***
Beberapa hari telah berlalu. Setelah kejadian malam itu, dimana Melsa yang memergoki Raditya seranjang dengan selingkuhan lelaki itu, yang tidak lain adalah sahabatnya sendiri, Melsa benar-benar memutuskan hubungan mereka.
Meskipun berulang kali Raditya memohon padanya, tetapi Melsa tetap pada prinsipnya yaitu tidak ada kesempatan kedua untuk seorang pengkhianat. Hampir setiap hari Raditya mendatangi rumahnya dan juga ke tempat kerjanya hanya demi bisa berbicara dengannya.
Cindy pun begitu, sahabatnya yang pengkhianat itu juga meminta maaf padanya. Pagi itu, saat Melsa sampai di kantor, Cindy langsung menghampirinya dan meminta maaf. Namun, Melsa menolak untuk memaafkan, tetapi Cindy tetap tidak mau menyerah dan terus memaksa Melsa agar wanita itu mau memaafkan dirinya. Benar-benar tidak tahu malu.
Melsa berusaha menahan diri sebab sadar jika dirinya sedang di tempat kerja, pun mulai jengah dan berbalik menyerang Cindy. Beruntung saat itu ada Kayla dan Alya, sahabat dekat Melsa yang berusaha menenangkannya. Andai saja kedua wanita itu tidak menahannya, mungkin Melsa sudah mencabik-cabik wajah Cindy.
Melsa muak dengan semua tingkah munafik Cindy. Selama ini, ia selalu bercerita pada Cindy tentang Raditya yang terus-terusan berusaha mengajaknya berhubungan badan. Bahkan Melsa juga menceritakan pada Cindy jika dia sangat mencintai Raditya.
Dan sialnya, ternyata selama ini Melsa bercerita pada orang yang salah.
.
Margatama Corporation,.
Setelah memarkirkan mobilnya, Melsa pun turun dan mengunci kendaraannya tersebut. Sejenak, Melsa meneliti dan merapikan penampilannya kemudian lanjut melangkah masuk ke dalam gedung pencakar yang menjadi tempat ia mengais rezeki selama empat tahun ini.
"Mel…!"
Panggil seseorang. Melsa menghentikan langkah kakinya kemudian menoleh. Disana, Raditya berdiri sehingga tak ayal membuat Melsa memutar malas kedua bola matanya, muak. Ia kembali melangkah dan Raditya berusaha mengejar langkahnya sehingga berhasil meraih pergelangan tangannya lalu dicekal kuat oleh pria itu.
"Apa sih, Dit! Lepasin, nggak?!!" bentak Melsa seraya menarik sebelah tangannya yang di cekal oleh Raditya.
"Aku mau bicara sebentar." ujar Raditya.
"Aku nggak mau! Nggak ada lagi yang perlu dibicarakan lagi dan aku udah nggak ada urusan apapun sama kamu. Lepas!" pekik Melsa berusaha melepas cekelan tangan Raditya di pergelangan tangannya.
"Dari kemarin kamu menghindar terus, Mel. Udah cukup kamu buat aku pusing seperti ini." sarkas Raditya.
"What..?!" Melsa mendelik saat mendengar ucapan pria itu. "Benar-benar nggak tau malu! Apa kamu lupa kalau kita udah nggak ada hubungan apapun lagi?! Kita udah putus! Aku nggak sudi punya pacar penghianat seperti kamu!" pekik Melsa, kesal.
"Bagi kamu, mungkin kita sudah putus. Tapi bagi aku, kamu masih pacar aku, Mel."
"Dasar sinting!" Desis Melsa. "Lepasin, nggak! Tangan aku sakit, Dit!" sesekali Melsa meringis saat merasakan pergelangan tangannya mulai sakit akibat kecelakaan Raditya yang semakin kuat.
"Lepaskan dia! Apa kau tuli?!"
Suara seorang pria lantas membuat Melsa dan Raditya menoleh bersamaan. Disana, Ferdy berdiri menjulang kemudian lanjut melangkah dekat ke arah mereka.
"Jangan jadi pria pengecut dengan cara terus memaksakan kehendak. Dia sudah tidak mau denganmu, jadi lepaskan tangannya!" ujar Ferdy sambil melepas paksa cekalan tangan Raditya di pergelangan tangan Melsa. Ferdy menarik wanita itu supaya menjauh dari Raditya dan membiarkan berdiri di belakangnya.
"Ini tidak ada urusannya sama kamu. Sebaiknya tidak usah ikut campur." timpal Raditya seraya menatap marah pada Ferdy.
"Jelas ada urusannya denganku. Selain gedung ini tempat dia bekerja dan itu artinya keselamatannya adalah tanggung jawabku, dia juga teman baikku. Sedangkan kau? Kau siapa? Mantannya, bukan?" Ferdy menatap remeh sehingga membuat Raditya terus menatapnya tajam.
"Kurang ajar! Kau lihat saja nanti. Kau pasti akan menyesal!" desis Raditya sarat akan ancamannya, kemudian memutar tubuhnya lalu melangkah meninggalkan Melsa dan Ferdy disana.
"Aku tunggu penyesalan yang kamu maksud." teriak Ferdy supaya Raditya bisa mendengarnya.
"Makasih ya, Fer." ujar Melsa setelah melirik kesana kemari memastikan tidak ada karyawan lain yang melihatnya mereka disana.
Ferdy menoleh, menatap Melsa tidak tega. "Sama-sama. Iya sudah, ayo kita masuk." ajak Ferdy.
"Kamu duluan aja. Nanti kalau ada yang liat bisa jadi gosip, Fer." cicit Melsa sehingga tak ayal membuat Ferdy melepas gelak tawa.
"Ya sudah, kamu masuk dulu, baru setelah itu, aku." ujar Ferdy.
"Yaudah, aku duluan. Sekali lagi, makasih ya, Fer." ujar Melsa dan hanya diangguki pelan oleh Ferdy.
Setelah itu, Melsa bergegas melangkah masuk kedalam gedung tempat selama ini dia mengais rezeki. Ketika dia sudah masuk dan hendak berbelok menuju meja kerjanya, tiba-tiba Melsa menghentikan langkah kaki saat seseorang memanggilnya.
"Mel…!"
Melsa menoleh, perempuan itu sontak mengulas senyum saat melihat kehadiran sahabatnya, Kayla, yang sedang melangkah ke arahnya.
"Kay … baru sampai?" tanya Melsa.
Kayla mengangguk sambil mengulas senyum lalu menjawab. "Iya."
"Diantar siapa?" Melsa celingak-celinguk menatap liar ke arah belakang Kayla. "Si Marchell tampan?" lanjutnya bertanya.
Kayla terkikik geli sambil memukul gemas lengan atas Melsa. "Nggak usah goda-goda dia, Mel." ujar Kayla, geli.
"Dia tampan, Kay, jadi sulit dilewatkan." balas Melsa dan keduanya pun lantas melepas gelak tawa.
"Oh iya, tadi aku mau nanya, nanti sore kamu ke rumah sakit, 'kan?" tanya Kayla.
Melsa mengangguk. "Iya, habis pulang kantor aku langsung kesana." jawab Melsa. "Males kalau besok, anak-anak yang lain pasti pada rame-rame kesana." lanjutnya dan Kayla pun mengangguk setuju.
Yah, rencananya nanti sore, Melsa akan berkunjung kerumah sakit untuk menjenguk istri Bos-nya yang baru saja melahirkan. Sebenarnya, kemarin Kayla sempat mengajaknya pergi bersama, namun Melsa menolak sebab sahabatnya itu pergi kesana bersama kekasihnya. Melsa tidak ingin menjadi pengganggu.
"Pergi sendirian?" tanya Kayla.
"Hem. Ya sama siapa lagi, Kay. Aku 'kan udah single." jawabnya Melsa.
"Nanti pasti dapat gantinya. Aku yakin." ujar Kayla.
Sejenak, Melsa menghela nafas lalu membalas. "Aku udah nggak mau sibuk-sibuk mikirin cinta-cintaan. Lima tahun waktuku terbuang sia-sia sama Raditya!"
"Nggak boleh gitu dong, Mel. Jangan pesimis apalagi sampai trauma. Takdir Tuhan mana ada yang tau. Bisa aja, 'kan, hari ini kamu ketemu sama jodoh kamu yang sesungguhnya? Anggap aja Raditya itu hanyalah pengisi waktu luang." goda Kayla.
"Lucu sekali ya, kalau sampai hari ini aku ketemu sama jodoh." Melsa terkekeh geli. "Duh, Kay, kamu ada-ada aja." gumamnya sambil menggeleng pelan. Bagi Melsa sangat tidak mungkin sekali dia akan bertemu jodohnya hari ini, sementara dia saja baru putus dari kekasihnya.
"Ya mana tau, Mel. Semoga saja." timpal Kayla. "Iya udah, aku naik dulu ya, Mel."
"Okay, beb. Aku juga mau cepat-cepat ke meja kerjaku sebelum di semprot sama Pak Hardi." balasnya. Pak Hardi adalah kepala staf yang terkenal killer, kalau kata Melsa.
Setelah itu, Kayla pun berlalu pergi, naik ke lantai atas. Sementara Melsa pun begitu. Perempuan itu lekas melangkah menuju meja kerjanya seraya menyapa beberapa teman dekatnya disana.
"Melsa..."
Melsa yang baru saja menyalakan komputernya sontak menoleh lalu mendengus saat melihat kehadiran Cindy yang ternyata sudah berdiri di belakangnya.
"Gue mau bicara sebentar, boleh nggak." tanya Cindy.
"Gue sibuk! Gue nggak ada waktu buat bicara sama lo!" jawab Melsa, ketus.
"Tapi ini penting, Mel."
"Iya terus? Lo pikir gue peduli?!" sungut Melsa, kesal.
Terlihat, Cindy nampak berusaha menahan rasa kesal atas sikap ketus Melsa. Tambah lagi, keduanya mulai jadi pusat perhatian. Beruntung Pak Hardi belum menampakkan batang hidungnya.
"Beberapa hari ini, Raditya berubah sama gue karena dia terus mikirin lo, Mel. Dan gue harap lo nggak mengubah keputusan lo, terus tiba-tiba balikan sama dia." ujar Cindy tak tahu malu.
Melsa yang tadinya hendak kembali fokus pada layar komputernya yang menyala, pun urung saat mendengar ucapan Cindy barusan.
"Gila ya, lo. Benar-benar nggak tau malu, tau nggak!" desis Melsa kemudian bangkit dari kursi kerjanya dan berdiri tepat di hadapan Cindy.
"Kenapa? Lo takut sekarang, pacar hasil nikung bakalan ninggalin lo? Dan lo pikir gue mau mungut sampah? Gue ini perempuan terhormat, asal lo tau. Gue nggak pernah tersentuh! Walaupun gue tersentuh, gue pastiin itu adalah laki gue. Nggak kayak lo, main ngangkang aja!" hina Melsa.
Saat ini, karyawan-karyawan yang lain mulai fokus memperhatikan mereka.
"Jaga ya mulut, lo!" tukas Cindy sambil menunjuk wajah Melsa. Wanita itu malu sebab Melsa menghinanya didepan orang banyak.
"Mulut gue selalu benar, nggak kayak kelakuan lo, lacur!" desis Melsa.
Kesal dengan hinaan bertubi-tubi dari Melsa, tak ayal membuat Cindy mengangkat tangan kanannya hendak melayangkan tamparannya untuk Melsa. Namun sayangnya, Melsa bukanlah perempuan lemah yang bisa seenaknya diperlakukan seperti itu.
Melsa menahan pergelangan Cindy dan justru berbalik memutar lengan wanita itu sehingga membuat Cindy mengerang kesakitan.
"Aakhh … Melsa, tangan gue! Akkhh sakit, Mel…!" teriak Cindy kesakitan.
"Mau gue patain aja, mau?! Mau nggak?!" Melsa semakin menguatkan pelintirannya di lengan Cindy.
"Aakkhh sakit, Mel..!"
"Mel, ya ampun, lepasin, Mel. Bisa patah tangan anak orang. Lepas ih!" seorang wanita datang dan berusaha melerai. Wanita itu adalah salah satu sahabat baik Melsa yang memiliki nama, Alya.
Melsa melepas pelintiran nya dan membiarkan Cindy menjauh darinya.
"Berani sekali lagi lo usik gue, gue penggal pala lo! Dasar lajang!" pekik Melsa dan Cindy pun langsung berlalu dari sana, takut jika Melsa akan benar-benar memenggal kepalanya.
"Jalangg, Mel." ralat Alya sambil berbisik pelan di samping telinganya.
"Iya, itu maksud gue." gumamnya sehingga tak ayal membuat Alya menggeleng pelan.
"Udah, ih. Bisa nggak sih, lo nahan diri. Kalau lo diliat sama Pak Hardi, gimana coba? Mau, dapat SP?"
"Nggak mau lah! Gue kesel, Al. Dia sama lakinya sama saja. Gangguin gue mulu. Tadi diparkir lakinya yang gangguin gue. Sekarang dia. Gimana gue nggak kesal, coba."
"Iya udah, sabar-sabar. Anak perawan memang harus banyak-banyak bersabar, Mel. Anggap saja ini ujian karena lo masih perawan." ujar Alya.
Melsa memutar malas kedua bola matanya. "Apaan sih, Al. Nggak jelas!" ketusnya dan kembali mendaratkan bokongnya di atas kursi.
"Gue ambilin lo minum bentar. Udah tenangin dulu hati lo. Jangan marah-marah, takutnya ketahuan sama Pak Hardi, Mel. Okay?" ujar Alya mengingatkan.
"Hem, okay." gumam Melsa, pelan.
Setelah itu, Alya pun pergi menuju pantry mengambil air putih untuk sahabatnya itu. Sementara Melsa, wanita itu berusaha meredam rasa kesalnya dan kembali menatap layar itu mulai berusaha fokus untuk mengerjakan kewajibannya.
.
…
Tak terasa, hari sudah sore, jarum jam sudah menunjukkan pukul 03.00 PM. Setelah membereskan meja kerjanya, Melsa beranjak dari atas kursi dan meraih handbags miliknya. Sekali lagi, Melsa memeriksa handbags nya, memastikan jika di dalam sana sudah ada ponsel dan kunci mobilnya.
Setelah itu, Melsa menggeser tubuhnya kemudian membuka langkah dan berlalu pergi. Saat Melsa sampai lobby, tiba-tiba Alya memanggilnya.
"Mel…!" panggil Alya.
Melsa berhenti kemudian memutar tubuhnya, menoleh ke arah sahabatnya itu. Melsa tidak menyahut sebab Alya nampak berjalan ke arahnya.
"Mau langsung ke rumah sakit?" tanya Alya setelah menghentikan langkah kaki dan berdiri tepat di hadapan Melsa.
Melsa mengangguk kemudian menjawab. "Hem. Kenapa? Mau ikut bareng gue aja?" tanya Melsa.
Alya menggeleng pelan seraya celingak-celinguk kesana kemari, memastikan jika tak akan ada satu orang pun yang akan mendengar percakapan mereka. "Nggak, gue cuman nanya. Rencananya nanti malam gue mau pergi sama Pak Ferdy." cicit Alya di akhir kalimatnya.
Melsa sontak mengulum senyum seraya menatap Alya dengan kedua mata memicing. "Udah pernah ML sama doi?" tanya Melsa sengaja menggoda.
plak!
Alya membelalak kedua mata, lalu menampar gemas lengan Melsa.
"Jangan sembarangan kalau ngomong! Kalau Ada yang dengar, gimana, Mel?!" pekik Alya tertahan.
Melsa tertawa pelan. "Ntar bisikin gue rasanya gimana." lagi, Melsa kembali menggoda.
"Ck, udah ih..! Sana..! Mau pergi 'kan, lo?! Sana, huuss…" usir Alya salah tingkah, kesal sehingga tak ayal membuat Melsa melepas gelak tawa.
Setelah puas menggoda sahabatnya itu, Melsa pun bergegas menuju parkir dan langsung pergi menuju rumah sakit tempat istri Bos-nya sedang dirawat. Dan kebetulan sekali hari ini dia pulang kantor lebih awal sebab sudah dapat izin dari atasannya.
.
…
Rumah sakit,.
Hampir tiga puluh menit, Melsa menghabiskan waktu di jalan dan saat ini ia sudah sampai disalah satu rumah sakit terbesar di kota itu. Usai memarkirkan mobilnya, Melsa meraih hampers bayi diatas jok disampingnya. Setelah itu, ia turun lalu menutup dan mengunci otomatis mobilnya.
Ditengah langkah kakinya menuju lobby, tiba-tiba ponselnya berdering. Melsa merogoh benda pipih itu di dalam handbags nya tanpa menghentikan langkah kaki dan memperhatikan jalan di depannya.
Brugh!
"Aaww…!" Melsa meringis.
Tubuh rampingnya terjungkal dan hampers bayi di tangannya pun jatuh. Dengan semua rasa kesalnya, Melsa mengangkat pandangan menatap tajam pada sosok pria yang baru saja menabraknya.
Deg!
***