Mei 2010.
"Lo seharusnya nggak boleh gitu! Kasih cewek lo waktu buat dirinya sendiri, dong!" Yas menyesap sebatang rokok yang ia apit dengan jari tengah dan telunjuknya. “Well, dia pacar lo. Tapi semua manusia butuh waktu buat bersenang-senang sendiri. Butuh waktu buat me-time.”
Laki-laki dua puluh tahunan di hadapannya, terlihat sudah sangat mabuk. Bahkan ia tak becus lagi menuangkan kembali vodka pada gelas milik Yas. Sebut saja namanya Bakso.
Ia adalah pelanggan ketujuh Yas malam ini. Semenjak meninggalkan rumah dulu, hidup Yas memang benar-benar berubah total. Termasuk perihal rencana-rencana hidupnya ke depan.
Selama satu tahun lamanya ia hidup dengan bekerja serabutan hingga lulus SMA. Dan semenjak masuk kuliah, jumlah pendapatan dari kerja serabutan sama sekali tak cukup untuk memenuhi segala kebutuhan. Yas pun sibuk mencari pekerjaan lain dan ia menemukan tempat ini.
Dari awal masuk ke mari, Yas sudah dan selalu menjadi host fenomenal yang paling dicari. Para pelanggan menganggap, bahwa mengobrol bersama Yas sama halnya dengan berkonsultasi dengan konsultan profesional.
Solusi-solusi yang diberikan oleh Yas selalu manjur. Selain itu, Yas juga selalu asyik dan kekinian. Apapun yang dibicarakan oleh pelanggan, Yas bisa menanggapi dengan baik. Sehingga mereka merasa cocok, dan jarang ada yang komplain.
"Terus gue harus gimana?" Si Bakso meletakkan kepalanya di atas meja. Bahkan ia sudah tak kuat menopang kepalanya sendiri begitu. Eh, masih sok-sokan melanjutkan minum, dan menuangkan segelas lagi untuk Yas pula.
Yas segera menenggak satu gelas vodka yang barusaja dituangkan si Bakso dalam satu shot. Mungkin Yas sudah kebal atau apalah itu namanya. Seberapa banyak pun ia minum dalam semalam, ia tak pernah mabuk. Kehidupannya selama dua tahun ini, ya begini, makanya tubuhnya sudah adaptasi.
Jadi, ceritanya si Bakso ini adalah anak muda labil yang sedang galau hatinya. Ia memiliki seorang pacar yang sangat dicintainya. Sebut saja namanya Siomay! Wanita cantik yang sudah Bakso pacari semenjak masih SMP.
Bakso adalah orang yang posesif. Saking posesifnya, Bakso langsung marah saat Siomay ketahuan sedang makan bersama dengan teman-temannya di café. Ia juga akan marah jika Siomay mengunggah selfie cantiknya di sosial media.
Alasannya, untuk apa mengumbar kecantikan? Apakah ia ingin dipuji cantik oleh laki-laki lain? Bakso bahkan tak memberi kesempatan Siomay untuk bersenang-senang sama sekali.
Meskipun mereka pacaran, tapi bukan berarti Bakso memiliki hak untuk mengekang Siomay melakukan ini itu, kan? Lama-lama Siomay jelas tertekan dan stres. Alhasil Siomay minta putus tadi siang. Makanya Bakso jadi uring-uringan begini.
"Terus gue harus gimana dong, Yas?"
"Kan udah gue kasih solusi tadi. Kasih dia kebebasan dikit!"
"Kalo dia selingkuh gimana?"
"Lo kok nggak percaya gitu, sih, sama pacar lo sendiri?"
"Bukannya nggak percaya. Gue cuman takut kehilangan dia."
Yas berdecak. "Lo tuh, ya. Kalo bukan lo yang percaya sama pacar lo sendiri, terus siapa? Lo mau ada cowok lain yang ngasih dia kepercayaan lebih, terus Siomay ngerasa lebih dipeduliin. Ujung-ujungnya Siomay jadi milih dia, karena merasa lebih nyaman, gitu?"
"Amit-amit, Yas. Pait! Pait!" Bakso terlihat menjulur-julurkan lidah seakan ia benar-benar barusaja memakan sesuatu yang rasanya pahit. Padahal ungkapan pait pait itu adalah cara orang Jawa untuk mengusir lebah.
"Ya makanya itu, lo harus kasih dia kepercayaan. Asal lo tahu aja ya, selama kalian saling percaya dan saling mencintai, nggak bakal ada yang bisa misahin kalian kok. Kecuali kalo kalian emang nggak jodoh."
Yas benar-benar terlihat seperti seorang profesional, bukan? Padahal secara umur, Bakso ini lebih tua darinya, tapi Yas mampu memberi solusi seperti itu. Namun sebenarnya hal ini hanyalah sebuah keprofesionalitasan semata.
Demi mendapat sesuap nasi. Pada kenyataannya, Yas juga tidak tahu. Ia saja belum punya pengalaman dalam hal pacaran sama sekali.
Will melambai pada Yas dari kejauhan. Yas mengangguk mengiyakan. "Ya udah ya, gue ada pelanggan lain. Sesi curhat lo udah kelar. Ini kartu nama gue, total waktu curhat lo adalah tiga jam. Jangan lupa transfer, nanti kalo lo udah sadar dari kobam!"
Bakso hanya mengangguk. Yas tersenyum miring sembari meninggalkannya. Yas sudah bersiap untuk melayani sang Pelanggan Baru, sebelum seseorang menahannya. Yas berdecak kesal begitu melihat siapa itu.
"Kenapa lagi, Oom? Aku sibuk!" ketus Yas.
"Papa kamu butuh bantuan, Yas. Nasib perusahaan ada di ujung tanduk. Dan adek-adek kamu semakin hari semakin nggak jelas kelakuannya," ucap Junot.
Secara berkala, Oom Junot memang rajin mengunjungi Yas sebagai perwakilan dari Papa. Papa sengaja meminta Oom Junot untuk mengawasi putranya itu. Karena Papa tahu, untuk saat ini Yas masih belum mau bertemu dengannya karena masalah mereka.
Junot selalu menjelaskan segala hal tentang keadaan keluarga Yas sekarang. Termasuk kinerja Papa yang menurun pesat semenjak meninggalnya Mama. Papa seperti orang linglung. Kerjaannya seharian hanya melamun, tak bicara apapun kalau tidak ditanya.
Yas tentu saja prihatin mendengar cerita Junot. Apalagi ia juga tahu bahwa adik-adiknya tak lagi sama seperti dulu.
Mereka berubah menjadi anak-anak liar. Terang saja, karena tak pernah ada yang memperhatikan mereka. Tak pernah ada yang mengajari mereka untuk bersikap.
Tapi Yas bisa apa? Ia hanya takut kembali ke sana.
Takut jika akan terjadi sesuatu yang buruk, pada salah satu dari sisa anggota keluarganya. Seperti apa yang sudah terjadi pada ibu kandungnya dan Mama.
***
Juni 2011.
Yas ketakutan setengah mati. Tante sudah menipunya. Tante bilang ia membawa Yas untuk bertemu dengan seorang pelanggan VIP yang meminta dilayani secara privat. Tapi pada kenyataannya, orang yang Tante bicarakan bukanlah pelanggan biasa.
Ia adalah pelanggan yang meminta jasa plus-plus. Lebih jelasnya, Tante sedang menjual Yas sekarang ini. Dan yang lebih parah, si Pelanggan bukanlah seorang wanita. Ia adalah seorang lelaki tua yang haus kasih sayang.
"DP-nya sudah saya transfer, Nyonya. Sisanya nanti kalau servis sudah selesai."
"Nggak masalah, Pak. Saya jamin nggak akan mengecewakan kok. Dia host nomor wahid di sini. Dan dia juga masih ...." Tante tersenyum nakal menatap Yas. "Pokoknya anda nggak bakal kecewa!"
Si Pak Tua tertawa dengan mesumnya. Yas ingin sekali pergi. Tapi ia tak bisa. Ia takut. Bagaimana kalau Tante atau Pak Tua itu berbuat nekat lalu menyiksanya? Biar bagaimanapun juga, Yas masih punya cita-cita yang ingin ia raih.
Detik itu juga, Yas menyesal sudah bekerja di sini. Benar kata Junot. Tempat ini sangat berbahaya. Meskipun penghasilannya banyak, namun sisi negatif yang mengiringi juga banyak.
Selain itu, pekerjaan ini juga berkonotasi negatif dalam sudut pandang masyarakat luas. Yang ujung-ujungnya, juga memberi efek negatif jangka panjang pada orang yang menjalani. Yas sudah mengalami salah satu efek negatif itu sekarang.
"Siapa Anda?" tanya Tante begitu seseorang tiba-tiba masuk ke kamar ini.
Yas merasa terkejut sekaligus lega, begitu tahu bahwa seseorang yang tiba-tiba masuk ke sini adalah Junot.
"Sebelum lelaki tua dan sangat jelek itu, saya sudah lebih dulu melihat Yas. Jadi, saya yang lebih berhak atas Yas!" tegas Junot.
Yas bisa melihat dengan jelas bahwa Junot hanya berpura-pura.
"Maksudnya?" Pak Tua terlihat tersinggung dengan kata-kata Junot.
Junot melemparkan sebuah cek bertuliskan nominal yang sangat besar. Jumlahnya dua kali lipat dari total p********n Pak Tua.
Dan Junot membayar semuanya secara penuh sekaligus, tanpa memberi uang muka dulu seperti yang dilakukan Pak Tua. Jadilah, Tante segera tertawa bahagia. Suara tawanya membahana mengisi seluruh ruangan.
"Mohon maaf, Pak. Sepertinya ada pelanggan VIP lain yang membayar lebih besar." Tante dengan bangga mengipas-ngipaskan cek yang barusaja ia terima. "Anda tak usah khawatir, karena nanti, DP yang sudah anda berikan akan saya transfer kembali."
Pak Tua itu terlihat benar-benar tak suka dengan situasi ini. Ia segera pergi dengan segenap kemarahannya.
Tak hanya Pak Tua itu, Junot juga segera pergi dengan menggamit pergelangan tangan Yas, tanpa berpamitan sama sekali pada Tante.
Yas merasa tak enak, namun bila Junot tak menolongnya, Yas tak bisa membayangkan bagaimana nasibnya setelah transaksi antara Tante dan Pak Tua itu benar-benar terjadi.
Akan jadi apa ia nanti, sementara sekarang ini ia sedang berjuang untuk mendapatkan gelar SPd? Untuk apa mendapat gelar itu, jika nyatanya ia tak bisa menjadi guru teladan bagi murid-muridnya nanti?
"Kamu pulang sama Oom, ya!" Junot akhirnya buka suara. Mobil ini sekarang sedang berhenti di perempatan, karena lampu merah. "Dan jangan pernah balik ke tempat itu lagi! Di sana nggak aman. Kamu udah tahu sendiri, kan, sekarang?"
"Oom, makasih banget! Tapi ... uang itu ... sama sekali nggak sedikit. Gimana caraku balikin uangnya ke Oom?"
Oom Junot tersenyum. "Denger ya, Yas! Oom tadi berangkat ke club dengan tujuan menjemput kamu. Pas Oom sampek, si Will malah ngasih tahu Oom, apa yang sedang diperbuat g***o ke kamu. Makanya Oom melakukan itu semua agar si g***o dengan sukarela menyerahkan kamu. Dan kamu nggak perlu pusing mikirin cara ngembaliin uang itu kare- ...."
"Nggak perlu pusing cara ngembaliin gimana? Uang itu, tuh, banyak banget, Oom!"
"Dengerin dulu dong, Oom belum selesai ngomong!" protes Junot atas kepanikan sang keponakan. "Apa kamu nggak penasaran kenapa Oom tiba-tiba mau jemput kamu?"
"E-emangnya kenapa?"
"Karena ... Oom punya pekerjaan buat kamu. Pekerjaan yang lebih baik, lebih banyak gajinya, dan pastinya lebih aman." Oom Junot tersenyum menenangkan. "Dengan pekerjaan itu, kamu nanti nggak bakal pusing buat balikin uang Oom. Jangankan uang Oom yang cuman segitu, beli rumah gedong aja bisa kamu, Yas!"
"Emangnya pekerjaan apa sih, Oom?"
***
TBC