”Siapa yang datang, Bang?” tanya Tiwi sekali lagi karena pertanyaannya tidak dijawab oleh Wendi.
“Bukan siapa-siapa. Orang nanya alamat doang. Udah lah, kamu beresin Caca sama Koko aja sana!” jawab Wendi yang tampak gugup dan berusaha mendorong pintu rumah agar tertutup lagi.
Tiwi jelas tidak percaya begitu saja karena dia melihat raut ketegangan di wajah suaminya. Namun, Tiwi enggan mencari masalah lagi dengan Wendi dan berusaha untuk patuh agar Wendi senang.
“Ya udah kalau gitu, Bang.”
“Eh, tunggu Mba! Kamu istrinya mas Wendi?” tanya sebuah suara wanita di luar sana, dan mendorong pintu hingga tubuhnya masuk ke dalam rumah.
Tiwi mengurungkan niatnya untuk berbalik dan pergi dari sana. “Iya. Kok kamu bisa tau? Dan ... lancang banget kamu masuk ke rumah orang tanpa izin!” tegur Tiwi yang melihat wanita cantik itu sudah berada di dalam rumahnya.
“Aku memang sengaja datang ke sini dan mau ngeliat istri dari kekasihku. Yang katanya udik dan lebih mirip seperti seorang pembantu dari pada istri seorang GM.” Wanita yang bernama Karin itu berkata dengan nada merendahkan dan menatap Tiwi dengan sinis.
“A-apa yang kamu katakan?” tanya Tiwi gugup dan merasa tidak nyaman dengan ucapan Karin.
“Siapa dia, Bang? Kenapa dia bicara seperti itu? Abang kenal sama dia? Kok dia bisa ngatain aku seperti itu dan Abang diam aja? Tadi katanya hanya orang nanya alamat!” ucap dan tanya Tiwi pada Wendi beruntun karena perasaannya mulai tidak nyaman.
Wendi yang merasa gugup, sungguh memang hanya bisa diam saja sejak tadi. Dia tidak menyangka kalau Karin memang sangat nekat meski dia sudah mencegah dan melarangnya melakukan semua itu.
Karin sendiri adalah sekretaris Wendi di tempat kerja dan mereka memang sudah menjalani hubungan terlarang beberapa bulan belakangan ini. Status Karin sendiri adalah seorang janda beranak satu dan ia yang mencari nafkah untuk menghidupi anaknya.
“Mas! Kamu nggak mau ngenalin aku sama istri kamu? Aku yang ngenalin diri sendiri nih ceritanya?” tanya Karin dengan kata yang menyudutkan Wendi.
“Bang!” panggil Tiwi pula yang tak ingin posisinya dikalahkan oleh wanita asing yang masuk nyelonong ke dalam rumahnya.
Wendi yang sudah merasa frustasi dengan tekanan dari Karin dan juga Tiwi secara bersamaan akhirnya mengacak rambutnya dengan kasar dan kemudian berteriak dengan kasar.
“Dia ini pacar aku! Namanya Karin dan dia sekretaris di tempat kerja aku. Puas kamu sekaranag?” tanya Wendi dengan emosi tinggi kepada Tiwi.
Dug ....
Jantung Tiwi seakan ingin copot dari tempatnya karena mendengar pengakuan besar dari suaminya itu.
“Pa-pacar, Bang? Maksudnya ... A-Abang selingkuh?” tanya Tiwi dengan tergugup dan berusaha menahan tangisnya agar tidak meledak saat ini.
“Bukan selingkuh, Mba Tiwi Sayang. Mas Wendi itu udah muak sama kamu! Istri rasa babu! Mending aku, dong. Sektretaris rasa istri dan dibawa ke mana juga nggak malu-maluin kayak kamu!” ungkap Karin yang dengan sengaja mengambil alih jawaban Wendi agar bisa membuat Tiwi lebih merasa down lagi.
“Diam kamu, Jalang! Aku sedang bertanya pada suamiku, bukan padamu!” bentak Tiwi kepada Karin dengan emosi yang meluap tinggi.
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Tiwi yang sebenarnya masih sangat mulus dan terawat, karena memang pada dasarnya Tiwi adalah wanita cantik dan berkelas.
“Kamu nampar aku, Bang?” tanya Tiwi tak percaya dan satu butir air matanya lolos dari pertahanan.
“Jaga bicara kamu pada Karin! Jangan asal menyebutnya seperti itu. Kamu tuh harusnya bisa melihat dan bercermin dari Karin. Dia itu cantik dan seksi, bisa membuat pandanganku jadi enak dan segar. Dia juga pandai melayani aku dalam segala hal! Nggak seperti kamu yang hanya sibuk dengan anak dan anak setiap waktu!” jawab Wendi tegas dan merendahkan harga diri Tiwi di depan wanita kedua dalam hidupnya itu.
Hati Tiwi terasa sangat teriris sekali mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Wendi kepadanya itu. Ia tidak menyangka, teganya Wendi mengatakan semua itu kepadanya dan di depan wanita yang tampaknya sangat berpotensi besar menghancurkan rumah tangganya.
“Oh. Jadi, karena w************n ini sikap kamu berubah, Bang? Semua yang kamu bilang itu hanya alasan semu dan yang sebenarnya adalah kamu tergoda dengan bujuk rayu wanita jalang itu. Memang, dia belum sukses menjadi jalang kalau belum berhasil menggoda suami orang dan menghancurkan rumah tangga orang lain!” sindir Tiwi yang tentu saja tidak mau kalah dan terlihat lemah di depan sepasang kekasih tak tahu malu itu.
“Dan satu lagi, Bang. Apa tadi kamu bilang? Dia bisa memberikan kamu segalanya? Termasuk pelayanan di atas ranjang juga, dong?” tanya Tiwi melanjutkan pembahasannya.
“Itu bukan urusan kamu!” jawab Wendi ketus.
“Aku bukan wanita jalang seperti yang kamu bilang. Jaga bicara kamu, Mba!” bantah Karin pula dengan sinis dan marah.
“Bukan? Lalu, apa sebutan untuk wanita seperti kamu? Wanita baik-baik nggak akan ada yang menggoda suami orang! Ingat itu, Karin!” ucap Tiwi dengan tegas kepada Karin dengan tatapan menusuk dan sesaat membuat Karin tercengang.
Ia tidak menyangka jika ternyata wanita yang biasanya selalu dibilang lemah dan lembek oleh Wendi kepadanya itu, ternyata adalah wanita yang kuat dan tangguh. Dia tidak terlihat seperti wanita cengeng dan manja sama sekali.
“Sebaiknya, kamu urus selingkuhan kamu ini, Bang! Suruh dia pulang dan jangan pernah datang lagi ke rumah ini. Atau aku akan melaporkan pada RT agar dia digiring dan mendapatkan malu. Abang jangan lupa, bahwa sekarang zaman sudah canggih!” ancam Tiwi dan berbalik dari tempatnya berdiri, ia sudah tidak sanggup berada di sana lagi sekarang.
“Heh! Jangan mengancamku! Kamu nggak akan bisa melakukan itu, karena kamu juga akan malu dan dihina orang sebagai istri yang tidak becus melayani suami!” teriak Wendi pada Tiwi yang sudah melenggang pergi meninggalkannya dengan Karin di sana.
Tiwi mendengar ucapan Wendi, tapi ia memilih untuk tidak lagi menanggapinya. Ia masuk ke kamar utama dan menguncinya dari dalam. Ia menumpahkan semua tangisnya di sana karena sudah tidak kuat lagi menahan semuanya. Caca ikut menangis dan kemudian Tiwi mengASIhi Caca hingga mereka berdua tertidur.
Malam itu, Tiwi terbangun dan tidak bisa tenang karena si kembar selalu rewel. Sementara Wendi tidak mau bangun untuk membantunya. Sudah beberapa kali Tiwi mencoba membangunkan dan meminta tolong pada Wendi, tapi lelaki itu kembali tidur bahkan ia pindah ke kamar bermain anak-anaknya karena merasa terganggu dengan suara berisik si kembar yang terus menangis.
Sikap Wendi itu juga seolah tidak menunjukkan rasa bersalahnya atas apa yang terjadi tadi sore. Wendi bahkan tidak meminta maaf atau berkata apa-apa kepada Tiwi untuk menjelaskan segalanya agar bisa Tiwi pahami di mana letak kurangnya dia dan apa yang harus ia rubah agar Wendi tidak melirik wanita lain lagi.
“Ya ampun, Bang. Kenapa kamu seperti ini sama aku? Padahal si kembar ini anak kamu juga,” gumam Tiwi dengan nada sendu.
Saat Tiwi akan menggendong Caca ia merasa bahwa perut Caca sangat keras dan sepertinya itu adalah karena kembung atau masuk angin. Tiwi sangat cemas sehingga ia memutuskan untuk membawa kedua anaknya ke klinik terdekat dari tempat tinggalnya saat ini.
Kebetulan ada klinik yang buka selama 24 jam di sekitar komplek itu dan meski Tiwi belum pernah datang ke sana, Tiwi sering melihatnya saat keluar masuk jalan ke rumahnya. Tiwi memberanikan diri membawa mobil Wendi dan meletakkan kedua bayinya yang terus saja menangis di dalam tempat duduknya di kursi belakang.
“Sabar, Sayang. Bentar lagi kita sampai kok,” ucap Tiwi berusaha menenangkan si kembar meski di sendiri masih dilanda kepanikan saat ini.