Diruqyah Karena Jatuh Cinta

1066 Words
"Nasehat itu datang dan menyentuh hati, tapi rasa gue ke dia mengalahkan kebaikan nasehat itu sendiri." *** Tibalah hari dimana gue harus berangkat ke pesantren. Joo masih juga memenuhi ingatan, semakin hari semua ini begitu menyiksa. 'Loe apain sih, gue Jo?' Gue sering melamun Gaes, sampai pengurus pondok gedek. Suruh sholat ogah-ogahan, berasa lebih baik kena hukuman. Tak disangka, kelakuan gue yang nyeleneh dari santri lain jadi perhatian sampai ke Abine --sebutan untuk kiyai pemimpin pondok-- turun tangan langsung. Bayangkan abine yang punya seabrek kegiatan harus datang ke asrama, mencari tahu apa yang terjadi pada santri baru 'gaje' macam gue. "Tunggu sampai abine datang ya Ukh, sepertinya anti kesambet setan pas berangkat ke sini," ujar Mbak Limah, ketua asrama. Tak gue hiraukan, pikiran masih menerawang pada Joo. Sampai kata temen-temen seminggu di sini gue selalu ngigau nyebut nama Joo. "Yaelah, Mbak-mbak kalau gue ganggu kelen, kenapa kagak dibalikin aja sih ke rumah emak bapak. Atau panggil mereka ke sini, biar gue pulang. Gue udah ngebet pengen ketemu dan kawin sama Joo tau!" ketus gue pada Mbak Limah dan santri lain yang menjagaku. "Ckck." Mereka geleng-geleng Gaes, bodo! "Ada apa? Apa Zee masih ndak bisa dikendalikan?" seorang Ustazah datang menghampiri kami. Melihatnya gue memutar bola mata malas. "Dia minta pulang ustazah," jawab Mbak Limah. "Sudah ana duga, biarin kita atasi dulu. Santri baru memang begitu ... maunya pulang terus. Lama-kelamaan juga terbiasa. Tunggu sebentar lagi abine ke sini," sambung ustazah. Ia mendekat ke arah gue. Memegangi pundak, dan mengusapnya. "Zee, ketahuilah orang tua anti membawa anti ke sini karena Sayang banget sama anti. Jadi kami yang diberi amanah sudah seharusnya membantu niat baik mereka, dan sebisa mungkin menjaga anti di pesantren Ini." Trenyuh mendengarnya, tetap saja nasehat itu rasa tidak lebih berharga ketimbang rasa yang kusimpan untuk Joo. "Gak bisa Ustazah, Zee harus pulang dan ketemu Joo, hiks." Tumpah juga tangis ini. "Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakaatuh." Suara berat seorang pria terdengar dari arah pintu. "Waalaikumsalam Warahmatullah Wabaraakatuh." Semua menjawab pelan. Pria itu ternyata abine, menyipitkan mata begitu melihatku. "Sepertinya ada yang tidak beres." Semua saling pandang. "Ustazah, tolong lihat matanya apa ada garis merah di sana!" titah abine. "Baik." Ustazah pun mendekatkan wajahnya ke gue. Semoga tidak menemukan belek di sana. Gue berkedip-kedip karena risih. "Bagaimana?" tanya abine. Ustazah mengangguk. "Subhanallah ...." Abine mengelus d**a. "Siapkan barang-barang yang diperlukan untuk ruqyah." "Ada apa Bi?" tanya ustazah. "Dia kesurupan jin, kena pelet." "Astagfirullah." Semua orang tersentak. Begitu juga gue. Ustazah segera keluar mencari apa yang abine minta. "Nduk, kalau kamu seneng dan mau nikah sama orang, setidaknya dia pria sholeh dan kamu sudah selesaikan sekolah dulu. Jika nanti sudah siap Abi mau carikan calon suami terbaik buat kamu." Abine menasehati dengan lembut. Hiks, ternyata gue kena pelet. 'Sialan loe Joo, tapi kenapa udah tau dipelet gue gak bisa benci loe?' Pelet Yang Aneh "Saking indahnya wajah makhluk ciptaan Allah itu, gue yang terkena pelet pun berdecak kagum melihatnya. Heuh." *** "Bi ...." Panggil gue pelan. "Ya?" "Kalaupun ada yang bisa buat Zee move on, itu cuma satu." Abine mengerutkan dahi, mungkin pikir beliau 'Ni anak, sudah ditawarin calon baik malah mau pilih sendiri.' "Iya, Bi. Zee udah lama naksir berat sama Gus Azmi. Bisakah Abi nikahin Zee sama dia?" Abine melotot, tak bisa diterjemahkan antara tak percaya dengan ucapan gue, atau salut karena punya standar yang best. 'Zee gitu loh.' Sedang mbak-mbak lain yang ada di ruangan itu pada berdecak, geleng-geleng, mungkin dalam hati mereka juga merutuk 'Bagaimana bisa cewek sesengklek gue ada di ponpes ini, ck.' "Oh Azmi yang dari Jawa Timur itu?" Gue ngangguk Gaes, memang Azmi mana lagi. "Agak aneh sebenarnya, kamu kena pelet tapi masih bisa mengharap pemuda lain selain yang melet, atau ... jangan-jangan anak kiyai itu yang melet kamu?!" Abine jadi ketularan gue, bicara tidak-tidak. Gue nyengir Gaes. Tidak lama ustazah datang membawa barang-barang yang diminta abine entah apa saja namanya, gue gak ngerti. "Ustazah, afwan ... ini daun bidaranya belum," ujar abine setelah memeriksa apa yang dibawa ustazah. "Ambil saja di samping rumah saya. Minta tolong sama Fatih, tapi saya perlu sampean menyiapkan anak ini, agar wudhu dulu dan sholat taubat. Jadi minta santri saja ke sana." "Oh, enjeh Bi." Ustazah mengangguk. "Ukhty, Rima tolong ke rumah abine ya. Bilang sama Gus Fatih." "Ana aja Usatzah." Seorang santri lain bernama Ulfah, mengajukan diri. "Yee, yang disuruh 'kan ana," protes Rima. "Maksudnya ana juga ndak keberatan," paksa Ulfa. 'Lah ini ada apa kok malah, berebut pengen ke rumah abine?' "Sudah, sudah. Kalau kalian seperti ini, ana minta Siti saja. Ayo Siti, tolong ya." Ustazah terlihat marah. "Anti sih, nyerobot-nyerobot." Rima menyenggol pundak Ulfa. "Anti juga, gitu aja dipermasalahin jadi ustazah marah." Ulfa tidak mau kalah. Duh mereka kaya mau perang saja. "Sudah, sudah. Apa antunna ndak malu ada abine di sini?" Ustazah kembali menegur. Abine mendesah. "Ayo, Zee, ikut ana." Ustazah meminta gue berdiri. Gue pun mengekor ustazah hingga di tempat wudhu, wanita dengan pakaian syar'i itu memintaku berwudhu. "Bisa 'kan?" Gue mengangguk, padahal lupa urutan wudhunya. Kalau saja gue gak kena pelet, gak akan ada di tempat ini, jadi pusat perhatian lalu mereka tahu sebenarnya gue awam banget sampai hal wudhu. Kepalang malu, semoga ustazah tidak memperhatikan secara detail cara gue wudhu. "Bismillahirrahmanirrahim ..." Kubasuh kening. "Zee, sudah baca niat? Lagian yang pertama setelah niat itu basuh muka, bukan langsung kening." "O? Begitu ya Ustazah." Gue ulangi lagi baca bassmalah dan cuci muka lalu kaki. "Duh, Zee. Ckck. Ya sudah biar ana tuntun." OMG gue bener-bener malu Gaes. Dituntunlah mulai niat sampai mengerjakan tertib wudhu, lalu sholat taubat, karena tidak bisa bagaimana niat dan tata cara sholatnya, ustazah memberikan sebuah catatan mbak-mbak yang lain cekikikan menertawakan. Itu memancing naluri balas dendam gue nantinya, gue janji  akan mengerjai mereka setelah ini semua berakhir, lihat saja! Zee dilawan. Usai sholat gue kembali dihadapkan sama abine. "Kok lama ya, si Siti ngapain?" Abine gelisah, berkali-kali melihat jam tangan. Gue jadi merasa bersalah orang sibuk seperti abine harus mengurus santri macem gue. "Biar saya lihat Bi!" Dengan cepat Rima mengusulkan. "Assalamualaikum." Seorang pria mengucap salam, dengan Siti di belakangnya. "Waalaikumsalam," kami menyahut. OMG siapa lelaki tampan itu, mata gue hampir copot melihatnya. Eits, tapi gue 'kan lagi kena pelet, kok bisa menganggap laki-laki lain ada yang tampan selain Joo. Ada apa ini? "Gus Fatih," ucap Ulfa yang ada di sampingku. Oh, jadi dia anak abine. Pantas saja Rima dan Ulfa berebut ingin ke rumah abine tadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD