Pintu Menuju Eternal Ice

1633 Words
Theodoric melengos samar melihat ibunya yang sudah memasukan banyak makanan ke dalam ransel besar. Katanya ransel yang sudah diisi baju, celana dan beberapa makanan itu akan dibawa oleh Theodoric. Agar nanti di jalan, Theodoric tidak mati kelaparan. "Ibu, aku ke sana gak akan lama juga. Kenapa harus bawa barang sebanyak itu?" Gerutu pemuda itu sembari mendudukan diri di ambang pintu. Rania tidak menanggapi, merunduk samar dengan tangan yang sibuk memasukan ubi hangat ke dalam kantong plastik dan dua mineral botol. "Kau akan berterima kasih pada ibu nanti. Perjalan ke kerajaan eksternal atau apalah tadi kan jauh. Jadi, terima saja." Omel perempuan itu kemudian mendorong pelan ransel dan meraih tangan Theodoric masuk ke celah tali ransel.  Setelah memakai ransel besar itu, Theodoric pun berdiri dengan merapikan hoodie putihnya yang agak miring karena tertarik ransel. Pemuda itu memakai celana jeans hitam dengan sepatu.  Sebenarnya, ia paling malas kalau harus memakai pakaian rapi begini. Apalagi hanya pergi ke kerajaan sana. Lebih nyaman kalau pakai singlet dan juga celana training. Tapi, sekarang ia harus memakai semua pakaian yang tidak terlalu nyaman dipakai. "Kau harus menemukan orang yang anak tadi katakan," pesan ibunya mengusap pelan bahu Theo. "Ibu beneran tidak apa-apa, tinggal sendirian?" Ujar pemuda pemilik hidung mancung nan lancip itu. "Hm, pastinya. Ibu malahan lebih suka kalau kau tidak ada di rumah," kata Rania jujur membuat Theo memutar mata kesal.  "Aku akan pulang secepatnya, jangan lupa kunci pintu." Kata Theodoric berbalik pergi, pamitan pada ibunya seadanya.  Pemuda itu sudah melangkah keluar di balik gerbang rumah. Dengan ransel besar yang kini ada di belakang punggungnya. "Ck, harus banget malam-malam begini perginya?" Decak pemuda itu mengeluh, karena Yatara memaksanya untuk segera bergegas ke kerajaan. Sebab bulan purnama semakin dekat, takutnya para prajurit kerajaan datang ke dunia manusia dan membuat kekacauan.  Yatara tidak ingin ada yang terluka hanya karena dirinya lagi. "Kau bisa tidak, gunakan kekuatanmu agar aku bisa melesat cepat begitu. Atau teleportasi kayak di film-film," ujar Theodoric antusias, tersenyum sendiri membayangkan kalau dirinya benar-benar bisa melakukan hal menakjubkan itu. "Entahlah, beberapa orang di kerajaan ada yang bisa." Jelas Yatara membuat Theodoric tersenyum merekah. "Kau bisa, tidak?" "Tidak." Balas Yatara dingin, mendengar itu Theodoric sontak melemaskan bahu kecewa. Ekspektasi dan harapannya langsung dipatahkan begitu saja oleh pangeran yang tidak punya hati itu. "Katanya kau pangeran, kenapa hal seperti itu tidak bisa?" "Karena sekarang aku terjebak di dalam tubuhmu. Kekuatanku terbatas, tidak bisa aku gunakan dengan bebas," "Berarti kau bisa?" "Hm," dehen Yatara samar, sebenarnya malas harus menanggapi pertanyaan Theodoric yang tidak terlalu penting. Ada saja pertanyaannya yang membuat Yatara hanya bisa mengelus d**a, bersabar. "Apa kau bisa membelah diri seperti naruto?" "Bisa terbang seperti vampire?" "Atau bisa menghidupkan orang yang mati?" Pertanyaan yang tidak masuk akal. Selama beberapa belasan tahun Yatara hidup, dia tidak pernah mendengar kata 'naruto' yang Theodoric singgung. Entah itu jenis makhluk apa, Yatara tidak tahu. Vampire terbang? Emangnya vampir burung. Aneh-aneh saja. Pertanyaan Theodoric yang terakhir adalah pertanyaan paling bodoh. Hidup dan mati seseorang hanya ada di tangan tuhan. Jadi, sekali pun Yatara adalah seorang pangeran. Ia tidak akan bisa melakukan hal mustahil itu. Setelah sibuk berdebat, menyesuri jalanan panjang tanpa kendaraan. Akhirnya mereka sampai di depan gerbang sekolah yang jarak dari rumah Theodoric memang lumayan dekat. Sekolah yang dulunya adalah sekolah Theodoric–– Sekolah Bhinneka. "Ini namanya sekolah?" Tanya Yatara kini menampakan diri, mengambil tempat di samping Theodoric dengan memandangi gedung sekolah di depannya. "Kau pernah ke sini?" Yatara kembali bertanya membuat Theodoric yang sibuk mendorong gerbang yang sudah digembok itu mengangguk saja. "Aku sekolah di sini, jadi pastinya sering datanglah. Pertanyaan apaan, itu?" Cibir pemuda itu kemudian nekat memanjat gerbang membuat Yatara mengerjapkan mata kaget. "Bukankah kalau masuk ke rumah atau tempat tanpa ijin adalah sesuatu hal yang ilegal?" Kata Yatara mengingatkan. "Ilegal bapak kau raja?" Kesal cowok itu sampai mengatai Yatara. "Kalau mau cepat sampai di kerajaanmu, mendingan ikut saja." Kata Theodoric sembari menjatuhkan ranselnya terlebih dahulu, setelah itu ia melompat dan mendarat dengan sukses. Yatara hanya melongo di tempat, melihat tingkah laku Theodoric yang seakan sudah biasa memanjat gerbang. Yatara sebenarnya ingin bertanya, namun urung ia lakukan. Sang pangeran merasa sia-sia saja kalau berbicara dengan Theodoric. Lebih baik pertanyaan di simpan untuk dirinya sendiri. "Kita harus ke arah mana?" Theodoric menolehkan kepala, padahal tidak ada Yatara di sana. "Belakang gedung," mendengar itu Theodoric sontak menaikan alis. Karena gedung di depan mereka ada tiga. Gedung satu dan dua dan juga gedung UKS. "Gedung yang mana?" Tanya Theodoric mulai tidak sabar. Apalagi mendengar Yatara yang sesekali hanya bergumam sendirian.       Theodoric berdiri melongo di ujung koridor sembari mengedarkan pandangannya ke sekitar. Alisnya bertautan mendengar samar-samar suara obrolan di belakang gedung sekolah. Pemuda jangkung itu mengernyitkan dahi, makin menajamkan pendengarannya.  Ia pun, memutuskan untuk mendekati sumber suara dengan meneguk ludah sesaat. "Kau juga mendengar suara tadi, kan?" Tanya pemuda itu menoleh ke samping walau sudah tahu Yatara tidak menampakan diri sekarang. "Sepertinya suara perempuan," kata Theodoric bergumam sendiri, mengintip di balik pilar. Theodoric menaikan alisnya tinggi saat seorang murid perempuan tiba-tiba tesungkur kasar di hadapannya dengan penampilan yang kacau. Rambutnya seperti baru saja dijambak, seragamnya penuh dengan debu yang terlihat lembab tidak tersisa. Salah satu sepatunya tidak ada, kakinya hanya beralaskan kaos kaki putih yang terkena noda lumpur. Theodoric sudah ingin maju membantu, namun gerakan pemuda itu terhenti saat melihat bayangan seseorang mendekat. Seorang gadis kini berdiri di hadapan murid perempuan tadi, berdiri dengan memeluk tangan di depan d**a. Tatapannya tajam, memandangi gadis malang tadi tidak bersahabat. "Kau yakin hanya ini yang kau ambil?" Tanya gadis itu dengan nada angkuh. "I-iya, kau bisa periksa sendiri isi ransel aku." Balas gadis yang masih terduduk di lantai, menunjuk ranselnya yang berada di atas tumpukan meja dan kursi yang sudah tidak terpakai di belakang gedung sekolah. "Kalau sampai kau berbohong, kau akan tahu ... apa yang akan terjadi padamu, kan?" Kata gadis berambut panjang lurus itu setengah mengancam. Theodoric di balik pilar masih mengamati keduanya dengan mata memicing, pemuda itu tidak sengaja melihat name tag gadis yang berdiri dengan ekspresi dingin itu. Tertera nama Elma Clarissa di sana.  Elma menoleh sesaat, meraih ransel kasar sembari membuka resletingnya cepat. Kemudian menjatuhkan semua isinya ke lantai membuat gadis yang masih belum beranjak dari tempat duduknya meneguk ludah kasar. Gerakan tangan Elma terhenti saat melihat sesuatu yang sedari tadi ia cari ada di antara barang yang terjatuh, dia pun merunduk samar memungut plastic transparan yang berisi beberapa lembar uang seratus ribu dan juga ada kartu atm di sana. "Elma, aku ... bisa jelasin."  