Mulai Magang

2205 Words
Selesai mengerjakan tugas yang diberikan Teddy, Jonathan pamit sebentar untuk melihat keadaan Amel. Namun, saat tiba di bagian resepsionis, dia tidak menemukan gadis itu di sana.  “Mbak, liat Amel?” tanya Jonathan pada Mila. “Tadi sih bilangnya mau keluar sebentar. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Mila ramah. “Oh, makasih Mbak. Kalo gitu saya pamit dulu, mau cari Amel.” Selesai berkata, Jonathan berjalan keluar dan mulai mencari Amel, hingga dia melihat gadis itu sedang duduk di bangku kayu yang menghadap ke laut. Dia berjalan menghampiri Amel. Setelah dekat, Jonathan mengerutkan kening karena melihat bahu Amel yang naik turun seperti sedang menangis. “Kamu kenapa Mel?” tanya Jonathan. “Gapapa,” sahut Amel sambil menghapus sisa air mata di pipi. “Kamu nangis?” tanya Jonathan sambil berjongkok di depan Amel. “Kamu kenapa?!” tuntut Jonathan. “Gue kesel, dan malu Jo,” sahut Amel. “Karena?” “Tadi gue diomelin sama tamu, padahal udah gue jelasin baik-baik.” “Tunggu, tunggu!” ujar Jonathan. “Coba tolong kamu jelasin dari awal, biar aku ngerti.” “Tadi kan ada tamu yang dateng, kebetulan gue yang terima. Semuanya lancar, sampe istrinya tau-tau dateng ke resepsionis dan langsung marah-marah. Dia bilang udah telepon minta dibawain handuk baru.” Amel mengembuskan napas panjang, membuang rasa kesal di dadanya. Mengingat perkataan wanita tadi, membuat perasaannya kembali memburuk. “Terus?” tanya Jonathan. “Gue bilang kalo minta handuk baru bukan ke resepsionis, tapi ke bagian pelayanan kamar, dan gue juga bilang kalo nggak terima telepon dari kamarnya dia.” Amel kembali menitikkan air mata karena kesal dengan sikap wanita tadi yang semena-mena dan memandang rendah dirinya. Juga mengingat jika kedua resepsionis yang bertugas tidak membantu, hanya diam. “Eh, dia langsung marah-marah nggak jelas, sambil nunjuk-nunjuk muka gue dan bilang gue itu cuma modal tampang doang, tapi nggak becus kerja. Kan gue keki ngedengernya.” “Emang nggak ada yang nolongin kamu? Mbak Mila ke mana?” “Mbak Mila belum dateng, kan dia giliran siang.” “Yang lainnya?” “Mereka diem semua, dan nggak ada yang bantuin gue, padahal mereka juga tau kejadiannya.” “Terus sekarang masalahnya udah selesai?” tanya Jonathan penasaran. “Kayaknya udah, soalnya Pak Teguh dateng, dan ngajak itu orang ngobrol ke kafe.” “Ya udah, ntar aku coba cari tau,” ujar Jonathan. Kemudian Jonathan berdiri dan duduk di samping Amel, meraih bahu gadis itu dan merangkulnya dengan hangat. Amel memejamkan mata dan meresapi kenyamanan dari lengan pemuda itu yang selalu dapat membuat dirinya tenang. “Tadi gue sempet mikir mau balik aja ke Jakarta,” ujar Amel setelah suasana hatinya membaik. “Kenapa nggak jadi?”  “Malu sama Brenda,” sahut Amel. “Kok Brenda?” “Gue kan sempet ngomong sama dia pengen mandiri dan nggak akan mundur, walaupun ada yang marah sama gue.” Jonathan terkekeh mendengar perkataan Amel. Dia tidak percaya jika sahabatnya sungguh-sungguh mengatakan hal itu, karena Amel yang dikenalnya selama ini kerap bertindak ceroboh dan mengikuti emosinya terlebih dahulu, menyesal kemudian. “Elo ngetawain gue?!” sentak Amel. “Sori, habis lucu aja dengernya. Nggak nyangka kamu bisa ngomong kayak gitu ke Brenda.” “Udah ah, gue mau balik ke depan,” ujar Amel sambil berdiri. “Lho bukannya jam kerja kamu udah selesai?” “Iya, tapi gue mau bantuin Mbak Mila sekalian belajar lagi.” Sejak membantu di bagian resepsionis, Amel benar-benar merasa jatuh cinta dengan semua hal di sana. Banyak ilmu yang dia dapatan, apalagi Mila yang selalu ramah dan mengajari dirinya dengan sabar. Amel berjalan meninggalkan Jonathan, menuju ke bagian resepsionis.  “Kok balik lagi?” tanya Mila. “Emang nggak boleh Mbak?” tanya Amel sambil mengerucutkan bibirnya. “Ya boleh dong, cuma apa kamu nggak cape?” “Sedikit sih, tapi enakan di sini daripada di kamar.” “Ya udah, kalo gitu bantuin Mbak salin data ya, bisa?” “Bisa dong,” sahut Amel. Amel langsung mengerjakan tugas yang diberikan Mila dengan hati-hati supaya tidak ada kesalahan sedikitpun.  “Mbak, mau tanya dong,” ujar Amel memecah keheningan, “Tanya apa?” “Itu masalah yang tadi udah beres?” “Udah,” sahut Mila. “Baguslah.” “Tadi Hana sama Andien juga udah ditegur sama Pak Teguh, karena nggak bantu selesaikan masalah. Jadi kamu tenang aja, karena memang kesalahan bukan di kamu.” “Tapi apa nanti Mbak Hana sama Mbak Andien nggak jadi marah sama saya?’ tanya Amel yang merasa khawatir. “Tenang aja, mereka mau marah pun, tetep mereka yang salah. Lagipula kamu kan di sini hanya magang, bukan karyawan tetap.” “Saya jadi nggak enak sama mereka.” “Udah kamu tenang aja.” “Iya Mel, tenang aja. Kalo kamu nggak nyaman sama mereka, bilang aja sama kami,” sahut Desi, resepsionis lainnya yang kebetulan bertugas bersama Mila hari ini. “Iya Mbak, makasih ya.” Amel pun kembali mengerjakan tugasnya hingga selesai. Kemudian menyerahkan pada Mila untuk diperiksa. “Eh Mel, aku boleh tanya nggak?” tanya Desi setelah beberapa saat. “Tanya apa Mbak?” “Kamu sama Jonathan udah berapa lama berteman? Kok kayaknya kalian akrab banget.” “Oh itu, kita temenan sejak kecil Mbak, sejak Jojo pindah dan tinggal di sebelah rumah.” “Wah …, lama juga ya. Eh, tapi pernah nggak sih kamu suka sama dia atau menganggap Jonathan itu lawan jenis?” Amel langsung terdiam mendengar pertanyaan Desi yang sangat tiba-tiba.  “Selama ini sih belum pernah Mbak,” sahut Amel. “Wah hebat itu. Yang aku tau, susah banget buat cowok dan cewek temenan tanpa timbul perasaan suka,” sahut Mila. “Oh ya?” tanya Amel. *** Selesai bekerja, Amel sengaja berjalan-jalan di pantai. Dia ingin menghabiskan waktu di sana sambil memikirkan obrolannya dengan Mila dan Desi.  Amel mencoba menelaah perasaannya sendiri terhadap Jonathan akhir-akhir ini. Bagaimana hatinya yang selalu berdegup tidak keruan saat Jonathan bersikap lembut dan perhatian padanya. “ Apa gue suka beneran sama Jojo? Tapi kayaknya nggak mungkin deh. Lagian kalo emang gue suka sama dia, Ardian mau dikemanain?” gumam Amel. Kira-kira Jojo pernah nggak ya suka sama gue?”  Amel melepaskan sepatunya, dan duduk di atas pasir yang lembut. Dia memandang langit di hadapannya yang mulai berubah warna menjadi kemerahan. Amel mengangkat kedua tangannya dan menyatukan kedua jari telunjuk dan jempolnya membentuk lensa kamera, seolah-olah ingin mengabadikan warna langit yang cantik. Terlarut dengan keindahan pemandangan di depannya, Amel tidak menyadari Jonathan yang datang dari belakang. “Ngapain sendirian di sini?” tanya Jojo sambil duduk di samping Amel. “Lagi ngeliatin itu,” ujar Amel sambil menunjuk matahari yang sebentar lagi terbenam. “Bagus banget kan?” “Hm.”  Untuk beberapa saat, tidak ada yang berkata-kata. Mereka menatap matahari yang mulai terbenam, seolah-olah tenggelam masuk ke dalam lautan yang terbentang luas.  Amel mengubah posisi duduknya menjadi menatap Jonathan dari samping. Dia memandangi sahabatnya dengan seksama.  “Jo, gue boleh tanya sesuatu nggak?” Jonathan menoleh dan segera mengikuti Amel dengan mengubah posisi duduknya hingga berhadapan dengan gadis itu. “Kamu mau tanya apa?” “Tapi elo nggak boleh marah ya.” “Hm.” “Janji?” “Iya, aku janji nggak akan marah,” sahut Jonathan lembut. “Selama ini pernah nggak elo punya perasaan yang beda ke gue?” tanya Amel takut-takut. “Maksud kamu?” tanya Jonathan pura-pura tidak mengerti. “Pernah nggak elo suka sama gue? Atau anggep gue sebagai cewek?” Jonathan terdiam mendengar pertanyaan yang baru kali ini diucapkan Amel. Khawatir Amel dapat melihat perasaannya, Jonathan mengubah posisinya dan kembali melihat ke arah laut. Jonathan bingung untuk menjawab apa pada Amel. Sangat tidak mungkin mengungkapkan perasaannya, dan bagaimana mungkin gadis itu tidak mengerti. Semua yang dia lakukan hanya untuk Amel, karena hanya nama gadis itu yang memenuhi hati dan pikirannya setiap saat.  “Entah, aku juga nggak tau Mel,” sahut Jonathan. “Aku sudah terbiasa sama kamu sejak lama, jadi aku sendiri juga nggak ngerti,” lanjut Jonathan karena dia melihat Amel hendak berbicara. “Kenapa kamu tiba-tiba nanya beginian?” “Tadi gue ngobrol sama Mbak Mila dan Mbak Desi. Mereka tanya apa gue atau elo pernah saling suka,” “Terus jawaban kamu apa?” sela Jonathan. “Gue bilang belum pernah. Tapi kan gue jadi kepikiran. Apalagi kata mereka sangat jarang lawan jenis itu bisa sahabatan lama tanpa ada yang saling suka satu sama lain.” “Emang kamu pernah suka sama aku?” tanya Jonathan penasaran. “Entah Jo. Tapi kalo elo nggak ada rasanya sepi aja, kayak ada yang kurang gitu. Itu namanya suka bukan?” tanya Amel dengan polos. Jonathan mengacak rambut Amel dan membuatnya jadi makin berantakan. Dia lega karena Amel tidak mengetahui perasaannya. Namun, Jonathan sangat berharap jika suatu hari nanti, gadis itu dapat mengetahuinya. “Ih …, hobi banget sih ngacak rambut gue! Jadi berantakan tau!” dengkus Amel. “Kan emang udah berantakan ditiup angin,” ledek Jonathan. Dengan gemas, Amel mencubit pinggang Jonathan. “Sakit Mel,” ujar Jonathan lembut sambil memegang tangan Amel. Amel langsung melepaskan tangannya karena merasa seperti terkena sengatan listrik saat dipegang oleh Jonathan. Jantungnya langsung berdetak dengan cepat, membuatnya khawatir kalau Jonathan akan mendengar. “Jo, gue laper, cari makan yuk,” ujar Amel mencoba menutupi debar di dadanya. “Ayo. Kamu mau makan apa?” “Sebenernya gue kangen masakan mama,” sahut Amel. “Ya susah kalo gitu. Masa kita mesti balik ke Jakarta?” “Nggak gitu juga sih Jo! Kan gue cuma bilang kangen sama masakan mama,. Nggak bilang harus!” “Maaf deh. Kalo gitu kita jalan aja di sekitar sini, cari tempat makan yang enak.” Jonathan berdiri terlebih dahulu, kemudian mengulurkan tangannya pada Amel. Sejenak Amel ragu, akan tetapi akhirnya dia menyambut uluran tangan pemuda itu dan berdiri. “Ayo jalan,” ujar Jonathan yang tidak melepaskan genggaman tangannya pada Amel. Mereka berjalan keluar dari area resort. Jonathan dan Amel menyusuri jalanan sambil mencari-cari tempat makan. Akhirnya Amel menemukan sebuah tenda di depan mereka yang menjual berbagai macam hidangan laut. “Kita ke situ aja yuk,” ujar Amel sambil menunjuk ke arah tenda. “Boleh,” sahut Jonathan. Mereka mempercepat langkah dan masuk ke dalam tenda yang tidak terlalu ramai. Jonathan memilih tempat di pojok supaya tidak terganggu jika ada pengunjung lain yang datang. “Kamu mau makan apa?” tanya Jonathan sambil melihat daftar menu. “Bingung Jo, karena banyak pilihan dan keliatannya semua enak-enak.” “Pilih aja apa yang kamu suka, tapi harus habis.” “Oke, siapa takut,” sahut Amel. Ketika makanan datang, Amel makan dengan lahap dan menepati janjinya dengan menghabiskan semua. “Kenyang banget,” ujar Amel sambil tertawa puas.  “Kamu makan kayak yang udah sebulan nggak dikasih makan Mel,” sahut Jonathan. “Biarin aja, mumpung ditraktir sama elo,” sahut Amel seenaknya. “Kamu yakin bisa jalan sampe resort?” “Yakin lah. Emang mau pulang sekarang?” tanya Amel. “Hm. Aku pengen mandi Mel.” “Baiklah,” sahut Amel. “Mari kita pulang.” Amel dan Jonathan menyusuri jalan dengan santai sambil menikmati angin laut yang bertiup hingga tiba di resort sambil bergandengan tangan.  Setelah itu Amel masuk ke dalam kamarnya, mandi, kemudian membaringkan tubuhnya di tempat tidur. “Ah …, nyamannya,” desah Amel sambil merentangkan kedua tangannya. “Enaknya ngapain ya? Mending gue telepon mama.” Amel mengambil ponsel di meja nakas, kemudian menekan nomor Laras. Amel menunggu sesaat sampai ibunya menjawab panggilannya. “Mam?” panggil Amel. “Kenapa Lia? Kenapa belum tidur?” “Amel baru selesai mandi Mam, dan kangen pengen denger suara Mama.” “Kamu udah makan?” tanya Laras lembut. “Udah dong. Tadi diajak Jojo makan deket resort.” “Kamu sehat kan?” “Sehat Mam.” “Gimana kerjaan kamu? Pegawai yang lain baik kan sama kamu? Makan kamu teratur kan?” “Semuanya baik Mam,” sahut Amel mencoba menenangkan ibunya. “Mama sama yang lain juga sehat kan?” “Sehat Lia. Oh iya kamu dicariin tuh sama Oma. Dia sempet marah waktu tau kamu kerja di sana.” Amel tertawa mendengar perkataan ibunya. Oma Mawar, ibu dari Laras memang sangat menyayangi dirinya dan terkadang terlalu berlebihan jika menyangkut dirinya. “Nanti biar Amel telepon, biar oma tenang dan nggak marah lagi. Mama kapan mau main ke sini?”  “Belum tau. Emang kenapa?” “Amel kangen masakan Mama,” sahut Amel manja. “Emang di sana makanannya nggak enak?” “Enak sih, cuma kan beda Mam. Kemana-mana lebih enak masakan Mama.” “Emang kamu mau makan apa?” “Apa aja, asal buatan Mama.” “Ya udah, nanti biar Mama minta tolong Pak Darmo anterin,” “Katanya mau belajar mandiri!” seru Brenda yang ternyata ikut mendengarkan pembicaraan mereka. “Berisik lo!” balas Amel sambil tertawa. “Sirik aja!” “Gue mah nggak sirik Kak, cuma lucu aja denger omongan lo. Mana yang bilang mau mandiri?!” sindir Brenda. “Elo belum ngerasain sih. Ntar pasti tau rasanya kalo udah ngerasain. Tempat terindah dan ternyaman itu adalah rumah di mana ada keluarga kita,” sahut Amel.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD