bc

Don't Hurt Me

book_age12+
645
FOLLOW
2.7K
READ
goodgirl
independent
drama
comedy
sweet
bxg
enimies to lovers
shy
like
intro-logo
Blurb

Vania Amanda, gadis pendiam di sekolahnya. Tidak punya teman dekat dan selalu menyendiri. Suatu hari ia tidak sengaja membuat Nabil Abimayu marah, siswa arogan di sekolahnya yang berujung membuat dirinya menjadi bahan bully-an satu sekolah. Beruntung Ada Arkan Dewanta, sang ketua OSIS yang selalu membantunya melewati hari-hari buruknya di sekolah.

Suatu hari sekolah Vania kedatangan siswa pindahan. Tiara Ayunisari dan Sarah Amalia, dua bersaudara yang akhirnya menjadi sahabat Vania. Membuat hari-hari Vania di sekolah menjadi lebih berwarna lagi atas kehadiran mereka. Hubungan Vania dan Nabil juga jadi lebih baik dari sebelumnya.

Perlahan, Nabil mulai menyukai Vania. Namun, kehadiran Kevin di antara mereka mau tidak mau membuatnya mengalah. Tanpa menyadari bahwa sikapnya itu malah membuat Vania kecewa.

Bagaimanakah kelanjutan kisah mereka?

Apakah akhirnya Nabil sadar bahwa Vania tenryata mencintai dirinya?

Dan, apakah Kevin akhirnya mengetahui bahwa ada orang lain yang lebih mencintainya?

chap-preview
Free preview
Part 1
Teriakan-teriakan memekakkan telinga menggema di sekitar koridor. Mengiringi langkah seorang pemuda tampan bermata sipit bak bulan sabit, yang dengan cool and cueknya melangkah menjauhi para siswi yang tak henti–hentinya berteriak mengagumi ketampanan yang dimilikinya. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, senyum mengembang kala matanya menangkap dua sosok pemuda yang sudah duduk manis di bangkunya masing-masing di dalam kelas. Dengan ekspresi dingin dia melangkah mendekati dua pemuda yang masih asyik dengan kegiatannya. Pemuda dengan kulit putih pucat bersurai ikal kecoklatan duduk di pojokan kelas dengan posisi kepala menunduk. Kedua tangannya menggenggam erat benda persegi berwarna hitam, sedangkan jari–jarinya sibuk beradu dengan tombol–tombol yang ada di benda tersebut yang biasa disebut ponsel. Sedang pemuda bersurai cokelat gelap, berwajah sedikit kekanakan yang duduk di depannya tak kalah sibuknya dengan gadget canggih berupa I-Pod dengan headphone yang menutupi kedua telinganya. Kepalanya kadang bergerak ke atas dan ke bawah mengikuti alunan lagu dengan kedua mata yang terpejam, menandakan betapa dia sangat menikmati lagu yang didengarnya. Nabil berdecih pelan melihat kedua sahabatnya tenggelam dengan dunianya masing–masing. Dihempaskan pantatnya di bangku yang berada persis di samping pemuda yang masih setia memejamkan matanya. Merasa terabaikan, Nabil meletakkan ranselnya di meja secara kasar yang menghasilkan suara keras membuat sebagian siswa-siswi yang ada di kelas menatapnya heran. Nabil tidak terlalu peduli dengan hal itu. Dengan santai ia memasang earphone ke kedua telinganya dan memutar sebuah lagu tanpa berniat untuk meminta maaf karena sudah membuat keributan. Tidak lama kemudian benda kotak yang menempel di dinding sudut atas sebelah kanan papan tulis kelasnya berdering. Bell yang menandakan jam pelajaran pertama akan segera dimulai. Dari arah pintu muncul sosok yang sangat disegani oleh para siswa karena kegalakannya, terlebih lagi dengan wajahnya yang cantik namun terbilang sangar. Dengan langkah anggunnya guru yang sering disebut Cinderella itu melangkah menuju mejanya. Kemudian dimulailah pelajaran yang sangat membosankan sepanjang sejarah sekolah yang membuat semua siswa mengeluh. ***** Akhirnya setelah satu jam menunggu, waktu yang ditunggu–tunggu datang juga. Para siswa berbondong–bondong keluar dari kelasnya, berlari–larian bagaikan sedang diburu oleh sesuatu. Namun, lain halnya dengan ketiga pangeran kita, mereka melangkah dengan santai melewati koridor menuju kantin. Kevin dan Daffa sontak menghentikan langkah mereka saat telinganya mendengar suara seperti benda jatuh di belakang mereka. Dengan kompak mereka menoleh ke belakang dan mendapati seorang gadis mungil jatuh terduduk, menyebabkan barang bawaannya jatuh berserakan di lantai. Di hadapannya berdiri seorang pemuda yang menatap garang gadis yang masih setia dengan posisinya, bisa dipastikan pemuda itulah yang bertabrakan dengan gadis mungil tadi. “Hei, perhatikan langkahmu saat berjalan, bodoh! Lihat apa yang telah kau lakukan dengan seragamku!” bentak Nabil pada gadis mungil di hadapannya, sehingga mereka berdua menjadi pusat perhatian di kantin tersebut. Gadis mungil itu menundukkan kepalanya takut  “Maafkan saya, kak.” Nabil memperhatikan seragamnya yang sudah basah terkena tumpahan minuman. “Kau harus bertanggung jawab.” Gadis di hadapannya menunduk semakin dalam, tangan kanannya meremas ujung seragamnya yang keluar akibat terjatuh. Dia sudah sangat mengenal pemuda di hadapannya itu. Kakak kelas yang tampan, kaya, dan pintar. Namun memiliki perangai buruk jika merasa terganggu. Dia dan kedua temannya tidak akan segan–segan mem-bully siapapun yang berurusan dengannya. “Kau dengar tidak?” Daffa angkat bicara, gemas melihat tingkah gadis mungil itu yang tak kunjung bicara dan hanya menunduk diam. “B-baik, apa yang harus saya lakukan?” Nabil menyeringai mendengar penuturan itu, sedang orang–orang yang saat itu juga berada di kantin bergidik ngeri melihatnya. Mereka hanya mampu berdo'a dalam hati agar gadis mungil itu selamat. “Jilat semua tumpahan minumanmu yang ada di lantai.” Nabil berujar santai sambil menyilangkan tangannya di d**a. Gadis mungil itu mendongak, menampilkan wajah terkejut sekaligus tidak percaya. Menjilati lantai adalah sesuatu hal yang sangat menjijikkan. “Kenapa? Kau tidak mau?” ucap Daffa yang sedari tadi diam. Matanya bergerak melirik tanda nama gadis tersebut. “Vania Amanda.” Ia menyeringai. "Cukup menarik," lanjutnya. “Tapi, apa itu tidak terlalu berlebihan, kak?” “Kau mau membantahku?” Nabil bertanya sarkastik, raut wajahnya jelas menampakkan ketidaksukaan pada gadis itu. “Tidak, bukan begitu maksudku.” “Lalu apa? Atau kau mau hukuman yang lebih dari ini?” Vania menggeleng cepat, hukumannya sekarang saja sudah begitu menjijikkan, apalagi jika ditambah dengan hukuman lain yang ia yakin jauh lebih mengerikan. “Kalau begitu cepat lakukan,” sentak Daffa tidak sabaran. Dia memang terkenal dengan sifat tidak sabarannya. Dengan penuh keraguan Vania mendekatkan wajahnya dengan lantai yang terdapat tumpahan minumannya. Nabil menyeringai makin lebar, sementara siswa lain seakan menahan napas melihat pemandangan tersebut. Tidak ada yang bisa menolongnya termasuk ibu kantin yang menyaksikan kejadian tersebut. Perlahan–lahan Vania memajukan wajahnya, di saat wajahnya semakin mendekati permukaan lantai, tiba–tiba seseorang menarik lengannya membuatnya mau tak mau harus berdiri. Nabil menggeram kesal, ditatapnya tajam seseorang yang sudah mengacaukan pertunjukkannya tersebut. Pemuda tinggi tegap sang pelaku pengganggu itu juga menatap balik, menatapnya dengan pandangan menantang. “Ada apa gerangan Arkan Dewanta sang ketua OSIS yang terhormat meninggalkan markasnya dan menggangguku?” Nabil tersenyum sinis, pemuda di hadapannya memang selalu menjadi pengganggu hiburannya. “Apa yang kau lakukan?” Alih-alih menjawab, Arkan malah bertanya penuh amarah. Vania yang ada di sampingnya hanya dapat menunduk, sesekali melirik ke arah tangan kanannya yang digenggam erat olehnya. “Bukan urusanmu.” Nabil dan Arkan saling bertatapan tajam tanpa adanya sepatah katapun yang keluar dari bibir keduanya. Hal itu berlangsung cukup lama, seakan-akan tidak ada yang ingin mengalah satu sama lain. Setelah puas beradu tatapan yang tak tahu kapan akan berakhir, Nabil memutuskan untuk mengalah dan pergi meninggalkan dua orang yang masih tetap berpegangan tangan itu diikuti Kevin dan Daffa. Setelah kepergian Nabil dan kedua temannya, Arkan beralih menatap gadis yang masih setia menunduk di sampingnya. “Kau tidak apa-apa?” tanyanya khawatir. Dia sedang lewat di depan kantin saat melihat beberapa orang berkumpul seperti menonton sesuatu. Firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk sedang terjadi dan ia harus menghentikannya. Benar saja saat ia melangkah mendekat, dilihatnya Nabil sedang membuat pertunjukkan gratis. Kegiatan yang selalu dilakukannya hanya untuk menarik perhatian orang-orang padanya. “Aku baik-baik saja.” Vania menjawab sambil tersenyum tipis. Kejadian tadi benar-benar membuatnya ketakutan, bahkan rasanya kakinya sulit untuk berdiri dengan benar. Namun, ia sembunyikan dari Arkan. Pemuda itu tidak terlalu dekat dengannya, tapi ia selalu ada saat Vania membutuhkan pertolongan seperti saat ini. Vania tentu sangat bersyukur dengan kehadiran Arkan. Namun ia tak ingin merepotkan pemuda itu terlalu jauh. Sebenarnya Arkan tidak yakin dengan jawaban Vania, tapi dia menghargai keputusan gadis itu. Ia tersenyum menenangkan sebelum akhirnya berlalu menjauhi kantin, ***** Jam terakhir sudah berakhir sejak tadi, seluruh ruang kelas juga terlihat sudah kosong. Namun, jika kita lihat lebih teliti kita dapat melihat sebuah ruangan yang masih dihuni oleh seorang siswi. Tidak ada kegiatan berarti yang dilakukannya, hanya saja seperti itulah kebiasaannya setiap hari. Menunggu hingga seluruh siswa pulang dengan alasan tidak mau berdesakan di gerbang. Setelah dirasanya sudah sangat sepi, dengan santai dia membereskan beberapa bukunya ke dalam ransel. Kemudian mulai melangkahkan kaki mungilnya menyusuri koridor yang sudah sangat sepi. Saat sudah berada di pinggir lapangan tiba–tiba saja sebuah tangan menggenggam tangannya dan menyeretnya menuju taman belakang sekolah. “Aww.” Rintihan kesakitan terdengar dari bibirnya saat punggungnya menyentuh dinding tembok dengan keras. Seseorang yang menariknya tadi mencengkeram dagunya membuatnya terpaksa mendongak, matanya tepat mengarah pada sepasang mata elang yang ada di hadapannya. Pandangan mereka saling beradu, pemuda di hadapannya menampilkan wajah datar namun terpancar kebencian yang sangat dalam di matanya. perlahan wajah itu mendekat ke telinganya. “Kau belum menyelesaikan hukumanmu.” Suara berat itu terdengar jelas di telinganya. Vania menjauhkan wajahnya, menatap bingung pada pemuda yang ada di hadapannya. "Apa maksudmu?" Mengerti dengan kebingungan gadis di hadapannya, pemuda bernama Nabil itu menjauhkan sedikit tubuhnya. “Kau sudah lupa dengan kejadian di kantin tadi siang?” Mata Vania membulat sempurna, tidak ia sangka pemuda di hadapannya ini masih memikirkan hal itu. “Lalu?” Ia bertanya dengan suara nyaris tak terdengar. Meskipun sebenarnya ia sudah tahu jawabannya tanpa bertanya. “Kau harus menyelesaikannya tentu saja. Kau tidak berniat untuk lari, kan?” “Apa, tidak bisa kita lupakan saja hukuman itu?” “Kau pikir semudah itu? Kalian berdua, perlihatkan aku pertunjukkan yang menarik,” perintahnya pada dua orang pemuda di belakangnya. Vania was-was saat dua orang siswa mendekatinya perlahan, ia tak mengenali mereka yang ia tahu mereka memakai seragam yang sama dengannya. Tubuhnya sudah menempel sempurna di dinding, mau lari ke arah samping pun tidak bisa. Mengingat salah satu pemuda itu berada di sisi kiri dan satunya lagi di sisi kanan. Jadi yang bisa ia lakukan hanya pasrah dan menunggu apa yang akan dilakukan kedua pemuda itu padanya. Seseorang berpostur lebih gemuk merebut tas Vania, ia mulai membukanya dan mengeluarkan segala isinya dengan kasar. Vania mulai panik “Apa yang kalian lakukan?” Pemuda itu tetap saja meneruskan pekerjaannya, kemudian mulai menginjak buku dan peralatan sekolah milik Vania. Vania mencoba mendorongnya, namun seseorang mencengkeram tangannya dengan kuat membuatnya hanya pasrah melihat barangnya dirusak. “Hentikan!” Tubuh Vania bergetar, matanya mulai memanas, air mata sudah mengenang di pelupuk matanya. Nabil hanya duduk di depan pohon sambil menikmati pertunjukkan yang dilakukan oleh kedua pengikutnya itu. Tatapan matanya datar, bahkan saat pandangannya bertemu dengan Vania. “Hentikan, kumohon.” Isakan itu akhirnya keluar juga. Pemuda yang mencengkeram tangannya berbalik menatap Nabil, seolah bertanya melalui tatapan matanya. Ia merasa tak tega melihat tangis Vania. Melihat itu Nabil membuang muka ke arah lain, menghembuskan napasnya berat kemudian berbalik lagi menatap Vania yang tampak menyedihkan. Jujur ia merasa sedikit iba melihat gadis itu menangis sesenggukan apalagi itu karena ulahnya sendiri. Namun ia sudah terlanjur marah, akhirnya setelah berpikir panjang dan dengan berat hati ia akhirnya memberikan perintah agar mereka berdua menghentikan kegiatannya. “Sudah hentikan. Kita pulang saja.” Dia melirik sebentar ke arah Vania, tatapannya sinis. ”Dasar lemah. Baru begitu saja sudah menangis. Gadis sepertimu seharusnya sudah disingkirkan sejak dulu,” ujarnya datar kemudian berlalu begitu saja tanpa berniat menatap Vania sebelum pergi. Dua orang pemuda itu menurut, mereka mengikuti langkah Nabil meninggalkan Vania yang sudah menangis sesenggukan sejak tadi. Vania memunguti semua barangnya yang sudah rusak dan memasukkannya ke dalam tas. Setelahnya, ia kemudian bersandar di dinding, menekuk kedua lututnya dan membenamkan wajahnya di sana. Menangisi nasibnya yang menyedihkan, dan akan terus seperti ini di hari-hari berikutnya. *****

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Bukan Cinta Pertama

read
52.3K
bc

Suamiku Bocah SMA

read
2.6M
bc

MY ASSISTANT, MY ENEMY (INDONESIA)

read
2.5M
bc

PATAH

read
515.0K
bc

Will You Marry Me 21+ (Indonesia)

read
612.8K
bc

CUTE PUMPKIN & THE BADBOY ( INDONESIA )

read
112.3K
bc

Escape from Marriage - Kabur dari Derita Pernikahan Kontrak

read
256.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook