Pertanyaan Yang Tertahan

1503 Words
"Teh kamarnya seadanya Enggak apa-apa kan, bisa Teteh kunci dari dalam, kami ada di kamar sebelah." Setelah merapikan kamar yang biasa digunakan oleh Zen, Narendra menyerahkan kunci kepada Ditha. Ragu, perempuan itu mengambil kunci tersebut, tapi jika tidak diambil di harus kemana. Emang niatnya Ditha tak apa-apa tidur di masjid ataupun di emperan toko. Tapi setelah dipikir-pikir, semakin malam dingin semakin menusuk. Rasanya seperti menggerogoti persendian hingga tulang. "Maaf merepotkan," ucap Ditha. Suaranya serak karena kebanyakan menangis. Dibantu Zen dan Narendra perempuan itu memasukkan barang bawaannya ke dalam kamar. Gambar seluas 3 x 3 meter itu, terdapat sebuah tempat tidur ukuran single. Spreinya putih bersih baru saja diganti oleh pemiliknya. Tidak ada apa-apa yang terpasang di dinding ruangan tersebut, kecuali Sebuah cermin yang ukurannya tidak besar. "Kalau mau ke toilet, pintu samping setelah tangga. Semoga nyaman, ya, Teh. Jangan merasa sungkan jangan merasa merepotkan kami, sebagai sesama manusia kan kita harus saling tolong. Terima kasih juga Teteh sudah percaya kepada kami. Besok pagi saya antarkan Teteh ke Rancaekek." Senyum Narendra begitu tulus pada Ditha, akan tetapi hal itu justru membuat kita semakin sedih. Masalahnya ternyata masih ada pria baik-baik di dunia ini. kita menyesal kenapa dia harus dipertemukan dan berjodoh dengan laki-laki yang sudah mencampakkan dirinya. Padahal cintanya kepada laki-laki itu amat sangat besar. Narendra dan Zen masuk ke kamar sebelah, kemudian pintunya tertutup rapat. Kini hanya detak dari jam dinding yang menemani Ditha. Bagaimana mungkin perempuan itu bisa tertidur pulas sementara masalahnya masih terus menghantui. Sedih rasanya ketika mendapati selembar surat cerai harus ditandatangani, kemudian dengan menyedihkan terusir dari rumah yang dibangun susah payah. Ditha selalu melihat pancaran cinta dari mata sang mantan suami. Sampai hari itu di mana dia harus merelakan laki-laki itu untuk jatuh ke pelukan perempuan lain. Di kamar yang lebih nyaman–dibandingkan dia harus tidur di masjid, Ditha berusaha memejamkan mata. berharap ketika bangun tidur nanti perempuan itu bisa menemukan rangkaian kata yang akan disampaikan kepada kedua orangtuanya saat pulang nanti. Kemudian Ditha terbangun ketika azan subuh berkumandang, meski tidurnya kurang dari lima jam, perempuan itu merasa segar. Dia membongkar kopernya mencari mukena yang akan digunakan untuk melaksanakan salat subuh. Ramaditha tersentak kala mendengar suara orang di luar kamar, perlahan dia buka pintu dan melihat Narendra juga Zen yang sudah bersiap untuk pergi. "Loh, Teh, sudah bangun?" tanya Narendra. Dita hanya menunjukkan mukena sebagai jawaban dia terbangun karena ingin melaksanakan salat subuh. Narendra mengerti kemudian dia dan Zen pamitan untuk pergi ke pasar. "Sebentar lagi Andri datang, saya sudah kirim pesan sama dia untuk membuatkan sarapan untuk Teteh. Mungkin kami agak lama teh, stok Sussu Murni sudah habis. Kami janji tidak akan sampe sore, abis itu saya antar Teteh pulang." Dita mengangguk, "Jangan terburu-buru, saya bsrsedia nunggu, nggak harus pagi ini nanti siang pun tidak apa-apa." Sesekali Narendra kembali mencuri pandang, benar jika ada yang mengatakan bahwa setiap orang memiliki beberapa orang yang mirip dengan dirinya. Nyatanya Ditha begitu serupa dengan Anjani. Jarak perempuan itu mengering dan mengangguk ketika salah tingkah. Narendra beristighfar, kemudian dia menapaki satu persatu anak tangga diperhatikan oleh Ditha dari atas. Ditha yang merasa jika Narendra sering curi curi pandang. Tidak seperti Zen, yang menatapnya biasa-biasa saja. Usai salat Subuh dan matahari mulai bersinar, rolling door terdengar dibuka dari luar. Ditha mengintip sekilas, kemudian dia melihat Andri datang. Ditha buru-buru membereskan tempat tidur yang tidak begitu berantakan, kemudian turun menemui Andri. "Sarapan dulu, Teh," ujar Andri. satu kap berisi lontong kari dan bubur ayam terhidang di meja. "Teteh mau yang mana terserah." Dita yang memang sudah sangat kelaparan, dia langsung memilih lontong kari. Mungkin jika sudah pulang nanti dia harus kembali ke sini untuk membayar semuanya. Setelah dipersilahkan makan oleh Andri perempuan itu makan dengan lahapnya. Perut yang semalam hanya diisi roti bakar dingin akhirnya bertemu kembali dengan makanan. "Aa yang tadi ke pasar biasanya pulang jam berapa?" tanya Ditha di sela makan. "Oh, biasanya sih enggak lama cuman beli sayuran bahan-bahan untuk bikin nasi goreng, terus beli saus-saus gitu biasanya jam 7 juga udah balik lagi. Tadi katanya mau ke Pangalengan sebentar minta kiriman susui murni." "Jauh," ujar Ditha. "Kak Rendra mah sudah biasa, dia bolak-balik Pangalengan Bandung, bolak-balik Bandung-Garut. Kayak nggak ada capeknya, katanya sih sekarang sekalian anterin Teteh ke Rancaekek, dia mau mampir ke Garut." Andri merapikan sterofoam bekas dia makan, kemudian tidak lupa mengambil gelas bersih di rak yang ada di pojokan ruangan. Lelaki itu sudah menjerang air, kemudian menyeduh teh celup. Satu gelas untuk dirinya dan satu gelas dia berikan kepada Ditha. Perempuan yang sedang memakan kerupuk itu berterima kasih kepada Andri. Asap yang mengeluarkan aroma teh bercampur dengan Jasmine di hirup dalam-dalam oleh Ditha. Perempuan itu bersyukur bisa bertemu dengan tiga laki-laki yang baik ini. Jika tidak entahlah bagaimana nasibnya. Andri lelaki bertubuh kecil itu terlihat sibuk mondar-mandir di sekitar ruko, mengeluarkan beberapa peralatan, mengelap meja, kemudian menyiapkan piring-piring. Ditha yang merasa tidak enak karena hanya duduk diam, kemudian dia mengambil sapu dan pel. Tadi minta perempuan itu membersihkan ruangan ruko yang memang agak kotor karena belum dibersihkan. "Waduh Teh udah biarin aja, nanti kalau ketahuan A Rendra saya yang dimarahin." Andri berusaha merebut sapu dan pel dari Ditha. Akan tetapi perempuan itu pintar sekali berkelit, "sudah tidak apa-apa saya nggak enak kalau diam aja." "Teh, nanti saya dimarahin, loh." "Nanti kalau Aanya dimarahin sama A Rendra biar saya yang marahin balik." tanpa peduli dengan larangan Andri, Ditha akhirnya membantu lelaki itu untuk membersihkan ruangan, mengelap meja yang akan mereka susun. Kemudian menyapu halaman sampai bersih. Andri benar-benar gelisah, takut tiba-tiba majikan datang dan menegur dirinya karena sudah membiarkan tamu bekerja pagi ini. Kegelisahannya jadi bahan tertawaan Ditha. "Memangnya siapa pemilik warung ini?" tanya Ditha ketika semua pekerjaan sudah selesai. "A Rendra sama A Zen. Saya mah di sini cuma kuli, nyambi sambil ngumpulin uang buat kuliah." "A Rendra itu yang mana? Saking paniknya saya semalam gak sempat kenalan." "Renda tuh yang rambutnya agak panjang, yang tinggi kurus item itu Zen." Ramaditha mengangguk tanda mengerti, setelah membereskan semuanya dia melihat jam dinding, masih pukul 8 pagi. Dan Rendra pun belum tiba di tempatnya. Banyak pertanyaan yang ingin termasuk mengapa kedai ini diberi nama warung kembar, akan tetapi dia merasa jika melontarkan pertanyaan tersebut terkesan tidak sopan dan terlalu kepo. Dia hanya memendamnya seorang diri. Menjelang tengah hari Narenda akhirnya tiba membawa banyak belanjaan yang baru saja dia beli dari pasar. Sedangkan stock susuu murni dari pamannya, sedang dalam perjalanan pengiriman melalui mobil pick-up yang dia sewa. Dia tidak hanya menjual di warungnya saja, melainkan memberdayakan Andri dan juga Zen untuk mengolah mengemas produk tersebut kemudian dijual di toko-toko terdekat. Antusiasme para pemuda pada produk ini cukup tinggi. Turun dari motor, Narendra melihat Ditha berdiri di antara gerobak roti bakar dan sumur(susuu murni). Perempuan itu tersenyum semringah melihat Narendra, tiba-tiba saja hati Narendra bergejolak dan bergetar. Rasanya dia ingat masa lalu Ketika pulang kerja disambut oleh perempuan yang tengah hamil berambut panjang. Ingin rasanya mengemasi ingatan-ingatan itu, agar sosoknya lebih tenang di alam sana. Akan tetapi tidak bisa rasanya sungguh berat, bertahun-tahun dia berusaha melupakan, namun ketika Tuhan menghadirkan Ditha, ingatkan yang sudah berkeping-keping kembali laksana puzzle yang disusun dengan sabar. Andri tergopoh-gopoh membantu menurunkan barang, diikuti oleh Ditha dibelakangnya. Ditinggalkan beberapa jam saja, sudah terlihat banyak perubahan dan perbedaan dari diri perempuan itu. Semalam dia tampak putus asa dan hanya bisa menangis, namun siang ini senyumnya sudah bisa Narendra lihat. Memang ketika tersenyum dan dilihat lebih dekat, tidak ada kemiripan sama sekali dengan Anjani. Namun, tetap saja ada bagian bagian tertentu yang mengingatkan lelaki itu pada Anjani. "Teh maafin lama," ujar Narendra. "Tidak apa-apa," jawab Ditha. Narendra berusaha mengambil semua barang belanjaan, masalahnya Ditha ingin sekali membantunya dan Narendra merasa tidak enak. "Tunggu sebentar saya ganti baju dulu sekalian mandi, habis itu kita pulang Teteh siap-siap aja dulu." Mendengar kata pulang timbul rasa bahagia dan sukacita dari diri Ditha. Namun tidak dapat dipungkiri ada perasaan takut, apa yang harus dia katakan kepada abahnya. Apa yang harus dijawab ketika umi bertanya tentang kepulangannya. Akan tetapi tidak mungkin dia terus-terusan berada di sini, tempatnya bukan di sini. Ada rumah yang siap menaungi dan melindungi dirinya dari terpaan panas dan hujan. Juga dari ujian hidup yang siap mencabik-cabik dirinya. Ditha membereskan koper, sebenarnya tidak ada yang perlu dirapikan, hanya memasukkan pakaian kotor dan juga memasukkan mukena yang dia pakai sebelumnya. Selembar amplop terselip di bagian depan koper. Ya, selembar kertas yang menyatakan bahwa dirinya kini bukanlah istri dari Brian. Dicampakkan dengan tidak manusiawi, ingatan itu kembali memaksa air matanya agar jatuh. Dita terisak, dan semua yang kita lakukan itu tidak luput dari perhatian Narendra yang berdiri di depan kamar yang ditempati oleh Dita. Lelaki itu ingin sekali bertanya tentang apa yang dia rasakan, tapi bagaimana bisa? Dia bukanlah siapa-siapa, hanya sosok asing yang berusaha menolongnya. "Udah siap, Teh?" Tanya Narendra. Dengan sigap, Ditha menghapus jejak airmata yang meleleh di pipinya. Kemudian perempuan itu tersenyum dan mengangguk, siap untuk pulang menghadapi serentetan pertanyaan yang akan dilontarkan oleh keluarga besarnya. Perempuan itu meninggalkan Warung kembar dengan ucapan terima kasih yang tidak terhingga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD