Part 3

1032 Words
Pagi ini Vania bangun lebih awal dari biasanya. Ranjang sudah dirapikan, rumah sudah dibersihkan, dan sarapan juga sudah hampir siap. Setelah selesai menyiapkan sarapan nasi goreng untuk dirinya sendiri, ia menyajikannya di atas meja, kemudian beranjak menuju kamar mandi. Beberapa menit kemudian ia keluar dari kamarnya dengan seragam yang sudah tertempel rapi di tubuhnya, juga dengan tas ransel yang disampirkan di bahu kanannya. Sesampainya di meja makan, ia segera saja menghabiskan nasi gorengnya yang masih hangat dengan semangat. Kini ia sudah berada di koridor sekolahnya menuju kelasnya. Saat sudah tiba di ambang pintu dan ingin membukanya, tiba-tiba seember air tumpah dari atas pintu dan membasahi seluruh tubuhnya. Membuat seragamnya basah seketika. Semua siswa yang ada di kelas tertawa keras, terlihat puas melihat jebakan mereka berhasil. Vania masih berdiam diri di pintu sambil memeriksa tasnya, takut bukunya basah dan tidak bisa dipakai lagi. Helaan napas lega keluar dari mulutnya saat melihat buku–bukunya aman, tidak ada satupun yang basah dan masih sama seperti sebelumnya. “Syukurlah,” ujarnya pelan seraya menutup kembali tasnya. Belum menyadari barisan orang yang mengantri di belakangnya. Ia sudah menghalangi jalan masuk sejak tadi. “Vania, apa kamu tidak keberatan memberikan Bapak jalan masuk? Jam mengajar Bapak sudah mulai beberapa menit yang lalu.” Seseorang bersuara dari belakangnya. Vania langsung menoleh, mendapati seorang laki-laki muda yang dikenalnya sebagai salah satu guru di sekolah ini. Tak lupa di belakangnya juga terdapat beberapa siswa yang berdesakan ingin masuk kelas, tatapan mereka semua jelas menampakkan kekesalan. “Maaf, pak.” Vania menggeser tubuhnya sedikit untuk memberi jalan. Bukannya beranjak dari posisinya, Pak Yuda malah memperhatikan seragam siswi yang terkenal dengan kesopanan dan kedisiplinannya itu. Dahinya mengkerut. “Ada apa dengan seragammu, Vania? Kenapa seragammu basah?” “Ini, aku tidak sengaja menyiramnya saat sedang mencuci tangan di toilet tadi, pak.” Pak Yuda mengangguk mengerti. “Baiklah, segera ganti dengan seragammu yang kering.” “Iya, pak.” Pak Yuda langsung masuk dan menuju meja guru diikuti oleh beberapa siswa di belakangnya. Vania berencana untuk mengganti seragamnya dengan seragam cadangan, yang memang selalu ia siapkan di dalam lokernya. Ia berjalan ke arah belakang di mana loker berada, tak menyadari tatapan jail dan penasaran dari beberapa pasang mata. Teriakan melengking terdengar sesaat setelah Vania membuka pintu lokernya. Ia jatuh terduduk dengan wajah ketakutan. Pak Yuda yang sedang bersiap menulis di papan tulis langsung menoleh ke belakang di mana suara teriakan itu berasal. “Ada apa, Vania?” tanyanya dengan kening berkerut. Sedikit merasa kesal juga karena kegiatan mengajarnya harus tertunda lagi beberapa saat. Vania menunjuk lokernya takut–takut. “I-itu, di lokerku ada ular, pak,” jelasnya dengan suara bergetar. Kekehan tertahan mulai terdengar dari beberapa siswa. Bukannya simpati, mereka malah senang melihat Vania seperti itu. Tak membuang waktu Pak Yuda segera mendekat ke tempat Vania, matanya melirik ke dalam loker. Setelah mengetahui sesuatu yang ada di dalam sana tidak berbahaya, ia segera mengambilnya kemudian menunjukkannya pada Vania yang masih tampak takut dengan benda tersebut. “Ini hanya ular mainan. Kamu tidak perlu takut, dan segera ganti pakaianmu.” Mendengar hal itu Vania menghela napas lega. Pak Yuda berjalan kembali ke depan sambil membawa ular mainan yang sudah membuat Vania ketakutan setengah mati lalu menyimpannya di dalam tasnya. Tidak mau kejadian yang baru saja terjadi terulang kembali. Vania bergegas mengambil seragamnya dari dalam loker setelah memastikan bahwa dia tidak lupa menutup lokernya kembali. Tanpa membuang banyak waktu lagi, ia segera berlari keluar dari kelas menuju toilet. Sesampainya di toilet, ia segera masuk ke dalam salah satu bilik mandi yang berada paling dekat dengan pintu. Seragamnya yang kering ia sampirkan di atas pintu dan mulai membuka satu persatu kanci bajunya. Tak lama setelah Vania berkutat dengan kegiatannya, seseorang masuk ke dalam toilet. Membuka dengan pelan satu persatu bilik mandi untuk memastikan tidak ada orang lain di dalam toilet itu selain dirinya dan seorang gadis manis di dalam bilik yang tertutup rapat. Ia berjalan sedikit berjinjit mendekat pada pintu bilik yang ditempati Vania tadi, kemudian menarik seragamnya yang tersampir di atas pintu. Ia melakukan sesuatu pada benda tersebut kemudian menaruhnya kembali sebelum Vania menyadari kehadirannya di sana. Tepat sesaat setelah siswi itu menyampirkan kembali seragam Vania, gadis itu langsung menariknya dan memakainya. Setelah mengerjakan pekerjaannya dengan sukses, siswi tersebut keluar dari toilet. Bersamaan dengan itu pintu tempat Vania masuk tadi terbuka, ia berdiri sejenak di depan cermin, memastikan penampilannya sudah rapi kemudian keluar dari toilet menuju kelasnya. ***** Vania berjalan sendiri di koridor menuju lantai atas di mana kantin berada. Namun, ia sedikit merasa aneh dengan gelagat siswa–siswi yang berpapasan dengannya. Ia merasa bahwa semua menatap punggungnya. Apalagi saat di kelas tadi, siswa yang duduk di belakang mejanya kadang tertangkap basah tengah tertawa sambil sesekali meliriknya. Merasa curiga ia melirik ke belakang punggungnya, namun tidak menemukan keganjilan di sana. Ia berusaha untuk tidak mempedulikannya dan berjalan santai melewati beberapa siswa yang sedang asyik berkumpul di pinggir jendela. “Hai manis.” Salah satu siswa menggodanya, Vania menatap bingung melihat siswa yang sedang tertawa setelah mengucapkan kalimat tadi. Ia mengendikkan bahunya tak acuh kemudian melanjutkan kembali perjalanannya yang sempat tertunda, tapi kali ini dengan langkah yang agak dipercepat. Setelah tiba di kantin ia segera memesan makanan yang biasa ia pesan. Setelah pesanannya sudah siap ia mengedarkan pandangannya menyusuri ruangan kantin sekedar mencari sebuah meja yang masih kosong. Seulas senyum tercipta di bibirnya saat menemukan sebuah meja kosong yang berada di sudut ruangan. Ia melangkah pelan sambil membawa nampan yang berisi makanan pesanannya. Namun, tiba–tiba seseorang menghadang kakinya,  membuatnya yang tidak siap langsung terjatuh. Alhasil makanannya tumpah mengenai seorang siswi yang sedang makan di meja di depannya. “Astaga, apa ini?” Siswi tersebut berdiri, menatap garang pada Vania yang jatuh di kedua lututnya sambil berkacak pinggang. “Kalau jalan itu pakai mata! Kau tidak lihat aku sedang duduk di sini?!” Vania meringis, kejadian yang dialaminya waktu itu kembali terjadi, walau dengan orang yang berbeda “Maaf, aku tidak sengaja.” “Tidak sengaja atau memang sengaja?” “Aku tidak sengaja.” Siswi itu mendorong bahu Vania. “Kau berani melawanku?” Vania semakin meringis, merasakan sakit di bahunya saat siswi itu mendorongnya keras. “Maaf.” “Kata maaf saja tidak cukup.” Siswi itu mengangkat tangannya memukul telak pipi mulus Vania dan meninggalkan bekas memerah di sana. Mata Vania memerah, tangannya bergerak mengusap pipinya yang terasa perih. “Kenapa diam saja? Masih mau ditampar?” Siswi itu kembali bersiap mendaratkan tangannya di pipi Vania, namun sebuah suara yang familiar menghentikan kegiatannya. “Hentikan, Jessica.” Siswi yang bernama Jessica itu menghentikan tangannya yang sudah hampir menyentuh pipi Vania kembali, lalu dengan cepat menariknya. Menatap sedikit takut pada orang yang meneriakinya tadi. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD