Pertemuan Kedua

1769 Words
The power of sosial media, Warung Kembar menjadi viral karena roti bakar ekstra keju yang enak dan digemari pengunjung. Jelas hal ini membuat Narendra, Zen dan Andri sibuk karena kedatangan banyak pemuda yang ingin sekadar menikmati roti bakar, sumur panas dan dingin, atau nongkrong sambil berswafoto di salah satu spot foto yang instagramable. Andri si paling muda paling pintar membuat berbagai strategi termasuk spot foto. “Andri tolong ambilkan roti di gudang. Sekalian sama creamer kental manis,” perintah Narendra. Andri dengan sigap menuruti perintah Narendra, sementara Narendra sendiri sibuk dengan panggangan roti. Zen membuat nasi goreng serta mengantarkan pesanan sendiri ke meja pemesan. Setiap malam selalu seperti ini. Namun, Narendra bahagia dengan keadaannya sekarang. “A, ini sekalian aku ambilkan kejunya juga biar gak bolak-balik.” Diserahkannya creamer, roti dan keju dalam keranjang tepat di samping gerobak pembakaran roti. “Terima kasih, Andri.” “Dra, buat meja delapan sudah belum?” tanya Zen. “Tinggal kasih topping aja, sih. Tolong, deh.” Narendra menunjuk keju dan creamer serta meses kepada Zen. “Pesanan semakin banyak, nasi goreng udang dua, meja sepuluh.” Tergopoh Andri membawa piring kotor ke dalam ruko. Seorang yang dipekerjakan untuk mencuci piring di dalam terlihat sibuk karena pesanan datang dan pergi. Kesibukan demi kesibukan itu seperti mereka sedang berjuang di medan perang, tetapi ketika malam hari saat semuanya selesai dan melihat kotak persediaan makanan kosong membuat ketiganya merasa sangat bahagia. “A, kita harus tambah personil. Awan Cuma bisa bantu cuci piring saja, sedangkan pengunjung makin banyak.” Andri berbenah sambil terus mengomel. Narendra dan Zen hanya tersenyum, tanpa diminta Narendra sudah merencanakan untuk membawa beberapa karyawan untuk membantunya. “Pak Haji sudah ngasih Izin?” tanya Zen. “Ish, usulan saya enggak digubris.” Andri misuh-misuh seraya menyapu plesteran di depannya. “Besok Aa ke Garut, ada sodara yang butuh kerjaan. Siapa tahu mau diajak bareng di sini. Andri gak usah khawatir.” Narendra lalu berbalik dan melanjutkan berbincang dengan Zen. “Kalau malam doang mah katanya boleh,” ungkap Narendra. “Tapi katanya jangan dihias-hias, jangan kotor dan pakai listrik dari ruko kita sendiri, pagi-pagi gak mau tahu harus sudah bersih seperti sedia kala.” Banyaknya pengunjung membuat halaman ruko mereka tidak cukup menampung semuanya. Satu ruko di sebelahnya adalah toko kelontongan milik salah satu pengusaha. Biasanya buka dari pagi sampai pukul 17.00. Narendra minta izin kepada pemilik ruko untuk menggunakan halamannya untuk menyimpan meja dan kursi. “Kita harus beli lagi meja dan kursi gak sih?” tanya Zen. “Beli, gue udah pesen. Ini notanya dan lo tinggal ambil besok siang. Itu ada alamatnya juga. Gue ke Garut lagi ngomong sama sodara yang mau kerja.” “Gak bisa lewat telepon aja? Lo udah bolak balik Garut, apa gak lelah?” Suara sapu lidi bergesekan dengan plesteran sayup-sayup terdengar. Angin malam membuat Narendra merasa dingin sampai dia merapatkan jaketnya. “Saat sampai ke Garut gue disambut dua malaikat, semua beban lepas gitu aja.” Dalam benaknya terlihat wajah kedua anaknya yang selalu dia rindukan. “Gue jadi pengen nikah,” seloroh Zen. “Tinggal nikah, tapi gue dulu, deh. Gak enak jadi duda. Mending kalau gue keren dan kaya, banyak dicari seperti di n****+-n****+ yang dibaca si Andri.” Zen tertawa. Merasa namanya disebut Andri menghampiri Narendra dan juga Zen. “Ada apa emang?” tanya Andri. “Enggak ada, kalau udah selesai lo balik aja, bukannya besok pagi harus kuliah?” “Iya gue balik, tapi laper, gak ada roti sisa?” Anak muda itu melihat-lihat ke sekiotar gerobak. Mencari sisa-sisa makanan yang tidak laku dijual. “Ada nasi goreng, tapi kayaknya udah dingin. Tadi ada yang cancel karena lama, lo mau?” Andri mengangguk, dengan senang hati anak itu menghabiskan makanannya disaksikan Narendra dan juga Zen. * Pagi-pagi sepulang dari pasar, Narendra kembali memacu sepeda motornya untuk pergi ke Garut. Bandung-Garut sudah terasa tidak jauh lagi saking seringnya. Sepanjang perjalanan Narendra selalu merasakan bahagia apalagi akan bertemu dengan Azzura dan Azzam. Benar saja, ketika sampai di kota yang terkenal dengan dodolnya, Narendra mendapatkan hujan ciuman dari dua malaikat kecilnya itu. Bahkan terkadang lelaki itu sampai melupakan tujuan utamanya pergi ke Garut untuk apa. “Macet, gak, Dra?” tanya Adrian. “Enggak, sih, Cuma seperti biasa daerah Kadungora-Leles agak padat.” “Itu, mah, biasa. Weekend pasti macet di sana.” Dua lelaki itu asyik berbincang seputar jalan, cuaca, bahkan hal-hal random. Terkadang keakraban mereka sering menjadi bahan perbincangan orang-orang karena ayah sambung si kembar tampak begitu akrab dengan ayah kandungnya. “Ayah, Azzura mau berangkat ngaji, ayah jangan pulang dulu, ya.” Putri kecilnya mendekat, memeluk Narendra dengan penuh kasih sayang. “Ayah sebenarnya enggak lama, Sayang, mau ke rumah Akang Entis. Azzura kenal Akang Entis?” tanya Narendra. “Kenal, bapaknya Namira. Ayah mau apa ke sana?” rasa ingin tahu bocah kecil itu membuat Narendra gemas dan tidak tahan untuk mencolek hidung mancungnya. “Teteh katanya mau ngaji,” potong Adrian. “Iya, Papi. Assalamualaikum.” Azzura mencium tangan kedua ayahnya bergantian. Lalu melambaikan tangan. “Azzam belum pulang?” tanya Narendra. “Lagi latihan taekwondo, biasanya pulang menjelang magrib. Tunggu aja, Dra.” Narendra melihat jam tangan, rasanya akan lama jika harus menunggu Azzam. Selain harus segera menyusul Kang Entis, Narendra juga harus ngejar waktu untuk segera kembali ke Warung Kembar. “Saya titip salam aja buat Azzam, Drian. Mau ke rumah Kang Entis, terus ngejar buka warung malam ini. Makasih, ya.” Adrian dan Narendra berjabatan tangan, kemudian Narendra meninggalkan kediaman Rahayu dan pergi bersama motor kesayangannya menuju rumah kang Entis. Terkadang Narendra merasa sedih saat melewati jalanan itu. Jalan di mana dia harus mengejar Rahayu yang pergi meninggalkannya karena Narendra sendiri yang berkhianat. Jalan di mana dia dihajar Rahmadi. Jalan di mana dia mencari pembenaran dan juga pembelaan diri dari sikapnya yang tidak patut menjadi contoh. Karma itu nyata dan dia percaya, tidak menunggu bertahun kemudian, Narendra mendapatkan karma dari perselingkuhannya dalam hitungan bulan. * Urusannya dengan Kang Entis bisa diatasi dengan mudah, calon pegawai baru yang masih menjadi saudara jauh Rahayu setuju untuk bekerja bersamanya karena dia tidak bisa bertani sebagai mana sebagian orang dengan pencaharian itu di kotanya. Kang Entis minta waktu satu hari untuk menyelesaikan semua masalahnya di rumah. Karenanya Narendra pulang ke Bandung seorang diri. Di malam yang cukup gerah lelaki itu membelah jalanan provinsi. Berada di jalanan sendirian membuat pikirannya ke mana-mana. Narendra tiba-tiba mengingat Ditha sampai-sampai melihat perempuan sedang berjalan di depannya seperti sedang melihat Ditha. Mana mungkin itu dia, bisiknya yang dia lihat saat ini seperti Orang Dalam Gangguan Jiwa yang sering berkeliaran di jalanan. Namun, ketika sepeda motornya mendekat Narendra berani menjamin kalau perempuan tanpa alas kaki itu adalah Ditha. “Teh,” panggil Narendra. Ditha sedikit terperanjat dan mengerjap karena silau dari lampu depan kendaraan yang melintas. “Iya,” jawabnya, seperti orang linglung. “Teteh ngapain, gak pakai sandal pula. Mau ke mana?” tanya Narendra. Tidak ada jawaban selain tatapan penuh dengan kesedihan dari perempuan itu. Narendra menepi, kemudian turun dari kendaraannya dan membawa Ditha ke pinggir jalan. “Ini jauh dari rumah, loh, Teh. Saya anterin ya.” Tatapan Ditha kosong, dia tidak menjawab. Namun anggukan diartikan sebagai persetujuan oleh Narendra. “Oh si Aa penjual s**u Murni, ya?” tebak Ditha setelah Narendra dengan telaten memakaikan helm kepada Ditha. Tatapan keduanya bertemu, rasa ingin melindungi tumbuh semakin besar, dalam sedihnya Ditha, Narendra bisa melihat kemiripan yang semakin jelas dengan Anjani. Istrinya yang sudah tenang di alam sana. “Iya, Teteh ngapain di jalanan?” “Cari hiburan.” “Gak pakai sandal pula, kalau menginjak serpihan benda tajam gimana?” “Tadi putus di sana. A saya punya utang tujuh ribu, ingatkan saya untuk bayar saat di rumah nanti,” ucapnya. Narendra tidak tahan untuk tertawa. Dia membimbing Ditha untuk naik ke motornya, kemudian Narendra menarik tangan Ditha agar memegang pinggangnya. Ditha tertegun, sudah lama tidak mendapat perhatian seperti ini membuat Ditha sedikit merasakan kenyamanan. Ditha tidak ragu lagi untuk memegang pinggang Narendra. Merasakan getaran yang sudah lama tidak pernah dia rasakan. “Duh, Teh jalan sejauh ini apa enggak capek?” tanya Narendra. “Enggak tahu, tiba-tiba saja udah jauh.” “Teteh masih sedih?” tanya Narendra. “Sedih saya tidak akan pernah berakhir, A.” Narendra membisu. Bukan tidak peduli, tetapi dia khawatir pertanyaan yang dia lontarkan bisa mengorek kesedihan Ditha. Diam mungkin menjadi hal yang terbaik untuk saat ini. Sesampainya di gang depan rumah Ditha, terlihat Hani dan Prayoga sedang kebingungan mencari putrinya yang keluar dari rumah sejak pagi dan belum kembali. Begitu melihat Narendra membonceng Ditha, mereka merasa sangat bahagia dan berterima kasih. “Ini kenapa bisa sama Aa yang kemarin?” tanya Prayoga. “Kebetulan saya pulang dari Garut ketemu Teh Ditha di jalan. Saya sekalian pulang dan antar ke sini.” Ditha turun dari motor dan berjalan melewati Narendra. Lelaki itu segera meraih tangan Ditha dan membuka helm yang Ditha pakai. Tindakannya itu tidak luput dari perhatian Prayoga dan Hani. Ditha terlihat begitu kosong, putus asa dan berantakan. “Masuk dulu, minum dulu.” “Terima kasih Bu, tapi saya harus pergi.” “Saya mau berterima kasih, minumlah sebentar. Bu ambilkan teh sama kudapannya.” Narendra disuguhi dengan es teh manis dan juga bolu karamel. Prayoga berkali-kali mengucapkan terima kasih. “s**u yang kemarin enak sekali, terima kasih,” ujar Prayoga. “Jika mau lagi nanti saya bawakan lagi, Pak.” Narendra bertutur dengan sangat sopan. “Tidak usah repot-repot, Nak. Maaf, sekali lagi maaf karena Ditha anak saya merepotkan Aa.” “Saya tidak merasa direpotkan, Pak. Tadi kebetulan lewat habis dari Garut ketemu anak-anak di rumah Ibunya.” Mendengarkan ungkapan dari Narendra Prayoga agak murung. Semua orang bisa dengan mudah punya anak sedangkan Ditha harus mengalami depresi seperti sekarang ini karena divonis tidak bisa memiliki keturunan. “Sudah hampir gelap, saya harus terus ke Dago. Kasian teman saya buka warung sendirian.” “Tunggu!” teriak Ditha dari dalam rumah. Narendra melihat Ditha tergopoh-gopoh menyerahkan sesuatu kepada dirinya. Dua lembar uang, pecahan lima ribu dan juga pecahan dua ribu. Narendra tersenyum karena melihat Ditha mengembalikan uang itu. Dan untuk pertama kalinya juga dia melihat Ditha senyum selepas itu. Wajahnya mirip dengan Anjani, membuat Narendra membeku untuk beberapa saat karena merasa Tuhan memang sengaja mengirimkan Ditha dalam kehidupannya. Seorang perempuan penuh dengan misteri yang harus dia pecahkan sebelumnya. “Utang saya lunas ya, A.” Narendra mengerjap, dia mengangguk dan menggenggam uang yang diberikan oleh Ditha. “Kalau begitu saya pamit,” ujar Narendra. Lelaki itu menyalami Prayoga dan juga Hani. Lantas lelaki itu tersenyum lembut ke arah Ditha.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD