Sabtu itu terasa berbeda bagi Cahaya saat menyambut Wulandari, terus terang penilaian dia sudah sangat jauh berbeda sebelum dia mengetahui perselingkuhannya dengan suaminya-Surya. Namun, Cahaya harus menabahkan hatinya untuk sementara hingga dia berpisah secara resmi dengan Surya.
“Assalamu alaikum, Bu Aya,” sapa Wulandari dan mencium pipi kiri dan kanan Cahaya. Cahaya membalasnya dengan senyuman yang terasa hambar dan dipaksakan. Wulandari datang dengan pakaian kemeja lengan panjang dengan dua kancing atasnya dibiarkan terbuka dan celana jeans yang sangat pas di kaki jenjangnya. Rambutnya dikuncir satu juga membuat lehernya terekspos dengan jelas. Bagi Cahaya, penampilan Wulandari ini lebih memanjakan mata Surya dan jelas-jelas tujuannya untuk menarik perhatian Surya.
“Gimana kabar panti? Maaf aku gak pernah ngunjungin panti lagi,” ucap Cahaya dan berjalan menuju ruang tengah. Di sana Langit dan Zanitha tengah menunggu guru privat mereka.
Wulandari berjalan di belakang Cahaya, “Baik-baik aja kok bu. Selama gak ada masalah di panti sebisa mungkin aku gak akan hubungin Bu Aya.”
Cahaya berbalik dan menatap Wulandari sejenak, “Kamu memang selalu bisa diandelin Lan,” Cahaya tersenyum penuh makna. Sedangkan Wulandari tersenyum senang mendapatkan pujian seperti itu.
Cahaya mengawasi Wulandari yang begitu serius mengajarkan anak-anaknya. Sungguh sangat disayangkan, Wulandari harus tertarik kepada pria beristri. Dia terlalu menyia-nyiakan kecantikan dan juga kecerdasannya. Jika Wulandari bisa bersabar, akan datang pria yang pantas untuk Wulandari. Dia yakin itu.
“Eh ada siapa ini?” kali ini Atiek bergabung di ruang tengah.
“Eh nenek dateng?” Wulandari segera bangkit dan mencium punggung tangan Atiek. Ya, Wulandari terbiasa memanggil Atiek sebagai neneknya, terlebih lagi ini juga permintaan Atiek yang memang menyukai Wulandari sejak diasuh Cahaya.
“Iya nak. Aduh kamu tambah cantik aja,” puji Atiek dan mengelus punggung Wulandari lembut. Dia memandangi Wulandari yang sudah berubah menjadi gadis dewasa.
“Makasih nek,” ucap Wulandari tersenyum.
“Surya mana Aya?” tanya Atiek mencari sosok putranya yang belum bergabung bersama mereka.
“Oh tadi pagi Mas Surya berolahraga sepeda bu, mungkin sekarang di jalan pulang,” jawab Cahaya. Setiap Sabtu dan Minggu memang Surya menyempatkan diri untuk berolahraga. Salah satunya berolahraga sepeda bahkan dia tergabung dalam sebuah klub sepeda. Sebagai usaha Surya untuk mempertahankan postur tubuhnya yang tegap dan juga berotot.
“Assalamu alaikum,” kali ini orang yang tengah dibicarakan masuk ke dalam rumah. Siapa lagi jika bukan Surya Bakti Nagara, suami dari Cahaya, Ayah dari Langit dan Zanitha, putra kesayangan Atiek dan satu lagi, pria yang dicintai Wulandari.
Semua orang yang duduk di ruang tengah serentak menoleh. Surya memberikan senyuman kepada semua. Senyuman yang sejak dulu begitu mempesona bagi kaum hawa. Salah satu daya tarik khusus yang dimiliki Surya.
“Oh Wulan ada?” ucap Surya yang seolah terkejut dengan kedatangan Wulandari. Wulandari yang disebutkan namanya memperbaiki penampilannya, merapikan anak rambutnya yang mungkin jatuh di sekitar wajahnya. Dia memang menyiapkan penampilan khusus untuk bertemu dengan Surya hari ini.
“Iya pak,” ucap Wulan menunduk sopan.
Teruslah bersandiwara, hingga kalian tidak akan bisa membedakan mana kenyataan dan sandiwara, batin Cahaya menatap kedua orang itu yang saat ini dilihatnya berakting.
“Saya permisi ya, mau mandi gerah,” pamit Surya lagi dan mengibas-ngibaskan pakaiannya yang terasa lengket.
“Kalian dengerin penjelasan Mba Wulan ya, belajar yang giat,” pesannya kepada Langit dan Zanitha sembari mengacak-acak gemas rambut keduanya.
“Bu, Lan, aku permisi ke kamar juga ya. Nyiapin baju untuk Mas Surya,” pamit Cahaya. Atiek dan Wulandari tersenyum mengerti.
***
Sejam kemudian Surya baru keluar dari kamar bersama dengan Cahaya.
“Kalian ngapain sih di kamar. Apa gak bisa malem aja,” sindir Atiek yang merasa keduanya terlalu lama menghabiskan waktu di kamar.
“Ih ibu,” Cahaya tersipu malu dan melihat raut wajah Wulandari yang sepertinya berubah. Ada reaksi kesedihan dan juga kecewa dari Wulandari, Cahaya menangkap itu. Namun entah mengapa, Cahaya merasa puas.
“Eh Wulan. Kita makan siang dulu ya sebelum kamu balik,” usul Cahaya yang melihat jam di dinding dan sudah memasuki jam makan siang. Apalagi kedua anaknya juga mungkin sudah lelah belajar dan membutuhkan istirahat.
Wulandari mengangguk, “Iya bu.”
“Mau yang ini Mas?” tanya Cahaya yang melayani Surya dan menawarkan makanan apa yang ingin disantap oleh Surya siang itu. Cahaya seolah menunjukkan kepada semuanya bahwa dia adalah istri yang berbakti dan selalu melayani suaminya dengan baik. Tidak ada yang tahu isi hati Cahaya sedang terluka. Yang lain hanya menatap interaksi Cahaya dan Surya.
“Wulan, kamu juga harus mulai nyari calon nak. Usia kamu udah cukup kan. Apa gak iri lihat Cahaya dan Surya?” saran Atiek membuat suasana di meja makan terasa hening. Kali ini Cahaya patut berterima kasih kepada mertuanya itu yang mengeluarkan saran seperti itu. Cahaya tentu saja penasaran melihat raut wajah Surya dan Wulandari. Surya mengangkat alisnya satu dan menatap tidak suka.
Uhuk…uhuk…
Wulandari yang makan seketika tersedak mendengar saran dari Atiek.
“Kenapa Lan?” tanya Cahaya berpura-pura khawatir.
“Ini sambelnya pedes bu,” jawab Wulandari dengan hidung yang memerah bahkan matanya sampai mengeluarkan air mata.
“Dia pasti akan menikah saat dia rasa itu waktu yang tepat bu,” kali ini Surya yang menjawab. Cahaya hanya tertawa dalam hati. Suaminya itu ternyata sangat takut kehilangan Wulandari. Apakah Surya memang telah memilih Wulandari dibandingkan dirinya.
“Apa ibu ada calon yang tepat untuk Wulan?” tanya Cahaya yang semakin menambah kobaran api kecemburuan di hati Surya.
“Ada banyak. Di kampung ada tuh calon yang cocok untuk Wulan. Ada yang polisi anak Pak Lurah. Ada juga dokter, anak Pak Camat. Eh ada juga pengusaha, bapaknya pengusaha ayam kampung sukses,” jawab Atiek dan mengusulkan beberapa pria yang mungkin layak bersanding dengan Wulandari. Surya hanya sibuk mengunyah makanannya dengan tidak selera. Dia terlihat tidak suka pembicaraan ini.
“Jangan deh nek. Aku takut mereka menganggap Wulandari gak layak karena tahu Wulandari anak yatim piatu,” ucap Wulandri menolak halus dan menyadari latar belakang keluarganya yang seringkali menjadi hambatan saat menjalin kasih dengan pria. Dia tahu ini saat beberapa kali harus berpisah dengan calon kekasihnya. Saat dia dipertemukan dengan orang tua mereka dan tahu mengenai kehidupan Wulandari. Semuanya langsung menatap tidak suka Wulandari dan melarang anaknya berpacaran dengan Wulandari. Hanya satu orang yang dia yakini akan menyukainya terlepas apapun latar belakang keluarganya.
“Sur, ibu balik siang ini ya. Tadi dapet telpon dari Bu Romlah, anaknya acara nujuh bulanan lusa. Jadi ibu diundang,” kali ini Atiek meminta ijin pulang kepada putranya. Dia merasa sudah cukup melepas kerinduan kepadan putra, menantu dan cucunya. Sebagai mana menyenangkan dirinya berada di rumah putranya itu, dia lebih merindukan kehidupan di kampung halamannya. Di kampung, dia bisa berinteraksi dengan tetangga, dia merindukan memetik sayuran dan buah segar di kebun belakang rumahnya, dia merindukan hawa sejuk kampung dan banyak lagi yang sulit ditemukan di kota.
“Lah ibu kok baliknya cepet banget,” protes Cahaya yang kaget mendengar rencana tiba-tiba mertuanya.
“Iya tadi pagi ibu dapet telponnya mendadak juga,” ucap Atiek.
“Iya bu. Surya anterin ke terminal ya,” ucap Surya sedangkan Atiek mengangguk senang karena putranya bisa mengantarkannya hari ini.
Setelah makan siang. Cahaya membantu Atiek membereskan barang-barangnya dan juga oleh-oleh untuk tetangga Atiek di kampung. Sedangkan Wulandari kembali mengajar Langit dan Zanitha. Hanya mengecek jawaban dari tugas yang diberikan sebelum makan siang tadi.
Wulandari tersenyum puas karena Langit dan Zanitha sepertinya memahami semua penjelasannya. Dia juga melihat perkembangan yang pesat pada Langit yang awalnya sangat malas untuk belajar menjadi lebih termotivasi. Sebagai guru tentu saja Wulandari patut berbangga diri.
“Bu Aya, saya pamit permisi ya,” ucap Wulandari yang merasa cukup memberi pelajaran untuk hari ini kepada Langit dan Zanitha.
“Eh kamu ikut bareng Mas Surya aja. Dia anterin ibu ke terminal dulu setelah itu nanti anterin kamu panti asuhan,” usul Cahaya sedangkan Atiek dan Surya mengangguk setuju.
“Maaf Aya gak anterin ke terminal ya bu,” Cahaya mencium punggung tangan Atiek.
“Iya gak masalah. Kamu jaga diri ya. Ibu hanya minta agar rumah tangga kalian tetap harmonis,” pinta Atiek dan mengelus lembut rambut Cahaya. Sayangnya permintaan mertuanya itu tidak bisa diwujudkannya. Bukan Cahaya yang tidak bisa tetapi Suryalah yang menghancurkannya.
“Hati-hati ya Mas. tolong anterin Wulandari pulang dengan selamat,” pesan Cahaya kepada Surya.
Cup
Cahaya mencium bibir Surya, membuat Surya melirik canggung ke arah Wulandari. Sedangkan Wulandari tentu saja sekali lagi menahan rasa cemburunya. Cahaya hari ini merasa di atas angin. Semua yang dilakukannya setidaknya membalas sedikit demi sedikit rasa sakit pengkhianatan Surya dan Wulandari.
“Kalian ini gak lihat tempat banget sih. Kasian Wulandari yang gadis harus melihat pemandangan seperti itu,” ucap Atiek menggeleng geli. Cahaya ikut tersenyum. Surya mengelus tengkuknya dan seolah merasa bersalah.
“Nek hati-hati ya,” kali ini Langit dan Zanitha bergantian mencium punggung tangan neneknya itu dan memeluk erat Atiek.
“Iya kalian yang rajin belajar ya. Biar papa, mama dan nenek bangga,” pesan Atiek kepada kedua cucunya dan mencium pipi mereka.
Cahaya, Langit dan Zanitha melepas kepergian mobil Surya yang ditumpangi Atiek dan Wulandari dengan lambaian tangan perpisahan.
Wulandari tidak banyak berbicara saat di dalam mobil. Dia hanya memperhatikan interaksi Surya dengan ibunya. Surya yang begitu menyayangi ibunya, membuat Wulandari semakin kagum atas sosok Surya yang begitu sempurna di matanya. Statusnya yang merupakan suami Cahaya seolah dikesampingkannya. Cinta buta yang penuh resiko, dia tahu itu.
Surya sekali lagi melepas ibunya dengan raut wajah kesedihan. Dia memastikan bus yang ditumpangi ibunya berangkat sebelum dia meninggalkan terminal. Atiek juga merasa sesak harus berpisah dengan putranya itu. Tetapi dia juga paham bahwa putranya mempunyai pekerjaan dan dia yakin putranya bekerja keras demi istri dan anaknya. Dia sangat bangga akan hal itu.
“Kamu pindah di depan ya sayang,” usul Surya membuat Wulandari tersipu malu.
“Hmppphhh,” saat Wulandari duduk di kursi penumpang, Surya langsung mencium bibirnya penuh hasrat dan juga gairah.
“Mas, ini di parkiran loh,” ucap Wulandari dan memukul pelan lengan Surya.
“Habisnya kamu seksi banget hari ini,” goda Surya lagi dan mengelus pipi Wulandari.
“Masa’?” tanya Wulandari tidak yakin dan Surya langsung mengangguk membuat Wulandari tersenyum sumringah. Ternyata tidak sia-sia penampilannya hari ini.
“Jadi beneran kita pulang ke panti?” tanya Surya dan melihat jam di tangannya. Masih terlalu sore untuk kembali ke rumah secepatnya.
“Maunya ke mana?” tanya Wulandari kembali dan mengetes jawaban apa yang akan diberikan oleh Surya.
“Maunya bobo bareng,”ucap Surya seolah memohon.
“Ya udah aku sih terserah Mas,” ucap Wulandari, membuat Surya menginjak gasnya dan berniat mengajak Wulandari menuju apartemen miliknya. Apartemen yang dibelinya tanpa sepengetahuan Cahaya. Dia masih mempunyai waktu dua atau tiga jam bersama Wulandari sebelum pulang ke rumah.