Payung

1005 Words
Sambil berdoa, Mei Hwa membuka pintu belakang rumahnya. Ia berhenti sejenak, mengamati situasi teras rumah Ayek yang berada persis di belakang rumahnya, hanya berjarak lima langkah kaki. Objek pengamatan dalam keadaan lengang.  Sementara hujan masih turun, tidak terlalu deras, tapi awet. Sejak subuh, matahari belum terlihat, masih tertutup awan tebal. Cuaca mendung justru membuat hati Mei Hwa cerah. Ia berharap langit terus mengguyurkan air hujan sampai siang nanti.  Mei Hwa akan ke rumah Ayek. Dua rencana telah ia siapkan. Plan A, ia akan berlagak bodoh, sengaja menggunakan payung yang akan ia kembalikan untuk menyeberang ke rumah itu. Dengan alasan masih hujan, ia akan meneduh beberapa saat di sana. Ia berharap Ayek ada di rumah. Jika lelaki itu tidak ada di rumah, ia akan menggunakan Plan B, yaitu segera pamit. Ia yakin Zaenab akan kembali meminjaminya payung. Jika itu terjadi, ia masih punya alasan untuk kembali ke rumah itu lagi.  Sebenarnya Mei Hwa malu, dua hari baru akan mengembalikan payung itu. Ia khawatir dianggap menyepelekan pinjaman. Memang, ia yakin Zaenab tidak akan mempermasalahkannya, tapi ia merasa tidak enak. Kesannya ndableg, begitu yang ada di pikirannya. Mei Hwa bisa saja menjelaskan alasannya secara panjang lebar, menceritakan kronologinya, mulai dari kesibukannya membantu Babah di toko, sampai tentang ia lupa di mana meletakkan payung tersebut.  Kemarin, sebenarnya Mei Hwa punya kesempatan untuk mengembalikan payung. Sayang pada saat itu di rumah Ayek ada tamu. Itu akan membuatnya tak bisa berlama-lama di sana, sehingga ia menundanya. Padahal payung adalah alasan paling tepat baginya untuk dapat bertemu lagi dengan Ayek. Plan A sepertinya akan berjalan sesuai harapan Mei Hwa. Ayek baru saja duduk di teras. Lelaki itu memandang ke arahnya, membuatnya sedikit salah tingkah.  Dada Mei Hwa berdebar, ketika Ayek melambaikan tangan. Ia merasa malu, sekaligus merasa senang. Tidak mau membuang banyak waktu, ia menutup pintu rumah, memekarkan payung, dan perlahan berjalan menuju rumah Ayek.  Tak butuh waktu lama, Mei Hwa sampai di teras rumah Ayek.  "Assalamu alaikum," ucap Mei Hwa. Ia meletakkan payung di tepi teras.  "Wa alaikum salam," jawab Ayek. "Mau ketemu Ummi?"  Mei Hwa menggeleng, "iya."  Ayek terkekeh. "Iya kok menggeleng."  Mei Hwa tersenyum kecut. Belum apa-apa ia sudah salah tingkah.  "Duduklah, Mei!"  Mei Hwa menggunakan jurus yang telah disiapkan. "Aku cuman sebentar kok, mau mengembalikan payung yang kemaren. Maaf, payungnya basah."  "Nggak apa-apa, Mei. Namanya juga payung." Ayek terkekeh. "Beneran nih nggak mau duduk? Kalau mau ketemu Ummi, beliau lagi ke pasar."  "Oh, ke pasar ya?" Mei Hwa pura-pura bingung. Ia masih mematung, menunggu Ayek kembali menawarinya duduk."  "Masih hujan, duduk aja dulu, sambil menunggu Ummi."  Yess! Mei Hwa bersorak dalam hati. Ia menduduki kursi, bersebelahan dengan Ayek.  "Anggap saja rumah sendiri, Mei," ujar Ayek."Di dalam ada sapu sama lap pel."  Mei Hwa terkekeh. "Jadi karena sudah menganggap rumah sendiri, aku harus nyapu sama ngepel, begitu?"  "Cerdas!"  Mei Hwa tertawa. "Termasuk masak juga?" "Iya dong!"  Ayek dan Mei Hwa tertawa bersama. Selepasnya suasana hening. Masing-masing sibuk dengan pikirannya.  Hujan masih deras, belum ada tanda-tanda akan reda. Bunyi berisik atap seng yang dihujami tetesan-tetesan dari langit semakin menenggelamkan suasana.  Ayek mencoba memecah kebisuan. "Kamu anak keberapa, Mei?"  "Aku anak sulung," jawab Mei Hwa. "Kamu sendiri?"  "Iya, aku masih sendiri. Belum punya pacar," kelakar Ayek.  Buru-buru Mei Hwa meluruskan maksud pertanyaannya. "Bukan itu maksudnya. Kamu anak keberapa?"  "Hahaha, kirain!" Ayek berlagak bodoh. "Aku anak pertama dan terakhir."  "Anak tunggal dong."  "Iya."  "Oh!"  Suasana kembali bisu, hanya hujan saja yang berisik. Tiga menit, Ayek dan Mei Hwa membisu.  Sekarang giliran Mei Hwa yang berusaha menghangatkan suasana. "Lagu-lagu band kamu bagus. Meski rock bukan genre yang kusukai, tapi aku bisa menikmatinya. Mungkin karena musiknya easy listening."  "Terima kasih apresiasinya." Ayek merasa senang. "Kami memang nggak terlalu idealis, yang penting bisa berkarya."  "Dan menghasilkan uang!" seloroh Mei Hwa.  Ayek merendah. "Belum seberapa, sih. Masih recehan. Lagi pula, materi bukan tujuan utama."  "Viewer kamu banyak, lho! Aku sudah kepoin semalam," sergah Mei Hwa.  "Masih banyak viewer kamu, Mei!"  Mei Hwa mengangkat sepasang alisnya. "Maksudnya?"  Dada Ayek berdebar, ketika melihat Mei Hwa mengangkat sepasang alisnya. Sungguh ia menyukainya. Gadis itu semakin manis saat melakukan itu.  "Kamu belum jawab pertanyaanku!" tegur Mei Hwa.  "Aku juga sudah kepoin channel kamu. Percuma pura-pura nggak paham maksudku." Mei Hwa terkekeh. "Oke, oke, tapi fans kamu lebih banyak."  Ayek mengangkat sepasang bahu. "Mungkin, tapi itu bisa jadi karena genre yang kami bawain lebih mudah dicerna kaum milenial. Sedangkan musik klasik lebih eksklusif."  Mei Hwa mengangguk. Ia mengamini pendapat Ayek. Selama ini ia lebih sering membawakan solo piano dengan menyanyikan lagu-lagu era 60-an. Bisa diterima lintas generasi saja baginya itu sesuatu yang harus disyukuri.  "Aku terkesan dengan cara kamu membawakan lagu-lagu lama," ucap Ayek.  Mendengar kalimat Ayek membuat hati Mei Hwa berbunga-bunga. Pipinya bersemu merah.  "Kamu mahir sekali memainkan piano. Kamu belajar autodidak atau gimana?"  "Aku pernah kursus piano di Jakarta. Dulu, aku SMA di sana."  "Pantesan aku baru kenal kamu, padahal kita tetanggaan." Ayek berseloroh.  "Yakali, kamu 'kan memang belum lama pindah ke sini."  Ayek tertawa. "Oh, iya."  Mei Hwa tersenyum simpul. Ia senang bisa ngobrol banyak dengan Ayek. Ia berharap, setelah ini bisa lebih banyak bertemu dengan lelaki itu.  Ayek dan Mei Hwa kembali membisu, benar-benar sunyi. Apalagi hujan mulai reda, menyisakan tetes-tetes gerimis. Mei Hwa masih ingin berlama-lama di sini, tapi ia merasa malu berlama-lama di rumah lelaki yang baru dikenalnya. Takutnya ada tetangga yang meihat.  Bagi Ayek, pertemuan ini sangat mengesankan. Ia merasa nyaman berbincang dengan Mei Hwa. Gadis itu menyukai musik, itu akan membuat dirinya punya banyak topik jika nanti kembali punya kesempatan bertemu tegangganya itu.  "Aku mau pulang," ucap Mei Hwa. Ia mendongak ke langit. "Selagi hujan reda."  Ayek mengangguk pasrah. Ia masih ingin berbincang-bincang dengan Mei Hwa, tetapi ia tak sanggup untuk menahan lebih lama gadis itu.  Mendadak sebuah ide muncul di benak Mei Hwa. “Kapan-kapan, mainlah ke studioku. Kita duet. Kamu main gitar, aku main piano.”  Bagi Ayek ini penawaran yang sangat baik. Ia tak ingin membuang kesempatan emas ini. “Oke, kapan enaknya?”  "Kapan pun kamu mau. Kabari dulu tapi ya?"  "Siap! Aku catat nomor teleponmu." Ayek mergeluarkan ponsel dari sakunya, siap mencatat nomor telepon Mei Hwa.  "Sini, aku ketikin nomorku."  Ayek menyerahkan ponselnya. Selepas menyimpan nomornya di kontak ponsel Ayek. Mei Hwa mengembalikannya kepada lelaki itu.  "Nanti kukabari," ujar Ayek.  Mei Hwa mengangguk. "Salam buat Ummi, sampaikan terima kasihku sama beliau." Ia berdiri.  "Insya Allah."  "Aku pulang, ya?"  "Mau aku antar?"  Mei Hwa mengerjap sambil menahan senyum. "Rumahku cuman lima langkah dari sini!"  Tanpa dikomando, Ayek dan Mei Hwa terkekeh bersamaan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD