Hadiah yang Menambah Beban

1986 Words
“Lia, kamu nggak kuliah?” tanya Laras saat melihat putri sulungnya masih duduk santai di rumah. Amel yang tengah membaca di teras belakang menoleh ketika mendengar suara Laras. Dia tersenyum sebelum menjawab. “Kuliah Mam, cuma masuk jam satu,” sahut Amel sambil tetap membaca majalah. “Kok tumben? Biasanya kan kalo Rabu kamu kuliah dari pagi.” “Dosennya nggak masuk Mam.” “Terus nanti berangkat kuliah sama siapa? Sama Jojo kan?” “Nggak tau. Semalem Jojo bilang mau ke tempat temennya yang deket kampus.” “Terus kamu gimana?” tanya Laras sedikit khawatir. “Gampang Mam, naik bis juga bisa,” sahut Amel enteng. “Bis? Emang kamu pernah naik bis?” “Ya pernah dong.” “Kapan?” “Beberapa kali, pas pulang kuliah dan nggak bareng sama Jojo.” Laras terkejut mendengar jawaban Amel yang terdengar begitu santai dan tanpa beban, seolah-olah hal yang bagi putrinya menggunakan angkutan umum. Selama ini dia selalu berpikir kalau Amel selalu berangkat dan pulang kuliah dengan Jonathan.  Laras memang tidak pernah membiasakan kedua putrinya untuk menggunakan angkutan umum. Katakan dirinya terlalu takut dan khawatir, tapi Laras tidak berani membayangkan sesuatu yang buruk terjadi pada kedua anaknya. “Ternyata kamu udah dewasa ya, Mama bangga sama kamu,” ujar Laras. “Ya kan harus Mam, apalagi sekarang Amel udah delapan belas.” Laras tertawa mendengar jawaban Amel yang diucapan secara spontan. Waktu memang berjalan sangat cepat. Rasanya baru kemarin Laras melahirkan putri sulungnya, akan tetapi sekarang, Amel sudah beranjak dewasa.  “Kalo emang nggak bareng sama Jojo, kamu bawa mobil aja, gimana?” usul Laras. Yang tiba-tiba teringat sesuatu. “Mobil? Emang Mama rela mobilnya dibawa sama Amel? Terus kalo kenapa-kenapa gimana?” “Siapa bilang mobil Mama?” tanya Laras sambil menahan senyum. “Terus?” tanya Amel bingung. “Ya mobil kamu lah,” sahut Laras santai. “Mama bercanda kan?” tanya Amel sambil mengubah posisi duduknya menjadi menghadap Laras. “Nggak, Mama serius Lia,” sahut Laras. “Kamu inget nggak waktu kamu lagi di Anyer, supir Ardian pernah dateng ke sini anterin hadiah?” “Iya, terus?” “Waktu itu dateng sambil bawain mobil beserta surat-suratnya dan itu atas nama kamu,” “Kenapa Mama baru bilang sekarang? Dan lagian Ardian nggak ada bilang apa-apa sama Amel,” selanya dengan panik. “Coba kamu inget-inget, emangnya Ardian nggak pernah bilang sama kamu?” Amel terdiam sesaat mencoba memikirkan kejadian beberapa waktu yang lalu. Memang benar Ardian pernah sekali menghubungi dirinya saat di Anyer, dan memang mengatakan mengantar hadiah ke rumah. Namun, Amel tidak pernah bertanya apa hadiahnya, karena buat Amel itu bukanlah hal yang penting.  “Dia pernah bilang sih, tapi nggak bilang hadiahnya apa,” ujar Amel. “Terus kenapa diterima?” “Mana bisa nolak Lia,” “Kenapa nggak bisa?!” sela Amel sedikit emosi. Bagaimana dia tidak marah mendengar perkataan Laras tadi. Bukan Amel tidak menghargai pemberian Ardian, akan tetapi mau berapa banyak lagi hutang budi keluarganya terhadap pria itu. Tadinya Amel sempat berharap jika suatu saat nanti, sebelum dirinya menikah dengan Ardian, entah karena keajaiban, atau karena dirinya memenangkan sebuah undian, dia ingin membayar semua hutang Thomas dan membebaskan diri dari pertunangan ini. Kalau sudah seperti ini, mana mungkin dia bisa melepaskan diri. Dengan memberikan sebuah mobil baru, berarti jumlah uang yang sudah diberikan Ardian semakin besar. Andai harga sebuah mobil itu sama seperti harga sebatang cokelat, tentu Amel tidak akan gusar seperti sekarang. “Karena dia bilang itu untuk calon istrinya. Mama sama papa jadi serba salah.” “Kenapa mesti jadi serba salah?!” tanya Amel dengan perasaan terluka. “Kesannya Amel kan jadi kayak boneka yang hanya diam dan nggak bisa ngomong.” “Maafin Mama Lia,” ujar Laras lirih. “Mama nggak salah kok, keadaan aja yang salah, juga papa.” “Kamu masih marah sama papa?” “Nggak tau Mam. Jujur aja kalo lagi tenang, Amel kasian sama papa, tapi kalo kayak gini, muncul lagi sebel dan marah ke papa,” ujar Amel apa adanya. “Papa juga merasa bersalah Lia. Dan sampe saat ini juga masih nyalahin dirinya sendiri. Bahkan, kadang kalo malam sering mengigau dan ngomong maafin papa berkali-kali.” Amel terdiam mendengar perkataan Laras. Dia tidak menyangka jika Thomas pun terpukul dengan hal ini. Di dalam hati, Amel menyesali karena sudah menyalahkan ayahnya. “Kamu nggak mau liat mobilnya?” tanya Laras hati-hati. “Nggak, Amel masih mau tanya dulu.” “Tanya apa lagi?” tanya Laras sedikit kewalahan. “Kenapa Mama nggak ngasih tau Amel sih?! Kalo tau dari awal kan, Amel bisa nolak dan minta itu barang diambil lagi!” “Ardian titip pesen selama kamu nggak tanya ya nggak usah ngomong. Mama juga nungguin kenapa kamu nggak bingung liat ada mobil baru di garasi.” “Mana Amel tau Mam!” sahut Amel kesal. “Amel pikir itu papa yang beli.” “Kenapa kamu nggak coba ngomong sekarang aja?” usul Laras. “Nggak mau.” “Lho, kamu gimana sih?” “Masa mesti Amel duluan yang hubungin dia? Malesin banget deh.” “Lia, nggak boleh ngomong begitu. Biar gimana kan dia calon suami kamu, dan lagian selama ini Ardian tuh udah baik banget sama kamu. Apalagi yang kurang coba?” “Nggak ada yang kurang kalo hal itu Mam. Kurangnya cuma satu, Amel nggak punya perasaan apa-apa ke dia, yang ada malah takut.” Laras kembali terdiam mendengar perkataan anaknya. Dia tidak bisa menyalahkan Amel jika memiliki perasaan seperti itu. Dirinya pun sebenarnya sedikit takut, lebih tepatnya merasa mual jika berhadapan dengan Ardian. Amel yang sudah terlanjur kesal, beranjak dari duduknya dan berjalan masuk ke dalam rumah.  “Kamu mau ke mana?” tanya Laras saat melihat Amel beranjak. “Mau mandi dan siap-siap kuliah Mam,” sahut Amel. “Terus masalah mobil gimana?” “Biarin aja di garasi,” sahut Amel tanpa menoleh ke arah Laras. Amel masuk ke kamar dengan perasaan marah. Ingin rasanya melampiskan kekesalannya dengan melempar semua barang yang ada di sini, akan tetapi dia pun menyadari bersikap seperti itu tidak akan menyelesaikan masalah. Yang ada hanya akan membuat Laras semakin sedih, dan mungkin dia akan mendapatkan ceramah yang panjang dari Jonathan. Sambil mengentakkan kaki, Amel melangkah ke kamar mandi. Selesai berdandan, Amel keluar dari kamar dan berjalan ke bawah sambil membawa tas dan perlengkapan kuliahnya. Saat masuk ke ruang keluarga, Amel terkejut melihat Jonathan sedang asik membaca koran. “Kok di sini?” tanya Amel pada Jonathan. “Emang kamu nggak mau kuliah?” ujar Jonathan tanpa mengangkat wajahnya dari koran yang sedang dibaca. “Ya mau. Yang gue pengen tau kenapa elo di sini?” Amel mengulang pertanyaannya sambil duduk di samping Jonathan. “Jemput kamu,” sahut Jonathan singkat. “Emang nggak jadi ke kost nya Bayu?” “Udah tadi, terus pulang karena ada yang ketinggalan, sekalian jemput kamu.” “Tapi gue mau makan dulu,” sahut Amel. “Aku juga.” “Bilang aja mau makan di sini,” ledek Amel. “Itu tau,” sahut Jonathan sambil meringis. “Masakan mama Laras itu selalu yang terbaik.” Amel tertawa mendengar jawaban jenaka sahabatnya. Sejak dulu, Jonathan lebih memilih makan di sini daripada rumahnya sendiri. Padahal setahu Amel, Bi Surti tidak kalah pandai dalam hal memasak dan membuat jajanan.  “Ayo,” ujar Amel sambil menarik tangan Jonathan menuju ruang makan. Setelah duduk dan mengambil makanan, Jonathan menatap sekeliling mencari keberadaan Laras yang tidak terlihat sejak dia datang. “Mama mana Mel?” tanya Jonathan. “Nggak tau. Tadi pas gue mandi sih masih ada.” Setelah itu tidak ada yang berbicara lagi dan menikmati makan siang bersama-sama. Selesai makan, Amel berangkat kuliah dibonceng oleh motor kesayangan Jonathan seperti biasanya. *** Hari ini Amel tiba di rumah saat jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam dalam keadaan letih dan mengantuk. Dia berjalan memasuki ruang makan, tepat saat semua anggota keluarganya sedang makan malam. “Kenapa pulangnya malem banget Lia?” tegur Laras. “Tadi Amel ngerjain tugas dulu bareng sama temen-temen,” “Di?” sela Thomas dengan nada datar. “Di rumah Nita, Pap.” “Kenapa nggak ngasih kabar dulu kalo mau pulang terlambat?! Kamu lupa sama aturan di rumah?!” tegur Thomas. “Maaf Pap, Amel lupa.” “Jojo mana?” tanya Laras cepat. Dia tidak ingin suaminya menegur Amel yang terlihat sangat lelah, juga karena tidak ingin terjadi perdebatan saat sedang makan. “Nggak tau, tadi Amel nggak bareng sama dia.” “Ya udah sana mandi dulu, terus ke bawah lagi,” ujar Laras sambil berdiri dan mendorong badan anaknya keluar dari ruang makan. Saat masuk ke dalam kamar, Amel menatap tempat tidurnya dengan penuh kerinduan. Jika tidak merasa lengket, ingin rasanya dia langsung melompat ke sana.  Dengan langkah diseret, Amel berjalan ke kamar mandi dan menahan keinginan untuk menutup matanya. Selesai mandi, Amel langsung membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur sambil tersenyum puas.  Tidak lama kemudian, matanya mulai terasa berat dan dia tidak berusaha menahannya lagi. Dalam hitungan detik, Amel sudah terlelap dan lupa untuk turun dan makan. *** “Mam, Amel mana?” tanya Jonathan yang baru datang. “Belum turun Jo, coba kamu liat ke kamarnya. Sekalian kamu suruh dia turun buat makan.” “Iya Mam.” Jonathan membalikkan badan dan berjalan ke atas menuju kamar Amel. Dia membuka pintu kamar dan melihat gadis itu sudah bergelung di tempat tidur.  “Yah …, malah tidur,” gumam Jonathan sambil duduk di tepi tempat tidur. Jonathan duduk diam dan memandangi wajah polos Amel yang sangat manis saat tidur.  “Kamu pasti cape banget,” gumam Jonathan sambil merapikan rambut Amel. Selama beberapa saat Jonathan hanya duduk diam menikmati memandang wajah Amel tanpa berniat mengganggunya. Namun, akhirnya dia ingat jika sahabatnya belum makan. “Mel,” panggil Jonathan sambil menepuk pelan pipi Amel. Namun, yang dipanggil tetap tertidur dengan lelap sambil terus memeluk guling. “Mel,” panggil Jonathan lagi. Melihat Amel tetap tidur, Jonathan bangkit dan berjalan menuju meja rias Amel. Dia mengambil salah satu kuas kosmetik Amel dan membawanya kembali ke tempat tidur. Jonathan mulai menggelitik lubang hidung Amel menggunakan kuas yang dia ambil sambil tertawa tanpa suara. Merasa hidungnya geli, Amel mulai tersadar dan membuka matanya. Hal pertama yang dilihat adalah wajah Jonathan. “Apaan sih?!” gerutu Amel sambil menepis kuas dari hidungnya. Jonathan terkekeh geli karena usahanya berhasil.  “Mau ngapain bangunin gue?!” seru Amel kesal karena tidurnya terganggu. “Disuruh Mama,” sahut Jonathan santai. “Jangan boong!” “Serius. Kamu disuruh makan.” “Nggak mau! Gue mau tidur aja.” Amel kembali memeluk gulingnya.” Namun, kali ini Jonathan lebih cepat. Dia segera merebut guling Amel dan menjauhkannya dari gadis itu.  “JOJO!” teriak Amel. “Kamu mesti makan Mel, nanti sakit,” ujar Jojo sabar. “Tapi gue beneran ngantuk Jo,” ujar Amel memelas. “Aku suapin yuk,” bujuk Jonathan. “Bener?”  “Iya, asal kamu jangan tidur lagi.” “Bawa ke sini aja ya,” ujar Amel sambil menangkupkan kedua tangannya di depan d**a. “Hm. Tunggu sini. Awas kalo tidur lagi, aku lempar ke kolam,” ancam Jonathan sambil berjalan keluar kamar. Amel tertawa lebar mendengar ancaman Jonathan yang tidak membuatnya takut. Tidak lama kemudian Jonathan kembali sambil membawa nampan. “Minum dulu,” ujar Jonathan sambil menyodorkan gelas pada Amel. “Makasih,” sahut Amel sambil menerima gelas dari tangan Jonathan. Selesai minum, Jonathan mulai menyuapi Amel dengan sabar hingga makanan di piring habis. Kemudian Jonathan kembali menyodorkan gelas yang langsung diambil oleh Amel. “Ah …, kenyang banget. Makasih Jojo yang baik hati,” ujar Amel sambil tersenyum manis. “Hm.” “Masa cuma gitu jawabnya?” dumel Amel. “Terus aku mesti jawab apa dong?” Amel tampak berpikir sejenak sebelum menjawab. “Gimana kalo gini, sama-sama Amel cantik, kesayangan Jojo?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD