Profesor Mike dan Organisasi Castel

2107 Words
Di dalam sebuah ruangan berdominan putih dengan suhu sekitar terasa dingin itu, berdiri seorang laki-laki berkacamata bening dengan jenggot tipisnya. Tangannya sibuk menjelajahi keyboar di hadapannya yang menampakan banyak monitor di sisi kiri dan kanannya. Ekor mata tajamnya mengamati layar kotak-kotak kecil pada monitor yang memperlihatkan puluhan bahkan ratusan orang yang sedang berada dalam tahanan. Dengan kedua kaki mereka yang dirantai. Bukan hanya itu saja, orang-orang yang berada di dalam ruangan seperti tahanan itu berperilaku aneh. Berjalan terhuyung-huyung, mondar-mandir dalam ruangan. Setelah itu mereka menjedotkan kepala mereka pada dinding tembok dengan agresif. Ruangan tempat orang-orang itu berada tidak ada yang bersih dari darah. Semua dinding tembok pasti ada bercak darah. Entah itu banyak atau pun sedikit, karena banyak dari orang-orang itu yang melukai diri mereka sendiri. Laki-laki yang masih memantau monitornya, mengernyitkan dahi sejenak. Mengetuk-ngetukan jemarinya di atas meja sembari menatap salah satu layar yang memperlihatkan kamera CCTV salah satu ruangan yang dimana ada tiga orang di sana. Tiga murid sekolah menengah atas yang duduk melingkar dan tengah membicarakan sesuatu. Ia pun, menekan layar rekaman tadi. Perlahan memperbesar ukuran layar yang membuatnya makin mengamati tiga murid yang tidak dirantai itu. Tidak seperti orang-orang yang berada di ruangan lainnya. Ketukan pada pintu di belakangnya membuat laki-laki itu menolehkan kepala. "Ya, masuk." Ujarnya sembari berdiri dan menatap seseorang yang memakai seragam militer di depannya. "Tiga pelajar tadi sepertinya mencurigai tempat ini, profesor. Bahkan, mereka melukai salah satu anggota di ruang eksekusi." Jelas pemuda di depannya melaporkan semua kejadian di luar kendali sang profesor. "Baguslah, ternyata masih ada yang bisa menggunakan otak mereka. Tidak langsung menerima apa yang ada di hadapan mereka." Kata profesor itu lagi menghadapi dengan tenang. "Profesor Mike, apa anda akan membiarkan mereka begitu saja?" Profesor yang bernama lengkap Mike Emerhon itu tersenyum samar, menggelengkan kepala kemudian.  "Tentu saja tidak, karena mereka bisa berpikiran kritis. Saya jadi bersemangat untuk membuat obat baru agar mereka bisa menjadi zombie yang berbeda dari zombie yang sudah ada." Kata Profesor Mike tidak sabar. "Tentu saja harus melalui pemeriksaan terlebih dahulu. Saya berharap salah satu dari mereka tidak ada yang lemah fisiknya," lanjutnya kembali mendudukan diri, memandangi monitor dengan mengangguk-nganggukan kepala mengerti. "Bagaimana penyebaran misi, apa sudah sesuai dengan rencana?" Tanya Profesor Mike tanpa menoleh, "iya, sesuai yang profesor perintahkan. Semua sudah disebar sesuai dengan daftar yang ada, hanya saja di beberapa tempat ada yang tidak berjalan sesuai rencana." Jelas pemuda itu panjang lebar. "Tidak apa-apa, saya sudah memprediksi ini akan terjadi. Karena itu ... kita harus memperkuat misi dan memperbesar skala penyebarannya." Kata Profesor lagi, kembali mengotak-atik keyboar komputernya. "Yang gagal dalam misi ada beberapa tempat, sekolah Bhinneka, Pasar Tradisional dan juga Kantor Polisi pusat." Jelas laki-laki itu lagi masih berdiri tegap dengan menjelaskan semua informasi yang dia ketahui. "Pasar Tradisional masih beberapa yang bertahan, mereka meninggalkan pasar dan malah menuju pegunungan di dekat pasar." Sambungnya mengambil napas sesaat, "selain itu ... mereka masih bertahan." Profesor Mike sontak tersenyum lebar, menyandarkan punggungnya pada kursinya. "Baiklah, lanjutkan saja. Jangan sampai ada tempat-tempat yang terlupakan." Ujar Profesor Mike melepaskan kacamata beningnya sesaat, menekan pangkal hidungnya lalu kembali melatakan kacamata pada hidung mancungnya.  "Apa belum ada labar dari istana?"  "Belum, profesor. Tapi, sepertinya mereka mulai mencari tahu tentang virus apa yang menyebabkan semua orang seperti sekarang." Jelas salah satu orang kepercayaannya, "mereka sampai mengambil sampel dari orang-orang yang terjangkit. Agar bisa mengetahui, virus apa yang menyebabkan banyak orang mati tanpa sebab." Sambung pemuda jangkung itu berdiri siap dengan menghadap Profesor Mike seutuhnya. "Dan satu lagi, presiden mengunpulkan profesor-profesor ternama untuk mencari tahu virus ini." Jeda laki-laki itu sesaat, "ada salah satu profesor yang mencurigai kalau virus ini adalah virus mematikan yang pernah diprediksinya tahun lalu akan terjadi. Dan profesor itu lagi menjelaskan ... dia bisa membuat vaksin obat untuk menyembuhkan semua orang yang terjangkit."  Profesor Mike langsung tergelak kuat membuat pemuda yang berdiri di samping pintu mengerjapkan mata kaget. Walau sudah biasa mendengar Profesor Mike yang mendadak tergelak, namun tetap saja pemuda itu masih tidak terbiasa. "Bagaimana bisa profesor bodoh itu begitu yakin dengan apa yang dia bicarakan?" "Profesor itu merupakan lulusan terbaik di fakultas ternama di negara kita." Profesor Mike menoleh pelan, "terus? Apa aku harus senang mendengar itu. Kau sebenarnya berpihak pada siapa, kenapa malah mengeluh-eluhkan profesor yang tidak pernah kau temui itu?"  Pemuda itu sontak menggelengkan kepala cepat, tidak setuju dengan apa yang atasannya itu katakan. "Tidak, sama sekali tidak. Saya tidak bermaksud berpihak pada mereka, saya hanya mengatakan semua informasi yang saya tahu." Profesor Mike kembali terkekeh pelan, "ya, saya tahu. Saya hanya bercanda saja." Ujarnya tanpa beban membuat ketua anggota itu memejamkan mata sesaat. Hampir saja membuat kesalahan. "Ada yang berhasil selamat dan tidak ikut datang ke penampungan. Mereka adalah orang-orang yang datang bersama tiga murid SMA tadi," Profesor Mike terdiam sesaat, mengernyitkan dahi sembari berpikir sejenak. "Kenapa mereka bisa selamat dari zombie ciptaanku. Bukannya terdengar aneh?" Gumam Profesor Mike bingung sendiri. "Padahal di tempat lain tidak ada yang berhasil selamat. Sebenarnya mereka ini siapa, coba cari tahu keberadaan orang-orang yang selamat dan memutuskan tidak datang ke penampungan. Saya ingin bertemu dengan orang-orang hebat itu," lanjut laki-laki yang memakai jubah putih kebesarannya. "Baik, saya akan mencari tahu." Kata pemuda di depannya yang sesaat menganggukan kepala hormat, lalu berbalik pergi meninggalkan Profesor Mike di dalam ruangan laboratoriumnya. Pemuda bertubuh tegap itu pun melangkah keluar, dalam perjalanan menuju tenda penampungan ia memakai helmet dan juga maskernya. Ia melangkah memasuki lorong-lorong tenda membuat beberapa anggotanya yang sedang berjaga langsung memberinya hormat. Laki-laki itu pun hanya memejamkan mata sebagai balasan, walau tidak ada yang sadar karena ia sedang memakai helmet. Langkahnya terhenti saat memasuki pintu utama yang dilindungi pagar-pagar besi nan tinggi. Ia berbelok ke arah salah satu ruangan tempat orang-orang di eksekusi.  Ia berhenti sejenak, memandangi darah yang berceceran di lantai dan juga ada cipratannya di dinding tembok membuat salah satu alis laki-laki itu terangkat tinggi. Di dekat pintu juga ada bekas tembakan yang mengenai lantai ruangan. Tembakan yang ia pantau dari CCTV. Seorang murid SMA terlibat baku hantam, sampai menembakan salah satu anggota. Untungnya segera mendapat pertolongan, tidak sampai mati mengenaskan. Tanda nama pada seragamnya tertera Fathir Alaska, pemuda jangkung dengan rahang kokoh. Alisnya tebal lurus dengan hidung bangir mancung. Kelopak mata ganda dengan bulu mata lentiknya membuat sosok yang biasa dipanggil Fathir itu makin terlihat tampan. Ia juga memiliki tiga t**i lalat pada wajahnya. Pada daun telinga, sisi kiri hidung dan juga pada sisi pipi yang hampir menyentuh rahang. Saat Fathir sedang mengamati sekelilingnya, ia berbalik pada salah satu anggota yang datang menghampiri. "Saya ingin bertemu dengan tiga murid SMA tadi, bawa mereka ke ruang interogasi." Titahnya pada salah satu bawahannya membuat laki-laki itu mengangguk cepat dan bergegas pergi dengan melaksanakan perintah pemuda yang berumur 26 tahun itu. Fathir melangkah keluar, memandangi sekilas ke arah antrian panjang di depan sana. Antrian orang-orang yang tengah menunggu barang-barang mereka untuk mereka gunakan saat berada di tempat penampungan ini. Profesor Mike membangun tempat ini bukan tanpa tujuan yang jelas. Sudah merencakanannya sejak beberapa tahun yang lalu. Saat sudah ingin merealisasikannya, Profesor Mike merasa mendapat dukungan dari tuhan dengan munculnya zombie pertama kali di sekolah Bhinneka. Zombie asli yang sama sekali tidak pernah mereka prediksi akan ada di dunia nyata. Yang selama ini mereka hanya melihatnya di televisi atau pun di film yang mereka tonton. Oleh karena itu, Profesor Mike makin mempercepat rencananya. Menyebarluaskan zombie yang ia ciptakan sendiri, dengan mengorbankan manusia-manusia yang selamat atau pun yang sekarat agar mereka bisa menyerang dari satu kota ke kota lain. Saat semua kota terjangkit dengan virus zombie, saat itulah Profesor Mike muncul. Mengatakan kepada seluruh negeri kalau ia punya solusi dan vaksin obat untuk semua yang terjangkit dan bisa menyembuhkan mereka dalam jangka waktu tertentu. Pasti nantinya, Profesor Mike akan mendapat simpati masyarakat. Tahun berikutnya, ia akan mencalonkan diri sebagai presiden. Dan tujuan utamanya bisa terwujud dengan baik. Fathir dan anggota lain nekat mengikuti rencana Profesor Mike, karena mereka semua dibayar mahal atas kerja keras mereka yang ilegal. Laki-laki itu pun, bergegas menuju ruang interogasi dengan melangkah besar dengan kaki panjangnya. Sesekali ia memejamkan sebagai balasan saat beberapa anggotanya di lorong tahanan yang sedang berjaga menyapanya hormat. Fathir dan puluhan anggotanya adalah berasal dari sebuah organisasi ilegal, tempat dimana orang-orang dilatih bertarung sejak mereka berusia belasan tahun. Organisasi mereka juga biasa dipakai untuk melakukan hal-hal kotor tertentu–– seperti pembunuh bayaran dan sebagainya. Yang membuat Fathir merasa geram adalah bisa-bisanya anggotanya terlatih bisa kalah dengan anak SMA yang tidak punya dasar bertarung sama sekali. ** "Bagaimana kalian semua bisa selamat?" Tanya Fathir pada ketiga murid yang kini duduk berhadapan dengannya dalam ruang interogasi. "Berkat doa mama," sahut Elma tanpa beban, memain-mainkan kaki di bawah meja membuat Jesya yang duduk di sebelahnya menyenggol lengannya pelan. "Kami hanya bersembunyi dan mencoba melawan sebisa kami," kali ini Galang yang menjawab dengan menegakan tubuh membalas tatapan dingin Fathir di depannya. "Zombie yang jumlahnya sebanyak puluhan, tidak .... ratusan orang di area sekolah bisa kalian lawan dengan tangan kosong?" Tanya Fathir tidak percaya, "kalian ingin saya mempercayai omong kosong itu?" Lanjutnya dengan mengeraskan rahang. "Kami tidak pernah mengatakan kalau kami melawan dengan tangan kosong?" Sahut Jesya dengan alis bertautan, "tentu saja kami melawan sebisa kami. Memakai benda-benda di sekolah yang bisa kami jadikan senjata." Jelas Jesya menipiskan bibir sesaat, "apa pertanyaan kami menggunakan senjata apa lebih penting daripada menanyakan keadaan kami yang bisa bertahan?" Singgung Jesya mengerjapkan mata dingin. "Saya hanya ingin mengetahui apa ada hal illegal yang kalian lakukan atau tidak. Seperti menggunakan senjata api untuk membunuh zombie itu," ujar Fathir lagi membuat Jesya tersenyum masam, "sekarang anda mau mempermasalahkan lagi. Emangnya kenapa kalau memakai senjata api untuk melawan zombie, apa melanggar hukum juga?" Kata Jesya tidak sadar membentak anggota militer di depannya.  "Iya, karena kalian tidak bisa menggu––" "Omong kosong apa yang bapak katakan!" Sentak Elma sampai menggebrak meja kasar, "terus bapak pengennya saya dan teman-teman saya menyerahkan diri begitu saja pada zombie? Bapak kalau bicara pakai otak, otak masih ada, kan?" Lanjut gadis itu sudah mengamuk. Fathir sampai tersentak mundur, walaupun begitu pemuda itu berusaha menguasai air mukanya. "Kau tahu gejala awal zombie?" Ujar Fathir sembari menatap Elma tajam, "bersikap agresif seperti kau." Lanjutnya membuat Elma berdehem samar, perlahan mendudukan diri dengan meneguk ludah kasar. "Kelepasan, makanya jangan mancing emosi." Gumam gadis itu lirih, dengan membuang muka ke samping. Fathir tidak menanggapi, menoleh pada dua murid lain yang kini duduk dengan menatapnya dingin.  "Kita bukannya sengaja memakai senjata, tapi karena keadaan. Dan juga sebagai bentuk pertahanan diri."  Jesya kembali menjelaskan dengan hati-hati, berulangkali menghela napas kasar berusaha tidak emosi. "Jangan berbicara yang tidak masuk akal begitu. Saya dan teman-teman saya hanya ingin bertahan hidup." Lanjut gadis itu dengan menipiskan bibir bawahnya.  "Baiklah, saya mengerti." Balas Fathir menegakan tubuhnya, "walaupun kalian memakai senjata api, tetap saja kalian tidak bisa bertahan begitu saja. Apalagi kalian hanya tiga orang." Kata Fathir mencurigai ketiga murid yang makin menatapnya tidak bersahabat.  "Kalian dibantu oleh siapa? Dan kenapa mereka tidak ikut ke penampungan ini sekarang?" Tanya laki-laki itu masih menginterogasi. "Kenapa emangnya?" Fathir menggebrak meja kasar membuat Elma yang sedang menguap jadi tersedak kecil karena kaget. Langsung mengumpat dalam hati dengan mengepalkan kedua tangan di bawah meja erat. "Bisa langsung jelaskan, siapa orang yang bersama kalian? Apa mereka juga selamat atau mati saat menolong kalian?" "Tidak, mereka selamat." Sahut Elma cepat membuat Jesya dan Galang menoleh kesal padanya. "Kenapa? Emang benar, kan mereka selamat?" Ujar gadis itu lagi dengan tersenyum masam. "Ada delapan orang," "Elma!" Tegur Jesya tidak terima, gadis itu tidak ingin sampai orang yang menolong mereka kenapa-napa. Karena Jesya tidak yakin, tempat yang mereka datangi ini adalah tempat yang benar-benar aman. "Empat orang anggota militer, empatnya lagi orang aneh entah datang darimana ... yang jelas mereka memakai pedang." Fathir menaikan alis tinggi mendengar penjelasan panjang salah satu murid di depannya. "Pedang?" "Ya, benar. Pedang yang langsung menebas leher zombie-zombie itu tanpa sisa." Lanjut Elma dengan menggebu-gebu. "Dan yang lebih anehnya lagi, empat orang yang sama-sama memiliki pedang itu berbeda dari manusia kebanyakan. Rambut mereka beruban, padahal masih muda-muda." Jesya mendecak kasar mendengar Elma yang tidak bisa berhenti bercerita. "Bisa saja kan mereka mewarnai rambut mereka." Elma sontak menggelengkan kepala pelan. "Saya sudah sering melihat orang mewarnai rambutnya, tapi jelas sekali berbeda dengan orang-orang itu. Kayak ... rambut asli mereka." Fathir mengernyitkan dahi, makin penasaran dengan sosok empat orang yang salah satu murid itu ceritakan. "Bisa katakan dimana mereka sekarang?" "Kami tidak ta––" "Mungkin masih di sekitar sekolah kami, karena kami berpisah dengan mereka di sana terakhir kali."  Jesya memutar mata jengah, ingin membungkam mulut Elma. Namun, sayangnya teman sekolahnya itu lebih dulu menceritakan semuanya. Sedangkan, Galang sendiri hanya bisa diam saja dengan mengeraskan rahangnya kuat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD