Seorang pria baru saja keluar dari jet pribadi-nya, ia melepas kacamata hitam yang membingkai wajahnya dan tersenyum saat beberapa orang membungkuk hormat di depannya. Namanya Vicente George Avrilian, seorang pengusaha perkebunan sawit dan pertambangan batu bara. Vicente berumur tiga puluh tahun, seorang b******n dan juga pria keras kepala. Setelah kematian kedua orang tuanya, dia mewarisi semua kekayaan keluarga. Terlahir sebagai seorang anak tunggal, hidupnya juga begitu sempurna.
Vicente baru saja tiba di kota Pontianak, ia terbang dari jakarta dan memenuhi jadwal kerjanya untuk mengawasi perkembangan kebun sawit di daerah kota Sintang, Kalimantan Barat. Vicente melangkah dengan angkuh, beberapa orang di belakangnya menyeret koper penuh barang-barang keperluannya. Ada pakaian, tentu juga dokumen-dokumen penting. Ia menggunakan jet pribadi, tidak tertarik untuk menggunakan pesawat milik negara.
"Tuan, maaf kami terlambat menjemput Anda." seorang pria dengan jas hitam membungkuk, ia adalah bawahan Vicente.
"Tidak masalah, bagaimana dengan hotel dan juga keperluan saya selama di tempat ini?" tanya Vicente.
"Jet pribadi Anda bisa mendarat di bandara Sungai Tebelian Sintang. Dari sana, kita bisa menggunakan mobil untuk mencapai daerah perkebunan sawit."
"Bagus, sekarang saya perlu istirahat. Ah yah, bagaimana dengan mereka?" tanya Vicente.
"Nona Muda baru saja masuk ke taman kanak-kanak, sedangkan Nyonya Stefanny bekerja di salah satu perusahaan. Mereka menyediakan bahan makanan dan banyak keperluan masyarakat."
Vicente tersenyum, ia melanjutkan langkahnya. Dia adalah mantan suami Stefanny, mereka bercerai lima tahun lalu. Dia juga tak akan melepaskan Stefanny semudah itu, ia akan berusaha merebut istrinya kembali.
Tak berapa lama, suara ponsel terdengar. Pria itu meraih ponsel yang ada di saku celananya, menatap datar layar ponsel lalu melemparkan ponsel itu ke belakang. Ia tak sudi menjawab panggilan itu, cukup sudah ia terkekang dan ia akan mengejar apa yang seharusnya ia miliki.
Perceraiannya dengan Stefanny hanya sebuah salah paham, orang tuanya sangat membenci Stefanny. Bukan karena wanita itu berasal dari kalangan bawah, atau Stefanny wanita jalang yang hadir di hidupnya. Semua terjadi karena ketidak sabaran orang tuanya. Menginginkan cucu, dan menyudutkan Stefanny yang belum juga bisa mengandung kala itu.
Mereka tinggal di Australia, negara kecil yang sering disebut sebagai negara kangguru. Vicente masuk kedalam mobilnya, ia menatap supir yang sedari tadi menunggu dan memerintahnya untuk segera melajukan kendaraan itu.
"Desa Kapur, komplek AG Permai, rumah nomor D-4!" titah Vicente.
"Baik, Tuan."
…
Waktu menunjukan pukul enam pagi, Stefanny bersiap untuk berangkat dan mengantar Sava ke sekolah. Wanita itu menatap jam tangan yang melingkar di tangannya, sedari tadi, ia menunggu Sava dengan tenang di ruang tamu. Wanita itu bersandar, ia menatap ke arah anak tangga dan tidak ada tanda-tanda sang pengasuh akan membawa anaknya keluar.
"Dina!" panggil Stefanny, ia bisa terlambat ke kantor jika terus begini. Wanita itu meraih kunci mobil, lalu keluar dari ruangan itu. Ia menatap halaman depan, baru saja hujan reda.
"Mbak, Sava demam Mbak." Dina yang sedari tadi berada di kamar Sava akhirnya keluar, ia merasakan suhu tubuh Sava sangat panas.
"Kok kamu nggak bilang dari tadi?" tanya Stefanny.
"Tadi, sebelum mandi Sava-nya baik-baik aja Mbak. Ini dia menggigil, sebaiknya kita ke rumah sakit." Dina hampir saja menangis, ia begitu khawatir dengan keadaan Sava. Rasa sayang di hatinya sudah mendarah daging, ia begitu mencintai dan menganggap Sava juga anaknya.
"Kamu, siapin barang-barang Sava. Mbak telfon bos dulu, bilang kalo nggak bisa masuk kerja."
"Iya, Mbak." Dina segera pergi, ia menaiki anak tangga dengan terburu.
Setelah Dina pergi, Stefanny segera menghubungi Rifky, ia juga menghubungi guru di tempat anaknya bersekolah. Wanita itu duduk dengan tenang, ia menatap beberapa berkas dan meminta salah satu bawahannya untuk datang ke rumah dokter langganannya.
"Mbak, barangnya udah siap." Dina terlihat sibuk, ia menggendong Sava dengan satu tangan yang membawa tas kecil.
Stefanny meraih tubuh anaknya, dia memeluk anak itu dan merasakan suhu badan Sava sangatlah panas, "Din, bawain tas Mbak. Skalian, tolong konci mobilnya bawa sini. Jangan lupa, konci semua rumah dan pagar."
"Iya Mbak," jawab Dina sambil memberikan kunci mobil yang ada di atas meja kaca.
Setelah mendapatkan kemauannya, Stefanny segera keluar. Ia menekan remot yang terhubung pada kunci mobilnya, lalu bergegas memasukan Sava ke dalam sana. Tersenyum, wanita itu juga masuk. Ia menunggu Dina membuka pagar.
Perjalanan dimulai, Stefanny mengendarai mobil dengan pelan, ia terlihat berhati-hati dan menaati aturan lalu lintas. Sebisa mungkin, ia tidak panik. Wanita itu menatap kaca spion, bisa di lihatnya satu mobil dengan warna hitam pekat mengikuti mobilnya. Tak ingin curiga, ia hanya diam saja.
"Mbak, apa sakitnya Sava kambuh lagi ya?" tanya Dina. Ia merasa bosan sedari tadi hanya diam dan tidak bicara.
"Nggak mungkin DBD, Din. Mungkin Sava cuma demam biasa, kita priksa aja dulu. Mbak udah janjian ama Dokter Neli, jadi kita bisa cepat bawa Sava." Stefanny tersenyum, "nanti, kamu beli makan dulu ya. Sarapan, kasian kamu belum ngisi perut dari bangun jam lima tadi."
"Iya Mbak," jawab Dina.
Setelah perbincangan kecil itu, mereka semua terdiam. Dina yang hanya menatap keluar jendela, Sava yang tertidur, sedangkan Stefanny yang berkonsentrasi mengendarai mobilnya.
Tujuan Stefanny bukanlah rumah sakit, ia menuju rumah dokter yang biasa menangani Sava sejak bayi dan selalu bisa menjadi penolong untuk anaknya dengan cepat. Mobil Stefanny memasuki kawasan Sungai Raya Dalam, ia berbelok ke salah satu komplek dan berhenti di depan rumah bertingkat dua milik dokter langganannya.
"Ayo Din, ntar Mbak gendong Sava, kamu cari makan di depan yah."
"Iya Mbak." Dina segera membuka pintu, ia berlalu pergi dan melaksanakan perintah Stefanny.
…
Sebelum berangkat ke bandara, Vicente menyempatkan diri untuk memata-matai kehidupan Stefanny. Sekarang, ia hanya bisa duduk dan menatap ke arah mobil inova hitam milik Stefanny, terparkir di depan seorang dokter praktek. Yang membuatnya cemas, bagaimana keadaan anaknya, ia jelas melihat jika wajah Sava sangat pucat dan ia khawatir. Sebagai seorang ayah dia sangat ingin menemani Sava, ia ingin tahu bagaimana keadaan putri kecilnya dan ingin memeluknya. Pria itu menatap seorang gadis bernama Dina, dari informasi yang didapatkan, Dina adalah pengasuh Sava sejak anaknya lahir. Orang kepercayaan Stefanny, dan begitu dekat dengan putrinya.
"Tuan, apa saya perlu masuk dan memastikan kondisi Nona Muda?" tanya sang supir.
"Jangan," jawab Vicente, belum waktunya dia terlalu dekat dengan Sava dan Stefanny. Ia harus menyingkirkan Rifky yang begitu dekat dengan kedua orang berharga di hidupnya. Dari banyaknya hasil penyelidikan, orang yang berpotensi besar menjadi duri dalam daging adalah Rifky, rekan bisnisnya.
"Kita punya perjalanan bisnis hari ini, cinta dan uang harus seimbang." Pria itu tersenyum, "kau akan mengerti suatu hari nanti," ujarnya lebih lanjut.
"Saya mengerti, Tuan."
"Jalan, ada banyak uang yang menanti kita." Vicente kembali menggunakan kacamata hitamnya, pria itu menutup kaca jendela dan tersenyum saat Dina bertemu tatap dengannya.
"Berhenti sebentar," ujar Vicente. Seketika, mobil yang ia kendarai berhenti, dan Vicente segera keluar. Pria itu melangkah, ia menghampiri Dina.
"Pak, ada apa yah?" tanya Dina, ia menatap Vicente yang kini terlihat bingung, "bapak nyasar?" tanya gadis itu lagi.
"Nona, apa Anda bisa berbahasa inggris?" tanya Vicente.
"Duh, saya gak ngerti bapak ngomong apa." Dina menggaruk kepalanya yang tidak gatal, seharusnya dia bisa bicara bahasa asing dan berkenalan dengan pria mempesona di depannya. Tetapi, ia bukan seorang gadis yang menguasai bahasa asing. Ia hanya lulusan SMP, dan tidak tertarik untuk mempelajari bahasa itu.
Vicente merogoh sakunya, ia memberikan seikat uang kepada Dina lalu bergegas pergi.
"Orang aneh!" tegas Dina.