Elma terdengar mengumpat kasar, menendang ransel dan barang-barang di depannya sampai Theodoric yang masih mengintip di balik pilar terlonjak kaget. Gadis itu sudah ingin maju melayangkan tamparannya, namun Theodoric lebih dulu menghalangi. Berdiri di antara keduanya dengan merentangkan laying seperti seorang kipper yang berusaha menghalangi bola yang akan masuk ke dalam gawang. "Emangnya masih jaman ya, merundung teman sendiri?" Sindir Theodoric menatap Elma lurus membuat gadis yang memakai seragam sekolahnya itu mendecak tak suka. "Kalian kan bisa main sama-sama, tidak diperbolehkan saling melukai seperti ini. Saya bisa melaporkan kejadian ini kepada pihak sekolah, loh?" Ancam Theodoric berbicara dengan nada ringan, Elma lagi-lagi mendecih kasar. Berbalik pergi dengan menyempatkan menatap temannya tadi tajam. Kemudian benar-benar menghilang di balik koridor kelas yang sudah gelap karena lampu-lampu sudah dimatikan. Hanya lampu taman yang masih menyala di halaman sekolah. "Kau tidak apa-apa?" Theodoric menjulurkan tangan membantu murid tadi yang kini duduk lesu dengan tatapan mengarah pada barang-barangnya yang berserakan pada lantai. "Ck, kalau tidak tahu apa-apa, jangan ikut campur." Bukannya berterima kasih, murid perempuan itu malah melampiaskan kekesalannya pada Theodoric yang berusaha membantu. Setelah murid tadi pergi, Theodoric terdiam di tempatnya. Mengerjap-ngerjapkan matanya merasa miris sendiri. Padahal ia sudah berbaik hati ingin membantu, tapi malah dibalas dengan perkataan kasar. "Kau lihat, kan? Aku berusaha membantunya, loh. Tapi, malah dibalas seperti ... " Theodoric sampai tidak bisa melanjutkan kalimatnya, hilang kata karena tidak habis pikir dengan dua murid dari alumni sekolahnya itu. "Sekarang bukan saatnya untuk memikirkan mereka, tujuan kita datang ke sekolah ini bukan untuk itu. Kau ingat, kan?" Kata Yatara mengingatkan membuat Theo sontak mendecih samar. "Hm, aku hanya ingin mengutarakan kekesalanku, biar nanti di sini tidak menjadi penyakit." Tunjuk Theodoric pada dadanya kemudian terkekeh miris sendiri. Yatara tidak menanggapi, hanya terdengar helaan napas gusar pemuda itu. "Sekarang bagaimana caranya ... membuka pintu menuju kerajaanmu?" Beberapa saat, Yatara terdiam. Entah sedang memikirkan sesuatu atau sedang menyiakan diri untuk kembali pulang ke kerajaannya. "Sepertinya tidak akan bisa," "Apa maksudmu tidak bisa?" Tanya Theodoric kebingungan, menurunkan ransel besarnya karena lama-lama capek juga menggendong ransel besar itu. "Aku tidak bisa membuka pintunya lagi," jelas Yatara yakin. "Terus bagaimana, kau mau aku yang membukanya? Kau tidak berpikiran seperti itu, kan ... saudara Yatara?" Tutur Theodoric agak kesal, setengah menekan nama Yatara di belakang. "Tapi, memang harus kau yang membukanya."  Theodoric melongo di tempat, memandangi Yatara yang kini menampakan diri. "Ulurkan tanganmu seperti ini," ujar Yatara mengarahkan yang membuat pemuda di depannya itu mendecak samar. Sebenarnya tidak ingin melakukan hal aneh seperti ini. Ia pun, terpaksa bergerak maju. Menjulurkan tangan ke depan udara, memfokuskan pikirannya bersama dengan Yatara yang kini berdiri mencocokan posisi mereka. Beberapa saat kemudian hembusan angin entah datang dari mana menerpa rambut Theodoric. Sebuah cahaya yang terlihat seperti lingkaran yang perlahan melebar dan berputar-putar di depan Theodoric dan Yatara. "Beneran ada," gumam Theodoric masih setengah tidak percaya. Yatara mengeraskan rahang kuat, menoleh ke samping Theodoric yang merasa takjub dengan apa yang baru saja ia lihat. "Persiapkan dirimu, setelah ini kau akan menghadapi banyak rintangan. Bukan hanya perjalanannya yang jauh, tapi sewaktu-waktu akan ada hal yang akan memgancam nyawamu di sana." Jelas Yatara jujur, Theodoric menipiskan bibir agak kaget juga mendengar perkataan sosok yang mengaku sebagai pangeran itu.  Tidak bisa juga ia mengurungkan niat dan membatalkan semua perjanjiannya dengan Yatara. Karena Theodoric, juga penasaran seperti apa kerajaan Eternal Ice yang Yatara katakan padanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD