Tertangkap Basah

2397 Words
Theodoric melongo di tempatnya berdiri, memandangi lingkaran yang seperti mata air di depannya yang menggantung di udara. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya berusaha memastikan kalau apa yang ada di depannya benar-benar sesuatu yang nyata. Lingkaran itu perlahan melebar seperti pintu yang seperti akan mengisap tubuh Theodoric untuk masuk ke dalam sana. Theodoric bergidik samar mulai merasakan hawa dingin yang menusuk tulang. Sampai ia sesekali menggertakan gigi membuat Yatara yang sedari tadi berdiri di sebelahnya menghela napas samar. "Padahal kau belum masuk, tapi sudah menggigil kedinginan seperti ini." Kata Yatara jadi cemas dan kepikiran. "Emangnya kenapa, apa di kerajaanmu lebih dingin dari ini?" Yatara menggeleng cepat, "kalau menurut aku tidak sedingin itu." Ujar sang pangeran yakin membuat Theodoric sontak mendelik. "Kulit kau kulit badak kali ya, makanya tidak bisa merasakan hawa dingin ini." Ujar pemuda itu malah mencibir. Yatara menipiskan bibir sesaat, "aku biasa saja dengan hawa dingin di sana karena memang aku terlahir di sana. Sama seperti kau yang terlahir di dunia manusia." Jeda Yatara sesaat, "akan terbiasa dengan hawa hangat bahkan panas menyengat di atas langit." Sambung sosok tampan itu menjelaskan. Thedoric mengangguk-nganggukan kepala mulai mengerti, "terus bagaimana sekarang, apa aku harus membeli mantel dulu biar tahan dingin?" Yatara tidak menanggapi pertanyaan Theodoric yang terdengar aneh baginya. "Begini saja, aku akan membakar tubuhmu." Perkataan Yatara menbuat Theodoric sontak melebarkan mata kaget. "Kau ingin membakar aku? Kau lupa ya, aku ini pergi ke kerajaanmu untuk menolongmu. Dan sekarang ... kau ingin membakar aku?" Kata Theodoric tidak habis pikir dengan apa yang baru saja Yatara utarakan. "Bukan begitu maksud aku, karena sekarang aku terjebak di dalam tubuhmu. Aku bisa membantu kau agar tidak terlalu merasa kedinginan nantinya saat menginjak tanah Eternal Ice." Jelas Yatara panjang lebar. "Bakar yang aku katakan bukan bermakna membakar sebenarnya. Aku ... akan membantu membuat kau bertahan di suhu dingin Eternal Ice, paham?" Theodoric terdiam lama, perlahan cengengesan baru mengerti apa yang sebenarnya ingin Yatara sampaikan. "Oke, kalau begitu." Balas pemuda jangkung itu memperbaiki tali ranselnya di belakang punggung. Yatara hendak mengutarakan sesuatu, namun kembali urung ia lakukan. Tidak bisa merusak mood Theodoric yang kini tersenyum lebar. "Sekarang saatnya masuk, tidak ada waktu lagi." Kata Yatara mengarahkan membuat Theodoric menjulurkan tangan ke arah lingkaran di udara itu. Sesaat kemudian, Theodoric tertarik masuk ke dalam sana seperti bermain seluncuran yang tidak ada ujungnya. Theodoric masih berteriak kuat dengan kedua tangan yang mencengkram tali ransel erat. Matanya ia pejam erat, terlalu takut untuk melihat apa yang ada di depan mata. "Aduh!" Theodoric meringis kasar saat tubuhnya kini terlempar masuk ke pinggir sungai. Sedikit lagi mungkin akan tercebur ke dalam air bening dengan dipinggirnya ditumbuhi bunga-bunga kecil yang sedang bermekaran. Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar, mengamati tempat yang katanya adalah sebuah kerajaan. Alisnya terangkat tinggi, tidak merasakan kehadiran Yatara lagi. Juga suara berat Yatara yang selalu menganggu pendengarannya. "Tidak mungkin Yatara terjebak di lingkaran tadi, kan?" Gumam pemuda itu jadi panik sendiri. Meraba-raba dadanya berusaha merasakan kalau pedang yang terjebak di dalam tubuhnya masih ada di sana. "Jelas sekali, kalau Yatara masih ada tadi. Tidak mungkin dia langsung menghilang dan keluar sendiri," sambung Theodoric merasa aneh dengan apa yang menimpanya. Theodoric kebingungan, menoleh kanan-kiri makin merasa panik. Ia tidak terbiasa dengan tempat baru ini. Apalagi tidak ada Yatara yang menemani seperti biasa. "Apa dia tertidur?" Gumam pemuda itu sendiri kemudian melangkah menyusuri air sungai bening di sebelah kanannya. Pemuda itu tersentak kaget saat mendengar suara derap langkah mendekat. Ia pun, langsung berbalik dengan meneguk ludah kasar. Semakin lama suara itu semakin mendekat dan kini ia melihat dua anak kecil berdiri melongo di depannya. Kemudian mereka mengacuhkan saja Theodoric yang memandangi mereka takut. Keduanya menenteng wadah seperti ember, masing-masing memegang dua di tangan mungil mereka. Theodoric memandangi saja apa yang dua anak kecil itu lakukan dari jauh. Tidak berani mengajak bicara apalagi mendekat. Karena ia belum terbiasa dengan tempat asing itu, kata Yatara saat masuk rasa dinginnya akan semakin terasa. Tapi, sekarang ia sama sekali tidak merasa dingin. Biasa saja. Theodoric menaikan alis saat salah satu dari anak kecil tadi maju dengan menginjak batu-batu di atas sungai. Kemudian berlutut dengan memegangi ujung batu, lalu menjulurkan tangan dengan mengisi air sampai penuh dalam wadah. Sesaat setelah penuh, dia tarik naik ke atas dengan susah payah. Kemudian kembali melakukan hal yang sama pada tiga wadah lainnya. Theodoric menganga kecil, sudah ingin bertanya pada anak kecil yang memakai baju lusuh seperti dipermak. Tapi, bagian yang ditambal seperti dari jerami. Kedua anak kecil tadi pun, beranjak cepat mengangat dua wadah penuh berisi air. Langkah mereka yang pelan karena beratnya beban yang mereka bawa membuat Theodoric jadi merasa iba. Pemuda itu pun, tanpa berbicara banyak mengikuti kemana mereka berdua akan pergi. Mungkin saja, nanti ia bisa bertemu dengan orang yang bisa menolongnya. Agar ia bisa segera keluar dari tempat asing ini. Theodoric menaikan alisnya tinggi saat melihat kedua anak yang kisaran umur 7-8 tahun itu berjalan di jalan tanjakan dengan bersusah payah menjaga keseimbangan beban yang mereka bawa. Ia ingin sekedar membantu, namun takut kalau kedua anak itu berteriak memanggil orang-orang di sekitar sana. Tapi, ia tidak tega juga melihat jemari mungil kedua bocah itu memerah karena terjepit pegangan wadah yang terbuat dari besi itu. “Permisi, adik-adik.” Tahan Theodoric membuat satu anak cowok dan satu cewek itu menolehkan kepala dengan memegangi wadah mereka di tangan. “Bisa aku membantu?” Tanya cowok pemilik rambut hitam legam itu menunjuk ke arah wadah, tidak ada tanggapan dari keduanya. Hanya mengerjap polos tanpa membalas pertanyaan Theodoric. “Apa bahasa mereka berbeda dengan bahasa aku ya?” Gumam Theodoric jadi gemas sendiri, menggaruk rambutnya yang tidak gatal kemudian tersentak kecil saat salah satu dari mereka maju dan menyodorkan wadah itu padanya. “Terima kasih,” kata anak perempuan itu tersenyum membuat perasaan tegang Theo langsung lega. Pemuda itu pun, merunduk meraih dua wadah di samping kakinya yang baru saja disodorkan oleh anak perempuan tadi. Kemudian dia mendekat pada anak cowok yang berdiri, membagi wadah agar mereka bisa secepatnya sampai di tempat tujuan mereka. “Jadi, kalian setiap hari harus mengambil air di sungai tadi?” Tanya Theodoric di sela napas ngos-ngosannya, bukan capek karena membawa beban dua wadah berisi air. Tapi, capek karena jalan yang mereka tempuh seperti tidak ada ujungnya. “Iya, karena di tempat kami tidak ada mata air. Semuanya beku seperti biasa, dan makanan sehari-hari pun … hanya mengandalkan gandum.” Jelas anak cowok sesekali menoleh pada Theodoric yang perlahan menganggukan kepala mengerti. “Bukannya kalau cuaca cerah begini, es-es atau pun salju yang membeku pasti akan mencair, kan?” “Tidak, ini es abadi yang digunakan oleh orang kerajaan.” Jelas anak itu lagi yang membuat Theodoric mengernyitkan dahi masih tidak paham. Ingin melanjutkan bertanya, namun ia kembali menahan diri karena sudah sampai di sebuah tempat seperti desa. Berbanding terbalik dengan suasana di sekitar sungai tadi, di desa ini cuacanya benar-benar dingin menusuk. Atap-atap rumah yang berbentuk seperti gubuk itu dipenuhi dengan salju yang sudah membeku. “Pantesan namanya Eternal Ice,” gumam Theodoric sendiri kemudian tersentak kaget saat lengannya di tarik cepat oleh anak kecil tadi, berlari cepat menuju sebuah lorong dan masuk ke dalam sana. Mereka melewati beberapa orang yang tengah berkumpul di depan rumah dan juga beberapa orang yang sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Theo, tidak paham kenapa sekarang ia berlari dan mengikuti saja kemauan dua anak kecil yang menyeretnya ke sebuah rumah ini. “Cepetan masuk,” ajak anak tadi sudah membawa duluan wadah yang dia bawa. Kemudian kembali lagi dan mengambil wadah dari Theodoric, membawanya masuk ke dalam rumah yang lantainya terbuat dari kayu usang yang beberapa sudah terlihat lapuk. Theo mendudukan diri di samping pintu, pemuda itu baru sadar ternyata ada seseorang yang tengah tiduran di atas tumpukan jerami dengan sebuah kayu berukuran persegi dijadikan sebagai alas tidur. Sosok yang sudah tidak muda itu, bergumam samar. Lebih tepatnya meringis kesakitan dengan keringat yang terlihat pada pelipisnya, padahal cuaca sedang dingin-dinginnya begini. Pintu ditutup rapat oleh anak kecil tadi, kaki yang ada bekas debu dan salju itu belum dibersihkan. Karena memang, tidak ada alas kaki sama sekali yang dipakai kedua anak ini. Sebenarnya, semiskin apa kerajaan Eternal Ice ini, sampai sandal pun tidak dimiliki oleh rakyat-rakyatnya. “Ini kakek saya, dia sedang sakit.” Jelas anak kecil tadi yang kini mengambil kain dan mengusap keringat di pelipis kakeknya dengan telaten, “orangtua kalian kemana?” Pertanyaan Theodoric tidak dijawab, hanya perubahan ekspresi mereka yang sendu dengan bahu melemas. “Ah, jadi kalian cuma tinggal bertiga dengan kakek kalian ya?” Ujar Theodoric berusaha mencairkan suasana, “iya, ayah saya meninggal saat perang. Kalau ibu meninggal saat hendak pergi mencari makan di desa tetangga, tapi katanya ibu bertemu dengan penjaga di sana.” Jelas salah satu dari mereka dengan tersenyum miris membuat Theodoric makin tidak enak karena sudah menanyakan pertanyaan sensitif itu. “Emangnya di desamu tidak ada makanan?” “Iya, sepertinya begitu.” Theodoric mengernyitkan dahi mendengar balasan ambigu itu, “karena memang semua tempat sumber kami mencari makanan, membeku semua. Bahkan, air sumur saja tidak ada lagi sekarang. Jadinya saya dan orang-orang di desa mengambil air di tempat tadi, sungai Taho.” “Sungai Taho?” Ulang Theodoric mengernyitkan dahi, “iya, sungai yang dilindungi oleh kekuatan Pangeran Yatara.” Kata anak itu lagi membuat Theodoric melongo di tempatnya. “Kau kenal Yatara?” “Bukankah tidak sopan, memanggil pangeran dengan nama saja?” Tegur anak kecil itu pada Theo yang sontak tersenyum kikuk. “Ah, iya … pangeran Yatara.” Ulangnya dengan memaksakan diri untuk tersenyum. “Oh iya, nama kalian siapa?” “Saya Aidan, adik saya namanya Anna.” Theodoric menganggukan kepala samar, “kalau aku … Theodoric.” Ujarnya tersenyum ramah membuat dua anak itu saling pandang dengan tersenyum kecil. “Sekali lagi, terima kasih sudah membantu mengangkat air tadi. Kalau terlalu lama di luar, air yang kami bawa ke desa akan ikut membeku.” Jelas Aidan menipiskan bibir kecilnya. Theodoric entah kenapa merasa miris sendiri, melihat dua anak kecil yang sedang memperjuangkan hidupnya. Tanpa orangtua dan harus merawat kakek mereka yang sedang sakit. Entah bagaimana mereka akan mencari makan setiap harinya. Ia jadi tidak tega. “Cara kalian mencari makan setiap harinya, bagaimana?” Aidan beranjak berdiri, melangkah masuk ke dalam salah satu pintu. Kemudian kembali keluar dengan menenteng satu kantong berisi buah kering yang Theodoric tidak kenal. “Hanya buah persik kering ini yang kami andalkan, dan juga sisa gandum. Karena semua beku, tidak ada yang bisa kami lakukan.” Kata Aidan menjelaskan apa yang sudah menimpa desanya “Di sini ada semacam kepala desa?” “Ketua suku?” “Ah, iya … itu maksud aku.” Ralat Theodoric cepat membuat Aidan mengangguk membenarkan, “ada, hanya saja tidak ada yang bisa ketua suku lakukan. Karena keadannya sendiri pun susah, sama seperti saya dan orang-orang lain.” Jelas Aidan jadi menceritakan semua masalah desanya pada Theodoric yang baru saja dikenalnya. “Apa kalian pernah melihat Yata— maksud aku pangeran Yatara?” Aidan menggeleng cepat, “tidak, mungkin orang-orang yang beruntung yang bisa melihat pangeran secara langsung. Rakyat jelata seperti kami tidak akan punya kesempatan seperti itu.” Tutur Aidan lagi, Theodoric masih merasa takjub dengan cara bicara Aidan yang lancar dan pintar seperti tertata dengan baik. “Dan sekarang siapa pun yang berhubungan dengan Pangeran Yatara akan dihukum mati,” kata Anna baru membuka mulut, “hah? Kenapa?” Tanya Theo kaget, bahkan matanya hampir mencelos keluar. “Katanya, Pangeran Yatara sudah berhianat pada sang raja dan juga kerajaan Eternal Ice.” Jelas Anna lagi membuat pemuda berambut lebat itu mendecak samar, “ternyata kau itu penghianat ya, dan sekarang kau membuat aku jadi berurusan dengan kau. Agar nanti aku dihukum mati di tempat ini?” Gumam Theodoric penuh penekanan, ingin segera melampiaskan kekesalannya pada Yatara yang belum juga menampakan diri. Aidan dan Anna yang mendengar pemuda itu bergumam-gumam sendiri jadi saling pandang, merasa aneh dengan apa yang baru saja sosok itu lakukan. Theodoric tersentak kecil saat mendengar suara perut Aidan dan juga Anna yang terdengar bersamaan membuat ia jadi menghela napas samar. Dilemah antara harus mengeluarkan bekalnya atau tidak. Kalau ia nekat memberi bekalnya pada dua anak itu, nanti ia sendiri yang akan mati kelaparan. Tapi, kalau tidak juga ia akan merasa jadi orang paling jahat sedunia. Theodoric pun, memutuskan untuk membuka ranselnya. Kemudian mengeluarkan salah satu roti coklat yang berisi enam potong membuat Aidan dan Anna saling pandang tidak mengerti dengan apa yang baru saja Theodoric perlihatkan. “Ini juga makanan, namanya roti coklat.” Jelas Theodoric seakan mengerti, melihat ekspresi Aidan dan Anna yang penuh tanda tanya. “Kalian tinggal menyobeknya kecil-kecil atau membaginya menjadi dua, terus kalian bisa memakannya sampai habis.” Aidan meneguk ludah samar, meraih roti coklat pada tangan Theodoric, dia mengambil sepotong kemudian sepotongnya lagi dia kasih ke Anna yang langsung tersenyum merekah. Aidan mulai memasukan sobekan kecil roti ke dalam mulut, lalu bibir kecilnya perlahan tertarik lebar membentuk senyuman. Setelah memaka satu sobekan kecil itu, Aidan langsung membungkusnya bersama buah persik tadi. “Tidak enak, kenapa dimasukan lagi ke dalam kantong?” Aidan tersenyum samar, “buat kakek, kalau sudah bangun nanti pasti kakek kelaparan.” Ujar anak kecil itu membuat Theodoric merasa tertampar. Selama ini hanya bisa memikirkan diri sendiri, order makanan selalu makan diam-diam di kamar tanpa menyisakan untuk sang ibu. Berbeda dengan anak kecil yang ia temui tadi. Dia sangat memikirkan orang-orang di sekitarnya sampai mengesampingkan rasa lapar yang menyiksa. “Itu dimakan saja, simpan kan saja ini untuk kakekmu nanti.” Ujar Theodoric menyodorkan sisa roti di tangannya membuat Aidan tersenyum lebar, “terima kasih banyak,” tuturnya tersenyum, berulangkali berterima kasih pada Thedoric yang jadi merasa terharu melihat dua anak kecil itu lahap makannya. “Oh iya kak, apa saya boleh menanyakan sesuatu?” “Tanya apa?” Aidan mengambil napas sesaat, kemudian mendongak menatap Theodoric yang menunggunya dengan sabar. Theodoric sudah ingin membuka suara, menyuruh Aidan segera membuka mulut. Namun, ketiganya terlonjak kaget saat pintu di depan mereka terdobrak kasar sampai terlepas dari anglenya. Bukan hanya itu saja, leher Theodoric kini ditodong pedang tajam oleh seseorang yang kini menatapnya tajam. “Kenapa bisa ada manusia yang datang ke tempat seperti ini?” Theodoric melongo dengan meneguk ludah berulang kali, memandangi pedang tajam yang kini berada pada lehernya. Kalau bergerak sedikit saja, mungkin lehernya akan terpotong begitu saja. Karena itu Theodoric memilih untuk membatu di tempatnya sampai sosok berambut gondrong di depan pintu menarik pedangnya kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD