3. A Gruelling First Job

3113 Words
"Terima kasih sudah mengantarku, Minho." Pemuda Kang di sampingku mengulum senyum lalu menganggukkan kepala. "Anytime,” ucapnya dengan sangat santai, tapi tidak dengan jantungku yang tiba-tiba berdetak penuh tekanan. Sial! Aku mengerjap dan menggoyangkan kepala. Butuh beberapa saat sampai aku mencapai semua kesadaranku. Kupalingkan wajah dan tubuhku. Tangannya gemetar hanya untuk membuka sabuk pengaman. Demi apa pun, ada apa dengan jantungku yang terus bertalu dengan kencang, seolah ingin membunuhku sekarang juga. Hah sial! Mungkin Kang Minho sedang mengolokku di dalam hatinya. Lagi pula siapa juga yang bisa-bisanya membuat drama hanya untuk memuka sabuk pengaman. Sial! Aku benci situasi seperti ini. Situasi di mana aku seperti kehilangan kontrol atas diriku sendiri dan ini sering kali terjadi dan sudah sangat menggangguku. Tak! Akhirnya aku berhasil membuka seat belt. Kuputar tubuhku lalu dengan cepat aku melesak keluar dari dalam mobil. “Fyuh!” Aku mengentak napasnya dengan kasar. Sial! Mengapa aku harus gugup seperti ini dan mengapa aku terus merasakannya ketika aku bersama kang Minho. “Sampai ketemu nanti, Dannys!” Suara itu membuatku mendelik seketika lututku bergerak sendiri, memutar tubuhku. Aku mendapati sudut bibirku berkedut lalu bergerak naik dan aku yakin bahwa raut wajahku tampak seperti orang bodoh yang sedang tersenyum kepada Kang Minho. “Heh ...,” Dan kini aku tertawa konyol. Sial! Gadis batinku muncul dan dengan cepat menampar pipiku, membuatku berpaling. Aku merutuk diriku dalam hati dan berusaha untuk memperlihatkan sikap normal. Lalu kutarik kembali pandanganku ke depan. Sekali lagi memandang Kang Minho. Pemuda Kang itu tersenyum dengan mata tertuju padaku. Kulihat kedua sisi alisnya terangkat naik. Dia pun melambaikan tangannya padaku. Mulutku sudah berkedut dan siap untuk berucap. “Y— ya! Sa— sampai nanti.” Sial! Aku semakin gugup. Sungguh! Aku berani bersumpah bahwa sekarang Kang Minho sedang menertawakan aku di dalam hatinya. Cepat-cepat aku membalikkan tubuh dan melangkah. "Oh ya, Dannys!” Tubuhku sudah berbalik, tapi mendadak dia memanggilku hingga membuatku harus kembali memutar tubuh dan menatapnya. Aku mengulum bibir dan mengerutkan dahi, menanti lelaki itu meneruskan ucapannya. “Jam berapa restoran ini tutup?" Aku mendelik dan seketika diterpa perasaan bingung yang bercampur aduk dengan perasaan gugup ini. “E—ehhh... eum ... se—sepuluh,” jawabku terbata-bata lalu aku bergeming dengan menggelengkan kepalaku. “Ehm!” aku berdehem kuat untuk mengembalikan suaraku. Sial aku benar-benar orang aneh. “Y—yeah, sepuluh. Entahlah. Mungkin juga sebelas. Ah, aku belum tahu. Ini kali pertamaku bekerja." Minho kembali mengulum bibir. Keningnya mengerut tampak berpikir. Lalu mendadak pria itu bergeming dan sial! Mengapa dia selalu menatapku tiba-tiba dan mengapa tiap kali Kang Minho melakukannya, wajahnya selalu tampak sangat tampan hingga kupikir dia punya sihir untuk bisa menghentikan detak jantungku. Aku mendongak dan berpura-pura memandang kawanan burung yang terbang di bawah langit. "Aku akan datang lagi setelah pertemuan di klub." Tanpa menatapnya, aku pun menganggukkan kepalaku. "Hem.” Butuh beberapa saat bagiku, mengumpulkan nyali dan kembali memandang lelaki itu. “kalau begitu sampai jumpa.” Kang Minho kembali melemparkan senyum memesona. Dia mengedikkan kedua bahu dan kupikir dia akan pergi, tapi dia malah mendorong kepalan tangannya ke udara, “Semangat, Dannys!” Ia kembali memamerkan senyum yang memperlihatkan deretan gigi putihnya yang bersih. Oh, aku bersumpah bahwa aku bisa mencium napasnya dari tempatku. “Oh!” Aku bergeming. Mengerjap dan sialan menarik kesadaranku. Terkekeh adalah jalan keluar terbaik untuk mengembalikan kesadaran. “Yeah! I mean, of course.” Entah mengapa bibirku jadi kaku. Mungkin gadis batinku sedang menertawakan kelakuanku yang persis seperti bocah lima tahun. Oh ya Tuhan, mengapa aku masih di sini. Kang Minho sekali lagi memberi senyum terakhirnya. Dia mengangguk kemudian kulihat tangannya memutar mobil. Aku pun bergeming dan mendongak. Dia melambaikan tangan dan aku hanya bisa menatapnya dengan wajah tercengang. “Well, see you later, alligator!” serunya dan mulutku hanya menggagap tanpa kata selain gerakan tanganku yang terus melambai. Setelah mobil Minho telah sepenuhnya berputar. “Oh ... f**k!” Aku mengerjap dan benar-benar mengumpulkan keberanian. Setelah melepaskan desahan panjang, aku langsung mengambil langkah dan bergegas menghampiri restoran di depan. Melewati pintu masuk, mataku langsung tertuju seorang pria bertubuh gempal yang tengah duduk di belakang meja kasir. Aku menarik napas mencoba mengusir perasaan gugup yang tiba-tiba muncul. Butuh beberapa detik dan akhirnya aku siap. Embusan napas panjang yang keluar dari mulutku, menggiring langkahku menuju meja kasir. "Selamat sore, Tuan Dune." Dengan segala hormat, aku menyapa pria bertubuh gempal yang masih terlalu asik menatap majalah di tangannya. Aku melirik ke bawah lalu dengan cepat mendongak kembali saat melihat isi majalahnya. Well, dia sedang mematri tatapan pada gambar Luana Sundien yang menjadi sampul majalah Playboy bulan ini. Aku tahu karena bocah-bocah c***l di kelasku sibuk membincangkannya di jam pelajaran. “Ehm!” Aku bersumpah bahwa suaraku terdengar jelas, tapi kuping lelaki di depanku sudah tertutup fantasi tidak senonohnya. “Tuan Dune!” Dan aku mulai tidak sabar hingga aku tak sengaja mengentak suaraku. Berharap pria bertubuh gempal ini bisa menangkap emosi dari nadaku dan aku sedang mempersiapkan diri untuk menerima amukannya, tapi dia sama sekali tak berkutik. ‘Suck the d**k!’ Aku tak tahan untuk memaki sekalipun hanya di dalam hati. Wajahku sontak berpaling dan mendapati seorang gadis muda sedang duduk termangu-mangu sambil memainkan bolpoin di tangan kiri di atas sebuah buku catatan kecil. Sekejap aku jadi penasaran, apa yang membuat dua orang ini sibuk dengan pikiran mereka hingga mereka mengabaikan bahwa di depan mereka ada satu makhluk hidup yang sedang berdiri dan meminta atensi. Oh ya Tuhan, sepertinya aku harus banyak-banyak bersabar terlebih saat aku diterima di tempat ini. Tenang, Dannys, ini hanya untuk uang! Jangan gunakan hati. Kutarik napas dan aku sengaja mengentaknya dengan kuat. “Mr. Dune?!” Jantungku mengentak dengan kuat dan membuat wajahku terasa panas. Sial! Aku benar-benar kelepasan. Suaraku masih menggema di depan wajahku dan aku bisa merasakan tatapan dari orang-orang di sekelilingku. Namun, aku tak peduli selagi itu bisa menarik atensi lelaki di depanku. Dan aku berhasil! Tuan Dune pandangan, menatapku dari balik kacamata kotak kecil yang tak sepadan dengan wajahnya. Oh sial! Dia membuatku terus menghinanya! “Mau pesan apa?” Aku mendesah, mendelikkan mata dan memalingkan wajah. Sial! “Aku tidak ingin memesan, Mr. Dune, aku ingin bekerja di sini!” Aku mendengkus dan entah mengapa tubuhku terasa gerah. Sedikit melirik ke samping, entah mengapa membuatku penasaran dengan ekspresi dari gadis yang duduk di samping Mr. Dune dan gadis itu masih tak merespon. Aku kembali mendengkus dan memindahkan atensiku pada Mr. Dune. Matanya memandangiku seolah-olah sedang memandang seorang pengemis yang meminta sumbangan. Astaga! Pria itu menatap penampilanku dari bawah ke atas dengan pandangan menilai dan dengan bodohnya aku mengikuti arah tatapannya. Skinny jeans, kemeja kotak-kotak, coat berwarna hitam dan sepatu boots. Aku cukup yakin tampilanku terlihat manusiawi. "Kami tidak menerima pekerja lepas.” Mulutku menganga dan mataku terbelalak. Apa-apaan pria ini! "Maaf, tapi kemarin aku sudah ke sini dan melamar pekerjaan dan kau juga sudah menerimaku dan menyuruhku masuk hari ini." Pria itu menarik kaca mata yang bertengger di hidungnya. Tatapan Mr. Dune makin menilai. Sejujurnya dia mulai membuatku berpikir jika dirinya ini seorang c***l. Tolong. Demi apa pun, aku risih sekali ditatap seperti itu. "Namamu?" "Dannys!” jawabku dengan nada mengentak. "Dannys Madeline." Pria itu kembali menaikkan kaca mata. Ayolah. Kau tidak terlihat setua itu untuk melupakan percakapan kita kemarin sore. Dia mulai menghela napas hingga dadanya mengembang lalu sambil mematri tatapan menyelidik padaku, pria itu kemudian melepaskan napasnya dengan desahan panjang. "Kalau begitu pergilah ke belakang. Banyak pekerjaan yang menunggumu." Oh, akhirnya. Aku mendesah lega dan tanpa berlama-lama aku langsung memutar tubuh dan berjalan meninggalkan tuan Dune bersama gadis di sampingnya. Sempat kulihat gadis itu membola matanya mengikuti gerakanku. Entah mengapa mereka berdua terlihat sangat aneh. Aku menggeleng dan fokus pada tujuanku. Hanya ada satu pintu, yaitu di samping kiri meja kasir dan aku langsung berasumsi jika di balik pintu itulah tempat yang ia maksud. Tepat saat aku mendorong pintu tersebut mataku langsung disuguhkan pemandangan dapur yang ... sialan kacau! Hanya ada dua orang pria berpakaian kemeja putih dan mereka tengah sibuk mengaduk wajan dengan spatula. Aku kembali berasumsi jika mereka adalah koki. Salah seorang dari mereka menoleh ke arahku. Mungkin dia menyadari jika ada manusia yang baru masuk. "Kau karyawan baru?" Well, sambutan yang hangat. Aku mengangguk. "Hem," gumamku. "Kalau begitu kau bisa segera menyimpan buku-bukumu lalu mengganti pakaianmu dengan pakaian yang ada di sana." Aku mengikuti arah dagunya yang menunjuk ke samping. Sebuah loker berdiri beberapa meter dari tempatku. Aku kembali menatap lelaki itu. Bergumam dengan anggukkan kepala sebelum mengambil langkah menghampiri loker. Aku membuka salah satu loker di sudut kanan atas. Tempat itu kosong dan aku langsung menaruh buku dan tasku di sana. Lantas kubuka lagi loker di samping berharap akan menemukan seragam seperti mereka dan tepat saat aku membuka pintu ketiga, aku menemukan setumpuk pakaian berwarna hitam putih. Aku mengira-ngira mana yang sekiranya pas dengan tubuhku. "Nona, bisakah kau mempercepat sesi ganti pakaianmu?" Aku menoleh pada pria bersuara bariton yang sebelumnya tak menggubris kehadiranku dan kini ia tampak terganggu. Terlihat dari pandangan sinisnya yang seperti ingin menghabisiku saat ini juga. Insting memberitahu bahwa aku secara tak sengaja telah masuk di kandang singa. "Ba—baik." Aku menggagap. Memeluk seragam yang baru kuambil dari dalam loker lalu bergegas memasuki pintu kecil di samping loker. Sebuah kamar kecil yang ukurannya benar-benar kecil. Aku berasumsi jika ruangan ini tak lebih besar dari dua kali dua meter. Aku meletakan seragam di tanganku ke atas wastafel lalu segera membuka pakaianku sendiri. Kemeja putih tanpa kerah dan celana berbahan kain dengan panjang hingga ke tumit. Aku bergegas memakai dua benda itu. Sekilas menatap kaca untuk memastikan penampilan. Aku merapikan rambut dengan menguncirnya lalu bergegas keluar dari tempat kecil ini. Pria berpenampilan rough yang beberapa menit yang lalu berteriak padaku kembali menatap aku dengan pandangan sinis. Matanya mengecil saat ia mulai melangkah menghampiri aku yang masih mematung di tempat. "Tunggu apa lagi? Kau mau bekerja atau terus berdiri di situ?" Aku menghela napas lalu mengembuskannya dengan cepat. Tampaknya pekerjaan ini tak akan muda. Well, baru semenit dan aku sudah merasa tertekan karena dua orang ini seperti tak ingin aku berada di sini. Aku mencoba untuk menerima semua ini dengan alasan profesionalitas. Oke, Dannys. It's time to rock your job. Aku mendekat pada pria muda yang sedikit lebih ramah dari pria bertato bersuara bariton. "Apa yang harus aku kerjakan?" tanyaku. Ia berbalik. "Bersihkan piring kotor," ucapnya dengan nada datar. Ia menunjuk lewat dagunya. Pandanganku berputar mengikuti arah tatapan pria itu dan seketika mulutku terbuka. "What?" Tanpa sadar aku bergumam. 'Yang benar saja!' batinku. Sekilas aku melihat pria di sampingku menyengir membuatku menyesali pertanyaanku. "Kenapa?" Suara pria itu menarikku kembali ke kenyataan. Aku mendesah lalu memaksa bibirku membentuk senyum simpul. Mau bagaimana lagi, aku sudah di sini dan uang di rekeningku makin menipis. 'Well, Dannys, sepertinya kau tak punya pilihan lain. Pergi dan selesaikan semua pekerjaan itu.' Langkahku berat, tapi aku tetap ke sana. Kuambil apron berwarna hitam dan sarung tangan berbahan lateks warna stabilo yang terletak di samping wastafel dan mulai melakukan pekerjaan. *** "Hahh ...." Aku membiarkan tubuhku beringsut ke bawah. Ini baru lima jam dan tubuhku sudah meneriakkan rasa sakit. Tanganku kebas dan pangkal pundakku terasa sangat berat. “s**t!” Aku menundukkan kepala dan memijat bahuku perlahan. Pria berambut gondrong cepol itu tak henti menyuruhku. Setelah membersihkan timbunan piring kotor, dia kembali memerintahku untuk mengantar makanan. Entah mengapa aku jadi ingin memaki restoran ini yang begitu ramai di hari pertamaku bekerja. Aku cukup yakin jika ingatanku masih tajam. Kemarin restoran ini tak seramai sekarang. Aku tersentak saat mendengar suara dari gagang pintu yang sontak membuatku langsung berdiri. Pria muda berambut tembaga dengan manik cokelat baru saja keluar dari dalam dapur. Ia tampak tidak menghiraukanku. Kulihat pria itu mengeluarkan sesuatu dari bagian belakang kantung celananya. Sebungkus rokok. Ia mengambil sebatang dari sana lantas menyodorkan benda itu padaku. "Aku tidak merokok," ucapku. Pria itu memerengut bibir sambil mengangkat setengah bahunya. Ia beralih untuk memasang pematik lantas membakar ujung rokok. Aku memalingkan wajah dan kembali bersandar pada dinding untuk mengistirahatkan tubuhku di sana. Restoran sudah sepi dan sebentar lagi akan tutup. Tidak ada orderan lagi hingga aku bisa menikmati sedikit waktu bersama udara dingin dan pria yang entah siapa, aku juga tak ingin mencari tahu identitasnya. "Siapa namamu?" Tiba-tiba dia bertanya membuatku harus memberikan atensi kepadanya. "Dannys," jawabku. Pria itu mengangguk. Dia menghisap cerutunya lalu memutar tubuh menghadapku. "Calvin," ucapnya sambil menjulurkan tangan. Kutarik bibir membentuk senyum simpul lalu aku berdiri untuk menyambut tangannya. "Senang berkenalan denganmu, Calvin." "Kau juga gadis yang menyenangkan, Dannys." Aku tertawa hambar lalu membuang muka ke sembarangan arah. Pria ini adalah manusia pertama yang mengira jika aku gadis menyenangkan. Well, hampir dua tahun hidup di Madison dan aku tak memiliki banyak teman. Atau mungkin beberapa. Entahlah. Aku tak punya kedekatan dengan siapa pun selain Kang Minho. Ya, kupikir-pikir Kang Minho memang dekat dengan semua orang. Akulah satu-satunya manusia yang memilih mengasingkan diri. "CAL!" Aku dan Calvin spontan memutar pandangan. Refleks, aku menarik tanganku dari dalam genggaman Calvin. Oh astaga, jantung ini langsung merespon dengan memberi tekanan kuat. "KEMARI!" teriaknya lagi. Kudengar Calvin mendengkus. Ia kembali memutar pandangannya padaku. "Hah ... manusia itu," gumamnya. Pria itu menghisap cerutunya dengan cepat lalu membuang benda itu ke sembarangan arah. "Sebaiknya kau juga masuk. Vasco sangat menyeramkan saat sedang marah," ujar Calvin. Vasco? Oh, jadi nama pria berwajah gahar itu Vasco? Hem ... kupikir namanya sesuai dengan tampilannya yang sangar. Benar-benar sangar. "Hem." Aku bergumam sambil menganggukkan kepala dan setelah Calvin memutar tubuhnya, aku langsung menyusul lelaki itu tepat di belakangnya. "Hei, kalian sedang pacaran?" Baru saja masuk, tapi aku sudah merasakan atmosfer berbeda di dalam ruangan ini. Temperatur di luar masih di bawah nol derajat celsius, tapi entah mengapa saat aku masuk ke dalam dapur ini, tubuhku langsung terasa gerah. Terlebih tatapan pria bertato dengan wajah gahar yang tengah berdiri dengan posisi tegap sambil bersedekap memandangiku. Sungguh, tatapannya itu seperti harimau lapar. Kudengar Calvin berdecak kesal. Ia berjalan menghampiri nampan di atas meja persegi panjang. "Kau!" Aku tersentak. Tanpa sadar jemariku bergerak sendiri memilin ujung baju. "Kenapa masih berdiri di sana, hah?!" teriaknya lagi. Aku ragu untuk mendongak, lantas kupilih untuk menganggukkan kepala. Memberanikan diri untuk menghampiri tempat pencucian piring karena sepertinya posisi inilah yang paling cocok denganku. Apalagi. Aku memang sempat ragu saat pak tua Dune langsung menerimaku kemarin. Oh, ternyata mereka sedang tidak punya karyawan untuk mencuci piring. Baiklah. Aku bisa mencuci ribuan piring. Tak masalah. Asalkan tidak dibayangi oleh .... "Apa!" bentaknya lagi. Sial. Dia membuat jantungku berjempalitan. Gadis batinku berlari dan bersembunyi. Menghilang di sudut tak terlihat karena takut mendengar suara bariton berat yang menggema menutupi semua suara di dalam dapur kecil ini. "Ti-tidak." Bibirku pun masih bergetar. Sialan. Manusia macam apa dia. Aku bisa merasakan tatapan tajamnya yang mengarah ke punggungku. Rasanya seperti tertusuk ribuan jarum, membuatku merinding. "Kerjakan tugasmu dengan benar!" Pangkal pundak sebelah kiriku terangkat secara alamiah ketika mendengar bisikan Vasco yang terdengar menakutkan. Gadis batinku ikut merinding, membuat tubuh ini membeku dalam posisi pengecut selama beberapa detik. Namun, sejurus kemudian aku bisa bernapas lega saat mendengar suara pintu yang dibanting dengan kuat. Oh my ... jika dia lebih lama lagi di sini, aku bersumpah kalau jantungku akan meloncat keluar dan belari pergi meninggalkan aku. Demi alam semesta. Ibarat di hutan belantara, aku seorang anak anjing yang tersesat dan Vasco adalah raja hutan yang siap memangsaku. "Erggh ...," gumamku dengan tubuh yang bergetar. "Dannys." Aku menoleh pada Calvin yang baru saja kembali ke dapur setelah mengantar pesanan. Ia berjalan tergesa-gesa menghampiri lemari es. "Bisa tolong bantu aku?" tanya Calvin. Pria itu bergerak cepat dan gesit. Aku jadi ikutan gugup melihat tingkahnya. "Ya, tentu." "Tolong isi air dalam wajan." Aku mengangguk. Bergerak secepat mungkin untuk mengambil wajan kemudian mengisinya dengan air. Tanpa menunggu perintah selanjutnya, aku langsung menaruh wajan di atas kompor dan tangan Calvin mampu menjangkau tuts untuk menyalakan kompor. "Apa lagi?" tanyaku. "Ambilkan bihun lalu masukkan ke dalam air." Aku mengangguk lagi lalu berjalan. Namun, setelah tiga langkah aku baru menyadari jika aku tidak tahu di mana tempat bihun. "Kabinet tengah samping kulkas," ucap Calvin. Aku ingin bertanya kenapa dia bisa tahu isi pikiranku, tapi situasinya sangat mendesak. Aku berlari menghampiri kabinet yang dimaksud Calivin lalu mengambil sebungkus bihun dari sana. Entah mengapa aku menjadi begitu gugup. Seketika aku teringat pada sebuah acara kompetisi memasak yang pernah kutonton saat SMP. Satu hal lagi, Vasco itu mirip sekali dengan salah satu juri kompetisi itu. Baik tampilan dan gaya bicaranya. Oh my God, entah mengapa mengingat wajah Vasco membuat aku merinding. Kubuang napas yang menyesak di d**a. Tanganku bergetar saat hendak merobek bungkusan bihun. "Setengah saja, Dannys." "Oh, oke." Aku mengikuti perintah Calvin untuk memasukkan setengah isian bihun. Setelahnya, aku kembali menoleh pada Calvin. "Apa lagi?" tanyaku. "Sudah. Terima kasih." Calvin menutup kalimatnya dengan senyum kotak dan ia kembali pada kesibukannya. Tangan Calvin begitu mahir mengiris daun bawang. Dia berlari lagi ke tempat perkakas. Tubuhnya melesat dengan cepat bagai tiupan angin. Sangat cepat. Seketika telah berada di depanku. Mulutku sampai terbuka dengan kedua alis yang terangkat. "Dannys, tolong ambilkan saringan." Tubuhku refleks bergerak saat menerima perintah dari Calvin. Mataku langsung terpaku pada sebuah sendok saringan berbahan steinless steel yang terletak di samping tempat cucian piring. "Ini," kataku sambil menyodorkan benda tersebut pada Calvin. Pria itu bergerak lagi. Ia meniriskan bihun setelah mematikan kompor. Lima detik untuk membuang air dalam wajan. Tiga detik untuk kembali ke meja kerja, selanjutnya ia mulai menata piringnya. Aku melongo. 'Wow ...,' batinku bergumam. Pria ini benar-benar begitu mahir. Hanya dalam hitungan menit sebuah menu telah tersedia. Aku tahu nama menu ini. "Kupikir sudah tak ada yang akan memesan guay teow rhua," kata Calivin. Ia sedang sibuk menyendok kaldu dari dalam panci. Makanan khas Thailand yang mirip dengan menu favoritku, bakso. Hanya saja guay teow rhua ditaburi banyak jeroan daging. Aku bisa mengatakan jika makanan itu tak bisa dinikmati oleh kalangan luas karena kebanyakan orang Amerika mencampurkan beberapa pork chops ke dalam menu tersebut. "Dannys, bisakah kau mengantar pesanan ini?" Aku menegakkan badan. "Ya tentu," jawabku. Dengan hati-hati aku membawa makanan berkuah ini. Saat tiba di dalam restoran, aku memutar pandangan dan tepat saat itu juga mataku menangkap tangan seseorang yang sedang melambai padaku. "Minho?" Aku terdiam dengan bola mata terbelalak. Sejenak tubuhku menjadi kaku akan visualnya yang tak pernah sia-sia. Ya Tuhan ... lelahku langsung hilang ketika melihat wajah Kang Minho. Betapa tampannya lelaki itu. Aku bersumpah bahwa tak ada yang dapat melebihi visualnya. “Hai!” Panggilan itu membuatku bergeming. Aku berdehem dan akhirnya siap untuk melangkah. Dan ya! Itu terjadi lagi. Perasaan gugup yang membuat tubuhku gemetar. Astaga! Sepertinya aku harus banyak-banyak latihan olahraga jantung saat berdekatan dengan Minho. Jika tidak tubuhku akan mati terbeku dalam posisi berdiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD