Chapter 5

1439 Words
"Assalamualaikum, hehe maaf ya telat." Safira tiba dengan wajah memerah, seperti habis lari maraton. "Waalaikumsalam.." Jawab yang lain kompak. "Aura surga banget ya liat Safira, beda sama Ariana. Bawannya pengen nyebur neraka terus gue." Celetuk David yang dihadiahi cubitan pedas level ekstra oleh Ariana. "Disodorin surga gue juga mingkem lu!" Balas Ariana dengan tatapan sadis. Safira bercipika cipiki dengan Ariana dan Inne. Menjabat tangan David dan Gilang. Kelima sahabat itupun larut dalam perbincangan seru yang dalam empat bulan tertahan karena kesibukan pekerjaan masing-masing. Terlebih Ariana, yang paling hectic belakangan ini. Ariana sempat melirik Gilang dan Safira yang sedikit canggung pasca gagalnya hubungan mereka. Pasalnya, Gilang sudah lama memendam perasaan pada Safira, hingga di waktu yang tepat untuk serius dalam berhubungan, Gilang pun berniat melakukan pendekatan secara intens dengan gadis berhijab putih itu. Namun, tak disangka ajakan Gilang untuk menikah ditolak sang gadis mentah-mentah dengan alasan perbedaan prinsip. Gilang seorang seniman senirupa, creative designer yang juga kerap mengeksplorasi sisi sensualitas wanita. Itu yang membuat Safira tidak bisa menerima Gilang. Kalau Gilang rela melepas profesinya dan mengalihkan kreatifitasnya untuk mengeksplorasi hewan atau alam liar, Safira mungkin mau diajak nikah. Ya soal prinsip sih ya, sensitif. Meski Ariana paham betul, bahwa pekerjaan Gilang didasari seni dan bakat alam. Secara kepribadian, Gilang masih lebih kalem dan dewasa dibanding David yang sangat terbuka mengenai aktifitas seksualnya. Gilang tipe yang talk less do more. Tidak banyak berkata m***m, tapi langsung menggambarkannya secara detail. Tapi sekali lagi, itu seni dan bakat lahiriah. Yang tidak bisa disalahkan. Tiba-tiba Safira mengagetkan mereka, "Gaes, aku dijodohin abah." Katanya dengan pipi bersemu merah yang membuatnya terlihat semakin cantik menggemaskan, di mata Gilang. Dengan kompak Ariana, David dan Inne melirik Gilang. Yang dilirik terlihat menelan ludah dengan sulit dan surprise, "Siapapun calonnya, semoga lancar semuanya ya Fir." Ucapnya dengan tulus, Fira mengangguk dan mengucapkan terima kasih. David berdeham. "Wah pecah telor juga genk bang, kalau Fira jadi kewong!" Seru David, Ariana menepak kepalanya asal. "Nikaaaahh, emang eluh kawin terooss." Cela Ariana dengan sadis, disambut tawa yang lain. "Haalaaah, kayak yang enggak aja lu!" Balas David tidak mau kalah. Dan terjadilah perang mulut yang lebih heboh dari berita akun lambe turah itu. Membuat seisi kafe steak melihat keributan tak berfaedah Ariana dan genknya yang rusuh abis. Inne dan Safira ikut Ariana pulang ke apartemennya, Inne ingin melepas rindu sambil curhat-curhat tidak mutu tentang gebetannya yang sudah empat tahun dilirik tapi masih belum menampakan pergerakan untuk menembak gadis berbobot 85kg berkulit putih mulus bagai porselen itu. Sedangkan Safira tampak bimbang dengan pilihan abahnya, maka dari itu dia butuh saran kedua sahabat perempuan. Ariana menyerahkan kunci apartement-nya pada Inne, mempersilakan gadis cantik nan tambun itu naik lebih dulu dengan Safira. Dia hendak membeli stok makanan, karena jika ada putri duyung di rumahnya maka kulkas harus tersedia penuh untuk sang putri. Inne mengangguk patuh dan menggandeng Safira untuk naik lift. Dibukanya pintu minimarket 24 jam, matanya langsung menyapu rak-rak display jajanan. Setelah keranjangnya penuh, Ariana pun mengantri di kasir untuk membayar. "Ariana?" Suara seorang pria menyapanya, gadis itu menoleh dan mendapati Anka dengan kemeja biru muda yang terlepas kancing atasnya, tanpa dasi. Rambut yang tengah acak-acakan dan wajah lelah kiyut minta dikelonin itu. Demi apa, ada yang berkedut di bawah perut rata Ariana saat melihat wajah Anka. "Bapak tinggal disini juga?" Ariana mengumpulkan kesadarannya. "Iya, baru pindah hari ini." Jawabnya. Ariana maju dan menyerahkan belanjaannya ke kasir, Anka meletakkan keranjangnya juga. "Sekalian saja, Mbak!" Komandonya, tegas. "Eehh enggak usah Pak..." Anka segera mengeluarkan kartu debit berwarna gold dan menyerahkannya ke kasir. Tidak mempedulikan protes keberatan Ariana. Duilee, belanjanya banyakan guweh padahal, jerit batin Ariana happy. Setelah keluar, Anka menenteng pula belanjaan Ariana. "Tower apa?" "Delta. Bapak?" "Anka saja deh kalau di luar, usia saya cuma beda beberapa tahun dari kamu." Ariana mengangguk. "Sama, lantai berapa?" Ariana menoleh kaget, "eerrr...19." Anka melangkah ke lift dan memencet tombol naik, "unit berapa?" tanyanya lagi, sambil mengamati pergerakan lampu berwarna hijau yang menandakan keberadaan lift yang mereka tunggu. "2088." Ariana menelan ludah dengan kasar. Gimana bisa dia satu tower sama bos. Ganteng. Single. Bobo-able. Mimpi apaa eike semalem, awwww... "Hmmm, kita tetanggaan." Anka membuang napas pelan, seolah tidak ikhlas banget jadi tetangga Ariana. Ariana melirik galak, bibirnya cemberut. Padahal di kepalanya sudah tergambar ide-ide untuk sok-sok nebeng pulang bareng dengan Anka, atau terjebak di lift bersama. Pikiran-pikiran nakalnya buyar melihat ekspresi terluka-kesel-kok-begini-amat-nasib-gue-yah nya Anka. Padahal suwer, walau belum mandi Ariana yakin cukup bisa menggoda bossnya itu. Aah, kayaknya Anka beneran belok deh, batinnya kecewa. "Kok pulang cepet? Kesorean banget kalau habis dugem." Anka mengajaknya ngobrol lagi, lift mereka mandek di lantai 12 cukup lama. "Yee, siapa yang bilang habis dugem." Jawab Ariana sewot. "Oh!" Ariana lemah deh sama makhluk ganteng macam Anka yang minta banget ditarik ke kamarnya ini. Ariana seketika inget Inne dan Safira. Sedikit menyesal, harusnya ia tolak saja tadi duyung satu itu. Kali aja Ariana bisa pura-pura kebocoran gas terus minta tolong Anka, hihihihi Ariana tertawa sendiri membayangkan ide tololnya demi bisa membuka kancing baju Anka. "Ada yang lucu, Ariana?" Anka menegurnya, dia sudah masuk dalam lift yang tidak disadari kedatangannya oleh Ariana. "Kebetulan ini, lucu." Jawab Ariana kalem. Anka menatap tak acuh, namun dadanya berdesir melihat celah di atas kancing blouse Ariana yang sedikit terbuka. Dialihkan tatapannya ke angka digital di atas pintu lift. *** Ariana tengah mematut dandanannya di cermin saat ponselnya berdering nyaring, ringtone khusus panggilan dari mama. "Halo, Mah..." "Yang, Sabtu ini ke Lombok yah. Pulang minggu, Mamah pesenin tiket nih." "Yah Mah, tunggu kerjaan dulu deh ya. Tau sendiri, bos aku tuh ganteng-ganteng tapi kelakuan kayak setan, suka tau-tau ngasih tugas dadakan. Lemburan tak berbayar.." "Yaelah, yaudah kabarin Mamah kalau bisa jalan yah!" "Iyah Mams cancikk akuh, uncchh.." "Heemm, alay deh Ariana..." klik. Mama memutuskan sambungan, Ariana tertawa sendiri sambil melihat ponselnya. Saat mengunci pintu apartemen, dari sudut matanya Ariana melihat pintu kamar tempat tinggal Anka. Pria itu tengah berdiri di pintu sambil menelpon. Jarak kamar Anka berbeda 2 pintu dari kamar Ariana. Oh Jakarta sungguh sempit ternyata. Suara bariton Anka yang rendah terdengar seratus kali lebih seksi di telinga Ariana. Masih pagi, Ar! Ia memarahi pikiran nista-nya sendiri. Saat berdiri menunggu lift, langkah kaki Anka mendekat. "Ka, nanti makan siang bareng ya!" Teriakan seorang perempuan membuat Ariana sontak menengok, dari kamar Anka berdiri seorang perempuan cantik berambut panjang yang masih mengenakan piyama handuk. Anka yang berdiri tak jauh di belakangnya mengangguk mengiyakan ajakan perempuan itu. Ariana melangkahkan kaki ke dalam lift, diikuti Anka yang membetulkan letak dasinya. "Pagi Ar!" Sapanya, kaku. Ariana tidak tau kenapa Anka harus bersikap kaku, apakah ia malu kepergok oleh karyawannya sekamar dengan perempuan itu? "Pagi juga Ka!" Ariana menjawab dengan senyum. Ariana membuka ponselnya, yang mendapatkan pesan dari Greg. Greg : Rabu aku sampai, see you when i see you. Kangen berat deh. Me : Oke babe, kangen kamu juga. "Bareng yuk!" Ajak Anka sambil ngeloyor pergi keluar dari lift dengan langkah panjangnya. Ariana mengejarnya pelan, kali ini ia menggunakan sepatu dengan heels 3 senti. Lebih manusiawi diajak lari, seperti moment saat ini. Di mobil, Anka memutar radio, Ariana mendadak mati kutu. Entah kenapa, sikap Anka yang dingin menggemaskan ini membuatnya tak berkutik untuk sekedar mengajak ngobrol apalagi menggodanya. Padahal dengan ayah pria ini saja, Ariana kerap mengajaknya bercanda receh. Anka tuh tipikal pria galak yang kharismatik, yang kalau jutek itu tidak bikin kesel malah bikin gemes. Tapi tipe gemesin yang Ariana tidak berani sentuh, dia tidak mau main-main dengan pria ini, yang berpotensi membuatnya kehilangan mata pencarian. "Kamu tinggal sendiri?" Anka membuka percakapan setelah mobil mereka keluar kawasan apartement. "Iya, kamu? Sama pacarmu tadi?" "Sshh.." Anka tertawa kecil, "enggak ada ikatan!" Lanjutnya singkat. "Mmm." Friends with benefit juga dia, Ariana melirik Anka yang rambutnya masih basah. Mungkin habis keramas dia pagi ini, pandangannya turun ke hidung Anka yang bangir minta dijentik manja, lalu ke bibirnya yang penuh dan tampak serasi dengan hidungnya. Berhenti di leher panjang Anka dengan jakun yang menonjol jantan. Tanpa sadar Ariana merapatkan pahanya pelan. Duh, efek dianggurin Greg selama tiga minggu nih. Ariana menutup matanya dan mengusir khayalan sialan tentang bobo enak dengan bos gantengnya ini. "Rabu, kamu ikut saya ke Bali ya Ar!" Suaranya tegas, memerintah. "Berapa hari, Ka?" "Kembali Sabtu malam." Saat ayahnya yang masih memimpin, tugas – tugas seperti ini AM tidak turun menangani. Namun, karena Vanya yang notabene sekretaris ayahnya harus stand by di kantor, Anka mendapatkan inspirasi bahwa AM yang memegang project itulah yang harus bertanggung jawab. Jadi sebagai b***k pencari nafkah, Ariana hanya bisa mendesah pasrah mengikuti peraturan baru bos mudanya ini. Dikirimnya pesan ke mama yang baru saja mengajaknya weekend-an bersama. Me : Mah, aku tugas ke Bali hari Rabu. Balik Sabtu . •••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD