Part 2

2028 Words
Vania berjalan pelan menuju rumah kecilnya yang ia tinggali sendiri. g**g yang dilaluinya agak sepi, hanya ada beberapa mobil yang lewat dan beberapa pejalan kaki yang kebetulan searah dengannya. Setelah tiba di rumahnya ia segera mencari pakaian yang akan dikenakannya kemudian menuju kamar mandi kecil di dekat dapur. Sesaat dia hanya diam mematung di depan wastafel, memandangi dirinya lebih tepatnya pada matanya yang kini sembab. Tanpa disadari, likuid bening itu mengalir kembali diiringi isakan keras dari bibirnya. Dia terduduk, melipat kedua kakinya dan memeluk lututnya. Suara guyuran air shower tidak mampu menyaingi suara tangisannya. Selang beberapa menit kemudian ia keluar dari kamar mandi lengkap dengan pakaian yang sudah menempel di tubuhnya. Ia kemudian menggantung handuknya di belakang pintu dan berjalan menuju kulkas yang berada tepat di samping kiri kamar mandi. Ia mengambil sebotol air mineral kemudian meneguknya hingga habis tak bersisa. Ia mengedarkan pandangannya menyusuri rumah minimalis miliknya, rapi dan bersih. Tiba-tiba pandangannya berhenti pada sebuah figura yang menggantung indah di dinding di atas TV. Foto yang menampilkan dua orang dewasa sedang berdiri di pinggir pantai dan tersenyum ke arah kamera. Perempuan cantik yang memiliki senyuman manis tampak menggendong seorang gadis kecil. Di sampingnya seorang laki-laki berbadan kekar memeluk pinggang sang perempuan dengan posesif. Vania menghela napas. Ia menengadahkan wajahnya menatap langit-langit rumahnya, menahan likuid itu agar tidak tumpah lagi. Ibu beserta ayahnya sudah meninggal lima tahun yang lalu akibat kecelakaan. Sebuah kecelakaan tragis yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya. Sebelum air matanya kembali jatuh, Vania beranjak dari posisinya, berlari menuju kamarnya dan segera menuju alam mimpi. Hanya itu satu-satunya cara agar ia bisa sejenak melupakan kesedihan yang dialaminya, dan berdo'a semoga besok ia bisa menjalani hari-hari sekolah yang normal. ***** Mentari perlahan menampakkan dirinya dari ufuk timur, membiaskan cahayanya menyinari seluruh dunia. Seberkas cahaya masuk dan mengenai wajah gadis manis yang masih setia menutup matanya di atas Single Bed miliknya. Merasa terganggu gadis itu akhirnya bangun. Ia menguap sebentar, mengucek-ngucek kedua matanya dan melirik jam di dinding. “Masih ada banyak waktu,” gumamnya kemudian merapikan kasurnya dan bergegas mandi. Setelah sarapan dia langsung berjalan menuju sekolahnya yang memang tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Dengan santai ia berjalan menyusuri koridor yang masih dipenuhi oleh beberapa siswa yang asyik mengobrol. Namun, beberapa dari mereka yang menyadari kehadiran Vania menatap sinis terhadapnya, dan sesekali terdengar celaan dari bibir mereka walau hanya sebuah bisikan. Vania sendiri hanya tersenyum saat matanya bertatapan dengan beberapa siswa, namun yang didapatinya hanyalah tatapan benci dan jijik. Vania mengernyitkan alisnya bingung, biasanya jika dia berpapasan dengan beberapa siswa di koridor atau di manapun itu, mereka pasti saling melempar senyum dan menyapanya dengan sangat ramah. Namun sekarang, semuanya malah melemparkan tatapan benci padanya walaupun dia sudah tersenyum begitu manisnya. Sekali lagi dia menghela napas saat pintu kelasnya sudah terlihat, dia segera berjalan menuju bangkunya sebelum bell pertama berbunyi. Tepat setelah Vania menduduki kursinya, speaker yang tertempel di sudut dinding itu berbunyi. Para siswa yang berada di luar segera masuk dan duduk di kursi masing-masing. Seorang guru perempuan masuk dan menuju mejanya. “Baiklah, anak-anak, tanpa membuang waktu kita segera mulai pelajarannya. Buka halaman 106.” Kompak seluruh siswa membuka bukunya masing-masing tak terkecuali Vania yang memang sangat menyukai pelajaran ini. Pelajaran seni Vocal. Bu Naura mulai menulis beberapa note-note di papan tulis, dan Vania menyalinnya dengan semangat. Setelah menjelaskan dan memperagakan cara bagaimana memainkan nada-nada itu dengan benar di piano, Bu Naura kemudian menunjuk satu persatu siswanya guna untuk mengetahui apakah siswanya memang sudah mengerti atau belum bagaimana cara memainkan nada-nada itu. Beberapa siswa sudah dipanggil untuk naik, namun tidak ada satupun di antara mereka yang dapat memainkan lagunya dengan benar, hingga akhirnya ia menunjuk Vania. Vania berjalan dengan semangat ke depan dan mulai menekan tuts-tuts piano dengan sangat mudah dan enak didengar, sehingga terciptalah sebuah alunan nada yang sangat indah. Bu Naura tak henti-hentinya memuji kemampuan Vania dan menyuruh agar siswa lainnya belajar dari gadis itu atau sekedar mencontohinya. Namun, hal itu malah mengundang tatapan benci dan perasaan cemburu dari semua siswa tanpa terkecuali. “Pertunjukkan yang sangat sempurna, Vania. Silakan duduk.” Vania berjalan menuju mejanya, namun tiba-tiba ada sesuatu yang mengganjal kakinya sehingga dia terjatuh tersungkur di lantai. Ternyata itu ulah temannya sendiri yang sengaja menjulurkan kakinya. Semua siswa sontak tertawa keras melihat hal itu yng seketika kelas menjadi ribut. “Kamu tidak apa-apa?” Bu Naura menghampiri Vania dan membantunya berdiri. Raut cemas jelas terlihat di wajahnya. “Terima kasih, bu,” ujar Vania pelan sembari berjalan menuju mejanya kembali. ***** Jam istirahat pertama sudah dimulai tapi Vania hanya duduk diam di dalam kelasnya. Gara-gara kejadian di kantin kemarin dia jadi sangat takut untuk keluar dari kelas. Takut untuk bertemu kembali dengan para kakak kelasnya itu. Alih-alih menghindari, salah satu orang yang dia harapkan tidak akan bertemu dengannya hari ini malah datang sendiri ke kelasnya. “Permisi, apa kau melihat Revha?” Vania mengangkat wajahnya menatap pemuda yang bertanya padanya. Seketika matanya membulat sempurna melihat sosok yang selalu bersama Nabil sedang berdiri di hadapannya saat ini. Namun, setidaknya dia masih bersyukur karena pemuda itu hanya datang sendiri. Pemuda itu juga sama terkejutnya, namun lama-kelamaan keterkejutan itu terganti dengan wajah datar. “Kau gadis yang di kantin waktu itu, kan? Ah, kenapa aku bisa lupa kalau kau memang berada di kelas yang sama dengan Revha.” Vania tidak dapat berkata apa-apa, lidahnya terasa kelu hanya untuk mengeluarkan sepatah katapun dari bibirnya. “Hei! Apa kau tuli atau bisu? Aku sedang berbicara di sini,” desak pemuda yang diketahui bernama Kevin itu. Jengah juga melihat sikap Vania yang terlalu lambat dalam merespon sesuatu. “Maaf, kak, saya tidak tahu.” Tanpa mengucapkan kata-kata lagi Kevin langsung berjalan keluar. Tujuan utamanya adalah menemukan Revha, jadi ia tak ingin berlama-lama di sana dan hanya membuang waktu. Vania menghela napas lega, untung pemuda itu hanya sebentar. Seketika dia teringat akan buku yang dipinjamnya dari perpustakaan kemarin dan harus dikembalikan hari ini juga. Tanpa membuang waktu dia segera mengambil buku itu dan berlari keluar kelas. Namun, belum hilang rasa sakit di lututnya kini bertambah lagi rasa sakit di daerah pantatnya. Saat berlari keluar tadi dia tidak sempat melihat bahwa ada orang yang sedang berjalan menuju arah yang berlawanan dengannya, yang membuatnya kemudian berakhir di lantai yang dingin dan keras. “Kalau jalan itu pake mata. Lihat, minumanku jadi tumpah. Dan, astaga! Seragamku jadi basah!”  siswi yang ditabraknya berteriak kesal. Tangannya sibuk mengusap seragam putih bersihnya yang kini basah dan kotor. “Maaf, aku tidak sengaja. Tadi aku sedang buru-buru.” “Apa? Maaf? Kau pikir dengan minta maaf seragamku akan kembali kering?” “Bukan begitu. Biar ku bersihkan.” Vania mengambil beberapa lembar tisu dari saku seragamnya, namun belum sempat tisu itu menyentuh seragam siswi di hadapannya. Siswi itu terlebih dahulu menepis kasar tangannya. “Jangan pikir kau bisa menyentuhku dengan tangan kotormu itu. Ayo, guys, kita pergi.” Ia menyibak rambut bergelombang hasil perawatan mahalnya dengan sombong, sambil berlalu diikuti beberapa pengikutnya. Setelah kepergian ketiga gadis itu, Vania hanya terdiam di tempatnya. Sadar semua tatapan berarah padanya dia kemudian buru-buru menuju gedung sebelah, gedung khusus perpustakaan. Bunyi pintu yang terbuka terdengar jelas di ruangan yang luas nan sepi itu, beberapa pasang mata berpusat padanya sesaat sebelum mereka kembali pada kegiatan mereka. Vania tak membuang waktu, ia langsung masuk dan menuju meja yang di baliknya seorang perempuan muda tersenyum ramah menyambut kedatangannya. "Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya. "Saya ingin mengembalikan buku yang saya pinjam beberapa hari lalu." Vania menyerahkan buku di tangannya. Setelah selesai mengembalikan buku, ia berpamitan kemudian berjalan keluar. ***** Jam pulang kali ini Vania langsung pulang, tidak lagi menunggu sekolah sepi seperti hari-hari sebelumnya. Ia masih trauma akan hal kemarin di halaman belakang sekolah. Di pintu gerbang terlihat siswa sedang berdesakan ingin keluar. Inilah alasannya mengapa dia begitu malas untuk pulang lebih cepat. Para siswa saling dorong, tak ayal Vanua pun harus ikut terdorong dan terjatuh. Untung saja tidak terlalu banyak siswa di sampingnya sehingga ia tidak perlu khawatir akan terinjak. Akhirnya ia bisa juga melewati pintu gerbang yang memakan banyak waktu dan butuh perjuangan itu. Ia berjalan santai sambil bersenandung pelan hanya untuk sekedar menghilangkan rasa bosan dan lelah. Suara klakson yang berasal dari arah belakang tidak menghentikan langkahnya, namun tiba-tiba sebuah mobil Hyundai Eqqus hitam berhenti tepat di sampingnya. Vania memperhatikan mobil itu, perlahan jendela kaca mobil menurun, di dalamnya seorang pemuda tampan sedang tersenyum menawan menampilkan lesung pipi di kedua pipinya. “Hai, sudah mau pulang?” tanyanya sekadar basa-basi. “Iya, kak, aku sudah mau pulang.” Vania tersenyum, berusaha terlihat tenang. “Ayo naik, aku antar kau pulang.” “Tidak perlu, kak, rumahku dekat dari sini.” “Aku tidak terima penolakan, Vania." Arkan keluar dari mobilnya, menarik tangan Vania dan menyuruhnya duduk di samping kemudi. Sementara Vania pasrah saja mengikuti kemauan kakak kelas yang memang sudah dikaguminya sejak dulu itu. Selain menjabat sebagai Ketua Osis dia juga merupakan Ketua Tim Basket di sekolahnya. Benar-benar seorang idola yang sempurna. Dalam perjalanan tak ada pembicaraan apapun, suasana di dalam mobil didominasi dengan atmosfer kecanggungan. Vania sejak tadi berusaha mencari topik apa saja yang bisa dibicarakannya dengan Arkan, sementara itu Arkan juga tengah melakukan hal yang sama. “Di mana rumahmu?” “Lurus saja, kak. Di depan nanti ada g**g, aku akan turun di sana.” Setelah kalimat terakhir dari Vania keheningan kembali melanda mereka berdua. Arkan menghentikan mobilnya tepat di depan g**g yang tidak terlalu luas, yang hanya muat untuk kendaraan beroda dua saja. “Kau yakin turun di sini? Aku antar sampai di depan rumahmu.” “Tidak perlu, kak, lagipula g**g ini tidak muat untuk mobil.” Arkan memperhatikan g**g yang ada di depannya. “Benar tidak muat, kalau begitu aku antar dengan jalan kaki saja. Ayo,” Tanpa persetujuan Vania, Arkan sudah berjalan duluan. Vania hanya tersenyum sambil sesekali melirik wajah Arkan yang terlihat senang. Sementara Arkan dengan asyik menatap apa saja yang mereka lewati di g**g itu, mulai dari anak kecil yang sedang bermain-main permainan yang tidak dikenalinya, yang dia tahu pasti itu adalah permainan tradisional. “Sudah sampai, kak.” Vania berujar, menyadarkan Arkan dari pikirannya. Arkan menatap rumah kecil nan sederhana di depannya, kecil namun terlihat nyaman dan hangat. Vania mengajaknya untuk mampir sebentar, dan tanpa berpikir dua kali ia setuju. Ia duduk di sofa ruang tamu yang berhubungan langsung dengan ruang makan. Sedikit kagum saat melihat rumah bagian dalam Vania yang tampak bersih dan rapi, dan perasaan yang sama saat melihatnya dari luar. Vania datang dengan nampan yang di atasnya terdapat segelas minuman. “Maaf, kak, hanya ini yang aku punya.” Tangannya sibuk menata gelas di atas meja. “Ini sudah cukup. Terima kasih.” Arkan menerimanya dan langsung menegukanya menyisahkan setengah dari minumannya. “Kau tinggal sendiri?” “Seperti yang kakak lihat, tidak ada siapa-siapa di sini selain kita berdua.” “Di mana orang tua mu?” Seketika raut wajah Vania berubah sedih, namun dia tetap berusaha tersenyum. “Ayah dan ibu sudah meninggal 5 tahun lalu.” “Maaf, aku tidak bermaksud.” “Tidak apa-apa,” potong Vania cepat sambil menatap Arkan dengan senyuman seperti biasa, menyembunyikan rasa sedihnya. “Aku turut berduka.” Arkan membalas senyuman Vania berusaha menenangkannya. Namun, seketika senyumannya sirna saat matanya tanpa sengaja melihat tas Vania yang disimpan tepat di samping pemiliknya. Meskipun kecil namun ia bisa melihat ada beberapa bagian yang robek. “Tasmu kenapa?” Vania kelabakan. “Kemarin tasku tidak sengaja tersangkut.” Vania memasang wajah meyakinkan, walaupun dia yakin seratus persen bahwa alibinya itu tidak mungkin dapat dipercayai begitu saja oleh pemuda di hadapannya. “Boleh aku lihat? ” Arkan baru saja akan beranjak dari duduknya, namun Vania cepat-cepat mencegahnya. “Tidak boleh!” Tanpa sengaja ia meninggikan suaranya membuat Arkan sedikit tersentak. “Maaf, kak, aku tidak bermaksud membentak. Ini hanya robek kecil, masih bisa dipakai.” jelasnya buru-buru. Arkan tersenyum maklum. “Syukurlah kalau begitu.” Kemudian kembali menyeruput minumannya. ***** Langit sudah berwarna jingga saat Arkan keluar dari rumah Vania. Dipakainya kembali sepatunya yang sudah dilepasnya tadi sebelum masuk ke dalam rumah. Kemudian mereka berjalan beriringan menuju tempat di mana Arkan memarkirkan mobilnya. Sebenarnya Arkan sudah melarang Vania untuk mengantarnya, namun ternyata Vania juga keras kepala sama sepertinya, dan dia tentu tidak bisa menolak. “Terima kasih sudah mengantarku pulang, kak,” ujar Vania sebelum Arkan masuk ke dalam mobilnya. “Terima kasih juga atas makanannya tadi. Ternyata kau pintar masak, ya. Masakanmu enak.” “Biasa saja, kak. Karena aku tinggal sendiri jadi harus bisa masak.” Arkan tersenyum. Tangannya terangkat menyentuh pucuk kepala gadis di hadapannya dan menepuk-nepuknya lembut. Sementara Vania diam saja tampak tak keberatan dengan perlakuan Arkan padanya. Arkan sudah melepaskan tangannya dari kepala Vania, ia kemudian masuk ke dalam mobilnya. “Kalau begitu aku pulang dulu. Sampai jumpa di sekolah besok.” “Iya, kak.” Setelah saling melempar senyuman, Arkan kemudian menyalakan mobilnya dan berlalu meninggalkan Vania yang masih setia dengan pandangan mengarah ke mana mobil Arkan pergi, diselingi dengan senyuman manis yang tak pernah lepas dari bibirnya. Perlahan tangannya terangkat menuju kepalanya di mana tangan Arkan tadi membelainya. Dengan hati yang senang ia mulai melangkah menuju rumahnya dan sangat menantikan hari besok. Tanpa tahu kejadian mengerikan apa yang menantinya besok. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD