Jesya melangkah pelan sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Perasaannya entah kenapa makin tidak enak saat memasuki halaman di tahanan pusat.
Aparat kepolisian mengatakan kalau tempat yang dulunya merupakan penjaranya para naripadana itu kini dijadikan sebagai tempat orang-orang di karantina.
Halamannya ada banyak dibangun tenda-tenda kecil dijadikan sebagai tempat tidur. Para anggota militer yang menjaga ketat di setiap sudut, bukannya anggota polisi yang sudah membantu mereka datang ke tempat asing itu.
Jesya menghentikan langkah sesaat, diarahkan oleh salah satu anggota militer bersenjata untuk mengantri bersama orang-orang yang sudah lebih dulu sampai di sana. Antrian pengambilan barang untuk mereka pakai selama mereka di karantina.
"Kau tidak apa-apa?" Pertanyaan Galang di belakangnya membuat Jesya menolehkan kepala, kemudian mengangguk pelan. "Tentu saja tidak, sampai sekarang lutut aku masih gemetaran kalau mengingat muka-muka monster tadi." Balasnya jujur, mendengar itu Galang pun menghela napas kasar ingin menenangkan Jesya, namun dia tidak tahu harus melakukan apa.
Jesya melangkah maju, saat di depan sana satu-persatu orang meninggalkan antrian setelah mendapatkan barang mereka. Namun, antrian cukup panjang yang membuat Jesya dan kedua temannya yang baru datang harus bersabar.
"Orang-orang yang membantu kita dan anggota militer tadi ... kenapa malah turun dan kembali ke sekolah?" Tanya Jesya lagi pada Galang dan Elma di belakang barisan, "sepertinya mereka mereka semua mau memburu monster yang tersisa." Sahut Elma di belakang, agak maju menjawab pertanyaan Jesya.
Galang mengeraskan rahang, memandangi sekitarnya yang entah kenapa membuat pemuda itu tidak tenang. "Orang-orang itu berpedang, kan?"
Pertanyaan Jesya lagi-lagi menyadarkan Galang dari lamunannya.
"Kalian lihat sendiri kan, bagaimana orang-orang itu memunculkan pedang mereka seakan mereka memiliki kekuatan." Jeda Jesya dengan mengernyitkan dahi, mengingat kembali kejadian beberapa jam yang lalu. "Aku bisa melihat dengan jelas perubahan mata salah satu dari mereka ... mata yang seperti bola api. Kalian lihat juga, kan?" Galang dan Elma kompak menganggukan kepala membenarkan. "Hm, sepertinya mereka bukan berasal dari dunia kita." Sahut Galang yakin, menggigit-gigit rahangnya berusaha mengingat kembali potongan ingatan yang ingin dia hapus itu.
Ketiganya kembali terdiam, sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Jesya yang memikirkan apa sebenarnya yang menyebabkan para monster itu muncul dan menyerang dari satu tempat ke tempat lain.
Galang yang mengamati tempat sekeliling, para anggota militer yang memakai pakaian serba putih dengan masker yang menutupi wajah-wajah mereka itu. Seakan takut akan orang-orang yang baru datang. Seperti mereka adalah sebuah virus yang harus dihindari.
Anggota-anggota militer lain pun, memakai helmet dan masker-masker mereka. Dengan memegang senjata, bersiaga di sudut-sudut dengan tatapan tajam yang mengamati orang-orang dengan tiga antrian itu. Ada dari kalangan orang-orang kantoran, murid sekolah dan juga masyarakat biasa yang sedang melakukan aktifitas mereka. Harus dikagetkan dengan kemunculan monster-monster yang entah datang dari mana.
"Terima kasih," Jesya menganggukan kepala pelan saat menerima satu kotak barang di tangannya. Ada handuk, dan juga peralatan mandi di sana. Juga sepasang baju yang bisa mereka pakai saat di dalam ruangan mereka di karantina nanti.
"Langsung masuk," titah salah satu anggota militer yang membuat Jesya menoleh pelan. "Saya mau menunggu kedua teman saya dulu," balas gadis itu tersenyum ramah. "Tidak perlu, kau tunggu saja mereka di dalam." Kata anggota militer itu lagi membuat Jesya mau tidak mau menurut saja.
Gadis dengan rambut panjang terurai itu melangkah pelan memasuki lorong yang dikelilingi dengan sesuatu berwarna putih itu. Asap keluar dari sana membersihkan mereka yang baru saja memasuki lorong itu.
Jesya melebarkan pupil matanya saat melihat sekitarnya terasa hening. Berbeda dengan saat di halaman tempat ini yang ramai dengan orang-orang yang selamat.
Di dalam sana, tidak terdengar satu pun suara. Hanya suara langkah kaki anggota militer yang mengantarnya ke salah satu ruangan.
"Sekarang ganti pakaianmu di dalam ruangan sana," tunjuk salah satu anggota militer membuat Jesya mengangguk ragu. Gadis yang masih memakai seragam sekolah itu pun melangkah pelan, mengedarkan pandangannya ke sekitar.
Pintu pun tertutup rapat membuat Jesya terlonjak kaget. Ada satu anggota militer yang berdiri di depan salah satu dinding dengan memegang senjata. Dinding di depannya penuh dengan cipratan darah dan juga lantai yang terlihat bekas darah di sana.
Baunya masih tercium, lantainya masih basah dengan ruangan yang mungkin adalah ruangan kedap suara.
Jesya meneguk ludah kasar, makin merasa tidak tenang dan ketakutan. Gadis itu membuka salah satu bilik dengan cermin di depannya. Ia menyentuh cermin di hadapannya yang ternyata ada kamera di sana. Yang akan memperlihatkan wajahnya di hadapan orang yang mungkin sedang mengawasinya.
"Luka apa di telapak tanganmu?"
Pertanyaan seseorang di salah satu speaker dalam ruangan membuat Jesya mengerjapkan mata kaget. Ia pun, jadi mengangkat tangan kanannya dan melihat luka goresan yang tidak sengaja terkena pecahan kaca saat terjadinya ledakan.
"Ini terkena pecahan kaca,"
"Daripada terkena oleh pecahan kaca, lukanya seperti sebuah gigitan."
Jesya mengernyitkan dahi kemudian menggelengkan kepala pelan, "tidak, saya yakin sekali kalau ini kena pecahan kaca." Balasnya kekeuh masih memegangi kotak di tangannya dengan memandangi cermin di hadapannya dingin.
"Oke, eksekusi."
Jesya kaget mendengar perkataan orang di speaker. Dan ia makin kaget lagi saat anggota militer yang berdiri tadi kini menyeretnya keluar dan memaksa Jesya berdiri di tempat darah berceceran.
Anggota militer tadi pun, mulai mengarahkan senjatanya pada Jesya membuat gadis itu melebarkan mata kaget. "Apa kalian mengumpulkan orang-orang yang selamat untuk dibunuh seperti ini?" Ujar gadis itu protes, menatap dingin anggota militer yang mengarahkan senjata padanya.
"Salah satu cara yang bisa kami lakukan adalah menghentikan penyebaran virus zombie. Dan caranya adalah dengan membunuh yang mendapat luka gigitan," Jesya menggelengkan kepala berulangkali, tidak mengerti sama sekali. "Aku sudah bilang kan, luka ini bukan luka bekas gigitan .... tapi luka goresan. Kalian tidak bisa membedakan ya, mana luka goresan dan tidak?" Kesal gadis itu sudah ingin mengamuk.
"Tahu, hanya saja kami tidak ingin mengambil resiko. Semua yang memiliki luka sekecil apapun, harus dieksekusi." Jelas anggota militer itu bersiap, menarik pelatuk senjatanya membuat Jesya refleks memejamkan mata takut.
DORRRRR
Dua kali suara tembakan terdengar, dan darah pun terciprat kemana-mana. Sosok yang terkena tembakan pun, perlahan tumbang dengan darah yang mengalir dari tubuhnya.
Jesya mengerjap-ngerjapkan matanya, memandangi Galang yang sedari tadi ia lihat menyelinap masuk ke dalam ruangan. Kini memegang senjata dan baru saja menembak salah satu anggota militer yang berjaga. Karena baru saja mereka terlibat aksi rebut-rebutan senjata dan menyebabkan anggota militer itu kini terkapar di lantai.
Setelah berhasil melumpuhkan salah satu anggota militer yang berjaga, Galang langsung berlari kecil ke arah Jesya dengan raut cemasnya.
"Kau tidak apa-apa?" Tanyanya membuat Jesya menganggukan kepala pelan. "Tempat ini sama sekali tidak aman, mereka seenaknya orang yang terluka entah itu terkena goresan atau memang terkena gigitan monster." Ujar Galang dengan napas memburu, "kita harus segera meninggalkan tempat ini." Lanjut Galangl lalu membuka kotak yang Jesya pegang. "Sebaiknya kau pakai celana training ini, biar memudahkan kau bergerak." Saran Galang langsung membalikan badan, memberi Jesya waktu untuk memakai celana di balik rok di atas lututnya.
"Elma bagaimana? Apa kita akan meninggalkan dia di sini?"
"Tidak, dia sudah menunggu di luar. Elma yang pertama kali menyadari ada yang aneh di tempat ini." Jesya menganggukan kepala paham, kemudian menepuk bahu Galang saat sudah selesai memakai celana.
"Ayo," ajak Galang melangkah lebih dulu, mengintai di balik pintu dari besi itu. Kemudian mengamati sekeliling dengan mata tajamnya.
Pemuda jangkung itu pun mengajak Jesya keluar, meninggalkan tempat aneh itu. Keduanya berjalan terburu-buru, hendak berbelok ke salah satu lorong.
Jesya buru-buru menahan dan menarik lengan Galang saat melihat dua anggota militer berjalan ke arah mereka kini.
"Bagaimana sekarang?" Bisik Jesya dengan ekspresi panik, "mereka bersenjata, dan tidak mungkin juga kita kembali ke ruangan tadi." Balas Galang setengah berbisik. "Tidak ada cara lain selain melawan mereka, kau siap?" Jesya terdiam lama, tidak percaya diri harus melawan anggota militer yang terlatih sejak lama. Sedangkan, ia hanyalah seorang perempuan dan juga seorang murid.
"Ssstttt .... ssssttttt," keduanya menoleh kaget saat mendengar bisikan seseorang di balik tembok.
Elma melambai di sana menyuruh mereka menghampirinya, Jesya dan Galang sudah ingin melangkah pergi. Namun, langkah mereka terhenti saat dua anggota militer tadi kini menodongkan senjata pada mereka.
"Kalian mau coba kabur?"
Galang dan Jesya membeku di tempat, ingin melawan tapi tidak punya kuasa. Karena orang di depan mereka bersenjata kini.
"Tiarap sekarang!" Titah salah satu anggota militer membuat Jesya dan Galang mau tidak mau menurut. "Kalian sudah ditolong, bukannya berterima kasih malah tidak tahu diri." Lanjut salah satu dari keduanya.
Elma yang berada di balik tembok dengan sukarela melangkah maju sembari mengangkat kedua tangan. Tidak mungkin juga ia kabur sendiri tanpa kedua temannya. Dunia luar terlalu menakutkan, apalagi sekarang ada monster bernama zombie.
Jesya, Galang dan Elma berjalan dengan tangan terikat. Mengikuti instruksi dua anggota militer di belakang mereka. Ketiga murid itu pun saling pandang ke sekitar saat memasuki salah satu memasuki koridor tahanan di kedua sisi mereka.
Jesya tersentak kecil saat melihat orang-orang di rantai di dalam ruangan dan berteriak ke arah mereka hendak maju menyerang. Namun, terhalang jeruji besi dan juga rantai yang diikatkan pada kaki mereka.
Jesya meneguk ludah kasar, benar-benar tidak tahu tempat apa yang sekarang mereka datangi. Jelas-jelas mereka menyebut tempat ini adalah tempat orang-orang yang selamat dan akan dikarantina beberapa hari. Kemudian nanti dipulangkan ke rumah masing-masing setelah para monster atau pun zombie sudah berhasil diratakan. Tapi, sekarang yang ada tempat ini seperti perkembangbiakan monster.
Orang-orang seperti sengaja dikumpulkan agar dijadikan monster dan juga zombie seperti yang sudah tersebar hampir ke seluruh kota.
Salah satu tahanan dibuka, Jesya dan kedua temannya pun masuk ke dalam sana. Kemudian tangan-tangan mereka yang diikat dibukakan oleh anggota militer tersebut.
Setelah dua anggota militer tadi pergi, Jesya merapat pada kedua temannya dengan memandangi tahanan di seberang koridor.
"Apa kalian menyadari sesuatu?" Bisik gadis itu dengan tatapan dinginnya, "apa?" Tanya Elma mendekat, merapikan rambutnya yang berantakan. "Seragam anggota militer tadi berbeda dengan anggota militer yang biasa kita lihat. Apa aku saja yang merasa aneh?" Tanya Jesya dengan alis bertautan membuat Galang dan Elma saling pandang, baru sadar. "Dan mungkin kalian juga tidak menyadari satu hal, di lengan kiri mereka ada tato tengkorak." Sambung Jesya membuat Galang tersentak kecil karena juga sempat menyadari itu.
"Kalau tidak salah kan, anggota militer tidak boleh memiliki tato kan?" Sahut Elma membenarkan. "Hm, tempat ini bukanlah tempatnya orang-orang yang selamat." Gumam Jesya menajamkan pandangannya.
"Tapi, bukannya anggota polisi juga tadi ada bersama kita? Mereka yang berhasil selamat juga ikut mengantri tadi, kan?" Sahut Galang dengan dahi mengkerut. "Ya, anggota polisi juga manusia. Beberapa dari mereka ada yang terluka, harus segera diobati agar tidak terinfeksi." Balas Jesya menjeda sesaat, "tidak mungkin juga mereka memaksakan diri untuk menyerang para monster yang masih berkeliaran." Elma mengangguk membenarkan.
"Terus ini tempat apa?" Bisik Elma merasa gregetan sendiri, Jesya dan Galang diam saja. Mengamati gerak-gerik orang-orang yang berperilaku seperti monster atau pun zombie tadi.
"Saat pertama kali memasuki lorong di depan gerbang tadi, bau khas rumah sakit langsung tercium. Bau khas karbol," ujar Jesya mengerjap-ngerjapkan matanya tajam.
"Terus apa maksudmu, kan memang di lorong pertama kita disemprotkan sanitasi atau apalah begitu." Ujar Elma mengernyitkan dahi, "bukan, di lorong pertama memang seperti itu. Tapi, di lorong kedua dan juga ruangan tadi bau khas karbol menyengat sekali." Jelas Jesya dengan yakin membuat Elma melengos kasar.
"Terus apa yang ingin kau katakan, kalau bau obat emangnya kenapa? Kita bakalan dikarantina bersama orang-orang aneh itu kan?" Tunjuk Elma dengan dagu pada orang-orang yang kini menjedot-jedotkan kepala mereka di dinding tahanan.
Galang yang menyadari ekspresi Jesya, menepuk pelan bahu gadis itu membuat Jesya menoleh ke arahnya. "Katakan saja, jangan takut." Ujar Galang setengah berbisik.
"Tempat ini .... seperti bukan tempat untuk kita merasa aman." Kata Jesya lagi memicingkan mata membuat Elma memutar mata jengah. "Kau mau bilang ini tempat kita akan dibunuh satu-persatu, seperti yang kau lihat di ruangan tadi, kan?" Sahut Elma tidak setuju. "Bisa saja, kan ... darah yang kalian lihat di ruangan tadi adalah darah orang-orang yang terluka." Jeda Elma sesaat, "dan anggota militer membantu mengobati dan memasukan mereka ke dalam sini." Kata Elma yakin, tidak habis pikir dengan Jesya yang curigaan.
"Jelas sekali kalau anggota militer ingin membantu menyembuhkan orang-orang yang terinfeksi virus atau penyakit gila seperti orang-orang di sekolah kita,"
Jesya menggelengkan kepala cepat, menunjuk salah satu orang di balik tahanan yang masih menjedot-jedotkan kepala sampai ada darah di dinding tembok.
"Ini bukan tempat yang aman, ini adalah tempat ... untuk pengembangbiakan para monster tadi."
Elma sontak tergelak, merasa Jesya sudah hilang akal. "Lihat saja, monster yang ada di sekolah kita berbeda dengan monster yang ada di depan kita sekarang." Tunjuk Jesya yakin membuat Galang mengikuti arah telunjuk gadis itu. "Apanya yang beda? Sama saja menyeramkannya." Sahut Elma tanpa beban.
"Monster di sekolah, iris matanya gelap menakutkan. Seperti ada aura aneh yang menyelimuti, dan bau mereka pun ... seperti bau mayat hidup dan seperti ada sedikit bau " jeda Jesya sesaat, "sedangkan, mereka ... yang berada di depan kita. Iris mata mereka putih suram, dan terlebih bau mereka tercium seperti campuran bau darah dan bau obat." Lanjut Jesya yakin.
"Jadi, bisa saja ... tempat ini adalah tempat eksprimen gila seseorang."
"Menurutmu ada orang gila seperti itu yang menciptakan monster dan akhirnya akan membunuh semua orang dan juga dia sendiri?" Sahut Elma tidak habis pikir.
"Hm, karena orang gila tidak peduli akan itu."