I Hate You!

1883 Words
“Eugh!” aku bergumam pelan. Masih perlahan memaksa mata terbuka, rasanya berat sekali. aku mengerjap beberapa kali sambil tanganku mengusap wajah. Aku hela napas dalam, pada akhirnya mataku terbuka lebar, jelas dan terkesiap lihat sebuah lukisan abstrak menggantung di dinding walpaper mewah dengan latar gold jadi hal pertama menyambut diriku. Mataku berkeliling, pada setiap fasilitas yang tertangkap mata. “Oh, sial! Mati aku!” bisikku lemah, tersadar jika situasi kuterbangun bukan dikamar apartemen malainkan tempat asing. Kamar hotel mewah. Lagi aku mendesah. Aku bergerak kecil dan langsung meringis begitu diserang rasa lemas, lelah dan pegal di sekujur tubuh. Terutama bagian dipangkal pahaku. Aku memejamkan mata sekali lagi, menangkup wajah dengan kedua tangan. Berusaha untuk tenang, sebagian hati merasa denial. Namun, panik tidak akan membuat aku keluar begitu saja dari situasi. Dua tahun tidak melakukan s*x dengan siapa pun, membuatku seperti pertama kali lagi merasakannya. Aku menarik napas, menghembuskan. Lakukan itu berulang-ulang sembari berpikir untuk segera kabur tanpa jejak. Tapi, tunggu... Siapa lelaki yang telah tidur denganku? Pertanyaan itu sontak membuat aku segera membuka mata, pastinya sudah diyakini tidak ada secarik kain yang menempel di tubuhku selain selimut tebal. Aku telanjang! Deg! Sebelum aku berbalik dan memastikan, tahu-tahu sebuah pelukan erat menarik tubuhku hingga menempel dengan tubuh telanjang seseorang itu. Tangan kekar memeluk erat dan aku merinding begitu telapak tangannya jatuh di puncak dadaku. Sentuhan kulit telanjang yang bertemu, berbagi panas tubuh membuat aku tidak bisa berharap bahwa semua ini hanya mimpi. Aku benar-benar baru melewati malam yang panas dan liar dengan seseorang. Dia kembali bergerak kali ini kakinya ikut naik menindih kakiku. Huft! Aku menahan napas merasakan sesuatu yang terbangun, kejantanannya keras menyentuh bokongku. Posisiku dikunci, aku tidak bisa melarikan diri. Crazy! Rasa sesal mulai muncul, seandainya aku tidak pergi untuk merayakan pergantian tahun dengan Abbas. Aku tidak akan bangun di hari pertama tahun baru dengan keadaan seperti ini. Abbas... lelaki itu pasti panik mencari aku yang hilang semalam sampai pagi. Kuharap Abbas tidak segera melapor pada polisi, aku akan urus nanti. Kemudian secara samar, adegan demi adegan. Sentuhan yang panas, ciuman dan segala hal kami lakukan semalam mulai terlihat. Lalu wajah pria itu membuat aku tersentak. Deg! “K-Kai!” bisikku. Dengan berdebar. Tidak bisa menunggu tanpa kepastian, aku segera berbalik. Gerakan impulsif yang mengganggu tidur pria itu. Dia menarik diri, membuat aku segera duduk masih memegang selimut agar tetap menutupi tubuh sampai dadaku. Deg... Deg... Deg... Jantung berdebar kian di batas normal, rasa-rasanya akan lompat dari rongga dadaku. “Kamu sudah bangun, Anna.” Suara itu, khas milik Kai. Suara bariton. Bahuku melorot lemas, belum sempat berbalik aku merasakan dia pun bergerak, menyentuhku lagi dengan pelukan. Kali ini aku segera menghindar dan berbalik hingga tatapan mata kami beradu. Posisinya duduk, menghadapku. Dia memang Kai, jelas bukan hanya seseorang yang mirip apalagi bayangan! Aku meneliti wajahnya, sama-sama berantakan sepertiku. Pandanganku turun pada beberapa tanda merah keunguan di bagian tubuh atasnya. Oh sial sial! Umpat batinku. Apa aku yang melakukan itu? Jika ya, betapa panas dan liarnya diriku semalam? Pikiran itu membuat wajahku memerah, malu sekaligus marah pada diri sendiri. “Anna—“ Kai bergerak untuk menyentuh diriku lagi, tapi dengan penolakan tegas aku beringsut menjauh sampai duduk di sisi ranjang. Dia terkejut “kamu bisa jatuh nanti.” Aku menggeleng, kutatap dia tajam. “Jangan sentuh aku!” “Anna, semalam kamu—“ “Bagaimana bisa kamu tahu aku di sini, Kai?” Aku merasakan getir saat mencecap namanya di lidahku. Pertemuan pertama setelah dua tahun tidak ada sapaan, melainkan kami berakhir layaknya masih suami-istri yang baru lewati malam penuh ga-irah sementara status kami bukan lagi dalam ikatan pernikahan. Air mataku jatuh, tubuhku bergetar. “Apa yang sudah kamu lakukan, sialan!” suaraku meninggi, meski tidak sampai berteriak sembari menarik kaki untuk memeluk diri sendiri. Dua tahun juga berusaha menata hidup dan melupakan dirinya sampai sejauh ini bukan untuk kembali jatuh pada pelukan Kai. Bukan untuk menyerahkan diri padanya lagi dengan mudah! Aku tersedu-sedu menangis, sesali kebodohanku. Jelas-jelas yang aku lihat selama ini, pertanda, kiriman-kiriman yang aku terima adalah dari Kai. Dia bukan hanya bayangan, yang aku menganggap diri sendiri sudah tidak waras. Tap! Kai bergerak cepat dan mendekap tubuhku yang masih bergetar, menangisi kebodohan dan semua yang kuperjuangkan harus kembali ke awal, ke titik nol. “Anna... apa yang telah terjadi pada kita berdua semalam, adalah pertanda. Katakan dengan jujur, you still love me right?” kata Kai begitu percaya diri. Bisa-bisanya dia semakin membuatku marah. Apa dia bilang? Aku masih mencintainya? Cih! Kudorong dadanya dengan kuat, sampai terlepas. Mataku menyorot tajam, dia beri tatapan yang sama, membalasku. Sempat-sempatnya aku memerhatikan wajahnya. Mantan suamiku, Kaivan Lais yang baru menghabiskan malam panas penuh liar bersamaku masih tampan atau malah semakin tampan dari terakhir kali kami bertemu di pertengkaran hebat yang memaksa aku pergi dari rumah, hidupnya. Aku terkekeh pilu, memandang penuh hina mantan suamiku “Bisa-bisanya kamu percaya diri begitu! I Hate you! Jangan harap aku akan kembali padamu, Kaivan Lais!” Dia membisu, tidak melepaskan padangan dariku. Masih mau mendekat, aku berpaling dan mengangkat tangan. Menghentikan dirinya. “Kita sudah usai, Kai! Sudah lama sejak dua tahun lalu, semalam hanya kesalahan yang harusnya tidak terjadi pada kita, dua orang yang sudah berpisah dan berjalan masing-masing!” tegasku. Kai tidak berkata-kata atau mungkin otaknya sedang merancang kalimat lain. Tidak mau tetap bersamanya, aku menyibak selimut, tidak peduli dengan tubuh telanjangku. Bergegas mengambil pakaian yang berserakan asal di lantai, kemudian mendekap dan berjalan cepat masuk kamar mandi. BRAK! Aku membanting pintu kamar mandi, menguncinya. Pertahananku pecah dan luluh di lantai, punggungku bersandar pada daun pintu. Aku menangis tersedu-sedu. Menyesali semua yang terjadi. Oh Anna, kenapa aku masih jadi si bodoh?! Membiarkan sibrengsek itu mempermainkan aku! “I hate you, Kai!” bisikku. Cukup lama aku berada di posisi itu, aku menghapus air mata dengan kasar. Lalu berdiri di depan sebuah cermin di sana menunjukkan penampilanku yang kacau. Sangat-sangat berantakan. Sorot mataku turun pada setiap jengkal tubuh dari wajah dengan mata sembab, sisa make up semalam, rambut berantakan, turun pada leher dan bagian tubuh lain sampai pa-ha atas ada banyak tanda yang Kai tinggalkan termasuk cairan miliknya. Kai jelas tidak memakai pengaman! Oh My goodness! Masih pantaskah aku mengingat Tuhan setelah dosa yang telah aku lakukan semalam?! Aku berbalik dan langsung melangkah menuju shower, air mengguyur seluruh tubuhku. Tok! Tok! Tok! Ketukan berulang-ulang “Anna, kita perlu bicara!” suaranya tidak aku hiraukan. Dia pikir dirinya masih punya hak dalam hidup, tubuh dan hatiku? Tentu tidak, sedetik pun aku tidak akan biarkan Kai mengacau lebih dari ini. Tidak akan pernah! *** Selesai membersihkan diri meski jejak Kai butuh beberapa hari untuk benar-benar hilang dari tubuh. Aku menggunakan bathrobe, dress aku temukan dalam keadaan naas, tidak layak untuk dipakai karena Kai merobek ketika terburu melepaskan dari tubuhku. Tersisa hanya celana dalam dan mantel tebal milikku yang entah berada di mana. Aku berpikir tidak mungkin pulang dengan hanya pakai bathrobe. Untung mantel tebal punyaku panjang sampai ke atas lutut. Aku akan pakai itu. Aku buka pintu kamar mandi, cukup terkejut mendapati Kai setia berdiri di sisi pintu bersandar sudah berpakaian. Dia berdiri dengan satu tas kertas berlogo salah satu pakaian yang sering aku beli. Kai jelas tahu karena dulu yang temani belanja, membayar kebutuhan. Aku menatap dia tanpa ekspresi, tidak percaya dia masih ingat. Kai mengangsurkan tas padaku "kamu butuh berpakaian." “Aku tidak butuh!” Tolakku, tidak mau mengambil dan berjalan melewatinya. Tap! Sayang, Kai memang paling tidak suka aku bersikap menyebalkan. Dengan mudah dia mencekal lenganku. Otomatis langkahku berhenti. “Kamu tidak bisa keluar hanya pakai bathrobe, Anna!” Aku berbalik, menarik kasar tanganku hingga terlepas dari tahanannya. Pandangan kami beradu lekat satu sama lain, aku bersedekap dengan dagu terangkat tidak peduli dia bisa menemukan mata sembabku. Bertindak defensif. Biar dia tahu, perbuatannya sudah menyakitiku sedalam ini! “Kenapa aku tidak bisa?” Kai terkejut dengan perlawananku, berekspresi menaikkan satu alis dan mengambil satu langkah maju, otomatis aku mengambil satu langkah mundur. Ingin konsisten menjaga jarak darinya, terlalu dekat dengan Kai, berbahaya. Jujur saja jantung saat ini pun berpacu dibatas normal. Sekaligus aku muak dapati sisi lemah berhadapan dengan mantan suamiku. Aku jelas membencinya tapi hatiku tidak berkompromi. Kai terkekeh, “ini musim dingin.” Dia menjeda untuk mendesah “dua tahun ini kamu banyak berubah, Anna. Ah, aku lupa mengapa kamu tidak bisa pakai bathrobe keluar di musim dingin sedangkan semalam saja kamu bisa pakai dress super mini.” Sarkasmenya. Terlihat tidak suka fakta menemukan diriku berpakaian super seksi semalam, di kelab malam. “Berhenti pura-pura posesif dan peduli padaku seperti dulu!” aku tidak akan tertipu, bahkan tersanjung dengan sikap palsunya itu. Kai terdiam, garis rahang berkedut. Aku melihat kepalan tangan menggenggam erat tali tas kertas. Dia marah? Aku berhasil provokasi dirinya?! Harusnya aku senang, kan? “See... Kamu kehilangan kata-kata, sama seperti dua tahun lalu huh?!” sindirku. Aku berbalik, baru satu langkah aku merasakan sebuah tarikan sekaligus pelukan. Tap! Tubuhku melayang “KAI!” Dia jelas tidak akan membuat segalanya jadi mudah, harusnya aku lebih sigap. Lebih paham karakter mantan suamiku. “KAI LEPAS! TURUNKAN AKU!" Aku berteriak merakan pusing ketika dengan mudah Kai membopong seperti karung beras di pundaknya dengan posisi kepalaku di bawah. Aku merakan tangan kurang ajarnya kembali meremas bokongku. BRUK! Dia membanting tubuhku di ranjang, bagian bawah bathrobe yang kupakai sampai tersingkap memperlihatkan celana dalamku “Akh! Apa yang kamu lakukan—“ Kalimatku tercekat kala Kai mengurung tubuhku yang berbaring di bawah tubuh besarnya. Satu tangan dengan mudah mengunci tanganku sementara tatapan dingin dan menusuk mataku. “Awas, Kai! Menyingkir dari atasku! You crazy!” kataku muak di depan wajahnya, aku terus memberontak. Dia bergeming, tenagaku habis sia-sia karena Kai terlalu kuat untuk beradu kekuatan dengan diriku. Wajahnya perlahan mendekat, dia akan menciumku. Aku tahu segera berpaling, tidak mau menatapnya, air mataku kembali jatuh. Sementara embusan napas dalamnya menerpa sisi wajahku dan dia mencium pipiku. Aku terisak, membiarkan sisi rapuh diriku menujukan padanya hingga dia tahu jika tindakan ini melukaiku. Dia mengendur, melepas tanganku yang akibat pegangan erat pasti akan membekas kemerahan. PLAK! “Anna—“ PLAK! Aku menamparnya keras sebanyak dua kali, tapi Kai bergeming dengan tatapan dingin. Tamparan pertama beraniku untuknya yang dulu tidak sanggup aku lalukan meski kenyataan itu sudah lebih dulu beri tamparan tak kasat mata yang menyakitkan untukku. “Belum puas kamu, Kai? Apa? Masih kurang semua luka yang kamu beri padaku? setelah dua tahun, kenapa Kai? Kenapa kamu harus muncul lagi... Hah? You bastard!” teriakku meluap segala yang kurasa dengan suara bergetar dan menangis. Aku terisak lagi, rasa sakit berhadapan dengannya membuatku hancur. Kai mematung, menatap ekspresiku. Dia menjauh, pun aku beringsut menjauh masih diatas ranjang. “Pakai baju itu, jangan keras kepala Anna!” Katanya tanpa niat untuk meminta maaf. seperti biasa. Dia bergegas menyingkir. Membiarkan aku tersedu diatas ranjang berantakan bekas pergumulan kami semalam. “I HATE YOU KAI, KAMU DENGAR INI!” teriakku sekali lagi sangat yakin Kai dengar. “Aku membencimu. Benar-benar benci kamu, Kaiva n Lais!” lirihku lagi. Entah kalimat itu sengaja aku ucap berulang-ulang untuk menohok Kai agar mundur atau yang sebenarnya lebih tepat untuk diri sendiri sebagai tembok pertahanan diri dari kehancuran terulang. Oh Tuhan... rasanya sesak sekali! sama seperti pertama kali kenyataan yang kuterima jadi awal luka ini kumiliki.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD