Theodoric melongo di tempatnya berdiri, memandangi pintu kamar yang terlepas dan hampir ambruk mengenai sang ibu. Namun, pemuda itu refleks menahan dan membuat pintu kembali terbelah menjadi dua. Lalu terbanting kuat ke lantai.
Ibunya mengerjap-ngerjapkan mata, bergerak kecil mengambil sapu lalu memukul Theodoric sampai pemuda itu tersadar dari lamunannya.
"Sakit, sakit ibu!"
Rania tidak menanggapi, makin mengayunkan gagang sapu pada b****g dan juga punggung sang anak.
"Berani-beraninya kau merusak pintu kamar sampai terbelah dua seperti ini. Kau kira harga pintu semurah harga celana dalam kau?!" Omel Rania asal masih mengejar Theodoric yang berlari menghindar amukannya, "aku juga tidak sengaja." Sahut pemuda yang kini hanya memakai singlet lusuhnya.
Rania tidak mendengar alasan, mengejar Theodoric sampai keluar rumah. Karena tidak ingin mendapat amukan dari sang ibu, akhirnya cowok jangkung itu memutuskan untuk kabur saja. Daripada dijadikan samsak terus-menerus.
"Jangan kabur kau, Theodoric! Kembalikan pintu aku yang kau rusak?!" Teriak Rania di depan rumah membuat Theodoric makin berlari kuat menjauh dari rumah.
Setelah berhasil kabur dari rumah, Theo menggelengkan kepala berulangkali. Bergidik sendiri dengan temperament ibunya yang menakutkan. Bisa-bisanya ia punya ibu pemarah seperti itu, pasti Theo pernah melakukan dosa besar sampai harus terlahir menjadi anak seorang Rania.
"Theodoric?"
Theo menolehkan kepala ke samping, alisnya terangkat tinggi melihat sosok rapi yang memakai jas dan kini tersenyum padanya.
"Beneran Theodoric ternyata, aku kira aku salah orang." Kata pemuda itu masih dengan bibir tersenyum simpul.
"Kita kenal?" Ujar Theodoric dengan mendelik samar mendengar suara kekehan pemuda di depannya. "Kita teman satu SMA dulunya, kita pernah satu ekskul futsal dulu. Kau masih ingat? Aku Rajendra." Jelasnya berdehem samar, merapikan dasi di kerah kemeja.
Theodoric mengangguk saja, tidak menanggapi banyak.
"Kau sekarang masih pengangguran?" Tanyanya dengan mengulum bibir menahan senyum. "Kalau kau mau, ada satu lowongan di kantor aku. Jadi, cleaning servise." Thedoric melengos saja, tidak mendengarkan perkataan anak yang bernama Rajendra itu. "Tidak perlu, aku juga sekarang sudah dapat pekerjaan.” Tolak Theo cepat, melanjutkan langkah membuat pemuda di sampingnya itu langsung mengekori. Berjalan beriringan menuju halte di depan kompleks.
“Kau terima saja tawaranku, siapa tahu dengan begitu … ibumu tidak akan terus-terusan mengomeli seperti tadi. Bahkan, meneriakimu seperti maling.” Kata Rajendra kemudian terkekeh sendiri, Theodoric mendecak saja. Hanya memasukan kedua tangan dalam saku celana training lusuhnya dengan melangkah pasti menggunakan sandal jepit yang sudah tidak enak dilihat itu.
Berbanding terbalik dengan pakaian Rajendra yang mengkilap dari ujung rambut sampai ujung kaki. Terlalu silau sampai Theodoric berulangkali membuang muka ke tempat lain. Sejujurnya tidak suka bertemu dengan teman lama begini, karena hampir semua dari mereka sudah sukses dan tentunya hidup mewah dengan pencapaian mereka selama ini.
Ada yang sudah menikah, bahkan punya anak. Ada yang punya rumah megah dengan puluhan mobil di garasi. Juga ada yang punya tabungan milyiaran di atm. Dan juga memiliki pekerjaan tetap yang gajinya bisa dipakai untuk membeli satu motor baru.
Theodoric makin menghela napas kasar, kalau terus membandingkan hidupnya dengan teman-temannya. Sampai kapan pun tidak akan habisnya. Karena pencapaian oran itu beda-beda. Termasuk, ia sendiri. Oleh karena itu, Theodoric memilih jadi pengangguran dan menghabiskan waktu di dalam kamar tanpa berniat mencari pekerjaan. Biar pekerjaan saja yang mencarinya lebih dahulu.
Itulah motto hidup Theodoric yang sama sekali tidak patut untuk dicontoh.
“Sebentar malam, ada acara reunian. Kalau kau mau, kau datang saja. Semua diundang kok,” ujar Rajendra lagi dengan tersenyum kecil, “hm, lihat saja nanti kalau aku ada waktu.” Balas Theodoric dengan tersenyum seadanya membuat Rajendra pamitan pergi dan berlari masuk ke mobil yang sudah menunggu sedari tadi.
Setelah Rajendra pergi, Theodoric kembali sendirian. Duduk di halte dengan bahu melemas, pemuda itu memandangi jalanan yang sudah padat kendaraan padahal baru jam 8 pagi. Semua sibuk dengan aktifitas mereka masing-masing. Hanya Theodoric yang tidak ada kesibukan, hanya iseng menghitung berapa banyak mobil berwaran hitam yang berlalu-lalang di jalanan.
Theodoric bersenandung lirih, menggerak-gerakan kakinya di bawah sana sembari memandangi beberapa murid sekolah dasar tengah berdiri menunggu lampu merah. Pemuda itu menegakan tubuh saat melihat salah satu anak dengan santainya menyeberang tanpa melihat kiri-kanan. Dan bertepatan dengan sebuah truck yang melaju dari arah berlawanan. Semua orang menahan napas, namun tidak ada yang bergerak untuk menolong.
Truck juga tidak ada tanda-tanda berhenti, dipastikan remnya mengalami masalah.
Theodoric masa bodoh saja, memilih menyilangkan kaki dengan memeluk tangan di depan d**a. Pemuda itu makin merasa suasana makin menyenangkan saat melihat semua orang makin panik. Ia ingin memastikan sendiri, kalau ada dan tidaknya orang yang akan membantu.
“Cepat, tolong!” Suara berat di dekatnya membuat Theodoric menoleh kanan-kiri, namun tidak ada satu pun orang di dekatnya. Pemuda itu makin menaikan alis tinggi saat tubuhnya bergerak sendiri, melesat maju dengan cepat dan menarik tubuh anak kecil tadi sampai ke bahu jalan. Sesaat setelah ia memastikan anak kecil itu tidak terluka, Theodoric tanpa sadar menajamkan pandangannya yang nampak seperti bola api.
Semua orang bernapas lega, berkerubunan di dekat Theodoric dan memuji keberanian pemuda itu yang mau menolong. Berbanding terbalik dengan orang-orang yang merasa takjub dengan kecepatannya, Theodoric malah merasa heran kenapa bisa tubuhnya bergerak sendiri dan anehnya seperti ada yang bicara dengannya sejak tadi.
“Aneh banget, sepertinya yang ibu katakan itu benar. Kalau aku … sudah mulai gila.” Gumam Theodoric setelah berhasil pergi dari kerumunan orang-orang di jalanan.
Pemuda itu berjalan ke arah lapangan di dekat rumahnya, melangkah ke pinggir lalu duduk di sana dengan mengusap wajahnya kasar. “Dipikir bagaimana pun ini sangat aneh,” ulangnya masih heran, memangku dagu dengan tangan kanan.
“Theodoric?”
“Apa?” Sahut Theodoric cepat menoleh ke samping kiri dan kanan, namun tidak ada orang di dekatnya. “Sumpah ya, kalau beneran ada hantu di pagi hari begini bisa gi—“
“Theodoric, nama kau beneran Theodoric ya? Salam kenal, aku Yatara.” Theo kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling sembari meneguk ludah kasar, mulai merasa merinding dengan apa yang ia alami. “Kau ingat pedang yang kau pungut tempo hari?”
Theodoric terdiam beberapa saat lalu menganggukan kepala mengiyakan, “aku adalah pemilik pedang yang masuk ke dalam tubuhmu ini.” Jelas Yatara dengan suaranya yang menggema di telinga Theo yang kini menahan napas takut.
“Permisi, apa saya akan mati sekarang? Saya beneran tidak berniat mau mengambil pedang anda, saya hanya melihat saja … jadi jangan bunuh saya.” Ujar Theo memohon dengan mengatupkan kedua tangan di depan d**a. Kepalanya tertoleh ke sana kemari mencari keberadaan suara yang sedari tadi terdengar. “Bagaimana aku bisa membunuhmu kalau aku sekarang berada di dalam tubuhmu,” ujar Yatara menghela napas samar.
“Ya?”
Thodoric menautkan kedua alis mendengar perkataan aneh orang yang memperkenalkan diri sebagai Yatara tadi. Pemuda itu kembali berusaha mencerna dengan baik apa yang orang itu katakana.
“Bentar, jadi maksud anda … sekarang anda ada di dalam tubuh saya begitu?”
“Benar.”
“Jadi, maksudnya saya … hamil?” Tanya Theodoric sampai menutup mulutnya yang menganga lebar, “tidak, tentu saja tidak. Disamping kau adalah laki-laki, juga karena aku bersembunyi di dalam pedang api yang pernah kau sentuh.” Jelas Yatara membuat Theodoric makin mengernyitkan dahi kebingungan.
“Bagaimana bisa sebuah pedang terserap ke dalam tubuh saya? Dan juga, anda bilang … anda bersembunyi di dalam pedang api? Jadi, maksud anda … seorang manusia bisa bersembunyi di sebuah benda, dan sekarang masuk ke dalam tubuh saya, begitu?” Gumam Theodoric sudah terkekeh sendiri kemudian tergelak heboh sendiri. “Aku benar-benar sudah gila sekarang,” lirihnya sembari menjambak rambut gondrongnya yang sampai di bawah daun telinga.
“Apa kau tidak merasa aneh dengan perubahan pada tubuhmu? Kau sekarang berotot, tubuhmu pasti lebih ringan dari sebelumnya dan gerakanmu lebih gesit.” Theo mendelik samar mendengar ucapan tepat suara itu yang makin membuatnya merasa merinding. “Itu semua karena ada aku di dalam tubuhmu,” balas suara itu lagi dengan tegas seakan tidak terbantahkan.
“Saya beneran masih tidak mengerti dengan situasi sekarang, tolong … jangan bercanda lagi. Saya sepertinya sudah mulai berhalusinasi saat ini.”
“Tidak, kau tidak berhalusinasi. Aku ini nyata, aku … adalah seorang pangeran di kerajaan Eternal Ice,” Theodoric kembali terkekekh miris, memukul-mukul kepalanya pelan makin merasa heran dengan apa yang terjadi. “Pangeran? Kerajaan Eternal Ice? Kkkkkk aneh-aneh aja.” Ujar pemuda itu masih tidak percaya sampai ingin beranjak pergi, namun sebuah cahaya bersinar di depannya membuat gerakannya terhenti. Seseorang menampakan diri di depannya dengan baju putihnya yang bak pangeran, rambutnya berwarna perak dengan mata tajamnya yang terlihat seperti bola api.
Sosok tampan nan menawan di hadapannya membuat mulut Theodoric sampai terbuka kecil seakan takjub, seumur-umur baru melihat wajah tampan seperti itu. Seperti tidak ada pori-pori di wajahnya saking mulus dan bersinarnya.
“Aku adalah Yatara, senang bertemu dengan kau, Theodoric.” Sapa sosok berahang kokoh itu, mata tajamnya makin menegaskan betapa berwibawanya orang itu. Apalagi pakaiannya yang berkilau seperti ada biji-biji diamond disekitaran bajunya.
Theodoric kembali mendudukan diri, menolehkan kepala kanan-kiri dan kini lapangan tadi berubah menjadi tempat asing yang belum pernah Theodoric lihat seeumur hidupnya. Seperti ada menara seperti sebuah kerajaan dan juga orang-orang yang berlalu-lalang dengan menggunakan baju zirahnya.
Suasana di sana terasa asing bagi Theo, ia bahkan menggigil kedinginan denga suhu yang baru saja menyerangnya itu. Padahal ia tidak benar-benar berada di Eternal Ice. Yatara hanya menggambarkan bagaimana tempat tinggalnya. Walau penggambaran sang pangeran beneran seperti nyata adanya.
“Jadi, apa kau sekarang sudah percaya?” Theodoric terdiam lama, menipiskan bibir masih merasa kebingungan. “Kau … jadi, kau … terjebak di dalam tubuh aku dan akhirnya tidak bisa keluar lagi?” Balas pemuda berambut gondrong itu sudah tidak sopan, merunduk samar dengan matanya yang bergerak tidak tenang. “Itu masih harus aku cari tahu, karena itu aku memerlukan bantuanmu.” Yatara mengucapkannya dengan tatapan dinginnya membuat Theodoric di hadapannya meneguk ludah samar. “Aku harus membantu apa?”
Yatara menghela napas sesaat, kemudian menyentuh udara di depannya membuat sebuah cahaya keluar dari sana yang perlahan melebar dan membentuk seperti pintu yang dimana bergerak-gerak gelombang seperti berada di dalam air.
“Ini … apa?”
Yatara menatap Theodoric lurus, “aku ingin kau pergi ke Eternal Ice, ada seseorang yang bisa membantu kita berdua. Kau bisa hidup bebas seperti dulu, dan aku juga bisa keluar dari tubuhmu dan kembali ke kerajaanku.” Jelas Yatara menggigit rahangnya kuat yang makin membuat pemuda itu menakutkan.
“Bentar, bentar … jadi maksud kau … kau ingin aku pergi ke kerajaanmu yang entah dimana keberadaannya. Untuk mencari seorang kenalanmu di sana, agar kau bisa keluar dari tubuh aku?” Yatara mengangguk membenarkan membuat Theo melengos samar, “untungnya buat aku apa? Aku kan tidak pernah memaksamu untuk tinggal di dalam tubuh aku, kan? Dan kalau kau terjebak selamanya di dalam tubuh aku, tidak ada masalahnya juga kan buat aku?” Balas Theodoric sudah berdiri, ingin berbalik pergi. Namun, perkataan Yatara kembali memaksanya untuk menghentikan langkahnya.
“Kau … bisa saja mati,” Theodoric kembali berbalik, menghadap Yatara seutuhnya dengan alis bertautan. “Kekuatan pedang yang masuk ke dalam tubuhmu, sebenarnya tidak bisa diterima baik oleh tubuhmu. Makanya kau pingsan saat pertama kali itu terjadi, dan juga … kalau aku terus-terusan berada di dalam tubuhmu. Aku lama-lama bisa menguasai tubuhmu, dan bisa saja aku akan mengendalikan kau sepenuhnya.” Ujar Yatara masih dengan tatapan datarnya.
“Bisa dibilang, tubuhmu sekarang adalah milik aku.” Theodoric refleks mengumpat samar, membuang muka ke samping dengan berkacak pinggang sembari bolak-balik tidak tenang di sana mendengar penuturan sosok yang baru pertama kali ia temui itu.
“Emangnya kau tidak bisa, keluar sendiri? Atau aku muntahkan saja, atau keluar bersama makanan yang aku makan?” Tanya Theodoric polos, Yatara menggeleng pelan. “Aku masuk bukan untuk kau cerna, tapi sebaliknya …. Tubuhmu dan semua organmu di dalamlah yang perlahan aku cerna dan kuasai.” Kata Yatara lagi dengan mengerjapkan matanya tajam.
“Pikirkan baik-baik, kalau kau tidak ingin kehilangan tubuhmu sendiri.” Theodoric ingin membuka mulut membalas perkataan Yatara, namun sosok itu sudah menghilang bersamaan dengan pintu yang berada di udara tadi.
Pemuda berambut gondrong itu mendecak berulangkali, mulai merasa frustasi karena ini masalah hidup dan mati. Ia tidak akan terima kalau sampai tubuhnya dikendalikan oleh orang asing seperti Yatara. Apalagi harus meninggalkan tempat tinggalnya sekarang, benar-benar tidak masuk akal.
Saat ia tengah sibuk memikirkan nasibnya yang sudah menjadi bubur. Theodoric dikejutkan dengan suara beberapa motor yang melaju kuat di jalanan sampai membuat ia terlonjak kaget. Karena saking kesalnya, Theo sampai mengumpat dan meneriaki para pengendara sepeda motor yang terlihat seperti satu rombongan itu.
Semua motor mendadak terhenti, membuat Theodoric meneguk ludah kasar sembari merutuki diri sendiri karena sudah berani-beraninya meneriaki orang-orang berbadan kekar itu. Theodoric makin menciut saat salah saatu dari mereka mendekat dan menghampirinya.
“Kau kenapa mengumpat tadi? Tidak suka mendengar suara motor aku dan anak-anak?” Tanya orang itu membuat Theodoric ingin menggeleng, namun anehnya kepalanya bergerak sendiri. “Kenapa, b******k?! Kau tidak suka?” Bukan hanya pria berbadan kekar itu saja yang kaget, namun Theodoric juga. Karena bibirnya seakan bergerak sendiri tanpa berdiskusi dulu dengan otaknya.
“Itu bukan saya yang ngomong,” panik Theodoric menggelengkan kepala cepat, mengibas-ngibaskan tangan dengan wajah takut.
“Lihat? Tikus ini tadi sudah mengumpat kasar, dan setelah itu kembali memaki aku seenaknya. Sekarang malah ketakutan setengah mati.” Kekeh sosok itu mengejek membuat teman-temannya kompak mentertawai Theodoric, “mungkin, sebentar lagi dia akan menangis sesegukan dan kencing di celana saking takutnya.” Mereka kembali tergelak dengan menunjuk-nunjuk wajah Theodoric tidak sopan.
“Hei, kalau tidak mau dihukum kau harus bisa bersikap sopan santun. Apa ayah dan ibumu tidak mengajarimu dengan baik di rumah?”
Theodoric tersinggung, apalagi orang itu sampai menyeret orangtuanya yang tidak tahu apa-apa. “Boleh aku bertemu dengan ibumu? Siapa tahu kita berdua bisa dekat dan menjalin hubungan.” Ujarnya sembari tergelak, menepuk-nepuk tangannya heboh.
Theo mengeraskan rahang, mengepalkan tangannya kuat merasa geram dengan omongan orang di depannya. “Kau tidak suka aku merendahkan ibumu? Kalau begitu, kau juga jangan banyak tingkah, sialan!” Umpat orang itu kemudian menampar Thedoric dua kali sampai kepala pemuda itu tertoleh ke kanan dan kiri.
Theodoric meringis samar, merasa perih dengan tamparan tangan tebal itu.
“Mau aku, bantu?” Theodoric mengepalkan tangan saat kembali mendengar suara berat Yatara, “kalau sekarang aku membantumu … kau juga harus membantuku.” Sambung Yatara bernegosiasi, mengambil kesempatan di saat situasi genting itu. “Aku sepertinya harus menghajarmu di depan ibumu, ya? Atau perlu, ibumu juga akan aku hajar.” Kata pria tadi kini meraih kerah singlet lusuh Theodoric.
“Yatara, sialan! Bantu aku,” teriak Theodoric kesal membuat orang-orang di depannya saling pandang tidak mengerti. “Bicara apa aku, sialan?!”
Pria berbadan kekar tadi kembali mengayunkan tangannya, bertepatan dengan Theodoric yang memejamkan mata sesaat lalu membuka kelopak matanya yang langsung terlihat seperti kobaran api.
Theodoric refleks menahan tangan kekar pria tadi, mencengkramnya kuat dengan ekspresi datarnya membuat orang itu meringis kesakitan dan perlahan melepaskan genggamannya. Melihat ketua mereka yang kesakitan karena Theodoric, orang-orang itu jadi saling pandang kemudian ingin mendekat, namun tatapan Theodoric membuat mereka seakan terintimidasi dan ketakutan sekaligus tunduk dengan pemuda jangkung itu.
“Tarik kembali ucapanmu, dan kau harus minta maaf pada kedua orangtuaku.” Tekan Theodoric membuat orang itu langsung menganggukan kepala menurut, tangannya yang dicengkram tadi gemeteran dan merasa tulangnya seperti diris dengan sesuatu yang tajam hanya karena cengkram Thedoric.
“Jangan pernah membuat suara motormu seberisik tadi, kalau tidak … kau akan tahu sendiri akibatnya.”
“Ba-baik,”
Orang-orang itu pun berhamburan pergi dengan merasa bingung kenapa sampai ketuanya ketakutan begitu. Ingin bertanya lebih jauh, namun tidak berani saat menoleh pada Theodoric yang mendadak punya aura menakutkan. Setelah orang-orang itu pergi, Theodoric memandangi kedua tangannya merasa bingung dengan kekuatannya barusan. Tangan kekar tadi seakan seperti spon cuci piring yang bisa ia remas sesuka hati. Hampir ia hancurkan, namun seperti ada sesuatu yang menahan emosinya.
“Jadi, kapan kau akan membalas budi?”
Suara Yatara yang kembali terdengar membuat Theodoric mendecak samar, “kalau kau sampai mengingkari janji … aku bisa melakukan sesuatu yang bisa membuat kau kesulitan seperti tadi. Tubuhmu, akan bergerak di luar kendalimu, mengerti?” Ancam Yatara dengan suara rendahnya.
“Jadi, kapan kau akan siap?”
“Ck, lebih cepat lebih baik.”