Seminggu berlalu setelah acara ulang tahun Rea. Semua kembali dengan kesibukan masing-masing. Rea sendiri sibuk dengan kuliah serta tugas yang mengikutinya. Niatnya untuk pergi ke Little Grass Caffe and Bakery nama tempat pria itu bekerja selalu tertunda.
Hari ini pulang dari sanggar, Rea berencana untuk mampir ke sana. Selain niat unuk melihat pria itu, ia sudah rindu dengan Croissant di sana. Rea pergi sendiri tanpa teman bahkan harus sembunyi dari Gio. Kakaknya itu selalu kepo dengan urusan Rea. Belum lagi jika Gio tahu, Rea sedang mengejar seorang pria mungkin akan terjadi kegemparan di keluarga Berata.
Rea melihat jam yang melingkar di tangannya, menunjukkan pukul 8 malam. Ia berharap kali ini bisa melihat pria itu dan mengajaknya berkenalan.
“Argh, kenapa aku seperti tidak punya harga diri? Siapa yang mengajariku sampai berbuat senekat ini?” gerutu Rea sambil meraup wajahnya sendiri saat hendak turun dari mobil.
Rea masuk ke dalam kafe dan toko kue sekaligus tempat makan itu. Ada beberapa pengunjung di sana. Seorang pelayan menghampiri Rea menanyakan keperluannya. Bahkan saat tahu Rea akan makan di sana, wanita itu menawarkan tempat di lantai atas alias di rooftop. Ragu-garu Rea menerima tawaran itu. Bukan karena tempatnya, ia takut jika pria itu muncul justru Rea tidak bisa melihatnya.
Rea mengikuti karyawan itu yang berjalan di depannya. Setelah sampai, Rea memilih tempat duduk yang posisinya strategis. Rea cukup terkejut karena tempatnya sangat bagus. Suasana malam begitu indah, saat lampu kelap kelip menghiasi tempat itu. belum lagi beberapa pot bunga berjejer di sekitar balkon. Suasana yang begitu familiar bagi Rea.
Setelah mengagumi tempat itu, Rea duduk dan mulai memesan makanan. Rea benar-benar lupa, jika ia masih mengenakan seragam taekwondo. Sebenarnya ia sengaja tidak mandi dan berganti pakaian agar Gio tidak curiga padanya. Lihat, betapa malunya ia saat beberapa orang memperhatikannya. Rea meruntuki dirinya sendiri akibat hal konyal yang ia lakukan.
“Nggak masalah, aku bangga dengan seragam ini” batinnya untuk menguatkan diri agar tidak merasa malu.
Rea mengedarkan pandangannya, untuk menyembunyikan rasa canggung. Ia menangkap sosok sedang duduk di meja pojok dengan kaki menyilang serta secangkir kopi di depannya. Seperti biasa, reaksi tubuh Rea adalah diam mematung. Matanya tidak mau beranjang dari sosok tampan dengan rambut sedikit berantakan. Pakaiannya masih menggunkanan seragam kerja dengan nametag di sisi kiri.
Pandangannya buyar saat pelayan membawakan Jasmine Tea dan satu slices Tiramisu yang sangat menggoda. Tidak lupa dua buah Croissant sudah ia pesan juga.
Rea menyesap Jasmine Tea untuk menenangkan perasaannya. Saat tanpa sengaja matanya bertemu dengan manik si pria, Rea merasakan wajahnya memanas.
“Harusnya aku pesan Ice Lemon Tea, bukan teh hangat yang justru membuat wajahku semakin panas” Rea meruntuki kebodohan dirinya sendiri.
Pria itu bangkit dari duduknya sambil membawa cangkir dan tangan yang satu di masukkan dalam kantung celana.
“Oh God! Look so sexy” batin Rea.
Betapa kurang ajarnya mata Rea, tanpa malu menatap pria itu yang kini tengah berjalan ke arahnya. Ia segera tersadar dan memalingkan wajahnya ke bawah agar ia tidak tertangkap basah sedang mencuri pandang pada pria itu.
“Hai..” sapanya tepat di depan Rea.
Rea mengangkat wajahnya dan menatap si empunya suara “Ha..hai”
“Wah kamu benar-benar suka dengan dengan Croissant ya?” tanyanya dengan senyum manis namun sungguh terlihat sangat cool.
“Iya mas, ini makanan favorit saya sejak lama. Rasanya lebih tepat menggilainya” jawab Rea asal.
“Apa menggilainya? Croissant apa pria di hadapan kamu? Sungguh kalimat yang ambigu Rea” seakan sisi lain dari Rea mencecarnya dengan pertanyaan yang sangat konyol.
“Saya Jouvan, bisa panggil Jou atau Jouvan juga boleh. Nggak usah pakai mas ya” pria itu mengulurkan tangan sebagai tanda perkenalan.
“Lucky! Tidak repot untuk mencari cara berkenalan dengan si pria tampan bernama Jouvan” soraknya bangga.
Ragu Rea membalas jabatan tangan dari Jouvan “Nggak enak kalau aku hanya panggil nama. Aku panggil mas Jouvan aja nggak apa-apa kan? Aku Rea Rossane, panggil saja Rea”
“Iya terserah kamu saja” Jouvan memperhatikan Rea dengan seksama “Sabuk hitam?” ternyata ia cukup terkejut.
“..” Rea hanya tersenyum canggung sambil mengangguk.
“Jangan sampai dia illfeel liat aku pakai pakaian ini. Oh no! Jangan bilang dia suka cewek yang kalem, polos dan feminin?” pikir Rea takut-takut.
“Oke Rea, saya tinggal dulu. Selamat menikmati” ujarnya kemudian berlalu.
Sepertinya malam ini Rea akan bermimpi indah. Atau mungkin ia tidak akan sanggup memejamkan mata karena tidak ingin hari terbaiknya berlalu begitu saja.
***
“Dari mana Re?” suara Gio saat Rea membuka pintu kamar.
“Astaga..! Kak Gio kenapa di sini? Bikin kaget aja” Rea meletakkan tasnya di sofa kemudian ia duduk.
“Jawab dulu Re” Gio sedang berbaring di tempat tidur Rea dengan kepala bersandar pada bantal.
“Itu tadi..” kaliat Rea menggantung.
“Apa? Kok jadi gugup begitu?” walaupun Gio sedang menatap layar ponsel namun ia bisa melihat dari sudut matanya Rea sedang ragu untuk menjawab.
“Wendy telepon ngajak aku makan” jawab Rea.
Gio meletakkan ponselnya kemudian mendekati Rea.
“Kamu nggak bohong kan?” tanya Gio dengan tatapan menelisik.
“Ya nggaklah. Memangnya kenapa sih?” Rea berusaha menyembunyikan kegugupannya.
“Nggah sih. Siapa tahu kamu malah ketemuan sama cowok” ujar Gio asal.
“Kalau iya kenapa?”
“Nggak. Mungkin aku hanya perlu tau siapa orangnya”
“Terus kak Gio kenapa di sini? Masuk kamar aku nggak pakai izin” Rea melipat kedua tangannya di depan d**a menunjukkan kekesalannya pada Gio.
“Tadi aku makan malam di sini sama Adel, aku kira kamu sudah di rumah. Karena males pulang ya aku nunggu kamu buat main game. Tapi kamu jam setengah sepuluh baru pulang” jawab Gio kesal.
“Kan kak Gio bisa telpon aku. Lagian kurang kerjaan banget nunggu aku pulang” Rea bangkit dari duduknya menuju meja rias.
“Tadi Dimas sama Raka juga sempat ke sini mau kasih foto waktu liburan. Tapi karena kamu nggak ada, ya udah di kasih ke Adel jadinya”
“Terus ke mana mereka?” Rea mulai membersihkan wajahnya.
“Pulang lah. Kurang kerjaan banget mereka nunggu kamu. Kalau aku sih memang kurang kerjaan”
“Hei, ada ini. Kenapa nggak telpon atau kirim pesan?” Rea menujukkan ponselnya pada Gio.
“Coba cek gih ponsel kamu Re. Heran kenapa cewek bisa banget ponselnya mati tapi nggak sadar” gerutu Gio.
Rea melihat ponselnya dan ternyata memang tidak aktif. Ia tersenyum lebar memperlihatkan deretan giginya yang rapi.
“Upss, sory. Terlalu banyak hal menarik yang sayang untuk di lewatkan sampai nggak sadar batre ponsel Rea habis”
“Memangnya ada hal menarik apa?” tanya Gio penasaran.
Rea salah termakan umpannya sendiri “Maksudnya ngobrol sama Wendy lebih menarik. Saking asiknya ya nggak inget sama benda ini”
“Heran aku sama kamu Re. Perasaan cewek jaman sekarang nggak bisa lepas sama yang namnya ponsel. Mereka selalu update di sosial media. Dikit-dikit upload foto, pasang status yang kadang bikin annoying banget. Apalagi kalau lagi ngumpul bukanya ngobrol tapi malah main HP”
“Kenapa jadi bahas jauh banget sih kak? Ya intinya tiap orang beda-beda. Sekarang kak Gio pulang, aku mau mandi” Rea bangkit dari duduknya dan menarik Gio agar keluar dari kamarnya.
Rumah mereka yang berdampingan sangat mudah jika ingin bermain atau berkunjung. Tidak masalah mau selarut apa, bagi Gio dan yang lain kedekatan dengan keluarga yang utama.
Rea berhasil menyeret Gio keluar dari kamarnya. Ia berdiri di depan pintu menunggu Gio pergi.
“Rea..” Gio membalikkan tubuhnya mendekati Rea.
“Apa lagi sih kak Gio. Buruan pulang” gerutu Rea. Ia sudah tidak sabar mengguyur tubuhnya setelah latihan taekwondo tadi.
“Re, jangan pernah menyembunyikan sesuatu dari aku. Aku nggak mau kamu dalam bahaya” tangannya meraih pucuk kepala Rea dan mengelus pelan.
Rea terdiam bukan karena perlakuan Gio karena itu sudah biasa, melainkan Gio sepertinya tahu bahwa Rea telah berbohong padanya.
~ ~ ~
--to be continue--
*HeyRan*