“Pak Daffa mau ke mana ya? Kok kelihatan terburu-buru gitu?” gumam Tia yang melihat kepergian Daffa.
Karena rasa penasarannya, Tia mendekati Jerry dan menanyakan tentang hal itu. Meletakkan nampan di meja sampingnya dan berjalan ke arah Jerry yang berdiri di samping meja kasir.
“Jer “ panggil Tia.
Mendengar namanya di panggil membuat Jerry mengalihkan pandangannya, “Ya?” sahut Jerry menatap Tia yang sudah berada di belakangnya dengan mata yang mengarah ke luar kafe.
“Itu pak Daffa mau ke mana? Kok kayak terburu-buru gitu?” tanya Tia.
“Oh itu, pak Daffa mau ke rumah sakit.” Jawab Jerry.
“Rumah sakit? Ngapain? Dia sakit atau jenguk orang sakit?” tanya Tia beruntun.
Sontak membuat Jerry menatapnya dengan kening sedikit berkerut, bukan rahasia lagi kalau Tia begitu kepo dan selalu ingin mengetahui banyak hal tentang pak Daffa. Karena sejak awal dia masuk kerja di kafe ini, sudah jelas jika dia suka dengan bos tampannya itu.
“Nggak tahu lah. Gue bukan emaknya yang harus nanya detail tentang apa yang dia lakuin.” Jawab Jerry meletakkan kertas dan bolpoin di meja kasir, kemudian segera meninggalkan Tia yang nggak akan pernah puas dengan jawaban Jerry.
Memilih untuk masuk ke toilet karyawan agar Tia tak lagi memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan soal pak Daffa. Tepat sebelum Jerry masuk ke dalam toilet, dia melihat jika Tia beralih bertanya ke Vera yang kebetulan ada di sampingnya.
‘Ckk.. dah ngerti pak Daffa sukanya ke siapa. Eh masih aja berharap.’ Batin Jerry geleng-geleng kepala melihat kelakuan temannya itu.
Sementara itu, Daffa tampak sedikit gelisah di dalam mobilnya. Tujuannya kali ini adalah rumah sakit tempat ibunya Jasmine dirawat. Dia sudah bertekad untuk menyampaikan niatnya menjalin hubungan dengan Jasmine di depan gadis itu dan ibunya. Karena Roy bisa melakukan apa pun untuk bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. Apalagi Daffa tahu jika Roy mempunyai pandangan yang berbeda saat menatap Jasmine waktu itu.
Meskipun raut wajahnya di tampak marah. Namun sorot matanya menampilkan arti yang berbeda. Entah itu hanya perasaan Daffa atau memang kenyataannya seperti itu. Daffa hanya berjaga untuk kemungkinan terburuknya.
Tak butuh waktu lama, mobil silver milik Daffa kini tam0ak memasuki area rumah sakit. Memarkirkan mobil kesayangannya di tempat parkir khusus roda empat. Tak lupa untuk menguncinya. Menatap jam yang melingkar di tangannya, pukul setengah tujuh malam. Masih ada waktu untuk menjenguk pasien.
Dengan langkah lebar, Daffa memasuki lobi rumah sakit dan menanyakan kamar atas nama Herawati pada petugas jaga di bagian administrasi.
“Permisi.” Ucap Daffa.
“Iya, Pak. Ada yang bisa kami bantu?” tanya petugas jaga di sana.
“Ruangan atas nama Herawati di mana ya, Mbak.?” Tanya Daffa.
“Sebentar ya, Pak. Saya cek dulu.” Jawab wanita berbaju putih itu sopan.
Kembali duduk di kursinya dan mulai mengetik di papa keyboardnya. Mencari nama dan ruangan pasien yang di maksud oleh Daffa. Beberapa detik kemudian, petugas itu kembali berdiri setelah mendapatkan apa yang dia cari.
“Pasien atas nama Ibu Herawati di rawat di ruangan VIP02 pak.” Jawabnya membuat Daffa tampak sedikit terkejut dan mengerutkan keningnya.
“VIP02?” ulang Daffa memastikan pendengarannya.
“Iya, Pak.”
Diam mencerna apa yang dia dengar. Beberapa detik kemudian Daffa kembali sadar dari lamunannya kemudian berlalu menuju kamar yang di infokan oleh petugas itu.
“Terima kasih ya, Mbak.” Ucap Daffa.
“Sama-sama, Pak.”
Berjalan melewati lorong-lorong yang terdapat banyak pintu di sisi kanan dan kirinya. Bangunan bernuansa putih dan berlantai tujuh itu tampak sedikit rame di bagian ruangan khusus anak-anak dan UGD. Rumah sakit ini adalah rumah sakit terbaik yang ada di kota ini. Pelayanan dan fasilitasnya sudah lengkap dan menjadi rujukan dari berbagai rumah sakit besar lainnya.
Hingga lima belas menit kemudian, Daffa belum bisa menemukan ruangan yang dia cari. Lelah dan bingung harus mencari ke mana lagi ruangan tersebut. Mendudukkan pantatnya ke kursi besi yang berada di dekatnya. Mengusap wajahnya kasar hingga menyugar rambut hitam lebat miliknya. Menengadahkan wajah tampan yang tampak kelelahan itu tanpa membuka mata.
Bertahan pada posisi tersebut untuk beberapa menit. Sampainya akhirnya dia dikejutkan dengan tepukan di bahunya di iringi gerakan di samping kursinya. Membuat dia segera membuka mata. Detik kemudian mata Daffa tampak sedikit melebar saat mengetahui siapa yang menepuk bahunya.
“Roy?” ucap Daffa.
Ya, yang menepuk bahu Daffa adalah Roy. Roy yang kali ini tampak begitu tampak dengan gaya kasualnya. Celana jeans hitam dengan kaos putih polos di lapis oleh jaket hitam yang membuat penampilannya jauh berbeda dari biasanya. Sengaja Roy memakai pakaian seperti itu untuk menyamarkan identitasnya. Apalagi dia ke sini untuk mengantar Jasmine.
“Ngapain loe di sini?” tanya Roy mengalihkan tatapannya dari wajah terkejut Daffa ke tembok di depannya.
“Gue... gue mau jenguk ibunya Jasmine. Katanya di rawat di rumah sakit ini.” Jawab Daffa yang tampak sedikit ragu saat menjawabnya.
Ikut mengalihkan pandangannya ke arah tembok yang tepat berada di depan mereka. Di lorong tersebut hanya ada beberapa orang yang lewat. Bahkan selama sepuluh menit mereka saling diam hanya ada sepasang suami istri yang tampak lewat di depan mereka.
“Oh iya... mumpung kita ketemu. Gue mau bilang sesuatu sama loe.” Ucap Roy tiba-tiba.
“Bilang apa?” tanya Daffa.
Roy membenarkan posisi duduknya, sedikit menggeser punggung tegap miliknya yang mulai pegal terkena kursi besi itu. “Mulai besok, Jasmine akan bekerja sama gue. Dan gue harap loe nggak keberatan dengan hal ini.” Ucap Roy.
Mendengar itu sontak membuat Daffa menoleh, menatap ke arah Roy yang sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari tembok tak bernyawa di depannya.
“Maksud loe apa?” tanya Daffa sedikit tak terima.
Roy menoleh, “Gue sama karyawan loe itu punya perjanjian dan hasil perjanjiannya, dia harus bekerja sama gue selama tiga bulan.” Jawab Roy dengan wajah datarnya.
“Dia karyawan gue, Roy.” Balas Daffa sedikit menaikkan nada bicaranya. Menandakan jika dia tak terima dengan apa yang di sampaikan oleh Roy.
Baginya Jasmine adalah penyemangat dan roket motivasi untuk karyawan yang lain agar lebih baik lagi dalam bekerja. Apalagi, niat dia datang ke mari untuk meminta izin kepada orang tua Jasmine untuk menjalin hubungan dengan anak gadisnya. Agar Daffa lebih mudah untuk menjaga Jasmine dari sosok pria jomblo berstatus kawan di depannya ini.
“Loe bisa tanyakan hal itu ke dianya langsung.” Jawab Roy melirik ke arah samping.
Daffa mengikuti arah lirikan mata Roy, dan kembali di kejutkan dengan datangnya seorang gadis yang membuat dia tak tenang seharian ini.
Di ujung lorong, Jasmine berjalan santai menuju ke arah dua pria tampan yang duduk di kursi besi depan kamar VIP08. Ya, sebenarnya Daffa sudah berada di deretan kamar yang mana salah satunya adalah kamar rawat ibunya Jasmine. Namun, karena di terlalu banyak pikiran membuatnya hilang fokus dan berakhir duduk termenung di kursi itu hingga Roy datang menyadarkannya.
“Pak Daffa.” Sapa Jasmine tersenyum manis.
“Malam, Jasmine.” Jawab Daffa berdiri dari duduknya dan berdiri berhadapan dengan gadis yang berhasil mencuri hatinya sejak awal mereka bertemu.
“Malam, Pak. Bapak ke sini jenguk siapa?” tanya Jasmine sopan.
Daffa menaikkan kedua alisnya, lalu tersenyum hangat. “Tadinya mau jenguk ibu kamu. Tapi lupa di mana kamanya.” Jawab Daffa.
“Hmm.. kamar rawat ibu di ruangan VIP02, Pak. Sebelah sana.” Jawab Jasmine memutar tubuhnya ke belakang dan menunjuk ke arah dari mana dia datang tadi.
Mendengar jawaban Jasmine membuat Daffa mengikuti arah telunjuk Jasmine, detik kemudian dia mengalihkan pandangannya di setiap pintu yang ada di sekitarnya. VIP 04, VIP 05, VIP 06, VIP 07, VIP 08, VIP 09, dan VIP 10.
Baru sadar jika dari tadi dia sudah berada di lorong ruangan VIP. Hanya saja dia duduk di depan kamar VIP 08, sedangkan kamar rawat Wati berada di VIP 02 yang terletak di ujung lainnya.
“Hmm... eh.. iya iya.” Jawab Daffa menyembunyikan rasa malunya di depan sang pujaan hati.
Dan tanpa mereka sadari, mereka berdua melupakan sosok lain yang tengah merasakan rasa tak nyaman yang mulai mengusil dari dalam dirinya. Berusaha untuk tetap tenang dan diam menyimak apa yang kedua orang yang kini tengah berdiri di depannya ini. Namun, semakin lama rasa tak enak itu semakin mengusiknya.
“Ehemm..”
Mendengar deheman Roy, membuat kedua orang yang tengah asyik mengobrol itu pun kompak menoleh ke arah samping.
“Orangnya ‘kan udah ada, loe tanya sendiri tentang apa yang kita bahas tadi.” Ucap Roy dengan tangan bersidekap di depan dadda bidangnya.
Jasmine tampak mengerutkan keningnya, bingung dan tak paham dengan apa yang di katakan oleh Roy. Sedangkan Daffa kini menghela nafas panjang dan berat. Lalu kembali mengalihkan pandangannya ke arah Jasmine.
“Jasmine.” Panggil Daffa.
Jasmine menoleh, “Iya, Pak.” Jawab Jasmine sedikit menganggukkan kepalanya.
“Tadi Roy bilang, katanya mulai besok kamu akan bekerja dengannya. Apa itu benar?” tanya Daffa membuat Jasmine sedikit terkejut.
Mengalihkan pandangannya ke arah Roy yang sama tengah menatapnya. Detik kemudian Roy menaikkan sebelah alisnya, mengkode Jasmine untuk mengatakan apa yang sudah mereka bahas sebelum berangkat ke rumah sakit tadi.
Jasmine menghela nafas sejenak, lalu kembali menatap ke arah Daffa yang sudah menunggu jawaban kebenaran dari Jasmine.
“Maaf, Pak. Yang di katakan Pak Roy benar. Mulai besok saya akan bekerja dengan pak Roy selama tiga bulan untuk mengganti semua biaya pengobatan ibu yang sudah pak Roy berikan.” Jawab Jasmine tak enak hati.
Bukan lagi terkejut, tapi Daffa benar-benar kaget mendengar jawaban Jasmine. Keningnya berkerut dalam dengan tatapan yang masih tertuju ke wajah cantik di depannya. Bagaimana tidak, selama ini Jasmine sudah banyak berkorban dan berjuang demi kesembuhan ibunya. Dan Kali ini dia harus kembali berjuang dengan bekerja dengan pria yang terkenal tak berperasaan di sampingnya ini.
Ingin rasanya melarang Jasmine untuk hal ini. Tapi, Daffa sadar dia bukan siapa-siapa bagi Jasmine. Menatap bergantian ke arah Roy dan Jasmine. Hingga beberapa saat kemudian Daffa tampak menghela nafas berat.
“Iya, Gak papa.” Jawab Daffa pasrah walau hatinya berkata sebaliknya.
“Terima kasih, Pak.” Ucap Jasmine tersenyum lega.
“Sama-sama.” Jawab Daffa membalas senyuman Jasmine.
"Hmm.. oh iya Pak. boleh saya minta tolong ke bapak?" ucap Jasmine membuat Roy dan Daffa menetapnya bersamaan.
"Tolong rahasiakan hal ini dari ibu. Saya nggak mau jika ibu tahu tentang hal ini." pinta Jasmine dengan tatapan penuh harapan.
Roy dan Daffa saling pandang untuk beberapa saat. Hingga mereka berdua kompak mengangguk untuk mengabulkan permintaan Jasmine guna merahasiakam hal ini dari ibunya.
"Baiklah. Saya tidak akan bicara apa pun ke ibu kamu. Saya akan menganggap kamu masih bekerja di kafe saya." jawab Daffa tersenyum manis.
"Terima kasih, Pak." ucap Jasmine senang.
"Sama-sama." jawab Daffa.
"Hmm.. boleh saya temui ibu kamu ?" tanya Daffa kepada Jasmine.
"Boleh, Pak. tapi saat saya masuk tadi ibu sedang tidur." jawab Jasmine. "Kalau sekarang mungkin sudah terbangun karena waktunya minum obat." sambung Jasmine melihat jam yang melingkar di tangannya.
"Mari pak. saya antar ke ruangan ibu." sahut Jasmine memberi jalan untuk Daffa.