“Mama gak masalah dengan apapun keputusan kamu untuk menentukan hidup kamu, Kurta. Tapi mama cuma pesen, jangan keluar kodrat. Kalau kamu terlalu merasa nyaman dengan sahabatmu itu, coba kamu jaga jarak sebentar. Mama gak terima kalau penghalang jodoh kamu adalah perasaan bodoh terhadap sahabatmu sendiri.”
Kedua mata Kurta membola. Dia menatap nanar wajah mamanya yang terbaring di ranjang dengan wajah lesu. Iya, setelah mereka terjebak dalam situasi yang bisa membuat siapapun salah paham, pada akhirnya mama Kurta jatuh pingsan. Penyakit jantung mamanya kambuh, Kurta dan Aya panik, dan segera membopong mamanya ke kamar sebelah. Keenan diminta pulang secara paksa oleh Aya. Hal itu membuat Kurta kesulitan untuk menjelaskan kesalahpahaman itu. Satu-satunya yang dia sesali adalah menunjukkan baju tidur wanita yang Kurta dan Keenan hadiahkan untuk Kikan, istri Kaisar, sahabat mereka.
“Selama mama masih percaya aku, aku gak bakal aneh-aneh. Tapi kalau mama udah gak percaya, buat apa juga aku tetep jadi orang baik, kan?” dengus Kurta menatap tajam mamanya.
Sejurus kemudian jari-jari jenjang menelisik rambut Kurta, dan dengan penuh emosi pemilik tangan itu menjambak rambut yang di genggamnya.
“Waaakk!” jerit Kurta merasa perih di kulit kepalanya. Kala itu Aya menunjukkan wajahnya. Wajah merah padam dengan hidung kembang kempis menghembuskan napas penuh emosi tepat ke depan wajah Kurta.
“Jangan macem-macem sama emak gue lo, ya! Berani ngancem mama, gue kutuk balik lo jadi batu batre!”
“Ayaaa!” ucap Citra dengan suara lemah berusaha melerai kedua anaknya.
“Mama belain dia mulu, sih? Gini nih kalo dimanjain terus! Beraninya ngelunjak!”
“Ya! lepasin rambut gua! Lo mau bikin gua jadi botak?”
Kurta berusaha melepaskan tangan Aya yang masih kuat menjambaknya tetapi sepertinya kekuatan ibu muda tak bisa dikalahkan dengan percuma, hal itu membuat Kurta agak kesulitan apalagi Aya menyembunyikan dirinya tepat di belakang tubuh Kurta.
“Udah-udah cukup! Aya, mama gak belain siapapun. Jadi kalau kalian mau berantem, di luar aja! Mama mau istirahat!” ucap Citra dengan kening mengkerut. Tak lama kemudian ia membalikkan tubuhnya, tidur membelakangi anak kembarnya.
Jambakan Aya mengendur, Kurta memanfaatkan hal ini untuk terlepas dari jeratan Aya dan pergi keluar kamar. Untuk sepersekian detik Aya membatu, dia masih merasa tak adil sebab mamanya selalu membela dan memaklumi semua tingkah laku Kurta, tetapi Aya tak bisa membiarkan hal ini. Di mata Aya, adik kembarnya ini sudah kelewatan!
“Kurta! Kurta! Sini bentar lo!” ucap Aya menahan langkah kaki adiknya. Aya mencoba menarik lengan Kurta yang lebih besar darinya. Usahanya berhasil, terbukti dari berhentinya Kurta dan menoleh pada Aya.
“Denger ya, gue gak pernah larang lo mau pacaran sama siapapun dan berteman sama siapapun. Gue juga gak pernah maksa lo buru-buru nikah kaya papa atau jodoh-jodohin lo kaya mama. Lo mau jomblo seumur hidup juga gak apa-apa! Tapi satu hal yang gue minta dari lo. Jangan kecewain mama!” kedua mata Aya mulai bergenang. Luruh sudah semua amarah Kurta, dia tak mau membalas saudarinya dengan emosi.
“Gue masih normal, anying! Itu baju hadiah yang gue beliin buat bininya si Kaisar! Itu juga sepaket sama si Satria, buat bininya juga! Gue nunjukin itu ke Keenan karena gue ragu, apa kita pantes ngasih itu? Apa motifnya berlebihan? Gue takut, gimana kalo corak gajah putih khas Thailand itu gak cocok sama selera mereka?”
Kening aya bertaut. Dari ucapan Kurta, Aya tahu bahwa saudaranya masih normal tetapi pikirannya yang tidak normal.
“Oy belek dajjal! Lo gak normal anjir! Masa lo ngasih hadiah buat bini orang? Lo berdua setress apa gimana?”
“Ya kan mereka juga bakal pake itu pas dinas di depan suami mereka ini! Hadiah yang gue kasih toh bakal bikin hubungan keduanya harmonis! Atau sebaiknya gue beliin buat Kaisar sama Satria aja? Barang tuuuuttt yang model tuuuuutt tuuuuuutt tuuuuut.”
Bulu kuduk Aya merinding, gendang telinganya berdenging mendengar ucapan Kurta yang begitu blak-blakan tanpa di sensor. Hal itu membuat Aya tak nyaman dan ia menyerah berdebat dengan saudaranya itu. Demi menutup mulut Kurta, Aya segera mendorong Kurta sekuat tenaga.
“Iya terserah lo! Terserah lo aja udah sana pergi lo jauh-jauh! Jangan ngomong lagi!” pinta Aya sembari menunduk dan menutup kupingnya.
Kurta menyeringai, ia merasa berhasil dan menang atas perdebatannya dengan saudari kembarnya itu. Detik berikutnya Kurta memilih untuk pergi dari sana.
“Udah pergi kan tuh bujang bangkotan? Gila! Omongannya gak disaring gak pake filter apapun! Bisa-bisanya dulu gue betah sembilan bulan berbagi rahim bareng titisan dajjal kaya gitu!”
***
Di sebuah kafe, Keenan dan Satria telah menunggu kedatangan Kurta. Ketika Kurta datang membawa tentengan, Keenan tersenyum lebar.
“Si anjir masih bisa senyum lo abis kena damprat Aya?”
“Gue mending kena damprat yang penting Aya ngomong ke gue. Kalo gak gitu, gue gak pernah diajak ngomong sama dia!” pungkas Keenan seraya tersenyum bahagia.
“Geblek! Bini orang bagong!” Satria tak bisa membenarkan prinsip sahabatnya, tangannya pun ikut bicara dengan cara menoyor kepala Keenan.
Kurta hanya mampu menggeleng perlahan, sebegitu cintanya Keenan pada kakak kembarnya. Kurta ingat betul saat Keenan ditinggal nikah oleh Aya, betapa terpuruknya Keenan sampai mencoba bunuh diri dengan cara minum obat pencahar. Alhasil, Keenan diare berat dan harus di larikan ke rumah sakit, tetapi tetap saja tak bisa menghadirkan sosok Aya yang sedang berbulan madu. Satu-satunya yang bisa menghibur Keenan adalah ucapan Kurta yang menyebutkan ‘tenang, Aya bisa jadi janda kalau Tuhan berkehendak.’ Sesat? Memang! Tapi itulah satu-satunya harapan hidup Keenan.
“Jadi kalian baru balik nih berkelana nyari-nyari calon bini? Gimana? Dapet?”
Kurta tersadar oleh pertanyaan Satria. Belum sempat Kurta menjawab, Keenan sudah angkat suara.
“Bahkan gue udah datengin rumah mamah! Minta restu ke mamah! Tapi sampe detik ini belum ada juga hilalnya!”
“Ya gimana kalian mau dapet? Kalian kemana-mana berdua mulu kaya biji!” timpal Satria meledek.
“Anjir!” Keenan mendengus kesal.
“Btw gue gak bisa lama-lama nih! Mau jemput bumil!”
“Lah, Arin masih di RS, Sat? Ini bukannya udah malem, ya?” Kurta mengambil segelas orange juice kemudian menyeruputnya sedangkan Keenan melongo sebab minumannya disambar tanpa permisi.
Sebuah helaan napas berat keluar dari Satria, sepertinya dia merasa kesal tapi ia hanya bisa pasrah. “Tahu tuh! Katanya si Bang Kai ngadain rapat evaluasi akhir bulan! Semuanya di suruh masuk! Kan bete ya! Udah tahu bini gue lagi hamil, butuh banyak istirahat!”
“Minta USG gratis aja tuh sama si Bang Kai nanti pas udah kehamilan ke tujuh bulan!” usul Kurta.
“Jangan! Minta lahiran di kamar VVIP aja, Bang Kai yang bayarin! Itung-itung hadiah lahiran! Muehehehe!”
Kurta ikut tertawa saat otak mafia Keenan bekerja, namun detik berikutnya Keenan berhasil membalikkan situasi. “Eh tapi, kalo Arin lahiran, yang jadi dokternya si Bang Kai bukan sih? Kalo lahiran normal, artinya si bang Kai bakal ngeliat itunya bini lo dong, bang Sat?”
“Anjir, kok gitu?” kening Satria sudah berkerut, nampak ketidak-ikhlasan terpancar dalam dirinya.
“Iyalah! Kalo lahiran normal pasti dokter liat itunya! Dan kalo Kaisar yang bantu Arin lahiran, pasti otomatis dia liat itunya Arin-lah! Belum lagi kalo di jait! Kakak-kakak gua yang lahiran normal abisnya dijait noh sama dokternya!” timpal Kurta membuat suasana hati Satria semakin tak kondusif.
“Tenang aja, Sat! Setahu gue laki pasien bisa dampingin kok! Jadi kalau nanti si Bang Kai ngapa-ngapain Arin, lo bisa tonjok dia di tempat!” kini Keenan mulai menghasut.
Keenan merangkul Satria yang masih dalam napas menggebu, kemudian keduanya saling bertatapan ketika mereka merasa berhasil menjahili Satria.
“Tenang Sat, nanti kalo Arin lahiran gue juga siap nemenin lo di ruang bersalin kok!” timpal Kurta dan melakukan hal yang sama dengan Keenan, merangkul pundak Satria dari lain sisi.
“Bentar! Kalian ngapain mau masuk ruang bersalin juga? Mau bantu nonjokin si Bang Kai?” Satria mendelik.
“Enggaklah! Kita kan mau live streaming proses lahirannya Arin! Biar dapet duit dari penonton yang ngasih gift!” jawab Keenan dengan ringan.
“Ah bagong! Kalo kalian live streaming, itunya Arin bukan cuma bang Kai aja yang liat! Tapi seluruh penonton live streaming lo! Gue colok mata kalian sekarang juga nih ya! Gue patok pake jurus bagong ganas, sini lo pada!” amuk Satria.
Cekikikan terdengar dari Keenan dan Kurta. Jika saja ini bukan di tempat umum, pasti Satria sudah merubah mereka berdua menjadi bubur. Tapi Satria harus menahan diri, mengingat istrinya sedang hamil, dia tak mau ada apa-apa yang berdampak pada anaknya atas tindakan cerobohnya.
“Sorry-sorry bang Sat! Kita cuma becanda. Lagian percaya sama Kaisar! Dia itu dokter udah pro banget! Peletnya Kikan juga kuat banget! Buktinya sampe sekarang aja Bang Kai masih belum berpaling, kan?”
Satria tak menggubris ucapan Kurta yang berusaha menghiburnya, wajahnya masih saja masam.
Kala itu terdengar bunyi kursi yang didorong membuat beberapa pengunjung kafe menoleh ke sumber suara. Terlihat seorang wanita pergi dari meja sedangkan kekasihnya mencoba menahan kepergiannya.
“Ape tuh?” Keenan bertanya tetapi matanya tetap memantau keadaan.
“Palingan ribut, terus si cewek minta putus!” jawab Kurta. Dia sudah hapal betul dengan kondisi seperti itu.
“Lakinya berat banget buat lepasin itu cewek!” imbuh Keenan.
“Ya peletnya kuat banget pasti!” timpal Kurta tanpa sekalipun melihat ke arah parkiran tepat di belakang Kurta yang hanya terhalang oleh jendela.
“Gila sih cantik banget! Bang Krut! Lo balik deh! Ceweknya kaya bidadari, anjir!” titah Keenan.
“Gak! Gue mau makan!”
Kurta tak peduli, baginya wanita cantik itu sudah biasa dia lihat, lalu apa?
“Bang Krut! Nyesel lo gak liat ciptaan Tuhan satu ini! Liat gak lo? Liat!”
“Aargh!” Kurta memekik sekilas sebab Keenan memaksa memutar wajah dan tubuh Kurta agar berbalik. Sejenak Kurta tak mampu melihat dengan jelas wajah gadis itu sebab terhalang cahaya lampu mobil dari mobil lain yang akan parkir.
Tetapi, ketika mobil itu mematikan lampu depannya, nampaklah wajah gadis jelmaan bidadari itu. Harus Kurta akui, dia sempat terpukau. Wajah cantik wanita itu berbeda dari wanita-wanita cantik lain yang pernah ia temui. Melihat wanita itu dengan tegas memutuskan hubungannya dengan kekasihnya membuat jantung Kurta berdenyut, darahnya berdesir. Kedua mata Kurta memicing dan hanya ada wanita itu di pandangannya. Kurta tahu bahwa dia telah jatuh cinta pada pandangan pertama.
“Gue cabut!”
“Eh, Bang Sat! Tunggu dulu! Ini ada oleh-oleh buat lo sama bini lo! Yang ini gue titip kasihin ke Bang Kai!”
Keenan menyerahkan paperbag yang dibawa Kurta, melihat Kurta masih mematung menatap wanita itu, Keenan menggeplak kepala sahabatnya.
“Woy! Mo cabut gak? Gue sama bang Sat mo cabut!”
“Hah? Mau kemana?”
“Hah hoh hah hoh! Planga-plongo mulu lo lagi mikirin apa sih? Mikirin hutang? Ups! Emang keluarga Diningrat punya hutang gitu?” ejek Keenan.
“Apa sih? Ya udah kalo lo mau cabut ya cabut aja! Gue belom makan, ini kalo dibuang kan mubazir!” jawab Kurta berdalih.
“Ya udah sekalian bayarin ya! Gue cuma pesen doang soalnya, hehe!”
“Sialan!” umpat Kurta saat Keenan dan Satria pamit seraya nyengir kuda. Tak masalah bagi Kurta, yang penting dia masih bisa melihat wanita jelmaan bidadari itu tanpa di ganggu oleh dua sahabatnya.
Kurta kembali membalikkan badannya, berharap wanita itu masih ada di sana. Tapi nihil, bagian itu telah kosong. Mobil putih di samping wanita itu telah pergi. Sebuah hembusan napas kecewa keluar dari Kurta.
Mikir apa sih gue? Mana mungkin cewek itu masih ada? Pasti cowoknya bakal ngebujuk dia dan mereka balik bareng! Sialan! Kenapa juga gue suka sama cewek orang? Apa ini karma karena ngeledekin si Keenan?
Lagi-lagi Kurta menghembuskan napas berat yang penuh kekecewaan dan dengan malas menghabiskan makanan di meja.
***
Jam menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Kurta keluar dari kafe dan masuk ke mobilnya. Dia masih belum menyalakan mesin mobilnya sebab masih memikirkan wanita cantik tadi. Tanpa Kurta sadari sebuah mobil berhenti tepat di samping kanan mobilnya. Awalnya, Kurta tak menghiraukan mobil itu dan akan menyalakan mesin mobilnya. Namun, jarinya terhenti saat melihat gadis cantik yang ada diingatannya berlari ke arah mobil di sebelah mobil Kurta.
“Lah? Cewek tadi kan? Ngapain dia?”
Sebuah keingintahuan yang membuat Kurta terjebak dalam panasnya udara mobil sebab mobil masih dalam keadaan mati. Dalam diam Kurta mencoba mengamati gerak-gerik mobil tersebut. Kenapa mobil itu belum pergi juga? Apa yang dilakukan wanita cantik itu di sana? Pikiran Kurta penuh tanda tanya.
Sepuluh menit berikutnya wanita itu keluar sambil menenteng koper berukuran sedang, dan yang mengejutkan adalah mobil itu pergi meninggalkan wanita itu begitu saja.
“Lahh???”
Kurta yang kebingungan masih memantau wanita cantik itu dari spionnya. Terlihat wanita itu menatap layar ponsel kemudian memaki-maki sesuatu. Lagi, karena rasa keingintahuan yang terlampau tinggi, Kurta menurunkan kaca mobil.
“Anjir! Bego banget gue! Kenapa bisa lupa charg hp! Gimana dong? Gue gak bisa mantau ojol gue dimana? Gak gue ingetin lagi plat nomornya berapa! Argh! Bodoh banget!” umpat wanita itu, suaranya lembut tetapi kata-katanya sangat menusuk.
Jantung Kurta berdebar, bukan karena mendengar umpatan. Tetapi karena dia akan melakukan suatu hal yang bodoh. Dengan mengumpulkan keberanian, Kurta menyapa wanita itu.
“Mbak! Mbak pesen ojol, ya?”
Wanita cantik itu menoleh, kemudian menatap Kurta seolah memindai wajah dan kendaraan yang digunakan Kurta.
“Iya. Kamu siapa?”
“Saya … ojol yang mbak pesen.” – mampus ngapain gue bohong?
***