3. Arwah di kantor polisi

2881 Words
Wanita yang baru saja aku temui memang unik, aku tidak akan menyebutnya aneh. Karena itu adalah pemberian istimewa dari Tuhan yang diberikan padanya. Dia indigo. Bisa melihat apa yang tidak bisa aku lihat bahkan kebanyakan orang tidak dapat melihat keberadaan makhluk halus. Aku mengerutkan kening karena awalnya memang sedikit tidak percaya dengan pengakuan wanita itu. Tetapi setelah dia terlihat sangat ketakutan aku jadi berubah pikiran, aku percaya bahwa dia adalah indigo. Lagipula hal seperti ini bukan pertama kali aku temui, Ayahku juga sama seperti Reyna. Seorang Indigo. Aku refleks memeluknya dengan erat saat dia menangis didalam lift. Aku yang memeluk tetapi jantungku yang tak karuan; memompa lebih cepat. Bahkan aku bisa merasakan tubuh Reyna menegang karena pelukanku. Entah dorongan dari mana bisa jadi dari setan, aku berani se intim ini dengannya. Tetapi yang kulakukan tidak sia-sia, Reyna lebih tenang berada pelukanku, aku juga nyaman memeluknya begitu sreg dengan hatiku. Sebelumnya aku tidak pernah seperti ini dengan wanita lain selain ibuku. Hanya Reyna dan seorang wanita dimasa lalu yang sudah aku coba untukku lupakan namanya. Aku semakin percaya saat Reyna katanya melihat kembali arwah ditengah tangga. Aku dengan cepat mengulurkan tanganku ke arahnya agar dia sedikit lebih tenang dan mau melewati tangga. Jika Reyna tidak mau melewati tangga terpaksa kita harus menaiki lift kembali. Dan ternyata Reyna membalas uluran tanganku, lalu menggenggamnya dengan erat. Aku tersenyum manis ke arahnya, senyum yang sangat jarang aku perlihatkan kepada siapapun. Sepanjang perjalanan dia terus saja menggenggam tanganku dengan erat, seolah tak ingin aku pergi. Aku tidak keberatan sama sekali, karena aku tahu Reyna begitu ketakutan. Hmm kenapa ya nyaman sekali. Terasa ada ribuan kupu-kupu yang terbang di perutku. Padahalkan kita baru kenal beberapa menit yang lalu. Reyna juga bercerita tentang arwah pasien yang baru saja di operasinya, kata dia arwah itu tengah mengejar karena meminta pertanggung jawaban atas kehilangan nyawanya. Hmm terdengar mengengerikan sih, Kalau manusia sudah aku ajakin adu otot. Aku mulai keluar dari rumah sakit dan menyeberangi jalan raya agar sampai ke kantor polisi tempat aku bekerja. Reyna masih belum melepaskan genggaman tangannya padaku. Aku begitu yakin, jika rekan sekaligus anak buahku melihat ini pasti aku akan digoda habis-habisan. Karena aku tak seperti mereka, yang gampang sekali berganti-ganti pasangan. Bahkan aku antonim mereka, karena aku begitu anti dengan wanita. Tapi sekarang? Ah lihatlat! Aku berniat akan melepaskan genggaman tangan ini. Namun Reyna malah semakin mempereratnya. Aku pasrah saja, kali ini biarkan diriku menjadi ledekan anak-anak. Membuat mereka senang satu malam, tak apa-apa bukan? Kapan lagi ada Komandan sebaik diriku. *** Semua orang yang berkumpul diruang tamu kantor polisi langsung berdiri lalu memberi hormat, saat aku dan Reynand tiba disana. Mereka tersenyum menatap ke arahku. Aku bertanya-tanya dalam hati, apakah benar jabatan Reynand tinggi dikantornya kalau sampai itu benar, maka aku akan menghela nafas lega. Bukan berniat berlindung dibelakang Reynand dan memanfaatkannya tetapi aku hanya takut kalau ibunya Bima memakai cara yang licik untuk membuatku jatuh. Di sana terlihat ibunya Bima, yang diketahui bernama Rima. Sudah mengepalkan tangannya, dia berdiri lalu mulai berjalan mendekat ke arahku. Aku jadi sedikit waswas takut jika wanita paruh baya itu melakukan hal nekad. Benar saja, tangan kanannya terayun ke arahku aku refleks memejamkan mata. Tetapi tak ada rasa sakit atau suara pipiku yang ditampar. Aku mencoba membuka mata dan ternyata Reynand menahan tangan ibu itu hingga tak jadi menampar pipi mulusku. Dengan pengertian dari Reynand yang cukup tegas, Alvin-rekannya Reynand akhirnya dapat membawa buk Rima untuk duduk kembali, "Ibu jangan ada k*******n ya, atau ibu akan terkena pasal. Mohon selesaikan secara baik-baik dan hukum. Jika tidak, sama saja ibu tak menghargai kami." jelas Alvin. "Mbak dokter silahkan duduk." sambung Alvin. Aku mengangguk mulai duduk di ikuti oleh Reynand. Ada gelagat aneh yang ditunjukkan oleh teman-teman Reynand. Aku harus fokus untuk mendengar suara hatinya. Belum sempat aku memejamkan mata suara Reynand terdengar. "Nona, apakah anda tidak ingin melepaskan ini?" tanya Reynand formal sambil mengangkat genggaman tangan kita berdua ke udara yang masih bertautan. Aku membulatkan mataku dengan lebar, bisa-bisanya aku lupa jika aku masih menggenggam tangan pria itu. "Eh," dengan segera aku melepaskan tautan tanganku padanya lalu tersenyum kikuk, bahkan teman-teman Reynand sudah cekikikan tak jelas karena ulahku. Ah s**l, malu sekali! "Bisa dimulai" Buk Rima mulai tak sabar. "Baik buk, silahkan ceritakan apa yang terjadi? Saya harap ibu berbicara dengan jujur." tanya Reynand. "Perkenalkan nama saya Rima. Saya adalah ibu nya Bima, Saya tidak terima jika Bima anak saya meninggal karena ulah dokter ini." jelas buk Rima, yang membuatku sedikit geram. Padahalkan ini ulah dokter Nina, kenapa malah menyalahkanku? "Dokter Reyna ini salah menggunting saat operasi. Saya mendengar berita ini dari rekannya yang kebetulan juga sedang membantu dokter ini meng-operasi anak saya. Bagaimana bisa, ada dokter tidak seprofesional seperti dia, semua nyawa pasien akan hilang kalau terus begitu. Dokter ini juga mempunyai catatan yang sangat buruk dirumah sakit, karena kerap kali gagal." jelasnya kembali, aku semakin geram, ingin muntah rasanya. s**l! Aku memang difitnah sepertinya. Aku sedari tadi mencuri pandang pada matanya karena ingin mencari tahu siapa yang telah menyebar berita hoax ini aku yakin rekanku yang selalu iri yang membuat fitnahan tak bermutu seperti ini. Benar saja dugaanku, dokter Nina lah yang memberi tahunya, dengan sengaja dia menjelek-jelekanku didepan buk Rima. Ah tak tahukan ibu ini jika aku adalah dokter idola di rumah sakit, apa hubungannya ya hehe. "Baik buk, cukup. Silahkan dokter Reyna," ujar Reynand yang sepertinya tahu aku sudah tak sabar ingin berbicara dan mengeluarkan semua protesanku. "Sebelumnya saya minta maaf karena telah gagal dalam operasi ini, saya telah membuat nyawa anak anda melayang. Tetapi, bukannya semua ini adalah guratan takdir? Tak ada dokter yang akan mencelakai pasiennya kalau tak ada motif, bukan?" ucapku, berbicara masih nada lembut. Aku tak ingin membuang-buang emosiku dengan percuma. "Tetapi yang salah menggunting itu bukan saya tapi dokter Nina. Saya tidak akan menyalahkan dia karena disini saya juga yang salah, karena bagaimanapun juga saya adalah penanggung jawab dalam pelaksanaan operasi tersebut," sambungku. Mencoba untuk berbaik kepada dokter Nina kali ini. Aku tidak ingin melibatkan pihak rumah sakit tentang ini karena aku rasa aku sanggup untuk menanggungnya sendiri ralat dibantu Reynand. "Jadi ibu mau apa? Ganti rugi?" tanya ku to the point. Aku tidak ingin berbasa-basi lagi membuang waktu berhargaku untuk istirahat, aku ingin segera pulang lalu tidur hingga pagi menjelang. "Lagi pula kan dokter dilindungi oleh UU," "Saya ingin dokter ini mengganti nyawa anak saya. Atau anda akan saya jebloskan ke penjara bagaimanapun caranya" Aku terkejut mendengar jawaban yang dilontarkan oleh ibu Rima. Bagaimana bisa aku mengganti nyawa Bima. Memangnya nyawa manusia ada berapa sih? Aku heran deh dengan pemikiran orang tua itu. "Maksudnya mengganti nyawa anak ibu apa ya? Saya harus dibunuh lalu nyawa saya didonorkan pada anak ibu gitu?" tanya ku jengah sekaligus dengan nada kesal. Seketika tawa kecil aku dengar dengan jelas dari rekan-rekan Reynand. Ah apa nya yang lucu ya. Namun, aku tidak peduli, aku benar-benar lelah kali ini dan ingin segera pulang. "Hmmm," Reynand berdehem pelan, dalam hitungan detik cekikikan itu tak lagi terdengar. Namun, mereka masih mengulum bibir menyembunyikan tawanya. "Kurang ajar kamu! Saya ingin kamu mendekam di penjara!" Ibu Rima terlihat marah. Dari raut wajahnya saja sudah menunjukan jika ia kesal atas perkataan ku barusan, ia segera mengambil tas yang berada disamping kirinya lalu merogoh sesuatu dari dalam. Tumpukan uang yang diyakini berkisar lima puluh juta, Ibu Rima lemparkan ke atas meja membuat aku terlonjak kaget. "Apakah uang segini cukup untuk membuat dokter ini mendekam dipenjara?" tanya buk Rima, ia menampilkan seringaian jahatnya, dan entah kenapa sialnya aku tidak dapat membaca pikiran nya karena tidak fokus. Sedari tadi pikiranku hanya terfokus pada Reynand saja, entahlah? "Uang ini sekitar lima puluh juta." Benar dugaanku uang itu berkisar lima puluh juta. Rupanya ibu ini ingin bermain-main dengan materi. "Maaf buk tapi saya bukan polisi seperti itu, saya tidak menerima sogokan dalam bentuk apapun . Saya akan adil dan membela yang benar sesuai prosedur dan hukum." ujar Reynand, yang membuat aku lagi-lagi terkesima. Aku kira Reynand akan menerima uang itu karena kebanyakan aparat zaman sekarang akan tergiur apalagi menurutku uang ini tidak lah sedikit. Aku menatap Reynand, pun dengan Reynand. Dia berbicara lewat tatapan matanya seolah-olah ini akan baik-baik saja. Memang aku kurang fokus malam ini. Sedari tadi pikiran Reynand pun tidak dapat dibaca dengan indra ke enam ku. "Anda berbicara seperti itu, karena dokter ini adalah pacar anda kan?" Buk Rima semakin marah. Aku bukan pacarnya aku baru saja mengenalnya, ingin aku berbicara seperti itu namun kurasa ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan ini. "Saya tidak akan membeda-bedakan. Apalagi ini masalah hukum dan keadilan!" jawab Reynand tegas dan lugas. Membuat aku semakin kagum pada sosok sepertinya. Buk Rima terlihat merogoh kembali sesuatu di dalam tas nya lalu melemparkan segepok uang kembali ke atas meja. "Saya tau lima puluh juta kurang, jadi saya tambahkan. Sekarang, apakah dokter ini dapat di penjara." entah kenapa buk Rima terlihat kukuh sekali ingin memenjarakan aku. Padahalkan aku tidak salah apa-apa. Kalau begini caranya haruskah aku meminta bantuan kepala manajer rumah sakit? Oh no! Saat Reynand akan mengeluarkan kembali suaranya. Aku mencoba fokus pada pendengaranku. Damn it, aku mendengar suara hati busuk buk Rima yang sejak tadi tidak aku dengar, ah lebih tepatnya Nina. Dia yang sudah memprovokasi bahwa selama ini aku selalu gagal dalam hal operasi. Nina juga yang menyuruh agar aku mendekam saja di penjara. Bahkan Nina membayar mahal ibu Rima. Uang itu juga bukan lah uang nya buk Rima melainkan pemberian dari Nina. s****n kau! Aku tersenyum tipis, bahkan sangat tipis. Di sela-sela perdebatan antara Reynand dan juga Bu Rima aku merogoh tas dan dompet. Aku mengeluarkan sesuatu dari dalam dompet. Aku menaruh benda kecil yang aku ambil dari dompet di atas meja. Dan aku melihat mata semua orang memandang padaku seolah-olah tak percaya. black card. Ya, aku mengeluarkan kartu kecil yang berisi uang miliaran rupiah. Aku tidak sekaya itu, sungguh. Sebenarnya ini adalah punya ayah dan aku tahu kata pin-Nya. Ayah memang selalu menitipkannya padaku bahkan dia menyuruh agar aku belanja sepuas yang aku mau. Hmm, ayah maafkan aku menggunakan ini bukan untuk belanja melainkan untuk membela diri sendiri, hihi. Aku ingin terkikik karena mendengar suara hati mereka. "Sebenarnya dokter cantik ini mempunyai gaji berapa setiap bulan nya?" "Pak Reynand beruntung nih sama dokter Reyna" "s****n! Kenapa dia mempunyai benda itu" Masih banyak yang aku dengar dari suara hati mereka. Namun anehnya, aku tak dapat mendengar suara hati Reynand. Mungkin, Reynand sedang mengosongkan pikiran dan hati nya. Hmm mungkinkan sih dia tidak ingin berpikir terlalu keras dengan masalah sepele ini? "Tau kan minimal punya kartu ini punya uang berapa? Saya tidak ingin sombong. Tapi karena ibu ini saya akhirnya menunjukkannya, saya lagi gak pegang uang cash sebanyak itu. Jadi bagaimana, Buk? Mau sampai mana masalah ini? Sampai sidang?" tanyaku yang seketika dapat membungkam mulut buk Rima. Tanpa malunya buk Rima segera memunguti uang itu lalu pergi begitu saja tanpa permisi. "Buk gak jadi ya?" teriakku, agar terdengar oleh buk Rima. Aku tersenyum geli sementara teman-teman Reynand sudah tertawa nyaring. Ada ya polisi seperti itu? "Gak perlu bantuan ekstra kan?" Reynand menatapku. Sebagai jawaban aku mengangguk. "Beneran polisi bukan, sih?" Reyna bertanya dengan nada pelan, tetapi masih bisa didengar. Mereka tertawa melihat ekspesi keterkejutan Reyna. "Yaiyalah mbak, cuman kebetulan bukan kita yang lagi piket. Yang piket lagi didalam." Reyna mengangguk-angguk kepala mengerti, pantas saja. "Wah buk dokter kaya banget ternyata" ujar salah satu teman Reynand yang aku ketahui bernama Rio terlihat dari name tag di bajunya. "Aku gak se kaya itu tau. Sebenarnya ini punya ayah, dia menitipkan ini untuk beberapa bulan karena ada tugas." jawabku, mencoba menjelaskan yang sebenarnya. Walaupun pikiran Rio sama saja menganggapku kaya, bahkan aku berani taruhan. Rio juga orang berada, tak se norak apa yang kalian bayangkan. Mereka hanya manggut-manggut tak jelas. Aku tersenyum senang sampai aku merasakan sesuatu yang tak aneh berada disampingku. Aku menoleh ke arah samping dan melihat sosok mengerikan yang aku ketahui ini bukanlah manusia. "Astaga!" jeritku, lalu segera berdiri dan berlari duduk di sofa yang ada dihadapanku dengan alvin. Aku menatap makhluk itu tak berkedip sehingga dia menyeringai. Namun, sedetik kemudian dia menangis tersedu-sedu. Aku yang melihat itu menjadi kasihan padanya, hmm kenapa ya? Oke, aku tak peduli lagi, mereka pasti akan menganggapku aneh. Aku mencoba berkonsentrasi agar dapat berkomunikasi dengan makhluk bermuka hancur itu. Di tubuhnya banyak sekali sayatan, hingga daging dalam nya terlihat. Dia sepertinya seorang. Hmm -perempuan yang dibunuh? Mungkin? Mereka sedang mencariku, tolong beritahu mereka bahwa kamu dapat membantunya. Aku di perkosa lalu di bunuh, jasadku di buang di hutan. Siapa yang harus aku beritahu. Dan bagaimana caranya? Polisi, besok aku akan menunjukan jalan nya padamu. Ikutlah bersama mereka. "Reyna!" Reynand sedikit berteriak memanggilku. Bahkan pergelangan tangan ku sudah ia cekal, dan hantu itu hilang? Hmm apakah benar jika aku bersentuhan dengan Reynand maka hantu itu akan hilang? Kurasa ini hanya kebetulan. Ya benar, kebetulan untuk ketiga kalinya. Aku melirik ke kursi yang berada di depanku, benar tidak ada makhluk itu lagi, akhirnya aku dapat bernafas dengan lega. "Eh iya," aku menatap Reynand dengan tanganku yang masih sedikit bergetar, entah kenapa aku masih saja takut meskipun sudah melihatnya berkali-kali. Aku merasa kasihan dengan wanita itu. Apa katanya tadi di perkosa lalu dibunuh? Sungguh kejam sekali laki-laki yang melakukan hal sekeji itu pada wanita yang jelas-jelas derajatnya lebih tinggi. "Kenapa? Kamu lihat apa lagi Rey?" tanyanya dengan lembut, perbuatannya membuat aku tak berkutik, aku seperti air yang membeku. Speechless! Aku menatap mereka satu persatu dengan tatapan gugup. Jadi aku harus mulai bicara dari mana dulu? Serius aku takut berbicara seperti ini. Mereka juga menatapku dengan tatapan bingung. "Kamu bisa gak duduk dikursi dulu? Ada yang ingin aku bicarain sama kalian." ujarku. Akhirnya aku mengawali pembicaraan dengan seperti itu. Jelas saja dengan Reynand berjongkok di hadapanku lalu menggenggam tanganku membuatku mati gaya dan gugup dalam seketika. "Alvin beranjak lalu mempersilahkan Reynand agar duduk di sampingku. Mereka mulai berkumpul, ada yang duduk di lantai dan ada juga yang duduk di sofa. Oh ayolah aku tidak fokus jika Reynand berada di sampingku. Jantungku berdetak lebih cepat, hmm apakah aku punya riwayat sakit jantung? Kurasa tidak. "Jadi apa yang mau kamu bicarakan? Kok sama kita? Gak sama aku aja nih?" godanya, mungkin wajahku sudah memerah sekarang. "Ndan!" mereka merecoki Reynand sesekali menggodanya. Namun aku menghiraukannya, tujuanku bukan meladeni gombalan Reynand. "Kalian intel?" ucapku yang membuat mereka diam seolah-olah bungkam dengan profesinya, tidak ada yang menjawab hingga aku menatap Reynand. "Sebenarnya ini rahasia. Tapi aku rasa kamu bukan orang yang berbahaya," jawab Reynand. "Iya kita gabung intel. Kenapa?" tanyanya. Yang mendapati pelototan tak percaya dari rekan-rekannya. Sementara Reynand hanya mengedikkan bahu acuh, seolah-olah tak perduli dengan pengakuannya barusan. "Mmm, aku bingung harus mulai ini dari mana. Tapi, apa kalian sedang mencari, mmm maksudku kasus, wanita yang di perkosa lalu jasadnya belum ditemukan?" akhirnya pernyataan itu lolos juga dari bibirku. Ah kenapa rasanya sangat sulit sekali membicarakan itu. Aku takut arwah itu hanya mengerjaiku saja dan akhirnya aku akan mendapatkan malu yang luar biasa. Namun, mereka semua menatapku dengan tatapan menyelidik. "Jadi apa masalah ini ada kaitannya denganmu nona? Atau kau terlibat? Setahuku masalah ini hanya kita yang tahu karena orang yang melakukan itu belum juga ditemukan" Tanya Alvin yang membuatku menegang seketika. Jadi apakah mereka menuduhku ikut andil dalam pembunuhan ini? Hei aku baru saja tahu. "Jadi apa anda sedang menuduhku?" aku balik bertanya, jujur saja mood yang jelek membuatku gampang tersulut emosi. Huft, bisa-bisanya dia menuduhku. Padahal kan aku hanya berniat membantu meringankan pekerjaannya. "Terus kenapa anda bisa tahu?" tanyanya. "Ada arwah di depan sana dan arwah itu memberi tahukan padaku semuanya. Dia di perkosa lalu mayatnya dibuang di hutan dengan sengaja oleh pria yang telah memperkosanya!" jawabku setiap katanya penuh penegasan, aku tidak ingin berbasa-basi lagi, badanku terasa sangat lelah. Ingin segera menyelesaikan ini semua. Mereka semua menatapku tak percaya, "Dia indigo." jawab Reynand yang membuat mereka bungkam seketika. "Letak hutannya dimana?" akhirnya Reynand mempercayaiku. "Ndan!" Alvin menatap Reynand dengan tatapan tak percaya. Dalam hati nya sudah berkata dia memang menuduhku dan tidak percaya padaku. Namun, Reynand tidak menjawab nya dia malah menunggu jawaban ku. "Nah itu dia masalahnya. Terakhir dia berbicara kalau besok dia akan menunjukan jalan nya." jawabku, dia terlihat mengangguk-anggukan kepalanya. "Jadi besok kamu bisa gak nunjukin jalannya?" aku melongo tak percaya. Apa Reynand sepercaya itu padaku? Pantas saja aku tidak dapat membaca pikirannya. Huft, satu pertanyaan sudah terjawab tinggal pertanyaan kenapa arwah bisa hilang seketika saat aku menyentuh dirinya? Aku menatap rekan-rekannya dan mengangguk ragu. "Mmm boleh sih. Tapi setelah pekerjaanku di rumah sakit selesai, mungkin sekitar jam dua atau jam tiga." jawabku. "Tapi kalau anda berbohong, jangan macam-macam, kita punya senjata." ujarnya yang membuat aku semakin melongo. "Alvin!" tegur Reynand. Alvin hanya berdecak tak jelas sementara aku bersikap bodo amat. "Kamu gak bawa kendaraankan? Aku anterin pulang ya." tawar Reynand yang mendapati sorakan dari rekan-rekannya. Aku menggeleng ragu, "Aku naik taksi aja deh, Rey." "Mana ada taksi jam segini. Udah ayo." dia menggenggam tanganku lalu membawaku keluar. Aku hanya pasrah saja, terdengar godaan dan sorakan dari dalam sana. Tetapi Reynand hiraukan. Kenapa seheboh ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD