TANPA DUKUNGAN KELUARGA

1207 Words
Pagi itu keluarga Bakti Nagara telah berkumpul di meja makan untuk menikmati sarapan. Cahaya sibuk di dapur menyiapkan sarapan bagi keluarganya tentu saja semua dimasak oleh ART. Namun, Cahaya tetap memutuskan makanan apa yang harus dimasak olek Bibik. Setelah makanan tersaji, Cahaya mengambil tempat duduk di sisi kiri Surya. “Gimana sekolah kamu?” tanya Surya mengawali pagi. Pertanyaan yang terus berulang kepada Langit. Terlebih lagi tahun ini adalah tahun terakhir Langit bersekolah di sekolah dasar swasta. “Baik Pa,” jawab Langit singkat. “Kamu masih inget kan, papa tidak suka kamu makan sambil main handphone. Itu kebiasaan buruk,” tegur Surya. Langit sontak menyimpan handphone-nya. “Za, tetap pertahankan prestasimu sayang,” Surya beralih ke putrinya. “Iya Pa. Zanitha akan inget itu.” “Ya udah lanjutin makan kalian. Nanti telat lagi ke sekolahnya,” ucap Cahaya menengahi. Semuanya kembali menikmati sarapan dalam keheningan. Kedua anak mereka mencium tangan Surya dan Cahaya bergantian, kemudian masuk ke dalam mobil menuju sekolah diantar oleh sopir keluarganya. “Sayang tolongin dong. Masa iya kamu gak lihat dasiku belum terpasang,” ucap Surya dan memberikan dasi bermotif garis-garis kepada Cahaya. Seingat Cahaya, selama menikah dia selalu memasangkan dasi suaminya itu. Surya akan kesulitan saat berada di luar kota. Oleh karena itu tugas Cahaya akan digantikan oleh Agung. Entahlah, apakah Surya hanya ingin perhatian Cahaya ataukah dia yang malas belajar memasang dasi. Dahulu kegiatan ini termasuk kegiatan favorit Cahaya. Tetapi perasaan itu berubah, dia membenci kegiatan ini. “Arrghhh, kamu pengen nyekek aku Yang. Kenceng banget sih,” tegur Surya menatap marah Cahaya. “Eh maaf, aku gak sengaja mas,” Cahaya segera melonggarkan simpul dasi milik Surya. “Aya, Aya. Kamu ngelamun?” Surya mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Cahaya. “Hah!? Eh gak Mas,” Cahaya segera memasangkan dasinya. Seperti lamunannya tadi, ingin sekali dia mencekik Surya dengan dasi itu untuk menumpahkan kekesalannya. “Kamu kenapa sih sayang. Sejak semalem kelihatan berbeda. Apalagi tadi malam kamu malah melepaskan pelukanku,” tatap Surya curiga. “Semalem gerah banget mas. Kamu meluknya kenceng banget.” “Oh gitu. Aku berangkat ya. Aku ada meeting jam 10 nanti,” pamit Surya sembari melihat jam tangannya. “Iya Mas. Hati-hati,” Cahaya mencium takzim punggung tangan Surya. Lagi-lagi hanya sebatas kewajiban. Cahaya menghela napas panjang setelah mobil milik Surya menghilang dari pandangannya. Dia sempat berpikir mengunjungi panti asuhan miiknya dan betemu dengan Wulandari. Tetapi hatinya belum sanggup menatap wajah sok polos Wulandari. Bahkan dengan Surya saja terasa sulit baginya. *** Tok…tok…tok… “Masuk!” teriak Langit dari dalam kamarnya. “Hai Lang. Ngapain sayang?” tanya Cahaya. Dia sempat melihat Langit memainkan ponselnya tetapi saat Cahaya masuk ke kamar dia sigap menyembunyikannya di laci meja belajarnya. “Mama, udah lihat Lang,” ucap Cahaya, Langit menatap Cahaya. Dia tahu mamanya tidak bisa dibohongi. Dia menghela napas kasar. “Jadi mama akan ngasih tahu Papa,” tebak Langit. “Gaklah. Mama gak ingin kamu dimarahin Papa,” ucap Cahaya. “Lang, kamu benci gak sama Papa?” tanya Cahaya. “Gak dong. Papa itu role model-ku Ma. Langit ingin menjadi pria sukses seperti papa,” ucap Langit dengan mata berbinar mengingat sosok Surya papanya. “Ohh…” ada rasa sakit menghinggapi perasaan Cahaya. Jika Langit tahu akan kelakuan Papa yang dibangga-banggakannya akan seperti apa terkejutnya dia. “Jika Mama berpisah dengan Papa, kamu milih siapa?” tanya Cahaya. Langit mengernyitkan alisnya tidak mengerti akan ucapan Cahaya. “Gak. Seandainya. Jika itu terjadi. Kamu milih siapa?” tanya Cahaya lagi. Dia tahu usia putranya tidak seharusnya menghadapi masalah seperti ini. Namun, jawaban dari anak-anaknya, mungkin saja akan menjadi pertimbangan akan rumah tangganya kelak. “Tentu saja Langit akan memilih Papa,” jawab Langit tegas. Cahaya tentu saja kecewa mendengar jawaban putranya itu. Selama 9 bulan dia mengandung, melahirkan dan membesarkan Langit tetapi nyatanya putranya lebih memilih papanya. Tentu saja keegoisannya sebagai ibu tersentil. “Padahal Papa sering ngelarang-larang kamu. Kamu masih milih dia?” Cahaya tahu dirinya salah. Seolah mengarahkan putranya membenci sosok papanya. Tetapi dia ingin menyadarkan putranya sedikit demi sedikit bahwa Papa yang dibanggakannya hanya seorang tukang selingkuh, pria penuh tipu muslihat. “Dia gitu demi mendidik aku jadi pria yang mandiri dan bertanggung jawab Ma. Langit tahu itu demi kebaikan Langit. Walaupun Langit sering kali ngelanggar aturan papa, tetapi adanya Papa yang terus mengingatkan Langit. Langit kembali pada jalur yang seharusnya,” telak, benar pukulan telak bagi Cahaya. Tidak ada lagi harapan. Langit tak akan bisa menjadi sekutunya kali ini. Dia menyerah. “Ya udah. Kamu kerjaiin PR kamu. Jangan main hape terus,” Cahaya memeluk kepala putranya dan mencium pucuk kepalanya. Cahaya beralih ke kamar Zanitha kali ini. Tok..tok…tok… “Masuk!” teriak Zanitha. Cahaya membuka pintu. Dia mendapati putrinya sibuk menggambar di lantai kamarnya. Salah satu bakat Zanitha yang patut dibanggakan. Bakatnya ini bahkan mengantarkan Zanitha menjadi juara di setiap lomba. "Sibuk ya sayang,” Cahaya duduk di lantai. “Gak Ma, kenapa Ma?” tanya Zanitha. “Oh gak kok. Kangen aja ngomong sama kamu,” “Ooh.” “Kirain mama punya masalah gitu.” Berbeda dengan Langit, Zanitha memiliki kepekaan saat perasaan Cahaya tengah gundah. Di usianya masih menginjak 10 tahun, Zanitha bahkan sering diajak bertukar pendapat dengan Cahaya. Terlebih lagi membahas Langit. “Za, gimana sih tanggapan kamu sama Papa?” “Papa? Kenapa Mama tanya begitu. Papa ya Papa aku, satu-satunya,” ucap Zanitha. “Iya sih,” ucap Cahaya salah tingkah. “Mama bertengkar sama Papa? Tadi pagi aku lihat baik-baik aja,” tebak Zanitha dan semua benar adanya. “Gak kok,” jawab Cahaya singkat. Dia ingin sekali mengeluarkan pertanyaan yang sama dengan Langit. Tetapi dia tahu bahwa Zanitha akan segera menangkap arah pembicaraan Cahaya. Dia akhirnya mengurungkan niatnya. “Ya udah sayang. Kamu lanjutin aja. Maaf mama gangguin kamu,” pamit Cahaya. “Gak kok Ma.” “Ma…” Cahaya menghentikan langkahnya. “Iya sayang.” “Asal mama tahu, Zanitha akan selalu memilih Mama. Tetapi Zanitha membenci jika kalian berpisah. Zanitha malu sama teman-teman jika orang tua kami tidak lengkap lagi,” lagi-lagi Cahaya merasa bersalah mendengarkan penuturan putrinya. Apakah Zanitha terlalu cepat dewasa sebelum waktunya. Dret…dret… Ponsel Cahaya bergetar. Nama surya tertera di layar handphone-nya. “Iya Mas.” “Sayang. Siapin kamar buat Ibu ya. Malem ini dia tiba.” “Ah Ibu dateng,” “Iya. dia rencananya pengen rayain ulang tahun pernikahan kita. Tetapi kamu kan tahu dia takut naik pesawat. Jadi dia memlih naik bus kesini.” “Iya Mas.” Surya menutup panggilannya. Cahaya menghela napas panjang. Kedatangan mertuanya menambah beban pikiran Cahaya. Ibu Mertuanya Atiek, ibu yang sangat bangga kepada putranya, Surya. “Kamu tuh harus nurut sama suami kamu. Dia nyari duit. Kamu malah habisin buat panti asuhan. Kasian banget Surya anakku itu.” “Kamu itu harus perhatiin makanan suamimu, dia kebanyakan kerja badannya kurus banget. Waktu masih bujangan tinggal sama ibu, badan dia gendut. Gak seperti sekarang.” Semua wejangan atau mungkin lebih tepatnya sindiran dan banyak lagi hingga membuat Cahaya sedikit risih jika mertuanya datang bertamu. Surya adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Dua adiknya perempuan dan telah berkeluarga. Cahaya harus menghadapi Mertua dan kedua adik ipar perempuan. Sungguh perpaduan yang sangat pas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD