?" Aku berucap dengan hati-hati, takutnya dia akan keberatan. "Enggak kok. Boleh, mau minta tolong apa?" tanyanya. "Bisa antar ke ruangan aku gak? Mau ambil tas. Aku takut di lift sendirian," ucapku malu-malu. Dia terkekeh pelan, "Udah gede kok masih takut. Ya udah yuk" Aku berjalan berdampingan dengan Reynand. Saat di lorong bulu kudukku terasa merinding. "Sepi banget ya kalau malam?" tanyanya yang membuat aku menganggukkan kepala. Reynand menekan tombol lift, lalu lift terbuka dengan sendirinya setelah beberapa saat. Aku dan Reynand segera masuk kedalam dan menekan angka dua tempat ruangan ku berada. "Kok masih ada polisi pelayanannya sampai tengah malam begini?" tanyaku. Biasanya jam operasional kantor polisi hanya sampai pada jam tiga sore saja. "Kok masih ada dokter jam segini masih layani pasien?" Reynand malah balik bertanya yang membuat aku bungkam. Aku mengangguk dan beberapa saat kemudian tersenyum, apa yang dipertanyakan Reynand mengandung makna yang benar. Rumah sakit dua puluh empat jam dan setiap hari membuka pintu untuk pasien. Sama halnya seperti kantor polisi, membuka pelayanan bagi masyarakat. Di dalam lift Reynand bercerita banyak tentang hal-hal lucu yang membuat aku tertawa. Namun, tiba-tiba lift berhenti membuat aku terkejut. Dan yang lebih parahnya di pojok lift terdapat arwah yang gentayangan. Aku seketika menjerit. Arwah itu terlihat seram, bola matanya berada digenggaman tangannya, wajahnya hancur parah dengan luka yang terlihat menganga lebar. Lidahnya menjulur panjang, sampai ke d**a. Banyak darah di baju dan kepalanya. Aku menangis sesegukan karena merasa sangat takut. "Kamu ada fobia lift?" tanya Reynand, aku refleks membuka mataku sembari sesekali melihat ke pojokan lift, menunjuk ke arah sana dengan jari telunjuk. Aku menangis menatap Reynand, "Aku. A-aku indigo. hiks~" tangisku seketika pecah. Aku melihat ekspresi Reynand yang terkejut karena ucapanku. "Kamu gak lagi bercanda kan?" tanyanya seperti meragukan atau malah hanya mengekspresikan Keterkejutannya saja. Ah sudah kubilang kan orang asing tidak akan percaya pada? Dalam artian tidak percaya jika aku bisa melihat mereka. Aku menggeleng pelan, sekali lagi menunjuk ke arah pojokan lift. Dengan cepat Reynand juga melihat ke arah itu. Namun, kerutan di keningnya muncul. "Gak ada apa-apa kok. Kamu tenang ya pasti sebentar lagi lift nya normal kembali, mungkin efek kamu kecapekan." ucapnya. "Iya, karena kamu bukan indigo!" Reyna menegaskan kata indigo, agar Reynand sadar dengan perkataannya yang terlalu meremehkan dan tak percaya dengan penglihatannya. "Kamu gak percaya sama aku? Dan kamu pasti menganggap aku gila kayak kebanyakan orang kan?" sambungku sedikit membentak, aku tak peduli lagi dengan siapa Reynand, malam ini ketakutan ku berkali-kali lipat. Tiba-tiba saja, pelukan hangat aku rasakan ternyata Reynand memelukku erat, aku menegang dan kaku, jantungku berdebar dengan cepat. Tunggu! Ajaib sekali arwah itu menghilang. Aku refleks menghentikan tangisku. "Kamu tenang ya, aku percaya kok sama kamu." ujar Reynand. "Maaf," sambungnya, yang membuat aku tertegun dengan permintaan maaf tulus itu, dalam nadanya juga terdengar kalau Reynand menyesal. Hmm harusnya kan aku yang minta maaf. Aku tidak menjawab ucapan Reynand karena fokus pada kehangatan ini. Aku tidak munafik, pelukan ini nyaman sekali, pelukan ini menenangkan sekali, aku seperti punya pelindung saat dipeluk oleh Reynand, padahal kita baru saja bertemu dan Reynand adalah pria asing. Reyna jadi takut kalau dirinya terciduk dan malah dituduh sebagai pelakor. Berbicara tentang pelakor, apakah Reynand sudah mempunyai kekasih? Atau seseorang yang istimewa. Ah kalau benar begitu, pelukan ini adalah kesalahan. Setelah hampir lima menit dalam kondisi seperti ini, Reynand melepaskan pelukannya lalu menatapku dalam, "ada aku, gak usah takut ya." Entah dorongan dari mana aku mengangguk. Seharusnya aku memaki Reynand karena telah lancang memelukku dan secara tak langsung Reynand mengkhianati pacarnya. Dasar polisi buaya! Akhirnya lift berjalan kembali lalu tidak lama lift terbuka. Aku segera Berdiri disusul oleh Reynand lalu aku keluar lift terlebih dahulu mendahului Reynand yang sedikit terkekeh. Kenapa juga dia terkekeh seperti itu, memangnya ada yang lucu? Huft, aku sangat canggung sekali. Aku masuk ke ruanganku lalu mengambil tas. Tidak memperdulikan penghuni ruangan ini yang sudah menatapku dengan tatapan sedemikian rupa. Ada yang planga-plogo, ada yang cuek ada juga yang menyeringai. Jujur saja, Reyna bosan melihat wajah mereka yang tak enak untuk dilihat. Tak perlu memikirkan hal seperti itu sekarang, karena hasilnya akan percuma Penglihatan Lebih ini tak bisa ditutup. Yang harus aku pikirkan hanyalah bagaimana menghadapi orang tuanya Bima saat sudah sampai di kantor polisi. Meskipun Reynand menawarkan akan menolong, tetapi cara itu bukanlah cara yang baik. Sama saja dirinya curang. Dia akan mengambil tawaran Reynand untuk membantu dirinya saat dia tak menemukan jalan keluar lagi. Para arwah itu semakin menatapku dengan tatapan yang tak bisa aku artikan. Aku berdehem agar dapat menetralkan degup jantungku, lalu aku mengajak Reynand untuk kembali. Sangat tidak betah bermalam di rumah sakit. "Mmm jalan tangga ya" ajakku yang membuat dia mengerutkan keningnya. "Kenapa?" tanyanya. "Nanti ada arwah jelek kayak barusan lagi, hmm aku takut." jawabku sedikit bergidik ngeri. Reynand tertawa namun tak nyaring. Memangnya ada yang lucu apa? Aku jujur kok arwah itu emang jelek. "Gak boleh ngatain gitu. Pamali tahu, mereka juga ciptaan Allah." ujarnya yang membuat aku cengengesan tak jelas. Yang dikatakan Reynand memang benar. Aku berjalan berdampingan kembali, saat akan menuruni tangga aku melihat sosok yang sedang mondar mandir di bawah tangga sambil berbicara... Tolong carikan mataku. Aku tidak dapat melihatnya. Seketika itu juga tubuhku menegang. Aku berhenti sejenak membuat Reynand yang berjalan terlebih dahulu berbalik berhenti dan memutar tubuhnya ke arah belakang; arahku. "Kamu ngeliat lagi?" tanyanya. Aku hanya bisa mengangguk dengan tubuh yang tegang. Reynand mengulurkan satu tangannya. Aku meliriknya ragu dan akhirnya aku menggenggam jemari Reynand. Ragu kalau ada yang mem-foto kita berdua dan menjadi skandal besar nantinya. Tetapi untuk malam ini, satu kata bodo amat! Ajaib, Arwah itu hilang kembali. Ah apakah jika aku menyentuh Reynand maka arwah itu akan menghilang? Sepertinya ini hanya kebetulan saja. Ya kebetulan, karena kalau tidak, menurutku ini sangat mustahil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD