Deg-degan dan seperti mimpi, begitulah yang kurasakan sepanjang prosesi pernikahan ala kerajaan kuno yang kujalani bersama Erlangga. Setelah menjalani semua ritual yang entah apa saja namanya itu, akhirnya selesai juga. "Semua asesoris sudah dilepas Gusti putri, kami mohon undur diri," sembah Para emban yang telah selesai melaksanakan tugasnya. Mereka beringsut mundur dan kemudian memadamkan satu obor, meninggalkan aku sendiri dalam temaram malam. Di atas peraduan dengan rambut terurai, dan hanya mengenakan kain jarik yang telah dipersiapkan. Semerbak harum mawar dan dupa pengantin, memenuhi udara dan melingkupi penciumanku. Namun keheningan ini, justru membawa pikiranku kembali ke satu prosesi yang sangat membekas di hati. Yaitu, ketika paman Gie, yang tampak pucat dan kelelahan, me